"Lambat sekali jalanmu!" Bian melotot.
Masayu lantas menggigit bibir. "Abang yang terlalu cepat. Perut Ayu sakit," ujarnya sambil memegangi perutnya.Bian bahkan lupa kalau dia membawa gadis itu kemari lantaran sakitnya. Ia yang semula ingin marah mendadak mengurungkan niatnya. "Ya, Aku lupa, Maaf," ucapnya datar. "Ayo!" Ia lantas menggenggam jemari Masayu, kemudian menariknya agar jalannya beriringan.Bukannya melangkah, Masayu malah terpaku di tempatnya. Ia tertegun menatap jemarinya yang tengah digenggam pria itu.
"Ayo! Tunggu apa lagi!" Bian kembali menarik tangan gadis itu. Sorot matanya menatap Masayu serius."Ayu ... jalan sendiri aja, Bang." Masayu berencana menarik tangannya, tapi Bian malah makin mempererat genggamannya. Hingga kemudian Masayu mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari pria itu.Dan akhirnya, sepanjang jalan menyusuri koridor panjang, Masayu tidak berani mengangkat wajahnya.Masayu lagi-lagi melongo ketika pria itu membawanya masuk begitu saja ke ruangan dokter. Berbeda dengan dirinya yang biasanya harus mengurus segala tetek-bengek terlebih dahulu. Belum lagi mengantri lama menunggu namanya dipanggil, barulah setelah itu ia dapat bertemu dengan dokter.Gadis itu makin dibuat takjub ketika melihat Bian berpelukan akrab dengan dokter pria itu."Bian, apa kabar?""Baik. Kamu sendiri bagaimana?" Bian balik bertanya pada dokter yang merupakan teman sekelasnya saat sekolah dulu. Namanya Edo."Yah, seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja," ujar Edo sembari menepuk bahu Bian. Seketika pandangan matanya pun beralih kepada Masayu, "Ini ... pacar barumu?" tanyanya menerka.Bian tertawa. Masayu masih terdiam mengamati mereka berdua.Lagi-lagi Edo menepuk bahunya sambil balas tertawa. "Dasar! Playboymu dari dulu tidak berubah, ya!"Lalu, sambil bergurau dia berpesan pada Masayu, "Hati-hati, ya, Mbak. Bian pacarnya banyak. Kamu jangan kaget kalau sewaktu-waktu didatangi wanita cantik. Kalau bukan sales, ya berarti kekasihnya Bian.""Eh ...." Masayu bergumam, bingung mau menjawab apa.Sekilas ia melirik Bian yang hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Edo. Ekspresi Masayu itu malah membuat tawa Edo jadi pecah seketika.
"Ya, sudah. Kamu ada perlu apa ke sini?" tanya Edo pada Bian setelah tawanya reda."Eng ... begini ....." Bukannya melanjutkan, Bian malah menarik Edo sedikit menjauh. Hal itu sontak membuat Masayu mengernyitkan alisnya.Tak lama kemudian, kedua pria itu kembali ke tempatnya semula. Edo bergegas menyuruh Masayu berbaring di ranjang pasien."Kita periksa dulu, ya." Dokter Edo mulai memeriksa dari kedua mata Masayu, kemudian mulut, urat nadi, lalu sedikit menekan perutnya."Perutnya masih sakit?""Masih, Dok. Dada saya juga rasanya berdebar-debar terus sejak tadi," jawab Masayu."Oh, kalau itu mungkin karena ada saya, haha!" gurau Edo seraya tertawa sambil melirik pria yang sedang berdiri membelakangi mereka."Tapi, Dok. Saya berdebar-debarnya dari sebelum datang ke mari, kok," jawab Masayu polos."Ehm! Maaf. Saya cuma becanda tadi. Jangan diambil hati. Kita periksa lagi ya kalau begitu." Edo berdehem, lalu kembali lanjut memeriksa.Bian yang sejak tadi membelakangi lantaran merasa cemas, kini menoleh, dan makin cemas ketika melihat Edo mulai memeriksa bagian dada Masayu yang sedikit terbuka menggunakan stetoskop.Napasnya sempat tertahan selama beberapa detik, lalu tanpa sadar ia mengembuskannya secara kasar sampai bisa didengar oleh Edo dan Masayu."Udah, nggak usah pakai hela-hela napas segala. Udah selesai ini," sindir Edo.Masayu tersenyum geli.
