“A-abang!”Masayu hampir jatuh kalau saja sepasang tangan kokoh tidak cepat meraih pinggang rampingnya. Hanya perlu beberapa detik bagi mereka saling menatap secara intens dengan posisi yang begitu intim ini. Glek!Terdengar suara saliva yang ditelan berasal dari si pria. Masayu tersadar, pakaian ‘dinas’ yang ia persiapkan untuk menyambut kepulangan sang suami membuat posisi mereka semakin intim. Ia pun buru-buru melepaskan diri dengan sangat gugup.“M-maaf, Bang.”Gadis itu berdiri salah tingkah. Kemudian menunduk. Tangannya yang gemetar lalu mengusap pipinya yang kini bagaikan tomat.Demi kenyamanannya, Masayu berniat meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah lengan kokoh yang terjulur di ambang pintu lagi-lagi menghadang langkahnya."Mau ke mana?" Seperti biasa, suaranya terdengar begitu dingin dan datar, meski sebagai istri, Masayu selalu menawarkan kehangatan padanya."Mau ... mau ke kamar Ayu, Bang," sahutnya gagap.Gadis itu berani bersumpah, sejak dulu dirinya selalu takut mena
Saat Bian tengah bolak-balik dengan hanya bokser seksi yang membalutnya, pandangan Masayu yang mengedar seketika membulat."Astaga!" pekiknya seraya melompat dari tempat tidur.Ini bukan kamarnya, melainkan kamar Bian.‘Jangan bilang kalau yang semalam itu bukan mimpi?!’ Dengan panik, Masayu bergegas memeriksa area ranjang yang diselimuti seprai putih di atasnya itu. Pandangannya meneliti mencari-cari sesuatu. Tak ada apa-apa, bersih tanpa noda sedikit pun."Apa perlu kupinjami kaca mataku supaya nampak jelas apa yang sedang kamu cari?"Masayu terperanjat ketika tau-tau Bian sudah berdiri di sebelahnya."Ah, nggak perlu, Bang. Makasih," sahutnya seraya tersenyum singkat. Ia kembali menggigit bibir memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Mengapa dirinya bisa sampai tertidur di kamar Bian?"Apa yang kamu cari?" tanya Bian dengan sorot menelisik pada gadis di hadapannya itu. Saat ini pria itu sudah berpakaian lengkap. Terlihat tampan dan berwibawa dengan jas mahal di tubuhn
"Bian, stop! Jangan mengungkit itu lagi. Jangan berdebat di sini, tidak baik kalau dilihat anak-anak!" Lagi-lagi Bian mendengkus, lalu menyeruput kopinya. "Terserah Mama sajalah," jawabnya sedikit jengah.Kini, Herlina yang terdengar menghela napas panjang."Sudah waktunya pernikahan kalian diketahui oleh publik, Bian. Jangan sampai mereka terus menganggapmu duda. Sementara kami di rumah selalu menyaksikan acara gosip di TV mengenai kedekatanmu dengan beberapa gadis.""Itu kan cuma gosip." Bian menanggapi santai pernyataan ibunya."Memang betul itu cuma gosip. Tapi kamu harus tau kalau yang namanya gosip itu makin digosok makin sip. Nantinya akan berdampak pada perusahaan kita, Bian. Pada karir kamu tentunya. Dan terutama istri kamu di rumah. Pikirkan perasaannya!" balas Herlina tegas."Iya, Ma. Iya," jawab Bian tak ingin memperpanjang. Herlina tersenyum mendengar putranya kemudian mengalah. Tak berselang lama, perhatian mereka teralihkan dengan suara langkah kaki yang datangnya da
Masayu kembali ke ruang makan dengan penampilan yang membuat mertuanya semringah.Baju atasan cukup ketat berwarna krem dengan belahan dada yang cukup rendah, dipadu rok plisket pendek berwarna hitam membuatnya tampak elegan dan seksi. "Sudah sakit masih sempat-sempatnya berdandan."Sayang, gumaman Bian itu tidak terdengar oleh Masayu karena pria itu buru-buru melangkah ketika melihat ia menghampiri sang mertua."Bang, sebentar." Tiba-tiba, Masayu menahan langkah pria itu."Apalagi?" tanya Bian dingin.Masayu bergegas menghampirinya. Kemudian mengeluarkan sebuah sisir dari dalam tasnya."Rambut Abang berantakan. Ayu ijin nyisirin, ya?" Ayu memberanikan diri menawarkan, meski rasanya segan."Hmm ... boleh!" jawab Bian datar, terkesan kaku, persis seperti badannya yang serta merta kaku layaknya robot. Hal itu menjadi teramat lucu di mata Herlina. Menyebabkan wanita paruh baya itu tersenyum geli karenanya.Masayu lantas berjinjit dan mulai menyisiri rambut hitam legam milik suaminya. S
