"Cuma apa, hah?!"
"Bian nggak gandeng siapa-siapa. Namanya juga gosip, Ma. Orang media apa saja bisa jadi berita, biar viral. Trus dapat duit," ucap Bian membela diri."Gosip itu timbul karena ada sebabnya, Bian. Mungkin karena kamu keseringan deket sama perempuan itu.""Bian cuma berteman, Ma. Itu pun tidak akrab karena baru kenal. Dia dokter, klien Bian yang ngenalin karena dikiranya Bian belum menikah.""Tuh, kan. Makanya Mama pingin supaya Masayu itu dikenalin ke publik. Jangan terus-terusan disembunyiin biar semua orang tau kalau kamu itu udah menikah. Apa kamu ada niat buat kawin lagi, Bian?" tuduh mamanya, membuat Bian akhirnya mendengkus kesal."Ya, sudah, terserah Mama. Mau besok atau sekarang acaranya Bian ngikut aja," sahut Bian pasrah yang kemudian disambut senyum kepuasan di wajah Herlina.Sementara Masayu sejak tadi hanya diam sembari menonton perdebatan seru antara ibu dan putranya. Dari situ dia mengetahui bahwa dari dulu Bian memang tidak pernah menginginkan pernikahan ini, anniversari, terlebih dirinya.Karena sudah hampir larut malam, Masayu yang sudah mengantuk bermaksud ingin pindah ke kamarnya. Namun, sebelum dia meminta izin pada Herlina, salah satu asisten di rumah ini yang usianya masih belia tiba-tiba mengabarkan bahwa ada tamu spesial yang datang berkunjung."Siapa?" Bian dan Masayu memasang wajah penuh tanda tanya.Sementara Herlina tampak senyum-senyum seolah sudah mengetahui siapa tamu agung yang kini berkunjung.Ketiganya lantas berjalan menuju ruang tamu."Taraaa!!!"Herlina amat gembira menyambut kedatangan kedua anak, menantu, beserta cucu-cucu yang selama ini bermukim di Amerika.Masayu juga mengenalnya. Mereka adalah Rico dan Helen, anak pertama dan kedua Herlina. Sementara Bian merupakan anak bungsu.Keluarga kaya nan bahagia itu saling cipika-cipiki sebab sudah lama tidak bertemu."Hai, kamu Masayu, kan? Masih ingat saya?" Helen menyapa hangat.Masayu mengangguk dan tersenyum ramah. "Tentu saja ingat, Kak. Kakak apa kabar?"Tak butuh waktu lama, keduanya lantas terlibat percakapan ringan. Meskipun awalnya Masayu agak kikuk lantaran merasa minder. Namun, ternyata sikap Helen tidak berubah dan tetap ramah seperti dulu.Semasa ibunya masih hidup dan bekerja di sini dulu, Masayu sering diberi barang lungsuran dari Helen. Entah itu pakaian, buku tulis, komik, dan juga majalah. Meski bekas, tapi kualitasnya masih cukup bagus. Itulah momen di mana Masayu yang hidupnya miskin tetapi bisa mencicipi barang kepunyaan orang kaya."Kamu tau, nggak? Dulu Bang Rico, aku, dan Bian suka sekali dengan masakan ibumu. Apalagi Bian, dia sampai tidak mau makan kalau bukan ibumu yang masak." Helen tertawa mengenang masa lalu.Masayu lantas tersenyum simpul."Sekarang gimana? Dia pasti ketagihan sama masakan kamu, kan? Pasti tidak mau makan kalau bukan Masayu yang masak. Betul?""Ah, nggak juga, Kak," sahut Masayu merendah. Kenyataannya, dia belum pernah sama sekali memasak untuk Bian.Herlina datang menghampiri keduanya."Masayu, Mama sengaja mengundang kakak-kakak iparmu datang ke mari untuk meramaikan acara anniversary kalian. Waktu kalian menikah, mereka kan nggak sempat pulang ke Indonesia, jadi sekarang lah gantinya.""Iya, Ma," sahut Masayu mengangguk. Meski dia sendiri pun sebenarnya sudah paham akan maksud kepulangan saudara iparnya itu."Sekaligus sebentar