Sementara Bian tergeragap. Ia langsung menyelanya dengan berbagai alasan, "Eng ... bukan begitu ... akh ... maksud kamu apa, sih?! Udah apa belum? Saya banyak urusan, nih!" Bian pura-pura memeriksa arloji di tangannya.Edo mencibir. "Iya, udah. Sebentar, saya resepkan obatnya dulu."Edo berjalan menuju ke mejanya, diikuti Bian dari belakang."Gimana, Do. Kira-kira bahaya, tidak?""Apanya?""Efeknya. Dia seperti itu karena efek dari obat tidur, kan?""Kalau diliat dari gejalanya sepertinya iya. Untuk hasil yang lebih akurat sebaiknya kamu segera cek urinnya ke lab. Tapi ini nggak apa-apa, kok. Nggak bahaya. Paling beberapa jam gejalanya udah hilang. Rutinin aja minum obatnya." Edo menjelaskan sembari memberikan secarik kertas pada Bian."Satu lagi. Bilang sama ibumu jangan sembarangan ngasih obat ke mantunya. Ini baru obat tidur. Siapa tahu lain waktu ibumu malah ngasih inex," canda Edo.Bian hanya menyunggingkan senyum samar."Eee ... tunggu." Lagi-lagi Edo menahan langkah Bian saat pria itu akan pergi."Ada apa?"Edo berbisik. "Lain kali kamu bilang terus terang kalau itu istri kamu. Hampir aja aku naksir tadi.""Sialan!" sungut Bian sambil menyikut pelan perut Edo.Ia lalu menghampiri Masayu, keduanya pun bergegas pulang setelah sebelumnya berpamitan pada Dokter Edo.Di tengah-tengah menyusuri koridor, tiba-tiba ponsel Bian berdering.Pria itu memberi kode pada Masayu untuk mengangkat telepon, yang kemudian dibalas oleh anggukan istrinya. Bian pun beringsut mencari tempat nyaman untuk mengobrol.Semenit, dua menit, sampai 10 menit berlalu Bian belum juga kembali. Di samping lelah berdiri, Masayu mendadak ingin buang air kecil. Bergegas ia mencari toilet.Setelah berhasil ketemu, tak sabar ia pun segera masuk demi menuntaskan hajat yang sempat ditahannya selama beberapa menit.Baru saja menutup pintu hendak keluar, Masayu dibuat terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya didesak oleh seseorang hingga mepet ke tembok.Kepanikan seketika menguasai diri. Lebih-lebih pria itu membekap kencang mulutnya. Namun, matanya sontak membulat begitu menyadari sosok yang kini berdiri di depannya.'D-dia?? Mau apa dia di sini?'Lelaki itu menyemburkan tawanya."Arjuna! Mau apa kamu? Sedang apa kamu di sini?!" tanya Masayu ketika orang itu melepaskan bekapan pada mulutnya. Tidak salah lagi, berarti orang yang menabrak mobil Bian tadi memang Arjuna. Masayu menatap curiga, apa jangan-jangan Arjuna sengaja membuntutinya?"Aku yang harusnya nanya, ngapain kamu di sini? Wajahmu agak pucat. Kamu sedang sakit?" Arjuna bermaksud menyentuh pipi gadis itu, tetapi segera ditepis oleh Masayu. "Ck! Payah! Kamu sudah banyak berubah!" sungut Arjuna."Aku nggak punya banyak waktu meladeni kamu. Maaf, aku harus pergi sekarang!" Masayu lantas mengayun langkah.Akan tetapi, sebuah cekalan di lengan seketika membuat langkahnya terhenti. Arjuna kembali mendorong tubuh gadis itu dan menghimpitnya di dinding."Juna! Mau apa kamu, lepas!" Masayu meronta dengan posisi kedua tangan yang dicengkeram ke atas. "Kamu banyak berubah, Yu. Kamu lupa siapa aku? Kamu lupa dulu kita seperti apa?" Arjuna membentak. Masayu tersenyum sinis. "A
