Masayu menatap nanar wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah tampan itu tidak lagi pucat. Hanya saja perkataan Nenek Rose masih terus terngiang di telinganya. Ia pun menarik napas dan mulai membatin. Sebenarnya peristiwa kelam apa yang pernah dialami pria ini? Saat pikirannya sedang berkecamuk, mendadak ponselnya berbunyi. Dia menatap layar dan melihat deretan nomor baru yang bergerak-gerak. Tanpa merasa ragu, Masayu pun mengangkatnya. "Halo ....""Ayu ... tolong Ayah, Yu. Ayah sekarang ada di sel." Suara sang Ayah terdengar meratap. Masayu tercengang. Namun, itu hanya sesaat. Sebab dia sendiri sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Cepat atau lambat, polisi pasti akan menemukan Marwan kembali. "Pasti Bian si*lan itu yang udah mengadu ke polisi!" maki ayahnya. Hati Masayu sontak merasa panas. Dia segera menyingkir dari tempat itu dan berdiri di balkon. Kemudian membantah ucapan ayahnya, "Apa maksud Ayah? Jangan sembarangan menuduh. Bang Bian nggak mungkin seperti itu. Dia
“A-abang!”Masayu hampir jatuh kalau saja sepasang tangan kokoh tidak cepat meraih pinggang rampingnya. Hanya perlu beberapa detik bagi mereka saling menatap secara intens dengan posisi yang begitu intim ini. Glek!Terdengar suara saliva yang ditelan berasal dari si pria. Masayu tersadar, pakaian ‘dinas’ yang ia persiapkan untuk menyambut kepulangan sang suami membuat posisi mereka semakin intim. Ia pun buru-buru melepaskan diri dengan sangat gugup.“M-maaf, Bang.”Gadis itu berdiri salah tingkah. Kemudian menunduk. Tangannya yang gemetar lalu mengusap pipinya yang kini bagaikan tomat.Demi kenyamanannya, Masayu berniat meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah lengan kokoh yang terjulur di ambang pintu lagi-lagi menghadang langkahnya."Mau ke mana?" Seperti biasa, suaranya terdengar begitu dingin dan datar, meski sebagai istri, Masayu selalu menawarkan kehangatan padanya."Mau ... mau ke kamar Ayu, Bang," sahutnya gagap.Gadis itu berani bersumpah, sejak dulu dirinya selalu takut mena
Saat Bian tengah bolak-balik dengan hanya bokser seksi yang membalutnya, pandangan Masayu yang mengedar seketika membulat."Astaga!" pekiknya seraya melompat dari tempat tidur.Ini bukan kamarnya, melainkan kamar Bian.‘Jangan bilang kalau yang semalam itu bukan mimpi?!’ Dengan panik, Masayu bergegas memeriksa area ranjang yang diselimuti seprai putih di atasnya itu. Pandangannya meneliti mencari-cari sesuatu. Tak ada apa-apa, bersih tanpa noda sedikit pun."Apa perlu kupinjami kaca mataku supaya nampak jelas apa yang sedang kamu cari?"Masayu terperanjat ketika tau-tau Bian sudah berdiri di sebelahnya."Ah, nggak perlu, Bang. Makasih," sahutnya seraya tersenyum singkat. Ia kembali menggigit bibir memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Mengapa dirinya bisa sampai tertidur di kamar Bian?"Apa yang kamu cari?" tanya Bian dengan sorot menelisik pada gadis di hadapannya itu. Saat ini pria itu sudah berpakaian lengkap. Terlihat tampan dan berwibawa dengan jas mahal di tubuhn