lagi kami juga akan mengadakan peringatan kematian almarhum Papa." Helen menambahkan.Masayu manggut-manggut karena sebelumnya Bian sudah menyinggung perihal itu.Malam kian larut dan Masayu sudah berkali-kali menguap. Namun, di rumah besar ini seolah-olah sedang mengadakan pesta hari raya. Alih-alih melepas lelah, kakak iparnya yang baru tiba dari perjalanan jauh malah mengajak barbeque-an di rooftop."Masayu bisa memasak, kan? Aku rindu sekali dengan ayam bakar madu buatan ibumu? Kamu tidak keberatan, kan?" Tiba-tiba Helen mengutarakan keinginannya, dengan wajah penuh harap tentunya.Bian yang mendengarnya spontan tergelak. Namun, segera disikut perutnya oleh Herlina."Eh!" Masayu kebingungan. Sudah lama dia tidak menyenggol dunia perdapuran karena segalanya sudah disiapkan oleh asisten di rumah ini. Paling sekadar memasak bekal sederhana untuk anak-anak, itu pun hanya sesekali. Bagaimana sekarang dia tidak bingung?"Pasti bisa!" Herlina tiba-tiba menyemangati.Bian dan Rico mendapat tugas menyiapkan bahan-bahan dan membersihkannya. Masayu dan Herlina bagian memasak. Sementara Helen menjaga anak dan keponakannya yang berlari-larian ke sana kemari.Sengaja tidak memakai jasa para asisten sebab tak ingin mengganggu waktu istirahat mereka. Selain itu, bagi keluarga ini yang kesehariannya dilayani oleh asisten tentu kesannya akan jauh lebih menantang jika dikerjakan sendiri."Masayu, coba tolong kamu ambil bumbu panggang yang ada di dalam lemari dapur. Yang botolnya warna biru, ya," pinta Herlina.Bergegas Masayu pun turun ke dapur.Dia membuka seluruh lemari dan mencari-cari barang yang dimaksud ibu mertuanya. Setelah membongkar hampir semua isi lemari, rupanya benda tersebut tersimpan di bagian paling atas.Karena letaknya cukup tinggi, tangan Masayu sampai menggapai-gapai demi bisa mencapai botol itu.Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang agak menekan bagian belakang tubuhnya, bertepatan dengan suara familiar yang sedikit berbisik di telinganya, menimbulkan sensasi meremang pada bulu kuduk akibat embusan napas wangi yang meniup lehernya."Makanya, jadi orang jangan pendek!"Masayu lekas membalik badan menatap Bian yang kini ada di depannya. Posisi keduanya sangat dekat sebab tangan Bian sedang menggapai botol tersebut."Nih!""Makasih!" ucap Masayu setelah botol itu berpindah di tangannya. Kemudian memutuskan beranjak setelah keduanya saling berpandangan selama beberapa detik."Kamu banyak berubah setelah kita pulang dari rumah sakit itu. Ada apa? Kamu juga banyak diam hari ini!"Masayu menghentikan langkah mendengar ucapan Bian. Kepalanya lalu menggeleng."Ss-saya ... saya cuma capek!" sahutnya tanpa menoleh."Saya? Saya?!" Bian membeo sambil berjalan menghampiri Masayu hingga mereka pun berhadapan."Saya??!" ulangnya sekali lagi memastikan bahwa telinga tidak salah dengar."Ya. Saya!" sahut Masayu tegas lalu melangkah meninggalkan Bian yang termangu sendirian.Sambil bersenda gurau mereka menikmati menu serba panggang yang diolah dengan tangan sendiri. Beratapkan langit malam yang cerah dihiasi taburan bintang yang berkelip di sana-sini menambah kesan estetik bagi mereka dalam menghabiskan malam."Lezat sekali ayam bakar madumu, Yu. Persis seperti masakan ibumu," puji Helen."Ah, Kak Helen bisa aja. Jauh sekali kalau dibandingkan masakan ibuku," jawab Masayu