Sikapnya benar-benar berubah 180 derajat. Seolah sikap ramah yang dia tunjukkan di Singapore waktu itu hanya topeng belaka. Revita bertanya-tanya, kenapa wanita angkuh seperti Melinda bisa memiliki anak sebaik Gavin? Revita membuang napas lelah. Di saat luka kehilangan ibu belum mengering. Sekarang muncul masalah lain. Sebenarnya ini bukan masalah baru. Dari awal memutuskan lagi menjalalani hubungan dengan Gavin, Revita tahu hal ini akan terjadi. Kebetulan saja kejadiannya di waktu yang tidak tepat. Seperti habis jatuh terimpa tangga. Yang menyebalkan, si Nyonya Besar mengocehkan hal-hal yang tidak jelas. Memanfaatkan anak dia bilang? "Maaf, Nyonya. Saya tidak pernah memanfaatkan anak saya untuk hal apa pun. Ucapan Nyonya berlebihan."Si Nyonya Besar tersenyum sinis. "Saya tahu kenapa kamu melahirkan dia alih-alih menggugurkan seperti permintaan saya dulu. Ternyata kamu memang sudah memiliki rencana besar seperti ini. Kamu mau masuk ke keluarga kami lewat cara kotor ini. Kamu pikir
Melihat tidak ada reaksi dari Revita, Gavin meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. Raut menyesal dia pasang dengan alami. Dengan dada yang penuh debar, sekali lagi dia memohon maaf pada Revita. "Aku terlalu syok dengan fakta itu. Maksudnya kenapa harus Mahesa. Takdir ini benar-benar lucu bukan?" Gavin mengembangkan senyum miris. "Mungkin jika orang itu bukan dia, aku nggak akan sampai begini. Harus merenungi dan berusaha menerima semuanya. Terlebih saat ini aku tahu ternyata dia juga masih menginginkan kamu. Aku benar-benar nggak terima, Re." Revita bergeming. Dia hanya menatap nanar tangannya yang Gavin genggam. Tidak ada yang salah dengan reaksi Gavin setelah tahu semunya. Jika di posisi pria itu, mungkin dirinya akan melalukan hal sama. Hanya saja, itu tetap membuat hati Revita terluka. Tergores saat Gavin mencurigainya. Saat orang yang dia cintai mematahkan rasa percayanya. "Aku jahat sama kamu, sama Reina. Aku merasa kembali gagal. Maafkan aku, Re. Aku sudah merenungi s
Revita meletakkan dua cangkir teh ke meja, setelah sebelumnya cuci muka dan menyibukkan diri membuat teh di dapur. Sebenarnya dia kesal mendapati situasi ini, melihat Gavin dan Mahesa bersamaan di rumahnya. Dari pakaian yang mereka kenakan, keduanya langsung datang ke rumah ini setelah pulang ngantor. "Makasih, Revita," ucap Mahesa seraya tersenyum. "Uhm, tadi aku sekalian beli donat buat kamu sama Nana. Mungkin kalian lapar jadi aku—" "Ma! Lihat deh!" seru Reina tiba-tiba dan langsung mengalihkan atensi Revita padanya. "Warnanya jadi bagus gini. Kayak nyata kan, Ma? Ini warna atas rekomendasi Om Gavin. Aku nggak tau kalau Om Gavin ternyata pandai memilih warna," ujar anak itu sambil memandang gambarnya dengan takjub. Di posisinya Revita sedikit mengernyit lalu melirik Gavin sejenak, dan beralih kepada Mahesa yang cuma bisa menghela napas. "Iya, bagus banget gambarnya, Na," sahut Revita, memaksakan sedikit senyum. Dia kembali menatap dua pria yang sekarang sudah duduk beriringan d
Tubuh Gavin bergeser mundur saat Revita mendorong dadanya menjauh. Namun, dengan cepat pula tangannya menggapai pinggang wanita itu hingga keduanya saling menempel kembali. Kesempatan itu Gavin gunakan untuk membungkam bibir Revita lagi. Bahkan kali ini sebelah tangan lain meraih tengkuk Revita, seolah mengunci pergerakan wanita itu. Gavin masih bisa merasakan perlawanan kekasihnya itu. Kekuatan yang tidak sebanding membuatnya dengan mudah mengusai wanita itu. Dia menggigit bibir bawah Revita, membuat bibir mungil itu refleks terbuka, dan kesempatan itu Gavin gunakan untuk mempedalam ciumannya. Tidak ada respons dari Revita. Wanita itu justru terus menunjukkan keenggana. Beberapa kali dia memukul dada Gavin saat merasa kehilangan asupan udara. "Kamu gila ya?!" serunya melotot, saat berhasil menjauhkan tubuh liat Gavin. Dia terlihat sangat jengkel dan mengusap bibirnya secara kasar dengan lengan. Persis anak kecil yang tidak mau dicium orang tuanya saat lagi ngambek. "Mau lagi?"
Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Tubuh Gavin bergeser mundur saat Revita mendorong dadanya menjauh. Namun, dengan cepat pula tangannya menggapai pinggang wanita itu hingga keduanya saling menempel kembali. Kesempatan itu Gavin gunakan untuk membungkam bibir Revita lagi. Bahkan kali ini sebelah tangan lain meraih tengkuk Revita, seolah mengunci pergerakan wanita itu. Gavin masih bisa merasakan perlawanan kekasihnya itu. Kekuatan yang tidak sebanding membuatnya dengan mudah mengusai wanita itu. Dia menggigit bibir bawah Revita, membuat bibir mungil itu refleks terbuka, dan kesempatan itu Gavin gunakan untuk mempedalam ciumannya. Tidak ada respons dari Revita. Wanita itu justru terus menunjukkan keenggana. Beberapa kali dia memukul dada Gavin saat merasa kehilangan asupan udara. "Kamu gila ya?!" serunya melotot, saat berhasil menjauhkan tubuh liat Gavin. Dia terlihat sangat jengkel dan mengusap bibirnya secara kasar dengan lengan. Persis anak kecil yang tidak mau dicium orang tuanya saat lagi ngambek. "Mau lagi?"
Revita meletakkan dua cangkir teh ke meja, setelah sebelumnya cuci muka dan menyibukkan diri membuat teh di dapur. Sebenarnya dia kesal mendapati situasi ini, melihat Gavin dan Mahesa bersamaan di rumahnya. Dari pakaian yang mereka kenakan, keduanya langsung datang ke rumah ini setelah pulang ngantor. "Makasih, Revita," ucap Mahesa seraya tersenyum. "Uhm, tadi aku sekalian beli donat buat kamu sama Nana. Mungkin kalian lapar jadi aku—" "Ma! Lihat deh!" seru Reina tiba-tiba dan langsung mengalihkan atensi Revita padanya. "Warnanya jadi bagus gini. Kayak nyata kan, Ma? Ini warna atas rekomendasi Om Gavin. Aku nggak tau kalau Om Gavin ternyata pandai memilih warna," ujar anak itu sambil memandang gambarnya dengan takjub. Di posisinya Revita sedikit mengernyit lalu melirik Gavin sejenak, dan beralih kepada Mahesa yang cuma bisa menghela napas. "Iya, bagus banget gambarnya, Na," sahut Revita, memaksakan sedikit senyum. Dia kembali menatap dua pria yang sekarang sudah duduk beriringan d
Melihat tidak ada reaksi dari Revita, Gavin meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. Raut menyesal dia pasang dengan alami. Dengan dada yang penuh debar, sekali lagi dia memohon maaf pada Revita. "Aku terlalu syok dengan fakta itu. Maksudnya kenapa harus Mahesa. Takdir ini benar-benar lucu bukan?" Gavin mengembangkan senyum miris. "Mungkin jika orang itu bukan dia, aku nggak akan sampai begini. Harus merenungi dan berusaha menerima semuanya. Terlebih saat ini aku tahu ternyata dia juga masih menginginkan kamu. Aku benar-benar nggak terima, Re." Revita bergeming. Dia hanya menatap nanar tangannya yang Gavin genggam. Tidak ada yang salah dengan reaksi Gavin setelah tahu semunya. Jika di posisi pria itu, mungkin dirinya akan melalukan hal sama. Hanya saja, itu tetap membuat hati Revita terluka. Tergores saat Gavin mencurigainya. Saat orang yang dia cintai mematahkan rasa percayanya. "Aku jahat sama kamu, sama Reina. Aku merasa kembali gagal. Maafkan aku, Re. Aku sudah merenungi s