"Bian, stop! Jangan mengungkit itu lagi. Jangan berdebat di sini, tidak baik kalau dilihat anak-anak!" Lagi-lagi Bian mendengkus, lalu menyeruput kopinya. "Terserah Mama sajalah," jawabnya sedikit jengah.Kini, Herlina yang terdengar menghela napas panjang."Sudah waktunya pernikahan kalian diketahui oleh publik, Bian. Jangan sampai mereka terus menganggapmu duda. Sementara kami di rumah selalu menyaksikan acara gosip di TV mengenai kedekatanmu dengan beberapa gadis.""Itu kan cuma gosip." Bian menanggapi santai pernyataan ibunya."Memang betul itu cuma gosip. Tapi kamu harus tau kalau yang namanya gosip itu makin digosok makin sip. Nantinya akan berdampak pada perusahaan kita, Bian. Pada karir kamu tentunya. Dan terutama istri kamu di rumah. Pikirkan perasaannya!" balas Herlina tegas."Iya, Ma. Iya," jawab Bian tak ingin memperpanjang. Herlina tersenyum mendengar putranya kemudian mengalah. Tak berselang lama, perhatian mereka teralihkan dengan suara langkah kaki yang datangnya da
Masayu kembali ke ruang makan dengan penampilan yang membuat mertuanya semringah.Baju atasan cukup ketat berwarna krem dengan belahan dada yang cukup rendah, dipadu rok plisket pendek berwarna hitam membuatnya tampak elegan dan seksi. "Sudah sakit masih sempat-sempatnya berdandan."Sayang, gumaman Bian itu tidak terdengar oleh Masayu karena pria itu buru-buru melangkah ketika melihat ia menghampiri sang mertua."Bang, sebentar." Tiba-tiba, Masayu menahan langkah pria itu."Apalagi?" tanya Bian dingin.Masayu bergegas menghampirinya. Kemudian mengeluarkan sebuah sisir dari dalam tasnya."Rambut Abang berantakan. Ayu ijin nyisirin, ya?" Ayu memberanikan diri menawarkan, meski rasanya segan."Hmm ... boleh!" jawab Bian datar, terkesan kaku, persis seperti badannya yang serta merta kaku layaknya robot. Hal itu menjadi teramat lucu di mata Herlina. Menyebabkan wanita paruh baya itu tersenyum geli karenanya.Masayu lantas berjinjit dan mulai menyisiri rambut hitam legam milik suaminya. S
"Lambat sekali jalanmu!" Bian melotot.Masayu lantas menggigit bibir. "Abang yang terlalu cepat. Perut Ayu sakit," ujarnya sambil memegangi perutnya.Bian bahkan lupa kalau dia membawa gadis itu kemari lantaran sakitnya. Ia yang semula ingin marah mendadak mengurungkan niatnya. "Ya, Aku lupa, Maaf," ucapnya datar. "Ayo!" Ia lantas menggenggam jemari Masayu, kemudian menariknya agar jalannya beriringan. Bukannya melangkah, Masayu malah terpaku di tempatnya. Ia tertegun menatap jemarinya yang tengah digenggam pria itu."Ayo! Tunggu apa lagi!" Bian kembali menarik tangan gadis itu. Sorot matanya menatap Masayu serius. "Ayu ... jalan sendiri aja, Bang." Masayu berencana menarik tangannya, tapi Bian malah makin mempererat genggamannya. Hingga kemudian Masayu mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari pria itu. Dan akhirnya, sepanjang jalan menyusuri koridor panjang, Masayu tidak berani mengangkat wajahnya.Masayu lagi-lagi melongo ketika pria itu membawanya masuk begitu saja ke ruang
Lelaki itu menyemburkan tawanya."Arjuna! Mau apa kamu? Sedang apa kamu di sini?!" tanya Masayu ketika orang itu melepaskan bekapan pada mulutnya. Tidak salah lagi, berarti orang yang menabrak mobil Bian tadi memang Arjuna. Masayu menatap curiga, apa jangan-jangan Arjuna sengaja membuntutinya?"Aku yang harusnya nanya, ngapain kamu di sini? Wajahmu agak pucat. Kamu sedang sakit?" Arjuna bermaksud menyentuh pipi gadis itu, tetapi segera ditepis oleh Masayu. "Ck! Payah! Kamu sudah banyak berubah!" sungut Arjuna."Aku nggak punya banyak waktu meladeni kamu. Maaf, aku harus pergi sekarang!" Masayu lantas mengayun langkah.Akan tetapi, sebuah cekalan di lengan seketika membuat langkahnya terhenti. Arjuna kembali mendorong tubuh gadis itu dan menghimpitnya di dinding."Juna! Mau apa kamu, lepas!" Masayu meronta dengan posisi kedua tangan yang dicengkeram ke atas. "Kamu banyak berubah, Yu. Kamu lupa siapa aku? Kamu lupa dulu kita seperti apa?" Arjuna membentak. Masayu tersenyum sinis. "A