merendah."Lihat itu, suamimu sangat lahap makan masakanmu." Helen menyenggol tangan Masayu. Gadis itu hanya tersenyum simpul melihat Bian makan dengan begitu lahapnya sampai agak belepotan. "Masayu, ambilkan suamimu tisu dan lap mulutnya. Lihat, saking sukanya dia dengan masakanmu makan sampai seperti bayi," kelakar Herlina. Masayu menurut, diambilnya selembar tisu lantas mulai mengelap mulut Bian dengan perlahan. Pria itu sampai berhenti mengunyah dan memilih menatap Masayu yang hanya memandang datar padanya. "Kamu ngantuk, Masayu?" tanya Herlina melihat wajah Masayu yang seperti l
'Nggak mungkin, aku pasti salah liat. Pasti gara-gara tadi aku lupa minum obat," batin Masayu sembari mengerjap-erjapkan matanya. Ditambah efek mengantuk juga karena semalam ia tidur menjelang pagi. Sampai kemudian ia tersentak ketika Bian menyenggol sikunya, memberi kode untuk bersalaman pada salah seorang tamu di depannya. "Ah, maaf." Masayu tersenyum sambil menjabat tangan tamu tersebut.Setelah orang itu pergi, Bian sedikit berbisik padanya."Ada apa? Mukamu pucat. Obatnya tidak diminum?"" Tebakan Bian benar."Iya, Ayu lupa karena tadi buru-buru.""Nanti Biar saya suruh Erik yang ambilkan obatnya."Gadis yang malam ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun yang terbuka pada bagian bahunya itu pun mengangguk. Dia lalu menengok lagi ke tempat tadi, orang itu sudah tidak ada. Masayu pun yakin jika dia hanya salah lihat. "Itu klien saya, kita temui dia." Tiba-tiba Bian merangkul pinggang ramping Masayu dan mengajaknya berjalan.Keduanya lantas menghampiri pria paruh baya yang t
"Ayu nggak bisa dansa. Abang sama yang lain aja," tolaknya.Dahi Bian sontak berkerut. "Apa? Dansa dengan yang lain? Apa maksudmu bicara begitu?" "Eng ... Maksudnya Ayu nggak bisa—"Lagi-lagi Ayu tak dapat berbuat banyak ketika tanpa aba-aba Bian langsung menarik tangannya menuju lantai dansa.Dengan sigap Bian mengatur posisi. Satu jemari Masayu berada dalam genggamannya, sementara jemari yang lain diletakkan di atas dada. Hanya dengan satu sentakan di pinggang rampingnya, Bian berhasil membuat tubuh istrinya itu menempel ke tubuhnya.Meski awalnya sulit, Masayu akhirnya bisa mengikuti gerakan Bian. Keduanya bergerak senada di bawah iringan musik yang mengalun pelan. Keduanya saling menatap dalam suasana temaram.'Kamu memang hebat, Bian!' bisik hati Masayu.Pria itu lantas tertawa kecil. Seolah dapat membaca pikiran istrinya dia lalu berucap, "Apa yang kamu pikirkan, Masayu?" Masayu membalas dengan senyuman samar. "Yang jelas tidak seperti yang Anda pikirkan!" Wow! Entah keberan
Dengan sekuat tenaga Masayu meronta di bawah kungkungan Arjuna. "Kebetulan sekali kamu di sini, Sayangku Masayu ...! "Aahh, tidak! Lepaskan aku, Arjuna! Tidak! Jangan ... aku tidak mau!" pekiknya parau ketika pria itu berusaha mencium wajahnya. Di sisa kesadarannya ia terus meronta dan meronta. Dirinya merasa heran karena seingatnya pintu sudah ia kunci, tapi kenapa Arjuna bisa masuk ke sini? Sungguh Masayu tak habis pikir.Dan Bian ...Masayu berharap agar suaminya itu segera datang untuk menolongnya."Bang ... tolong Ayu, Bang. Tolooongg ...!" rintihnya lemah hampir tak terdengar. Hingga akhirnya Masayu pasrah ketika dirasa perlawanannya sia-sia.Setelahnya, Masayu pun pingsan.***Ayu terjaga ketika sinar matahari yang masuk melalui celah jendela mengganggu tidurnya. Sepasang netranya sontak menyipit karena silau. Ia merasa sekujur badannya pegal dan tulang-tulangnya seolah patah.Hingga kemudian dia baru sadar jika sedang berbaring di kamarnya sendiri.Kamarnya sendiri?Bagaima
