Mendengar itu, Bian lalu menghardiknya, "Dasar gila!" Wajah Veronica seketika berubah cemberut. Masayu lalu berkata lembut pada Gita, "Gimana kalau Gita yang tidur di kamar Bunda? Kamar Bunda ada bonekanya, loh." "Tapi bareng sama Papa," celetuk Gita. Genta yang mendengarnya tidak mau kalah. "Genta yang sama Papa. Kamu sama Bunda aja sana!""Nggak mau! Gita mau sama Bunda, sama Papa juga!" Bian makin bingung dibuatnya. Dia pun mencoba melerai, "Ya, sudah, kalau kalian tidak ada yang mau mengalah, mending tidur aja sana di kamar Bi Ijah!""Nggak mau ...!" Kedua anaknya menjawab kompak. Malam telah larut, sebagian penerangan di beberapa ruangan sudah dimatikan. Masayu menghentikan senandungnya ketika dilihatnya Gita telah terlelap. Sembari berbaring miring, dia mengusap lembut rambut hitam anak itu dengan penuh kasih sayang.Setelah dibujuk dengan mengerahkan segala rayuan maut, akhirnya kedua anak-anaknya mau diajak damai. Dengan catatan, hari ini jadwal tidur Gita bersama Masayu
Masayu benar-benar syok! Entah problem yang mana dulu yang harus dia pikirkan, nyatanya kedua hal itu saling bertabrakan di kepalanya hingga dia merasa kepalanya sangat sakit."Bian." Dia menggumamkan nama itu berulang-ulang. Rasanya hampir tidak percaya. Dendam apa yang membuat lelaki itu sehingga dia tega berbuat demikian terhadap istrinya sendiri? Rasa-rasanya Masayu tidak pernah berbuat salah padanya. Logikanya mendadak bekerja. Jangan-jangan Bian bersedia menikahinya hanya karena ingin melancarkan aksi balas dendamnya saja.Saking tidak kuat lagi berpikir, Masayu akhirnya menangis sepanjang jalan. Tidak peduli tatapan orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya. Gita yang menggandeng tangannya berkali-kali menatap bingung ibu sambungnya. Saat ini anak-anaknya mengajak pergi ke toko buku. Karena tempatnya berada tidak jauh dari rumah, Masayu mengajak mereka berjalan kaki menuju ke sana. Berharap kesedihannya bisa hilang terbawa angin, justru sepanjang jalan dia malah menangis te
Dengan menempuh perjalanan selama satu jam Masayu akhirnya tiba di rumah tuanya. Rumah yang penuh dengan kenangan manis itu kini sudah tampak sangat usang. Hal tersebut sangat wajar karena semenjak peristiwa naas itu terjadi, Masayu memilih untuk keluar dari rumahnya lantaran merasa sangat trauma. Sekarang dia kembali lagi ke sini setelah bertahun-tahun dia tinggalkan.Selain usang, debu di mana-mana, dan sarang laba-laba yang menggantung di sana-sini, tidak ada yang berubah dari rumah ini. Semua perabotan serta tata letaknya masih sama seperti ketika dia meninggalkannya dulu. Ada perasaan terenyuh ketika kakinya melangkah ke dalam. Semua kenangan di rumah ini seketika melintas satu per satu di atas kepalanya.Sejurus kemudian, dia jatuh terduduk, kemudian pecahlah tangisnya. "Ibu ...," gumamnya. Di atas buffet tua yang terbuat dari kayu jati itu masih berdiri sebuah bingkai foto dirinya bersama sang ibu. Perlahan, dia meraih bingkai itu lalu mengusap permukaannya dari debu yang m
Masayu bimbang, tidak mungkin dia meminta tolong pada Bian terkait ayahnya. Selain sedang berseteru, Bian juga tahu tentang skandal pembunuhan ayahnya. Bisa-bisa dia melapor ke polisi dan mengatakan kalau ayahnya ada di sini."Nggak ... nggak mungkin, Yah. Nggak mungkin Ayu minta tolong sama Bang Bian. Lebih baik Ayah urus diri sendiri saja. Ayu nggak berani bertindak lebih lanjut karena Ayah buronan. Bisa-bisa Ayu ikut terseret ke dalam penjara!" Masayu lalu berbalik badan dan akan pergi. Namun ayahnya berteriak memanggilnya. "Ayu, tunggu! Apa kamu bilang tadi? Bian? Bian anaknya Baswara itu? Jadi, kamu menikah sama dia?"Masayu kembali menghadap ayahnya. "Iya, Yah. Ayu menikah sama dia."Marwan tampak berpikir keras. Hal itu nampak dari keningnya yang berkerut dalam. "Kenapa bisa? Ayu, kenapa bisa kamu menikah sama dia??!" Masayu agak terkejut mendengar nada bicara ayahnya yang meninggi. Kali ini gantian Masayu yang mengerutkan dahinya, kemudian bertanya heran pada Marwan, "Kenapa