Di dalam kamar, tepatnya di atas bantal Masayu menumpahkan tangisnya. Terlampau porak-poranda hatinya sampai-sampai saat ibu mertuanya bertanya padanya sepulangnya ia dari rumah sakit tadi hanya mampu dijawabnya dengan anggukan saja. Tiba-tiba pintu kamarnya didorong dari luar. Ternyata Gita. Seperti biasa bocah kecil itu masuk dengan membawa selembar kertas bergambar di tangannya. Cepat-cepat Masayu mengusap air matanya."Bunda ...." "Iya, Sayang. Sini." Masayu mendudukkan Gita di pangkuannya, lantas melongok pada kertas yang dibawa oleh anak sambungnya itu. "Gita gambar apa?""Gambar Papa, Gita, Bang Genta, sama Bunda," sahut Gita menunjukkan hasil gambarnya."Wah, bagus sekali gambarnya. Anak pinter." "Bunda tadi nangis? Bunda lagi sedih, ya?" tanya Gita tiba-tiba. Anak itu memang kritis.Masayu mengelap lagi sisa air mata di pipinya, kemudian memaksa bibirnya untuk tersenyum."Nggak, kok, Sayang. Bunda kelilipan tadi.""Sini, Gita embusin biar nggak kelilipan lagi." Gita berdir
"Cuma apa, hah?!""Bian nggak gandeng siapa-siapa. Namanya juga gosip, Ma. Orang media apa saja bisa jadi berita, biar viral. Trus dapat duit," ucap Bian membela diri."Gosip itu timbul karena ada sebabnya, Bian. Mungkin karena kamu keseringan deket sama perempuan itu.""Bian cuma berteman, Ma. Itu pun tidak akrab karena baru kenal. Dia dokter, klien Bian yang ngenalin karena dikiranya Bian belum menikah.""Tuh, kan. Makanya Mama pingin supaya Masayu itu dikenalin ke publik. Jangan terus-terusan disembunyiin biar semua orang tau kalau kamu itu udah menikah. Apa kamu ada niat buat kawin lagi, Bian?" tuduh mamanya, membuat Bian akhirnya mendengkus kesal."Ya, sudah, terserah Mama. Mau besok atau sekarang acaranya Bian ngikut aja," sahut Bian pasrah yang kemudian disambut senyum kepuasan di wajah Herlina. Sementara Masayu sejak tadi hanya diam sembari menonton perdebatan seru antara ibu dan putranya. Dari situ dia mengetahui bahwa dari dulu Bian memang tidak pernah menginginkan pernikaha
Sambil bersenda gurau mereka menikmati menu serba panggang yang diolah dengan tangan sendiri. Beratapkan langit malam yang cerah dihiasi taburan bintang yang berkelip di sana-sini menambah kesan estetik bagi mereka dalam menghabiskan malam."Lezat sekali ayam bakar madumu, Yu. Persis seperti masakan ibumu," puji Helen."Ah, Kak Helen bisa aja. Jauh sekali kalau dibandingkan masakan ibuku," jawab Masayu merendah."Lihat itu, suamimu sangat lahap makan masakanmu." Helen menyenggol tangan Masayu. Gadis itu hanya tersenyum simpul melihat Bian makan dengan begitu lahapnya sampai agak belepotan. "Masayu, ambilkan suamimu tisu dan lap mulutnya. Lihat, saking sukanya dia dengan masakanmu makan sampai seperti bayi," kelakar Herlina. Masayu menurut, diambilnya selembar tisu lantas mulai mengelap mulut Bian dengan perlahan. Pria itu sampai berhenti mengunyah dan memilih menatap Masayu yang hanya memandang datar padanya. "Kamu ngantuk, Masayu?" tanya Herlina melihat wajah Masayu yang seperti l