"Bagus, kan, Masayu?" tanya Herlina tiba-tiba."I-iya, Ma. Bagus." Entah foto mana yang dimaksud ibu mertuanya bagus, fotonya dengan Bian, atau foto perempuan itu?Tidak ada satu pun yang menyinggung perihal semalam, tak ada pula yang bertanya apapun tentang dirinya. Harusnya Masayu merasa lega. Namun, rasa ingin tahu yang tinggi seolah tak dapat ditutupi lagi.Masayu akhirnya memberanikan diri bertanya, saat ibu mertuanya itu sibuk membolak-balik lembaran album."Ma, Ayu boleh nanya sesuatu gak?""Boleh, mau nanya apa, Sayang?" sahut Herlina tanpa menoleh. "Semalam, siapa yang bawa Masayu pulang?" Bukannya menjawab, Herlina malah saling melempar pandang dengan Helen. Masayu tak sabar menunggu jawabannya."Bukannya kamu pulang dengan Bian semalam?" Herlina malah balik bertanya. Apa?Alis Masayu sontak menyatu. Dirinya benar-benar bingung mendengar pernyataan ibu mertuanya. "Masayu? Kau kenapa?" Herlina menatap Masayu lekat-lekat."Ah, ng-gak pa-pa, Ma. Ayu ... mungkin karena cuac
"Masayu, kamu jaga diri baik-baik di rumah, ya? Titip anak-anak. Kemungkinan Bian besok baru pulang." Dari jendela kaca mobil, Herlina berpesan. Masayu yang berdiri di sebelahnya kemudian mengangguk."Baik, Ma. Masayu pasti akan jaga anak-anak. Mama hati-hati di sana, dan selalu jaga kesehatan." Herlina kemudian berbisik padanya, "Oh, iya, Masayu. Jangan lupa untuk memakai pakaian 'dinas' kalau Bian pulang nanti."Masayu menyambut perkataan sang mertua dengan senyum malu di bibirnya. "Yu, saya sama anak-anak pamit dulu. Kapan-kapan kita jumpa lagi, ya?" Helen yang duduk di sebelah ibunya turut berpamitan."Iya, Kak. Salam untuk keluarga Kak Helen di sana, ya. Hati-hati semuanya." Masayu melambaikan tangan melepas kepergian kakak-kakak iparnya itu pulang ke Amerika. Sementara sang ibu mertua sengaja meminta ikut sebab ingin liburan di sana. "Yu, Masayu!" Tiba-tiba Bi Ijah memanggil dari dalam rumah."Iya, Bi. Ada apa?" sahutnya sambil bergegas menghampiri asisten rumah tangganya i
Hening. Sekujur tubuh Masayu sedikit gemetar mendapat tatapan tajam dari sang suami."Ini apa?!" Setengah membentak Bian bertanya lagi, menyebabkan gadis di depannya tersentak dan menjawab cepat,"Bukan apa-apa, Bang. Ini ... ini cuma luka bekas digaruk aja.""Luka digaruk sampai semuanya begini?" Masayu mengangguk, bola matanya tak lepas menatap sang suami, salah satu trik agar pria itu mau percaya. Sepertinya Masayu salah memahami jika Bian bukanlah pria yang mudah dibodohi."Sebanyak itu nyamuk di rumahku?Masayu menelan ludah meski sesuatu terasa mencekat lehernya. Dia ingin secepatnya keluar dari kamar ini, kembali ke kamarnya dan segera tidur. Bukan didakwa seperti ini. "Jawab!""Bukan karena nyamuk, Bang. Ayu ... Ayu hanya merasa gatal, nggak tau kenapa," jawabnya setelah mendapat jawaban yang menurutnya tepat."Lalu menangis?""Ha?" Ayu sontak mendongak. Tak paham dengan pertanyaan suaminya."Habis nangisin apa sampai matamu bengkak seperti ini?" Masayu seketika termangu k