Di dalam kamar, tepatnya di atas bantal Masayu menumpahkan tangisnya. Terlampau porak-poranda hatinya sampai-sampai saat ibu mertuanya bertanya padanya sepulangnya ia dari rumah sakit tadi hanya mampu dijawabnya dengan anggukan saja. Tiba-tiba pintu kamarnya didorong dari luar. Ternyata Gita. Seperti biasa bocah kecil itu masuk dengan membawa selembar kertas bergambar di tangannya. Cepat-cepat Masayu mengusap air matanya."Bunda ...." "Iya, Sayang. Sini." Masayu mendudukkan Gita di pangkuannya, lantas melongok pada kertas yang dibawa oleh anak sambungnya itu. "Gita gambar apa?""Gambar Papa, Gita, Bang Genta, sama Bunda," sahut Gita menunjukkan hasil gambarnya."Wah, bagus sekali gambarnya. Anak pinter." "Bunda tadi nangis? Bunda lagi sedih, ya?" tanya Gita tiba-tiba. Anak itu memang kritis.Masayu mengelap lagi sisa air mata di pipinya, kemudian memaksa bibirnya untuk tersenyum."Nggak, kok, Sayang. Bunda kelilipan tadi.""Sini, Gita embusin biar nggak kelilipan lagi." Gita berdir
Masayu menatap nanar wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah tampan itu tidak lagi pucat. Hanya saja perkataan Nenek Rose masih terus terngiang di telinganya. Ia pun menarik napas dan mulai membatin. Sebenarnya peristiwa kelam apa yang pernah dialami pria ini? Saat pikirannya sedang berkecamuk, mendadak ponselnya berbunyi. Dia menatap layar dan melihat deretan nomor baru yang bergerak-gerak. Tanpa merasa ragu, Masayu pun mengangkatnya. "Halo ....""Ayu ... tolong Ayah, Yu. Ayah sekarang ada di sel." Suara sang Ayah terdengar meratap. Masayu tercengang. Namun, itu hanya sesaat. Sebab dia sendiri sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Cepat atau lambat, polisi pasti akan menemukan Marwan kembali. "Pasti Bian si*lan itu yang udah mengadu ke polisi!" maki ayahnya. Hati Masayu sontak merasa panas. Dia segera menyingkir dari tempat itu dan berdiri di balkon. Kemudian membantah ucapan ayahnya, "Apa maksud Ayah? Jangan sembarangan menuduh. Bang Bian nggak mungkin seperti itu. Dia
Masayu sedang dalam kondisi banjir peluh ketika mobil yang ditumpangi ibu mertuanya memasuki halaman rumah. Dia bergegas meletakkan gagang pel dan berjalan untuk membukakan pintu. Saat ini, tenaganya bahkan telah terkuras habis untuk membuka pintu yang ukurannya bak raksasa tersebut."Masayu??!" Herlina tampak terkejut saat melihat Masayu yang baru saja melebarkan pintu dengan wajah tampak lemah, letih, dan lesu akibat kelelahan."Kamu mengerjakan ini semua?!" tanya Herlina lagi. Masayu mengangguk tak berdaya. "Di mana Nenek?" Herlina melangkah ke dalam. "Nenek lagi di lantai atas, Ma." "Kenapa nggak telepon jasa cleaning service aja? Bisa bengek kamu bersihin rumah ini sendirian, Masayu," tegur Herlina."Nenek melarang, Ma. Katanya ini memang tugas seorang wanita. Nggak apa-apa, Ma, Masayu masih sanggup, kok."Herlina geleng-geleng kepala dan berjalan menuju ke lantai atas. Masayu melanjutkan pekerjaannya. Tidak berapa lama, dari lantai atas terdengar suara perdebatan. Makin l