'Nggak mungkin, aku pasti salah liat. Pasti gara-gara tadi aku lupa minum obat," batin Masayu sembari mengerjap-erjapkan matanya. Ditambah efek mengantuk juga karena semalam ia tidur menjelang pagi. Sampai kemudian ia tersentak ketika Bian menyenggol sikunya, memberi kode untuk bersalaman pada salah seorang tamu di depannya. "Ah, maaf." Masayu tersenyum sambil menjabat tangan tamu tersebut.Setelah orang itu pergi, Bian sedikit berbisik padanya."Ada apa? Mukamu pucat. Obatnya tidak diminum?"" Tebakan Bian benar."Iya, Ayu lupa karena tadi buru-buru.""Nanti Biar saya suruh Erik yang ambilkan obatnya."Gadis yang malam ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun yang terbuka pada bagian bahunya itu pun mengangguk. Dia lalu menengok lagi ke tempat tadi, orang itu sudah tidak ada. Masayu pun yakin jika dia hanya salah lihat. "Itu klien saya, kita temui dia." Tiba-tiba Bian merangkul pinggang ramping Masayu dan mengajaknya berjalan.Keduanya lantas menghampiri pria paruh baya yang t
"Ayu nggak bisa dansa. Abang sama yang lain aja," tolaknya.Dahi Bian sontak berkerut. "Apa? Dansa dengan yang lain? Apa maksudmu bicara begitu?" "Eng ... Maksudnya Ayu nggak bisa—"Lagi-lagi Ayu tak dapat berbuat banyak ketika tanpa aba-aba Bian langsung menarik tangannya menuju lantai dansa.Dengan sigap Bian mengatur posisi. Satu jemari Masayu berada dalam genggamannya, sementara jemari yang lain diletakkan di atas dada. Hanya dengan satu sentakan di pinggang rampingnya, Bian berhasil membuat tubuh istrinya itu menempel ke tubuhnya.Meski awalnya sulit, Masayu akhirnya bisa mengikuti gerakan Bian. Keduanya bergerak senada di bawah iringan musik yang mengalun pelan. Keduanya saling menatap dalam suasana temaram.'Kamu memang hebat, Bian!' bisik hati Masayu.Pria itu lantas tertawa kecil. Seolah dapat membaca pikiran istrinya dia lalu berucap, "Apa yang kamu pikirkan, Masayu?" Masayu membalas dengan senyuman samar. "Yang jelas tidak seperti yang Anda pikirkan!" Wow! Entah keberan
Dengan sekuat tenaga Masayu meronta di bawah kungkungan Arjuna. "Kebetulan sekali kamu di sini, Sayangku Masayu ...! "Aahh, tidak! Lepaskan aku, Arjuna! Tidak! Jangan ... aku tidak mau!" pekiknya parau ketika pria itu berusaha mencium wajahnya. Di sisa kesadarannya ia terus meronta dan meronta. Dirinya merasa heran karena seingatnya pintu sudah ia kunci, tapi kenapa Arjuna bisa masuk ke sini? Sungguh Masayu tak habis pikir.Dan Bian ...Masayu berharap agar suaminya itu segera datang untuk menolongnya."Bang ... tolong Ayu, Bang. Tolooongg ...!" rintihnya lemah hampir tak terdengar. Hingga akhirnya Masayu pasrah ketika dirasa perlawanannya sia-sia.Setelahnya, Masayu pun pingsan.***Ayu terjaga ketika sinar matahari yang masuk melalui celah jendela mengganggu tidurnya. Sepasang netranya sontak menyipit karena silau. Ia merasa sekujur badannya pegal dan tulang-tulangnya seolah patah.Hingga kemudian dia baru sadar jika sedang berbaring di kamarnya sendiri.Kamarnya sendiri?Bagaima