Masayu seketika teringat, kemungkinan malam itu yang mengganti lingerienya dengan baju tidur adalah suaminya. Oleh sebab itu, Masayu memilih untuk tidak membahasnya.Ia pun kembali fokus pada aktifitasnya. "Kamu tidak marah aku sudah lihat semuanya?" Bian menggodanya. "Nggak," sahut Ayu singkat. Lalu balik bertanya, "Abang tumben ke kamar Ayu. Mau ngapain?" "Kata Bi Ijah, kamu seharian nggak keluar kamar. Kenapa?"Ayu cuma lagi pingin di kamar aja. Tapi, anak-anak udah Ayu titipin sama Desi, kok," sahut Masayu sedikit merasa aneh karena akhir-akhir ini Bian jadi perhatian padanya. "Anak-anak, sih, nggak masalah. Yang jadi masalah itu kamu, karena seharian nggak makan. Iya, kan?"Berdesir hati Masayu."Habis ini Ayu makan, kok. Tapi, Abang bisa keluar dulu, nggak? Ayu mau ganti baju.""Kalau aku bilang tidak bisa, gimana?" goda Bian lagi. Sengaja membuat jantung Masayu makin berdebar-debar.Akhirnya Masayu mengalah. Sambil berselimut dia berjalan ke lemari, membukanya, dan sontak m
Masayu menatap nanar wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah tampan itu tidak lagi pucat. Hanya saja perkataan Nenek Rose masih terus terngiang di telinganya. Ia pun menarik napas dan mulai membatin. Sebenarnya peristiwa kelam apa yang pernah dialami pria ini? Saat pikirannya sedang berkecamuk, mendadak ponselnya berbunyi. Dia menatap layar dan melihat deretan nomor baru yang bergerak-gerak. Tanpa merasa ragu, Masayu pun mengangkatnya. "Halo ....""Ayu ... tolong Ayah, Yu. Ayah sekarang ada di sel." Suara sang Ayah terdengar meratap. Masayu tercengang. Namun, itu hanya sesaat. Sebab dia sendiri sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Cepat atau lambat, polisi pasti akan menemukan Marwan kembali. "Pasti Bian si*lan itu yang udah mengadu ke polisi!" maki ayahnya. Hati Masayu sontak merasa panas. Dia segera menyingkir dari tempat itu dan berdiri di balkon. Kemudian membantah ucapan ayahnya, "Apa maksud Ayah? Jangan sembarangan menuduh. Bang Bian nggak mungkin seperti itu. Dia
Masayu sedang dalam kondisi banjir peluh ketika mobil yang ditumpangi ibu mertuanya memasuki halaman rumah. Dia bergegas meletakkan gagang pel dan berjalan untuk membukakan pintu. Saat ini, tenaganya bahkan telah terkuras habis untuk membuka pintu yang ukurannya bak raksasa tersebut."Masayu??!" Herlina tampak terkejut saat melihat Masayu yang baru saja melebarkan pintu dengan wajah tampak lemah, letih, dan lesu akibat kelelahan."Kamu mengerjakan ini semua?!" tanya Herlina lagi. Masayu mengangguk tak berdaya. "Di mana Nenek?" Herlina melangkah ke dalam. "Nenek lagi di lantai atas, Ma." "Kenapa nggak telepon jasa cleaning service aja? Bisa bengek kamu bersihin rumah ini sendirian, Masayu," tegur Herlina."Nenek melarang, Ma. Katanya ini memang tugas seorang wanita. Nggak apa-apa, Ma, Masayu masih sanggup, kok."Herlina geleng-geleng kepala dan berjalan menuju ke lantai atas. Masayu melanjutkan pekerjaannya. Tidak berapa lama, dari lantai atas terdengar suara perdebatan. Makin l