"Astaga, astaga, astaga ...! Anak muda jaman sekarang kalau bercinta memang tidak tau tempat, ya!" Keduanya sama-sama terperanjat. Bian buru-buru membetulkan resleting celananya yang terlanjur sesak. Sementara Masayu dengan gugup merapikan blusnya yang acak-acakan lalu segera turun dari meja.Di hadapannya kini berdiri seorang nenek-nenek berwajah bule sambil membawa tongkat, tetapi nampak berwibawa. Nenek tersebut terlihat menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nenek ...!" Bian berseru. Kemudian dia berkata kepada Masayu yang masih harus memasangkan beberapa kancing blusnya, "Masayu, dia nenekku. Ayo, kenalan dulu ...!" Masayu tersenyum gugup, lalu berjalan mendekati sang nenek. "Bian ... ini siapa? Perempuan mana lagi yang kamu permainkan? Memanganya kamu belum puas nakalnya? Bian ... itu nggak baik, kamu jangan seperti itu, ya ...?" Nenek sangat ketus berbicara seraya melirik sekilas ke arah dada Masayu yang belum sepenuhnya tertutup. "Nek ... saya Masayu, istrinya Bang Bian
"Jangan lupa kalau aku sudah menolong ayahmu. Aku juga membuat jalannya menjadi mulus. Jadi, kalau kamu keberatan melakukannya, anggap saja ini sebagai sebuah imbalan atas apa yang sudah kulakukan," ucap Bian dengan suara hampir berbisik, tetapi terdengar tajam di telinga Masayu. Di tengah kesulitannya dalam bergerak, Masayu sontak menelan ludah. "T-tapi, Bang ... Ayu masih menstruasi ...." Masayu tergagap sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya bergerak-gerak memerhatikan raut wajah Bian di atasnya. Dan benar saja, wajah yang tadinya bersemangat itu, sebentar saja telah berubah menjadi kecewa. "Kenapa nggak bilang dari tadi?!" tanya Bian dengan nada kecewa. Setelah itu dia bangkit dari tubuh Masayu. Wanita itu hanya diam saja sembari merapikan pakaiannya yang tampak awut-awutan. "Kira-kira kapan selesainya?" Bian bertanya lagi. "Mungkin dua hari lagi," jawab Masayu. Bian lantas beranjak dari ranjang dan akan keluar kamar. Namun, baru dua langkah, tiba-tiba saja dia kembali l
Sesampainya di halaman rumah, Bian langsung keluar dari mobil dan lagi-lagi menutup pintunya dengan kasar. Masayu yang sabar hanya menghela napas panjang, kemudian turun dengan anggun dari mobil. Namun anehnya, rumah dalam keadaan sepi saat dia masuk. Seolah-olah, kondisi rumah yang sepi memang khusus diciptakan untuk mereka berdua.Masayu lalu pergi ke dapur. Di sana hanya ada Bian yang terlihat sedang minum sembari menatap tajam ke arahnya. Karena takut, Masayu pun membalikkan badannya menuju ke lantai atas. Siapa sangka Bian justru mengejarnya. Masayu yang tersadar seketika itu juga mempercepat langkahnya. Sesaat kemudian, terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya di atas loteng. Masayu berhasil masuk ke kamarnya, tetapi tidak berhasil menutup pintunya lantaran Bian dengan cepat menahannya. Keduanya kini saling mendorong pintu."Abang mau ngapain?" Masayu bertanya dengan panik. Matanya mencari-cari sesuatu agar bisa menahan pintu tersebut. Namun dia tidak mendapatkannya. Ada pun
Bian dengan telaten merawat luka bakar Masayu. Kulitnya yang putih kini tampak memerah, mungkin sebentar lagi akan melepuh. Bian lalu membalut punggung tangan Masayu menggunakan perban. "Masih sakit?" tanyanya.Masayu mengangguk dan menatap wajah Bian. Berharap pria itu mau mengucapkan sepatah kata maaf untuknya. Namun, yang tejadi malah, "Kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali tidak. Jangan mengerjaiku seperti itu. Aku nggak suka!" tegas Bian sambil sekilas melirik Masayu. Mendapati Masayu tengah menatapnya begitu lama, mau tak mau Bian pun membalas tatapan teduh itu. "Ada apa??" tanya Bian kemudian.Masayu sontak tergeragap dan spontan bertanya, "Abang nggak minta maaf sama Ayu?""Maaf untuk apa??" Masayu memasang raut wajah kecewa. Rupanya, saking terlenanya menikmati wajah tampan di depannya, dia sampai tidak menyimak perkataan Bian. Pada akhirnya, Masayu menilai Bian adalah pria kaku yang tidak mempunyai rasa empati. Perlakuan Bian kepadanya barusan merupakan hal yang wajar