"Bagus, kan, Masayu?" tanya Herlina tiba-tiba."I-iya, Ma. Bagus." Entah foto mana yang dimaksud ibu mertuanya bagus, fotonya dengan Bian, atau foto perempuan itu?Tidak ada satu pun yang menyinggung perihal semalam, tak ada pula yang bertanya apapun tentang dirinya. Harusnya Masayu merasa lega. Namun, rasa ingin tahu yang tinggi seolah tak dapat ditutupi lagi.Masayu akhirnya memberanikan diri bertanya, saat ibu mertuanya itu sibuk membolak-balik lembaran album."Ma, Ayu boleh nanya sesuatu gak?""Boleh, mau nanya apa, Sayang?" sahut Herlina tanpa menoleh. "Semalam, siapa yang bawa Masayu pulang?" Bukannya menjawab, Herlina malah saling melempar pandang dengan Helen. Masayu tak sabar menunggu jawabannya."Bukannya kamu pulang dengan Bian semalam?" Herlina malah balik bertanya. Apa?Alis Masayu sontak menyatu. Dirinya benar-benar bingung mendengar pernyataan ibu mertuanya. "Masayu? Kau kenapa?" Herlina menatap Masayu lekat-lekat."Ah, ng-gak pa-pa, Ma. Ayu ... mungkin karena cuac
Masayu menatap nanar wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah tampan itu tidak lagi pucat. Hanya saja perkataan Nenek Rose masih terus terngiang di telinganya. Ia pun menarik napas dan mulai membatin. Sebenarnya peristiwa kelam apa yang pernah dialami pria ini? Saat pikirannya sedang berkecamuk, mendadak ponselnya berbunyi. Dia menatap layar dan melihat deretan nomor baru yang bergerak-gerak. Tanpa merasa ragu, Masayu pun mengangkatnya. "Halo ....""Ayu ... tolong Ayah, Yu. Ayah sekarang ada di sel." Suara sang Ayah terdengar meratap. Masayu tercengang. Namun, itu hanya sesaat. Sebab dia sendiri sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Cepat atau lambat, polisi pasti akan menemukan Marwan kembali. "Pasti Bian si*lan itu yang udah mengadu ke polisi!" maki ayahnya. Hati Masayu sontak merasa panas. Dia segera menyingkir dari tempat itu dan berdiri di balkon. Kemudian membantah ucapan ayahnya, "Apa maksud Ayah? Jangan sembarangan menuduh. Bang Bian nggak mungkin seperti itu. Dia
Masayu sedang dalam kondisi banjir peluh ketika mobil yang ditumpangi ibu mertuanya memasuki halaman rumah. Dia bergegas meletakkan gagang pel dan berjalan untuk membukakan pintu. Saat ini, tenaganya bahkan telah terkuras habis untuk membuka pintu yang ukurannya bak raksasa tersebut."Masayu??!" Herlina tampak terkejut saat melihat Masayu yang baru saja melebarkan pintu dengan wajah tampak lemah, letih, dan lesu akibat kelelahan."Kamu mengerjakan ini semua?!" tanya Herlina lagi. Masayu mengangguk tak berdaya. "Di mana Nenek?" Herlina melangkah ke dalam. "Nenek lagi di lantai atas, Ma." "Kenapa nggak telepon jasa cleaning service aja? Bisa bengek kamu bersihin rumah ini sendirian, Masayu," tegur Herlina."Nenek melarang, Ma. Katanya ini memang tugas seorang wanita. Nggak apa-apa, Ma, Masayu masih sanggup, kok."Herlina geleng-geleng kepala dan berjalan menuju ke lantai atas. Masayu melanjutkan pekerjaannya. Tidak berapa lama, dari lantai atas terdengar suara perdebatan. Makin l
"Astaga, astaga, astaga ...! Anak muda jaman sekarang kalau bercinta memang tidak tau tempat, ya!" Keduanya sama-sama terperanjat. Bian buru-buru membetulkan resleting celananya yang terlanjur sesak. Sementara Masayu dengan gugup merapikan blusnya yang acak-acakan lalu segera turun dari meja.Di hadapannya kini berdiri seorang nenek-nenek berwajah bule sambil membawa tongkat, tetapi nampak berwibawa. Nenek tersebut terlihat menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nenek ...!" Bian berseru. Kemudian dia berkata kepada Masayu yang masih harus memasangkan beberapa kancing blusnya, "Masayu, dia nenekku. Ayo, kenalan dulu ...!" Masayu tersenyum gugup, lalu berjalan mendekati sang nenek. "Bian ... ini siapa? Perempuan mana lagi yang kamu permainkan? Memanganya kamu belum puas nakalnya? Bian ... itu nggak baik, kamu jangan seperti itu, ya ...?" Nenek sangat ketus berbicara seraya melirik sekilas ke arah dada Masayu yang belum sepenuhnya tertutup. "Nek ... saya Masayu, istrinya Bang Bian