"Astaga, astaga, astaga ...! Anak muda jaman sekarang kalau bercinta memang tidak tau tempat, ya!" Keduanya sama-sama terperanjat. Bian buru-buru membetulkan resleting celananya yang terlanjur sesak. Sementara Masayu dengan gugup merapikan blusnya yang acak-acakan lalu segera turun dari meja.Di hadapannya kini berdiri seorang nenek-nenek berwajah bule sambil membawa tongkat, tetapi nampak berwibawa. Nenek tersebut terlihat menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nenek ...!" Bian berseru. Kemudian dia berkata kepada Masayu yang masih harus memasangkan beberapa kancing blusnya, "Masayu, dia nenekku. Ayo, kenalan dulu ...!" Masayu tersenyum gugup, lalu berjalan mendekati sang nenek. "Bian ... ini siapa? Perempuan mana lagi yang kamu permainkan? Memanganya kamu belum puas nakalnya? Bian ... itu nggak baik, kamu jangan seperti itu, ya ...?" Nenek sangat ketus berbicara seraya melirik sekilas ke arah dada Masayu yang belum sepenuhnya tertutup. "Nek ... saya Masayu, istrinya Bang Bian
"Jangan lupa kalau aku sudah menolong ayahmu. Aku juga membuat jalannya menjadi mulus. Jadi, kalau kamu keberatan melakukannya, anggap saja ini sebagai sebuah imbalan atas apa yang sudah kulakukan," ucap Bian dengan suara hampir berbisik, tetapi terdengar tajam di telinga Masayu. Di tengah kesulitannya dalam bergerak, Masayu sontak menelan ludah. "T-tapi, Bang ... Ayu masih menstruasi ...." Masayu tergagap sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya bergerak-gerak memerhatikan raut wajah Bian di atasnya. Dan benar saja, wajah yang tadinya bersemangat itu, sebentar saja telah berubah menjadi kecewa. "Kenapa nggak bilang dari tadi?!" tanya Bian dengan nada kecewa. Setelah itu dia bangkit dari tubuh Masayu. Wanita itu hanya diam saja sembari merapikan pakaiannya yang tampak awut-awutan. "Kira-kira kapan selesainya?" Bian bertanya lagi. "Mungkin dua hari lagi," jawab Masayu. Bian lantas beranjak dari ranjang dan akan keluar kamar. Namun, baru dua langkah, tiba-tiba saja dia kembali l
Sesampainya di halaman rumah, Bian langsung keluar dari mobil dan lagi-lagi menutup pintunya dengan kasar. Masayu yang sabar hanya menghela napas panjang, kemudian turun dengan anggun dari mobil. Namun anehnya, rumah dalam keadaan sepi saat dia masuk. Seolah-olah, kondisi rumah yang sepi memang khusus diciptakan untuk mereka berdua.Masayu lalu pergi ke dapur. Di sana hanya ada Bian yang terlihat sedang minum sembari menatap tajam ke arahnya. Karena takut, Masayu pun membalikkan badannya menuju ke lantai atas. Siapa sangka Bian justru mengejarnya. Masayu yang tersadar seketika itu juga mempercepat langkahnya. Sesaat kemudian, terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya di atas loteng. Masayu berhasil masuk ke kamarnya, tetapi tidak berhasil menutup pintunya lantaran Bian dengan cepat menahannya. Keduanya kini saling mendorong pintu."Abang mau ngapain?" Masayu bertanya dengan panik. Matanya mencari-cari sesuatu agar bisa menahan pintu tersebut. Namun dia tidak mendapatkannya. Ada pun
Bian dengan telaten merawat luka bakar Masayu. Kulitnya yang putih kini tampak memerah, mungkin sebentar lagi akan melepuh. Bian lalu membalut punggung tangan Masayu menggunakan perban. "Masih sakit?" tanyanya.Masayu mengangguk dan menatap wajah Bian. Berharap pria itu mau mengucapkan sepatah kata maaf untuknya. Namun, yang tejadi malah, "Kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali tidak. Jangan mengerjaiku seperti itu. Aku nggak suka!" tegas Bian sambil sekilas melirik Masayu. Mendapati Masayu tengah menatapnya begitu lama, mau tak mau Bian pun membalas tatapan teduh itu. "Ada apa??" tanya Bian kemudian.Masayu sontak tergeragap dan spontan bertanya, "Abang nggak minta maaf sama Ayu?""Maaf untuk apa??" Masayu memasang raut wajah kecewa. Rupanya, saking terlenanya menikmati wajah tampan di depannya, dia sampai tidak menyimak perkataan Bian. Pada akhirnya, Masayu menilai Bian adalah pria kaku yang tidak mempunyai rasa empati. Perlakuan Bian kepadanya barusan merupakan hal yang wajar