"Lambat sekali jalanmu!" Bian melotot.Masayu lantas menggigit bibir. "Abang yang terlalu cepat. Perut Ayu sakit," ujarnya sambil memegangi perutnya.Bian bahkan lupa kalau dia membawa gadis itu kemari lantaran sakitnya. Ia yang semula ingin marah mendadak mengurungkan niatnya. "Ya, Aku lupa, Maaf," ucapnya datar. "Ayo!" Ia lantas menggenggam jemari Masayu, kemudian menariknya agar jalannya beriringan. Bukannya melangkah, Masayu malah terpaku di tempatnya. Ia tertegun menatap jemarinya yang tengah digenggam pria itu."Ayo! Tunggu apa lagi!" Bian kembali menarik tangan gadis itu. Sorot matanya menatap Masayu serius. "Ayu ... jalan sendiri aja, Bang." Masayu berencana menarik tangannya, tapi Bian malah makin mempererat genggamannya. Hingga kemudian Masayu mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari pria itu. Dan akhirnya, sepanjang jalan menyusuri koridor panjang, Masayu tidak berani mengangkat wajahnya.Masayu lagi-lagi melongo ketika pria itu membawanya masuk begitu saja ke ruang
Lelaki itu menyemburkan tawanya."Arjuna! Mau apa kamu? Sedang apa kamu di sini?!" tanya Masayu ketika orang itu melepaskan bekapan pada mulutnya. Tidak salah lagi, berarti orang yang menabrak mobil Bian tadi memang Arjuna. Masayu menatap curiga, apa jangan-jangan Arjuna sengaja membuntutinya?"Aku yang harusnya nanya, ngapain kamu di sini? Wajahmu agak pucat. Kamu sedang sakit?" Arjuna bermaksud menyentuh pipi gadis itu, tetapi segera ditepis oleh Masayu. "Ck! Payah! Kamu sudah banyak berubah!" sungut Arjuna."Aku nggak punya banyak waktu meladeni kamu. Maaf, aku harus pergi sekarang!" Masayu lantas mengayun langkah.Akan tetapi, sebuah cekalan di lengan seketika membuat langkahnya terhenti. Arjuna kembali mendorong tubuh gadis itu dan menghimpitnya di dinding."Juna! Mau apa kamu, lepas!" Masayu meronta dengan posisi kedua tangan yang dicengkeram ke atas. "Kamu banyak berubah, Yu. Kamu lupa siapa aku? Kamu lupa dulu kita seperti apa?" Arjuna membentak. Masayu tersenyum sinis. "A
Di dalam kamar, tepatnya di atas bantal Masayu menumpahkan tangisnya. Terlampau porak-poranda hatinya sampai-sampai saat ibu mertuanya bertanya padanya sepulangnya ia dari rumah sakit tadi hanya mampu dijawabnya dengan anggukan saja. Tiba-tiba pintu kamarnya didorong dari luar. Ternyata Gita. Seperti biasa bocah kecil itu masuk dengan membawa selembar kertas bergambar di tangannya. Cepat-cepat Masayu mengusap air matanya."Bunda ...." "Iya, Sayang. Sini." Masayu mendudukkan Gita di pangkuannya, lantas melongok pada kertas yang dibawa oleh anak sambungnya itu. "Gita gambar apa?""Gambar Papa, Gita, Bang Genta, sama Bunda," sahut Gita menunjukkan hasil gambarnya."Wah, bagus sekali gambarnya. Anak pinter." "Bunda tadi nangis? Bunda lagi sedih, ya?" tanya Gita tiba-tiba. Anak itu memang kritis.Masayu mengelap lagi sisa air mata di pipinya, kemudian memaksa bibirnya untuk tersenyum."Nggak, kok, Sayang. Bunda kelilipan tadi.""Sini, Gita embusin biar nggak kelilipan lagi." Gita berdir
"Cuma apa, hah?!""Bian nggak gandeng siapa-siapa. Namanya juga gosip, Ma. Orang media apa saja bisa jadi berita, biar viral. Trus dapat duit," ucap Bian membela diri."Gosip itu timbul karena ada sebabnya, Bian. Mungkin karena kamu keseringan deket sama perempuan itu.""Bian cuma berteman, Ma. Itu pun tidak akrab karena baru kenal. Dia dokter, klien Bian yang ngenalin karena dikiranya Bian belum menikah.""Tuh, kan. Makanya Mama pingin supaya Masayu itu dikenalin ke publik. Jangan terus-terusan disembunyiin biar semua orang tau kalau kamu itu udah menikah. Apa kamu ada niat buat kawin lagi, Bian?" tuduh mamanya, membuat Bian akhirnya mendengkus kesal."Ya, sudah, terserah Mama. Mau besok atau sekarang acaranya Bian ngikut aja," sahut Bian pasrah yang kemudian disambut senyum kepuasan di wajah Herlina. Sementara Masayu sejak tadi hanya diam sembari menonton perdebatan seru antara ibu dan putranya. Dari situ dia mengetahui bahwa dari dulu Bian memang tidak pernah menginginkan pernikaha