Gavin paling tidak suka direpotkan orang mabuk. Tapi herannya dari dulu dia selalu menjadi driver teman-temannya yang hobi mabuk kalau sedang berkumpul. Dan sudah setahun belakangan dia pensiun jadi penjaga, tapi kali ini dia harus mengulang hal yang paling tidak disukai itu. Dia mendesah saat Talia malah tertidur. Orang mabuk benar-benar merepotkan. Dengan sangat terpaksa pria itu memapah Talia memasuki gedung apartemen wanita itu. Temannya cuma menginfokan nomor unit dan lantai tempat Talia tinggal. Gavin berpikir untuk meninggalkan wanita itu di depan pintu unit saja. Namun hati kecilnya merasa kasihan dan akhirnya membangunkan Talia untuk bisa memasuki unit. "Kamu sudah aman," ujar Gavin setelah mendudukkan Talia di sofa. "Makasih," ucap wanita itu dan langsung menjatuhkan diri ke sofa. "Aku haus. Bisa ambilkan minum?" Belum berakhir ternyata. Kembali Gavin menghela napas dan memenuhi keinginan wanita itu. Dan begitu Talia meneguk air putih yang Gavin berikan, keadaannya perl
Sikapnya benar-benar berubah 180 derajat. Seolah sikap ramah yang dia tunjukkan di Singapore waktu itu hanya topeng belaka. Revita bertanya-tanya, kenapa wanita angkuh seperti Melinda bisa memiliki anak sebaik Gavin? Revita membuang napas lelah. Di saat luka kehilangan ibu belum mengering. Sekarang muncul masalah lain. Sebenarnya ini bukan masalah baru. Dari awal memutuskan lagi menjalalani hubungan dengan Gavin, Revita tahu hal ini akan terjadi. Kebetulan saja kejadiannya di waktu yang tidak tepat. Seperti habis jatuh terimpa tangga. Yang menyebalkan, si Nyonya Besar mengocehkan hal-hal yang tidak jelas. Memanfaatkan anak dia bilang? "Maaf, Nyonya. Saya tidak pernah memanfaatkan anak saya untuk hal apa pun. Ucapan Nyonya berlebihan."Si Nyonya Besar tersenyum sinis. "Saya tahu kenapa kamu melahirkan dia alih-alih menggugurkan seperti permintaan saya dulu. Ternyata kamu memang sudah memiliki rencana besar seperti ini. Kamu mau masuk ke keluarga kami lewat cara kotor ini. Kamu pikir
Melihat tidak ada reaksi dari Revita, Gavin meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. Raut menyesal dia pasang dengan alami. Dengan dada yang penuh debar, sekali lagi dia memohon maaf pada Revita. "Aku terlalu syok dengan fakta itu. Maksudnya kenapa harus Mahesa. Takdir ini benar-benar lucu bukan?" Gavin mengembangkan senyum miris. "Mungkin jika orang itu bukan dia, aku nggak akan sampai begini. Harus merenungi dan berusaha menerima semuanya. Terlebih saat ini aku tahu ternyata dia juga masih menginginkan kamu. Aku benar-benar nggak terima, Re." Revita bergeming. Dia hanya menatap nanar tangannya yang Gavin genggam. Tidak ada yang salah dengan reaksi Gavin setelah tahu semunya. Jika di posisi pria itu, mungkin dirinya akan melalukan hal sama. Hanya saja, itu tetap membuat hati Revita terluka. Tergores saat Gavin mencurigainya. Saat orang yang dia cintai mematahkan rasa percayanya. "Aku jahat sama kamu, sama Reina. Aku merasa kembali gagal. Maafkan aku, Re. Aku sudah merenungi s
Revita meletakkan dua cangkir teh ke meja, setelah sebelumnya cuci muka dan menyibukkan diri membuat teh di dapur. Sebenarnya dia kesal mendapati situasi ini, melihat Gavin dan Mahesa bersamaan di rumahnya. Dari pakaian yang mereka kenakan, keduanya langsung datang ke rumah ini setelah pulang ngantor. "Makasih, Revita," ucap Mahesa seraya tersenyum. "Uhm, tadi aku sekalian beli donat buat kamu sama Nana. Mungkin kalian lapar jadi aku—" "Ma! Lihat deh!" seru Reina tiba-tiba dan langsung mengalihkan atensi Revita padanya. "Warnanya jadi bagus gini. Kayak nyata kan, Ma? Ini warna atas rekomendasi Om Gavin. Aku nggak tau kalau Om Gavin ternyata pandai memilih warna," ujar anak itu sambil memandang gambarnya dengan takjub. Di posisinya Revita sedikit mengernyit lalu melirik Gavin sejenak, dan beralih kepada Mahesa yang cuma bisa menghela napas. "Iya, bagus banget gambarnya, Na," sahut Revita, memaksakan sedikit senyum. Dia kembali menatap dua pria yang sekarang sudah duduk beriringan d
Tubuh Gavin bergeser mundur saat Revita mendorong dadanya menjauh. Namun, dengan cepat pula tangannya menggapai pinggang wanita itu hingga keduanya saling menempel kembali. Kesempatan itu Gavin gunakan untuk membungkam bibir Revita lagi. Bahkan kali ini sebelah tangan lain meraih tengkuk Revita, seolah mengunci pergerakan wanita itu. Gavin masih bisa merasakan perlawanan kekasihnya itu. Kekuatan yang tidak sebanding membuatnya dengan mudah mengusai wanita itu. Dia menggigit bibir bawah Revita, membuat bibir mungil itu refleks terbuka, dan kesempatan itu Gavin gunakan untuk mempedalam ciumannya. Tidak ada respons dari Revita. Wanita itu justru terus menunjukkan keenggana. Beberapa kali dia memukul dada Gavin saat merasa kehilangan asupan udara. "Kamu gila ya?!" serunya melotot, saat berhasil menjauhkan tubuh liat Gavin. Dia terlihat sangat jengkel dan mengusap bibirnya secara kasar dengan lengan. Persis anak kecil yang tidak mau dicium orang tuanya saat lagi ngambek. "Mau lagi?"