Sikapnya benar-benar berubah 180 derajat. Seolah sikap ramah yang dia tunjukkan di Singapore waktu itu hanya topeng belaka. Revita bertanya-tanya, kenapa wanita angkuh seperti Melinda bisa memiliki anak sebaik Gavin? Revita membuang napas lelah. Di saat luka kehilangan ibu belum mengering. Sekarang muncul masalah lain. Sebenarnya ini bukan masalah baru. Dari awal memutuskan lagi menjalalani hubungan dengan Gavin, Revita tahu hal ini akan terjadi. Kebetulan saja kejadiannya di waktu yang tidak tepat. Seperti habis jatuh terimpa tangga. Yang menyebalkan, si Nyonya Besar mengocehkan hal-hal yang tidak jelas. Memanfaatkan anak dia bilang? "Maaf, Nyonya. Saya tidak pernah memanfaatkan anak saya untuk hal apa pun. Ucapan Nyonya berlebihan."Si Nyonya Besar tersenyum sinis. "Saya tahu kenapa kamu melahirkan dia alih-alih menggugurkan seperti permintaan saya dulu. Ternyata kamu memang sudah memiliki rencana besar seperti ini. Kamu mau masuk ke keluarga kami lewat cara kotor ini. Kamu pikir
Gavin paling tidak suka direpotkan orang mabuk. Tapi herannya dari dulu dia selalu menjadi driver teman-temannya yang hobi mabuk kalau sedang berkumpul. Dan sudah setahun belakangan dia pensiun jadi penjaga, tapi kali ini dia harus mengulang hal yang paling tidak disukai itu. Dia mendesah saat Talia malah tertidur. Orang mabuk benar-benar merepotkan. Dengan sangat terpaksa pria itu memapah Talia memasuki gedung apartemen wanita itu. Temannya cuma menginfokan nomor unit dan lantai tempat Talia tinggal. Gavin berpikir untuk meninggalkan wanita itu di depan pintu unit saja. Namun hati kecilnya merasa kasihan dan akhirnya membangunkan Talia untuk bisa memasuki unit. "Kamu sudah aman," ujar Gavin setelah mendudukkan Talia di sofa. "Makasih," ucap wanita itu dan langsung menjatuhkan diri ke sofa. "Aku haus. Bisa ambilkan minum?" Belum berakhir ternyata. Kembali Gavin menghela napas dan memenuhi keinginan wanita itu. Dan begitu Talia meneguk air putih yang Gavin berikan, keadaannya perl
Dari dalam mobil Gavin menyaksikan orang-orang yang tahlilah di rumah Revita satu per satu pulang. Ini sudah malam ketiga. Dan tiga kali pula setiap pulang kerja Gavin menyambangi rumah itu, meski tidak masuk ke dalamnya. Dia hanya akan berada di dalam mobil, memperhatikan serangkaian proses tahlil selesai, dan memastikan Revita dan Reina baik-baik saja. Biasanya dia akan pergi setelah melihat mereka dari kejauhan. Ya, hanya begitu sudah membuat hatinya tenang. Namun malam ketiga ini, dia beranikan diri keluar dari mobil, meski hanya berdiri bersandar pada badan mobil. Tanpa ingin bergerak masuk ke rumah itu, biarpun cuma di area halaman. Dia belum punya keberanian cukup untuk melakukan itu. Terlebih dia tidak ingin membuat gaduh di acara itu. Gavin mendesah sambil menunduk saat suasana depan rumah mulai sepi. Dua orang yang membantu Revita terlihat sedang membereskan sisa acara tahlilan. Dua orang yang sengaja dia kirim lewat perantara Ferdy. Dan ketika tanpa sengaja kepalanya tera