Sebelum mereka sempat melakukan aksinya, Bian sudah lebih dulu menahan tangan mereka dan memelintirnya. Suasana tampak tegang karena terjadi adu otot. Membuat Masayu menjerit berulang kali. Dengan segala kemampuannya, Bian akhirnya mampu melumpuhkan orang itu satu per satu. "Abang, cukup, Bang. Tolong hentikan ...!" pekik Masayu ketika melihat para warga yang sudah jatuh terkapar."Kamu tahan tinggal di lingkungan primitif seperti ini?? Ayo, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Dasar gil4 mereka semua!!" umpat Bian seraya mengatur napasnya yang tampak ngos-ngosan. Mengeluarkan tenaga dan emosi secara bersamaan memang bukan hal yang mudah. Masayu yang pergelangan tangannya telah ditarik oleh suaminya cepat-cepat menyahut dengan berbisik, " Nggak mungkin Ayu ninggalin Ayah sendirian di sini, Bang." Sorot mata Masayu menatap suaminya dalam-dalam, seolah minta untuk dimengerti."Tapi bagaimana kalau nanti mereka berbuat macam-macam padamu? Apa perlu aku lapor polisi?"Bergegas Masayu m
Masayu tidak memungkiri jika dia sangat membenci ayahnya. Namun, apabila ayahnya diperlakukan secara kasar di depan matanya, Masayu jelas tidak terima."Kenapa Abang pukul Ayah? Kenapa? Apa salah Ayah?" Masayu berteriak memukul-mukul dada suaminya. Bian dengan santai menangkap kedua pergelangan tangan Masayu dan berkata, "Ayahmu memang harus dilumpuhkan untuk sementara. Kebanyakan bicara membuat luka tembak ayahmu akan semakin parah, bisa-bisa dia kehilangan banyak darah." Mendengar penjelasan Bian, Masayu berangsur-angsur mulai tenang. "Lalu selanjutnya bagaimana?" tanya Masayu setelah dia melepaskan diri dari Bian. "Kembalikan saja ayahmu ke penjara!" sahut Bian cuek.Masayu membeliak marah. "Bukannya tadi kita udah sepakat?" Bian kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu berkata setelah sejenak dia menarik napas, "Sebenarnya agak susah. Tapi biar kucoba."Masayu berjongkok mendekati ayahnya ketika Bian berjalan menjauh untuk menelepon seseorang. Ekspresi wajahnya datar tatkala dia
Masayu bimbang, tidak mungkin dia meminta tolong pada Bian terkait ayahnya. Selain sedang berseteru, Bian juga tahu tentang skandal pembunuhan ayahnya. Bisa-bisa dia melapor ke polisi dan mengatakan kalau ayahnya ada di sini."Nggak ... nggak mungkin, Yah. Nggak mungkin Ayu minta tolong sama Bang Bian. Lebih baik Ayah urus diri sendiri saja. Ayu nggak berani bertindak lebih lanjut karena Ayah buronan. Bisa-bisa Ayu ikut terseret ke dalam penjara!" Masayu lalu berbalik badan dan akan pergi. Namun ayahnya berteriak memanggilnya. "Ayu, tunggu! Apa kamu bilang tadi? Bian? Bian anaknya Baswara itu? Jadi, kamu menikah sama dia?"Masayu kembali menghadap ayahnya. "Iya, Yah. Ayu menikah sama dia."Marwan tampak berpikir keras. Hal itu nampak dari keningnya yang berkerut dalam. "Kenapa bisa? Ayu, kenapa bisa kamu menikah sama dia??!" Masayu agak terkejut mendengar nada bicara ayahnya yang meninggi. Kali ini gantian Masayu yang mengerutkan dahinya, kemudian bertanya heran pada Marwan, "Kenapa