Masayu tidak memungkiri jika dia sangat membenci ayahnya. Namun, apabila ayahnya diperlakukan secara kasar di depan matanya, Masayu jelas tidak terima."Kenapa Abang pukul Ayah? Kenapa? Apa salah Ayah?" Masayu berteriak memukul-mukul dada suaminya. Bian dengan santai menangkap kedua pergelangan tangan Masayu dan berkata, "Ayahmu memang harus dilumpuhkan untuk sementara. Kebanyakan bicara membuat luka tembak ayahmu akan semakin parah, bisa-bisa dia kehilangan banyak darah." Mendengar penjelasan Bian, Masayu berangsur-angsur mulai tenang. "Lalu selanjutnya bagaimana?" tanya Masayu setelah dia melepaskan diri dari Bian. "Kembalikan saja ayahmu ke penjara!" sahut Bian cuek.Masayu membeliak marah. "Bukannya tadi kita udah sepakat?" Bian kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu berkata setelah sejenak dia menarik napas, "Sebenarnya agak susah. Tapi biar kucoba."Masayu berjongkok mendekati ayahnya ketika Bian berjalan menjauh untuk menelepon seseorang. Ekspresi wajahnya datar tatkala dia
Sebelum mereka sempat melakukan aksinya, Bian sudah lebih dulu menahan tangan mereka dan memelintirnya. Suasana tampak tegang karena terjadi adu otot. Membuat Masayu menjerit berulang kali. Dengan segala kemampuannya, Bian akhirnya mampu melumpuhkan orang itu satu per satu. "Abang, cukup, Bang. Tolong hentikan ...!" pekik Masayu ketika melihat para warga yang sudah jatuh terkapar."Kamu tahan tinggal di lingkungan primitif seperti ini?? Ayo, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Dasar gil4 mereka semua!!" umpat Bian seraya mengatur napasnya yang tampak ngos-ngosan. Mengeluarkan tenaga dan emosi secara bersamaan memang bukan hal yang mudah. Masayu yang pergelangan tangannya telah ditarik oleh suaminya cepat-cepat menyahut dengan berbisik, " Nggak mungkin Ayu ninggalin Ayah sendirian di sini, Bang." Sorot mata Masayu menatap suaminya dalam-dalam, seolah minta untuk dimengerti."Tapi bagaimana kalau nanti mereka berbuat macam-macam padamu? Apa perlu aku lapor polisi?"Bergegas Masayu m
Bian dengan telaten merawat luka bakar Masayu. Kulitnya yang putih kini tampak memerah, mungkin sebentar lagi akan melepuh. Bian lalu membalut punggung tangan Masayu menggunakan perban. "Masih sakit?" tanyanya.Masayu mengangguk dan menatap wajah Bian. Berharap pria itu mau mengucapkan sepatah kata maaf untuknya. Namun, yang tejadi malah, "Kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali tidak. Jangan mengerjaiku seperti itu. Aku nggak suka!" tegas Bian sambil sekilas melirik Masayu. Mendapati Masayu tengah menatapnya begitu lama, mau tak mau Bian pun membalas tatapan teduh itu. "Ada apa??" tanya Bian kemudian.Masayu sontak tergeragap dan spontan bertanya, "Abang nggak minta maaf sama Ayu?""Maaf untuk apa??" Masayu memasang raut wajah kecewa. Rupanya, saking terlenanya menikmati wajah tampan di depannya, dia sampai tidak menyimak perkataan Bian. Pada akhirnya, Masayu menilai Bian adalah pria kaku yang tidak mempunyai rasa empati. Perlakuan Bian kepadanya barusan merupakan hal yang wajar
Sesampainya di halaman rumah, Bian langsung keluar dari mobil dan lagi-lagi menutup pintunya dengan kasar. Masayu yang sabar hanya menghela napas panjang, kemudian turun dengan anggun dari mobil. Namun anehnya, rumah dalam keadaan sepi saat dia masuk. Seolah-olah, kondisi rumah yang sepi memang khusus diciptakan untuk mereka berdua.Masayu lalu pergi ke dapur. Di sana hanya ada Bian yang terlihat sedang minum sembari menatap tajam ke arahnya. Karena takut, Masayu pun membalikkan badannya menuju ke lantai atas. Siapa sangka Bian justru mengejarnya. Masayu yang tersadar seketika itu juga mempercepat langkahnya. Sesaat kemudian, terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya di atas loteng. Masayu berhasil masuk ke kamarnya, tetapi tidak berhasil menutup pintunya lantaran Bian dengan cepat menahannya. Keduanya kini saling mendorong pintu."Abang mau ngapain?" Masayu bertanya dengan panik. Matanya mencari-cari sesuatu agar bisa menahan pintu tersebut. Namun dia tidak mendapatkannya. Ada pun