Sebelum mereka sempat melakukan aksinya, Bian sudah lebih dulu menahan tangan mereka dan memelintirnya. Suasana tampak tegang karena terjadi adu otot. Membuat Masayu menjerit berulang kali. Dengan segala kemampuannya, Bian akhirnya mampu melumpuhkan orang itu satu per satu. "Abang, cukup, Bang. Tolong hentikan ...!" pekik Masayu ketika melihat para warga yang sudah jatuh terkapar."Kamu tahan tinggal di lingkungan primitif seperti ini?? Ayo, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Dasar gil4 mereka semua!!" umpat Bian seraya mengatur napasnya yang tampak ngos-ngosan. Mengeluarkan tenaga dan emosi secara bersamaan memang bukan hal yang mudah. Masayu yang pergelangan tangannya telah ditarik oleh suaminya cepat-cepat menyahut dengan berbisik, " Nggak mungkin Ayu ninggalin Ayah sendirian di sini, Bang." Sorot mata Masayu menatap suaminya dalam-dalam, seolah minta untuk dimengerti."Tapi bagaimana kalau nanti mereka berbuat macam-macam padamu? Apa perlu aku lapor polisi?"Bergegas Masayu m
Masayu tidak memungkiri jika dia sangat membenci ayahnya. Namun, apabila ayahnya diperlakukan secara kasar di depan matanya, Masayu jelas tidak terima."Kenapa Abang pukul Ayah? Kenapa? Apa salah Ayah?" Masayu berteriak memukul-mukul dada suaminya. Bian dengan santai menangkap kedua pergelangan tangan Masayu dan berkata, "Ayahmu memang harus dilumpuhkan untuk sementara. Kebanyakan bicara membuat luka tembak ayahmu akan semakin parah, bisa-bisa dia kehilangan banyak darah." Mendengar penjelasan Bian, Masayu berangsur-angsur mulai tenang. "Lalu selanjutnya bagaimana?" tanya Masayu setelah dia melepaskan diri dari Bian. "Kembalikan saja ayahmu ke penjara!" sahut Bian cuek.Masayu membeliak marah. "Bukannya tadi kita udah sepakat?" Bian kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu berkata setelah sejenak dia menarik napas, "Sebenarnya agak susah. Tapi biar kucoba."Masayu berjongkok mendekati ayahnya ketika Bian berjalan menjauh untuk menelepon seseorang. Ekspresi wajahnya datar tatkala dia
Masayu bimbang, tidak mungkin dia meminta tolong pada Bian terkait ayahnya. Selain sedang berseteru, Bian juga tahu tentang skandal pembunuhan ayahnya. Bisa-bisa dia melapor ke polisi dan mengatakan kalau ayahnya ada di sini."Nggak ... nggak mungkin, Yah. Nggak mungkin Ayu minta tolong sama Bang Bian. Lebih baik Ayah urus diri sendiri saja. Ayu nggak berani bertindak lebih lanjut karena Ayah buronan. Bisa-bisa Ayu ikut terseret ke dalam penjara!" Masayu lalu berbalik badan dan akan pergi. Namun ayahnya berteriak memanggilnya. "Ayu, tunggu! Apa kamu bilang tadi? Bian? Bian anaknya Baswara itu? Jadi, kamu menikah sama dia?"Masayu kembali menghadap ayahnya. "Iya, Yah. Ayu menikah sama dia."Marwan tampak berpikir keras. Hal itu nampak dari keningnya yang berkerut dalam. "Kenapa bisa? Ayu, kenapa bisa kamu menikah sama dia??!" Masayu agak terkejut mendengar nada bicara ayahnya yang meninggi. Kali ini gantian Masayu yang mengerutkan dahinya, kemudian bertanya heran pada Marwan, "Kenapa