"Jangan lupa kalau aku sudah menolong ayahmu. Aku juga membuat jalannya menjadi mulus. Jadi, kalau kamu keberatan melakukannya, anggap saja ini sebagai sebuah imbalan atas apa yang sudah kulakukan," ucap Bian dengan suara hampir berbisik, tetapi terdengar tajam di telinga Masayu. Di tengah kesulitannya dalam bergerak, Masayu sontak menelan ludah. "T-tapi, Bang ... Ayu masih menstruasi ...." Masayu tergagap sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya bergerak-gerak memerhatikan raut wajah Bian di atasnya. Dan benar saja, wajah yang tadinya bersemangat itu, sebentar saja telah berubah menjadi kecewa. "Kenapa nggak bilang dari tadi?!" tanya Bian dengan nada kecewa. Setelah itu dia bangkit dari tubuh Masayu. Wanita itu hanya diam saja sembari merapikan pakaiannya yang tampak awut-awutan. "Kira-kira kapan selesainya?" Bian bertanya lagi. "Mungkin dua hari lagi," jawab Masayu. Bian lantas beranjak dari ranjang dan akan keluar kamar. Namun, baru dua langkah, tiba-tiba saja dia kembali l
Sesampainya di halaman rumah, Bian langsung keluar dari mobil dan lagi-lagi menutup pintunya dengan kasar. Masayu yang sabar hanya menghela napas panjang, kemudian turun dengan anggun dari mobil. Namun anehnya, rumah dalam keadaan sepi saat dia masuk. Seolah-olah, kondisi rumah yang sepi memang khusus diciptakan untuk mereka berdua.Masayu lalu pergi ke dapur. Di sana hanya ada Bian yang terlihat sedang minum sembari menatap tajam ke arahnya. Karena takut, Masayu pun membalikkan badannya menuju ke lantai atas. Siapa sangka Bian justru mengejarnya. Masayu yang tersadar seketika itu juga mempercepat langkahnya. Sesaat kemudian, terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya di atas loteng. Masayu berhasil masuk ke kamarnya, tetapi tidak berhasil menutup pintunya lantaran Bian dengan cepat menahannya. Keduanya kini saling mendorong pintu."Abang mau ngapain?" Masayu bertanya dengan panik. Matanya mencari-cari sesuatu agar bisa menahan pintu tersebut. Namun dia tidak mendapatkannya. Ada pun
Bian dengan telaten merawat luka bakar Masayu. Kulitnya yang putih kini tampak memerah, mungkin sebentar lagi akan melepuh. Bian lalu membalut punggung tangan Masayu menggunakan perban. "Masih sakit?" tanyanya.Masayu mengangguk dan menatap wajah Bian. Berharap pria itu mau mengucapkan sepatah kata maaf untuknya. Namun, yang tejadi malah, "Kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali tidak. Jangan mengerjaiku seperti itu. Aku nggak suka!" tegas Bian sambil sekilas melirik Masayu. Mendapati Masayu tengah menatapnya begitu lama, mau tak mau Bian pun membalas tatapan teduh itu. "Ada apa??" tanya Bian kemudian.Masayu sontak tergeragap dan spontan bertanya, "Abang nggak minta maaf sama Ayu?""Maaf untuk apa??" Masayu memasang raut wajah kecewa. Rupanya, saking terlenanya menikmati wajah tampan di depannya, dia sampai tidak menyimak perkataan Bian. Pada akhirnya, Masayu menilai Bian adalah pria kaku yang tidak mempunyai rasa empati. Perlakuan Bian kepadanya barusan merupakan hal yang wajar