Wanita itu dikenalkan sebagai manajer baru divisi marketing di meeting bersama jajaran manajer tiap divisi. Dan sialnya, Ferdy mengajak Revita untuk turut serta. Sehingga dia tahu nama wanita itu. Adriana. Wanita tinggi semampai yang tidak kalah cantik dengan Selena. Sekali lihat saja, Revita langsung insecure. Harus dia akui. Adriana tampak begitu serasi jika disandingkan dengan Gavin. Cantik, smart, dan terlihat berwawasan luas. Satu lagi kelebihannya. Publik speakingnya sangat bagus. Tidak salah jika Gavin menempatkan wanita itu di bagian marketing. Revita memilih segera beranjak dari ruang meeting, meminta izin Ferdy untuk pergi ke toilet sebentar. Hatinya sedikit terusik selama meeting berjalan. Dia sendiri tidak tahu sebabnya. Seorang wanita tersenyum padanya saat Revita sedang mencuci tangan di wastafel. Tunggu, bukankah dia Adriana? Berdiri bersisian dengan wanita itu membuat Revita merasa tenggelam. Adriana begitu tinggi. Rambut bergelombang wanita itu terlihat begitu pas d
"Sekarang yang lagi trending itu Adriana!" Revita menoleh ketika Ilham menyebut nama manajer baru marketing. Dari tempatnya dia melihat Rafa dan Dany menggeser kursi ke dekat Ilham. "Eh, seperfect itu sumpah. Gue pagi tadi liat sih," sambut Dany. "Serius?" Rafa menatap Dany dengan alis sebelah naik. "Bukannya buat lo Vania nggak ada duanya?" Dany nyengir kuda. Mungkin dia lelah mengejar Vania. "Kali ini gue setuju deh sama yang lain. Lagi jadi buah bibir banget.""Gue belum liat sih." Rafa mengusap dagu sambil melirik Revita yang masih sibuk, tapi telinga masih jelas mendengar obrolan ketiga pria penghuni kantor RnD itu. "Sama Revita cantik mana?" Ilham dan Dany kompak menatap Revita. Keduanya tercenung selama beberapa saat. Sebelum Dany kembali menyeletuk. "Cantik relatif sih, Raf." "Cari aman lo! Bilang aja lo nggak mau bikin pacar big boss tersinggung!" "Eh, emang Revita masih ada hubungan sama si bos?" Itu diucapkan Dany dengan nada pelan, tapi telinga Revita masih cukup
"Mama belum tidur?" Revita menutup buku yang dia baca ketika Reina dan Gavin baru saja sampai rumah. Mereka berdua akhirnya pergi makan malam di luar tanpa Revita. Wanita itu kekeh tidak mau ikut. Sudah kadung malu, gengsi kalau harus ikut. Dan sekarang waktu sudah menunjuk angka sembilan lebih. Terlalu larut buat anak seusia Reina baru pulang. "Kan mama nunggu kamu pulang," sahut Revita, lantas melirik Gavin di belakang Reina yang tengah memasang senyum menyebalkan. "Nih, aku bawa dimsum buat mama. Kata Om Gavin takut mama kelaparan." Anak itu mengangsurkan kantong putih berisi mealbox. Yang lantas Revita terima. "Iya. Makasih. Sekarang udah mau setengah sepuluh. Waktunya kamu pergi tidur." "Oke, Ma." Dia tersenyum girang, lalu berbalik kepada Gavin. "Om, aku tidur dulu ya. Kalau Om mau pulang hati-hati di jalan ya," ujarnya lalu meraih tangan Gavin untuk dia salim. Gavin membalas anak itu dengan usapan di kepala. "Iya, Sayang. Good night." Dan membiarkan Reina berlalu masuk.
