"Pak, ponselnya geter terus tuh!" Suara Vania membuyarkan lamunan Gavin. Pria bermata cokelat itu melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja. Lantas menghela napas ketika tahu yang melakukan panggilan telepon ibunya. "Hari ini ada meeting penting lagi yang harus saya hadiri, Van?" tanya Gavin, mengabaikan panggilan telepon itu. "Pukul dua siang ntar ada rapat bersama tim marketing membahas tentang pencapaian promo yang sedang berjalan, Pak. Bisa diundur kalau Anda ada keperluan lain," sahut Vania. Beberapa hari belakangan bosnya itu seperti orang yang kehilangan gairah. Meski tidak pernah melakukan kesalahan dalam tugas, tapi ekspresi pria itu benar-benar terlihat suram. Gavin mengangguk lantas menutup pena setelah menandatangani halaman terakhir sebuah dokumen yang dia pekuri. "Oke. Pending sampai besok. Saya harus pergi sekarang," ujarnya lantas berdiri dan menyambar jasnya di hanging stand yang terletak di belakang kursi. "Anda mau pergi bersama Revita?" tanya Vania lagi.
"Kamu nggak mau main itu? Mumpung sepi loh." Reina menyorot indoor playground yang tak jauh dari tempatnya duduk dengan alis mengerut. "Plese deh, Om. Aku udah tujuh tahun dan mau delapan tahun. Masa disuruh main playground? Memangnya aku anak Tk?" sahut Reina dengan bibir maju. Membuat Gavin serta merta tertawa melihat wajah lucu gadis itu. Saat ini keduanya berada di salah satu restoran keluarga yang juga menyediakan arena playground. Gavin memesan chicken steak dengan lelehan saus pedas di atasnya. Sementara Reina memilih mix plate karena dia bilang perutnya masih kenyang. "Om lupa kalau kamu udah besar. Jadi sekarang kamu sukanya apa?" tanya Gavin sembari memotong steak di depannya. "Uhm, aku sekarang lagi belajar menggambar digital, Om." "It sounds great. Pakai media apa?" Reina mencomot sosis dan mencoleknya ke wadah saus tomat. "Di sekolah pake tablet. Tapi kalau di rumah pinjam HP mama." "Pake HP kurang maksimal dong." Reina mengangguk. "Tapi cuma itu yang ada di
"Ma?" Wanita dengan tatanan rambut rapi itu menoleh dengan wajah cemas saat Gavin datang. Ada kekhawatiran yang tercetak kental di matanya. "Ada apa?" tanya Gavin sembari mendekat. Tidak biasanya dia melihat ibunya gelisah. Melinda seorang wanita angkuh yang tidak takut apa pun. "Mama hampir tak percaya ini," ucap Melinda. "Rencanaku bisa kacau kalau berita ini menyebar." Gavin menyipitkan mata. Tidak mengerti maksud ucapan Nyonya Besar keluarga Adhiyaksa itu. "Kamu sengaja menutupi ini dari mama kan?" Kali ini mata berbulu lentik itu menyorot Gavin tajam. Sorot kegelisahan itu berubah dalam sekejap menjadi sorot penuh amarah. "Apa yang Mama bicarakan?" tanya Gavin bingung. Namun detik berikutnya dia cukup terkesiap saat Melinda melempar sebuah dokumen ke arahnya. Dahi Gavin mengernyit, menatap dokumen itu. Akan tetapi sejurus kemudian dia langsung paham apa yang terjadi. Gavin tidak menyangka sang mama bisa secepat ini mendapat informasi tentang Reina. "Wanita itu pasti senga
"Makasih ya, Pak! Sering-sering aja begini!" Lalu tawa berderai diikuti satu per satu langkah memasuki lobi. "Doakan saja saya banyak rezeki." "Oh pasti dong, Pak!" Gavin menoleh sejenak ke arah rombongan staf yang baru saja masuk. Dirinya dan beberapa orang-orangnya yang tengah sibuk dengan klien penting sedikit terdistraksi oleh suara-suara tersebut. Tatap cokelatnya melihat rombongan staf RnD yang tengah berjalan sambil bercanda. Terlihat Revita berada juga di antara mereka. Namun yang membuat matanya lantas menyipit, ada Mahesa di belakang wanita itu sejajar dengan langkah Ferdy. "Eh, itu Pak Gavin," seru salah seorang dari mereka. Itu suara Dany, pria yang sampai saat ini gigih mengajak Vania kencan, meski belum ada hasil. "Jangan ribut woy. Kalem, suara lo pada, bisa ganggu," cetus Ilham memperingatkan. "Rev..." Arum di sisi Revita menyikut lengan wanita itu. "Pak Gavin," bisiknya. "kok sekarang dia jarang ke kantor kita?" Revita melirik sejenak ke arah rombongan Gavin d