Sebelum mereka sempat melakukan aksinya, Bian sudah lebih dulu menahan tangan mereka dan memelintirnya. Suasana tampak tegang karena terjadi adu otot. Membuat Masayu menjerit berulang kali. Dengan segala kemampuannya, Bian akhirnya mampu melumpuhkan orang itu satu per satu. "Abang, cukup, Bang. Tolong hentikan ...!" pekik Masayu ketika melihat para warga yang sudah jatuh terkapar."Kamu tahan tinggal di lingkungan primitif seperti ini?? Ayo, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Dasar gil4 mereka semua!!" umpat Bian seraya mengatur napasnya yang tampak ngos-ngosan. Mengeluarkan tenaga dan emosi secara bersamaan memang bukan hal yang mudah. Masayu yang pergelangan tangannya telah ditarik oleh suaminya cepat-cepat menyahut dengan berbisik, " Nggak mungkin Ayu ninggalin Ayah sendirian di sini, Bang." Sorot mata Masayu menatap suaminya dalam-dalam, seolah minta untuk dimengerti."Tapi bagaimana kalau nanti mereka berbuat macam-macam padamu? Apa perlu aku lapor polisi?"Bergegas Masayu m
Masayu tidak memungkiri jika dia sangat membenci ayahnya. Namun, apabila ayahnya diperlakukan secara kasar di depan matanya, Masayu jelas tidak terima."Kenapa Abang pukul Ayah? Kenapa? Apa salah Ayah?" Masayu berteriak memukul-mukul dada suaminya. Bian dengan santai menangkap kedua pergelangan tangan Masayu dan berkata, "Ayahmu memang harus dilumpuhkan untuk sementara. Kebanyakan bicara membuat luka tembak ayahmu akan semakin parah, bisa-bisa dia kehilangan banyak darah." Mendengar penjelasan Bian, Masayu berangsur-angsur mulai tenang. "Lalu selanjutnya bagaimana?" tanya Masayu setelah dia melepaskan diri dari Bian. "Kembalikan saja ayahmu ke penjara!" sahut Bian cuek.Masayu membeliak marah. "Bukannya tadi kita udah sepakat?" Bian kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu berkata setelah sejenak dia menarik napas, "Sebenarnya agak susah. Tapi biar kucoba."Masayu berjongkok mendekati ayahnya ketika Bian berjalan menjauh untuk menelepon seseorang. Ekspresi wajahnya datar tatkala dia
Masayu bimbang, tidak mungkin dia meminta tolong pada Bian terkait ayahnya. Selain sedang berseteru, Bian juga tahu tentang skandal pembunuhan ayahnya. Bisa-bisa dia melapor ke polisi dan mengatakan kalau ayahnya ada di sini."Nggak ... nggak mungkin, Yah. Nggak mungkin Ayu minta tolong sama Bang Bian. Lebih baik Ayah urus diri sendiri saja. Ayu nggak berani bertindak lebih lanjut karena Ayah buronan. Bisa-bisa Ayu ikut terseret ke dalam penjara!" Masayu lalu berbalik badan dan akan pergi. Namun ayahnya berteriak memanggilnya. "Ayu, tunggu! Apa kamu bilang tadi? Bian? Bian anaknya Baswara itu? Jadi, kamu menikah sama dia?"Masayu kembali menghadap ayahnya. "Iya, Yah. Ayu menikah sama dia."Marwan tampak berpikir keras. Hal itu nampak dari keningnya yang berkerut dalam. "Kenapa bisa? Ayu, kenapa bisa kamu menikah sama dia??!" Masayu agak terkejut mendengar nada bicara ayahnya yang meninggi. Kali ini gantian Masayu yang mengerutkan dahinya, kemudian bertanya heran pada Marwan, "Kenapa