Keduanya saling mendesahkan nama satu sama lain. Sesekali mengerang ketika rasa nikmat itu menyerang. Peluh yang menetes seakan menjadi bukti panasnya permainan mereka saat ini. Kata-kata cinta terus berhamburan dari bibir Gavin tiap tatapannya beradu dengan tatapan Revita. Bergulung bersama hasrat, keduanya saling memberi dan menerima. Namun sedang nikmat-nikmatnya mereguk kasih, suara bel pintu terdengar. Bel yang tentu menghentikan kegiatan mereka selama beberapa saat. Gavin dan Revita saling tatap. "Siapa, Mas?" tanya Revita sedikit melebarkan mata. Ekpresi nikmatnya beberapa saat lalu berganti dengan ekspresi terkejut. "Nggak tau, mungkin maintenance," sahut Gavin mengedikkan bahu, lalu kembali menggerakkan pinggul. Namun di bawahnya, Revita tampak tak berhasrat lagi. Terlebih ketika bunyi bel kedua terdengar. Dia langsung memukul pelan bahu Gavin yang cuek dan malah terus mengerang sambil memejamkan mata menikmati kegiatannya. "Mas, itu lihat dulu. Kayaknya bukan maintenanc
"Ya Tuhan, yang mau nikah siapa yang repot siapa." Sebuah keluhan meluncur dari seorang wanita yang selalu tampil cantik di kantor pusat Bumi Indah. Dia sekretaris Gavin yang sejak satu minggu lalu ditugaskan untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan bosnya. Orens jus dingin mendekat ke arahnya karena dorongan tangan seorang lelaki yang sejak tadi mendengar curhatannya. "Minum dulu. Biar kepala lo lebih fresh." "Thanks ya, Dan." Dengan segera Vania menyeruput es dingin itu. "Emang siapa sih yang mau nikah. Kok lo yang sibuk?" Pria di depan Vania yang tak lain dan tak bukan adalah Dany eks rekan kerja Revita, bertanya. Ya setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk pedekate dengan sekretaris Gavin tersebut. "Bos guelah! Siapa lagi yang hobinya nyusahin orang selain dia.""Bos lo? Pak Gavin? Pak Gavin mau nikah sama siapa?" "Temen lo-lah. Siapa lagi? Dia kan cinta mati sama temen lo." Otak Dany otomatis nyambung ke Revita. Tapi bukankah mereka sudah lama pisah
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai
Usaha yang tidak mudah bagi Gavin untuk melobi para pemegang saham yang sebagian besar sudah tidak tinggal lagi di dalam negeri. Dan ketika dia berhasil menemui mereka pun tidak segampang itu memersuasi mereka agar mau suka rela memberikan sahamnya. Meski dia menjanjikan waktu berjangka dan kemajuan perusahaan, ternyata itu juga belum cukup meyakinkan mereka. Alhasil Gavin harus rela menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang dia prediksi. Bahkan ketika Mannaf ikut turun tangan tidak membuat masalah itu cepat selesai. "Setidaknya kamu sudah menggenggam separuhnya. Sementara ibu kamu hanya punya 25 persen. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menurunkan ego dia," ucap Mannaf ketika putra sulungnya itu mengunjungi rumahnya yang ada di Beacon Hill, Boston. Gavin mengangguk. Papanya benar, tinggal usaha untuk membuat perusahaan lebih maju dari sebelumnya. Beberapa pabrik baru sudah mulai beroperasi dan kantor distribusi juga sudah diperluas. Meski tidak memakan biaya yang se
Revita bergegas mengayunkan langkah menuju kosan ketika melihat mobil milik Gavin terparkir di tanah lapang. Dia yang baru pulang dari pabrik mengernyit bingung. Jika weekend dia akan maklum dengan keberadaan lelaki itu di sini. Masalahnya sekarang hari kerja, dan masih pukul empat sore. Kenapa pria itu ada di sini? Mendekati kamar kosan, Revita melihat sepatu pria itu yang tergeletak rapi di dekat pintu. Tanpa alasan yang jelas hatinya berdesir, bahkan Revita merasa tubuhnya merinding. Dia kembali melangkah mendekat hingga suara tawa Reina dan Gavin masuk ke pendengarannya. Dia sengaja tidak langsung masuk dan hanya berdiri di teras kosan. "Kapan, Pa?" "Sabtu ini. Ada yang harus papa selesaikan." "Lama enggak?" "Uhm, papa nggak tau. Mudah-mudahan kerjaan di sana cepat beres jadi papa bisa segera pulang." Dari percakapan itu Revita bisa menyimpulkan jika Gavin akan pergi. Tapi ke mana? "Boston itu jauh, Pa?" Boston. Pria itu akan pergi ke Boston. Negara yang sama saat dulu Gav