Reina tertegun di tempat saat melihat Revita duduk di tepi ranjang sambil mengusap air mata. Dia yang berencana menunjukkan hasil gambarnya urung melihat kesedihan di wajah sang ibu. Gadis kecil itu menggigit bibir, dan memutuskan mendekat setelah menimbang-nimbang. "Mama kenapa?" Revita terkesiap, dan kontan mengusap pipinya yang basah. Dia buru-buru mengubah ekspresi dan menatap Reina sembari tersenyum. "Hei, kamu kok belum tidur?" Perlahan Reina duduk di sebelah Revita, mata cokelatnya terus mengamati raut sang ibu. "Om Gavin nyakitin Mama?" tanyanya hati-hati. "Hah? E-enggak kok," elak Revita menggeleng. Bibirnya masih terus berusaha melengkung. Namun itu jelas tidak bisa Reina percaya begitu saja. Meskipun masih kecil, dia tidak mudah dibohongi. Gadis kecil itu mendesah, tatapnya melirik ke tablet yang dia bawa. "Kupikir Om Gavin benar-benar suka sama Mama dan nggak akan nyakitin Mama. Kalau tahu dia bikin mama sedih begini, aku nggak akan pernah kasih izin dia buat deketin
Suara orang mengaji masih bisa Revita dengar sayup-sayup, dikalahkan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Wanita itu masih duduk terpekur dengan Reina yang terus menangis sesenggukan di atas pangkuannya, menemani jasad yang terbujur kaku di depan mereka. Ini bagaikan mimpi buruk. Tidak terlintas dalam benak Revita ibunya akan meninggalkannya seperti ini. Semalam dia masih yakin Ayun hanya terjatuh di kamar mandi dan akan baik-baik saja. Bahkan saat membawanya ke rumah sakit dengan taksi yang dia pesan, Revita masih merasakan genggaman tangan sang ibu. Namun, keadaan dengan cepat berbalik ketika Ayun mendapat tindakan medis dan tak berapa lama dokter mengatakan bahwa pasien sudah mengembuskan napas terakhir saat masih dalam perjalanan. Meski rasanya tidak percaya karena kejadiannya begitu tiba-tiba, Revita berusaha menerima kenyataan. Tuhan lebih sayang ibunya. Tidak akan ada lagi seseorang yang mengeluhkan betapa banyak obat yang harus diminum. Tuhan langsung mengangkat sa
Hidung kecil itu memerah selaras dengan wajah putihnya yang bersemu marah. Mata cokelat dengan kelopak yang agak membengkak akibat terus menangis, serta selendang putih yang mengalung di lehernya tidak mengurangi kadar kecantikan gadis kecil itu. "Om Gavin jahat," ucap Reina sekali lagi, membuat Gavin di depannya merasa menjadi manusia paling kejam sedunia. "Kenapa Om nggak nemui mama? Aku dan Mama sedih, nenek meninggal." "Nana...." Kaki Gavin bergerak mendekat. Wajahnya tampak sendu, ikut merasakan kesedihan putri kecilnya. Dia berdiri dengan lututnya saat sampai di depan Reina. Tangannya terangkat melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. "Nana, maafin Om," ucap Gavin kemudian. "Maaf, Om nggak ada saat kalian sedih begini." Penyesalan itu kembali menghantam. "Kenapa Om baiknya cuma sebentar?" Air mata Reina kembali membanjiri pipinya. "Apa aku sama Mama udah ngecewain Om Gavin?" Dengan ujung selendangnya, Reina menyeka air mata yang terus bercucuran. Bahkan napasnya t
Dari dalam mobil Gavin menyaksikan orang-orang yang tahlilah di rumah Revita satu per satu pulang. Ini sudah malam ketiga. Dan tiga kali pula setiap pulang kerja Gavin menyambangi rumah itu, meski tidak masuk ke dalamnya. Dia hanya akan berada di dalam mobil, memperhatikan serangkaian proses tahlil selesai, dan memastikan Revita dan Reina baik-baik saja. Biasanya dia akan pergi setelah melihat mereka dari kejauhan. Ya, hanya begitu sudah membuat hatinya tenang. Namun malam ketiga ini, dia beranikan diri keluar dari mobil, meski hanya berdiri bersandar pada badan mobil. Tanpa ingin bergerak masuk ke rumah itu, biarpun cuma di area halaman. Dia belum punya keberanian cukup untuk melakukan itu. Terlebih dia tidak ingin membuat gaduh di acara itu. Gavin mendesah sambil menunduk saat suasana depan rumah mulai sepi. Dua orang yang membantu Revita terlihat sedang membereskan sisa acara tahlilan. Dua orang yang sengaja dia kirim lewat perantara Ferdy. Dan ketika tanpa sengaja kepalanya tera