Hidung kecil itu memerah selaras dengan wajah putihnya yang bersemu marah. Mata cokelat dengan kelopak yang agak membengkak akibat terus menangis, serta selendang putih yang mengalung di lehernya tidak mengurangi kadar kecantikan gadis kecil itu. "Om Gavin jahat," ucap Reina sekali lagi, membuat Gavin di depannya merasa menjadi manusia paling kejam sedunia. "Kenapa Om nggak nemui mama? Aku dan Mama sedih, nenek meninggal." "Nana...." Kaki Gavin bergerak mendekat. Wajahnya tampak sendu, ikut merasakan kesedihan putri kecilnya. Dia berdiri dengan lututnya saat sampai di depan Reina. Tangannya terangkat melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. "Nana, maafin Om," ucap Gavin kemudian. "Maaf, Om nggak ada saat kalian sedih begini." Penyesalan itu kembali menghantam. "Kenapa Om baiknya cuma sebentar?" Air mata Reina kembali membanjiri pipinya. "Apa aku sama Mama udah ngecewain Om Gavin?" Dengan ujung selendangnya, Reina menyeka air mata yang terus bercucuran. Bahkan napasnya t
Suara orang mengaji masih bisa Revita dengar sayup-sayup, dikalahkan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Wanita itu masih duduk terpekur dengan Reina yang terus menangis sesenggukan di atas pangkuannya, menemani jasad yang terbujur kaku di depan mereka. Ini bagaikan mimpi buruk. Tidak terlintas dalam benak Revita ibunya akan meninggalkannya seperti ini. Semalam dia masih yakin Ayun hanya terjatuh di kamar mandi dan akan baik-baik saja. Bahkan saat membawanya ke rumah sakit dengan taksi yang dia pesan, Revita masih merasakan genggaman tangan sang ibu. Namun, keadaan dengan cepat berbalik ketika Ayun mendapat tindakan medis dan tak berapa lama dokter mengatakan bahwa pasien sudah mengembuskan napas terakhir saat masih dalam perjalanan. Meski rasanya tidak percaya karena kejadiannya begitu tiba-tiba, Revita berusaha menerima kenyataan. Tuhan lebih sayang ibunya. Tidak akan ada lagi seseorang yang mengeluhkan betapa banyak obat yang harus diminum. Tuhan langsung mengangkat sa
Reina tertegun di tempat saat melihat Revita duduk di tepi ranjang sambil mengusap air mata. Dia yang berencana menunjukkan hasil gambarnya urung melihat kesedihan di wajah sang ibu. Gadis kecil itu menggigit bibir, dan memutuskan mendekat setelah menimbang-nimbang. "Mama kenapa?" Revita terkesiap, dan kontan mengusap pipinya yang basah. Dia buru-buru mengubah ekspresi dan menatap Reina sembari tersenyum. "Hei, kamu kok belum tidur?" Perlahan Reina duduk di sebelah Revita, mata cokelatnya terus mengamati raut sang ibu. "Om Gavin nyakitin Mama?" tanyanya hati-hati. "Hah? E-enggak kok," elak Revita menggeleng. Bibirnya masih terus berusaha melengkung. Namun itu jelas tidak bisa Reina percaya begitu saja. Meskipun masih kecil, dia tidak mudah dibohongi. Gadis kecil itu mendesah, tatapnya melirik ke tablet yang dia bawa. "Kupikir Om Gavin benar-benar suka sama Mama dan nggak akan nyakitin Mama. Kalau tahu dia bikin mama sedih begini, aku nggak akan pernah kasih izin dia buat deketin