Keduanya saling mendesahkan nama satu sama lain. Sesekali mengerang ketika rasa nikmat itu menyerang. Peluh yang menetes seakan menjadi bukti panasnya permainan mereka saat ini. Kata-kata cinta terus berhamburan dari bibir Gavin tiap tatapannya beradu dengan tatapan Revita. Bergulung bersama hasrat, keduanya saling memberi dan menerima. Namun sedang nikmat-nikmatnya mereguk kasih, suara bel pintu terdengar. Bel yang tentu menghentikan kegiatan mereka selama beberapa saat. Gavin dan Revita saling tatap. "Siapa, Mas?" tanya Revita sedikit melebarkan mata. Ekpresi nikmatnya beberapa saat lalu berganti dengan ekspresi terkejut. "Nggak tau, mungkin maintenance," sahut Gavin mengedikkan bahu, lalu kembali menggerakkan pinggul. Namun di bawahnya, Revita tampak tak berhasrat lagi. Terlebih ketika bunyi bel kedua terdengar. Dia langsung memukul pelan bahu Gavin yang cuek dan malah terus mengerang sambil memejamkan mata menikmati kegiatannya. "Mas, itu lihat dulu. Kayaknya bukan maintenanc
"Ya Tuhan, yang mau nikah siapa yang repot siapa." Sebuah keluhan meluncur dari seorang wanita yang selalu tampil cantik di kantor pusat Bumi Indah. Dia sekretaris Gavin yang sejak satu minggu lalu ditugaskan untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan bosnya. Orens jus dingin mendekat ke arahnya karena dorongan tangan seorang lelaki yang sejak tadi mendengar curhatannya. "Minum dulu. Biar kepala lo lebih fresh." "Thanks ya, Dan." Dengan segera Vania menyeruput es dingin itu. "Emang siapa sih yang mau nikah. Kok lo yang sibuk?" Pria di depan Vania yang tak lain dan tak bukan adalah Dany eks rekan kerja Revita, bertanya. Ya setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk pedekate dengan sekretaris Gavin tersebut. "Bos guelah! Siapa lagi yang hobinya nyusahin orang selain dia.""Bos lo? Pak Gavin? Pak Gavin mau nikah sama siapa?" "Temen lo-lah. Siapa lagi? Dia kan cinta mati sama temen lo." Otak Dany otomatis nyambung ke Revita. Tapi bukankah mereka sudah lama pisah
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai
Usaha yang tidak mudah bagi Gavin untuk melobi para pemegang saham yang sebagian besar sudah tidak tinggal lagi di dalam negeri. Dan ketika dia berhasil menemui mereka pun tidak segampang itu memersuasi mereka agar mau suka rela memberikan sahamnya. Meski dia menjanjikan waktu berjangka dan kemajuan perusahaan, ternyata itu juga belum cukup meyakinkan mereka. Alhasil Gavin harus rela menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang dia prediksi. Bahkan ketika Mannaf ikut turun tangan tidak membuat masalah itu cepat selesai. "Setidaknya kamu sudah menggenggam separuhnya. Sementara ibu kamu hanya punya 25 persen. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menurunkan ego dia," ucap Mannaf ketika putra sulungnya itu mengunjungi rumahnya yang ada di Beacon Hill, Boston. Gavin mengangguk. Papanya benar, tinggal usaha untuk membuat perusahaan lebih maju dari sebelumnya. Beberapa pabrik baru sudah mulai beroperasi dan kantor distribusi juga sudah diperluas. Meski tidak memakan biaya yang se
Revita bergegas mengayunkan langkah menuju kosan ketika melihat mobil milik Gavin terparkir di tanah lapang. Dia yang baru pulang dari pabrik mengernyit bingung. Jika weekend dia akan maklum dengan keberadaan lelaki itu di sini. Masalahnya sekarang hari kerja, dan masih pukul empat sore. Kenapa pria itu ada di sini? Mendekati kamar kosan, Revita melihat sepatu pria itu yang tergeletak rapi di dekat pintu. Tanpa alasan yang jelas hatinya berdesir, bahkan Revita merasa tubuhnya merinding. Dia kembali melangkah mendekat hingga suara tawa Reina dan Gavin masuk ke pendengarannya. Dia sengaja tidak langsung masuk dan hanya berdiri di teras kosan. "Kapan, Pa?" "Sabtu ini. Ada yang harus papa selesaikan." "Lama enggak?" "Uhm, papa nggak tau. Mudah-mudahan kerjaan di sana cepat beres jadi papa bisa segera pulang." Dari percakapan itu Revita bisa menyimpulkan jika Gavin akan pergi. Tapi ke mana? "Boston itu jauh, Pa?" Boston. Pria itu akan pergi ke Boston. Negara yang sama saat dulu Gav