"Aku sudah gak waras! Aku benar-benar gak waras!"
Sepanjang perjalanan pulang Amira tak henti-hentinya bergumam, merutuki dirinya sendiri yang telah melakukan kesalahan besar. Amira terus saja mengigit kuku ibu jarinya, yang merupakan sebuah kebiasaannya jika tengah gundah. Kring! Kring! Ponselnya berdering, Amira segera mengambilnya dari dalam tas lalu melihat nama nenek kesayangannya yang terpampang jelas pada layar ponsel berbentuk persegi panjang itu. "Iya, Oma," ucap Amira memulai pembicaraan. Terdengar samar-samar suara Nenek Yolanda menangis. Hal itu sontak membuat Amira mengerutkan keningnya dan merasa khawatir. "Hallo, Oma. Oma kenapa?" tanyanya. 'Nak, pulang sajalah. Oma sudah tahu semuanya dari Devan.' Amira membisu setelah mendengar ucapan dari Yolanda. Suara wanita tua berusia 65 tahun itu terdengar parau, membuat Amira semakin terluka mendengarnya. "Tidak Oma, jika Amira pulang maka Amira akan kalah. Amira ingin mengambil kembali perusahaan Bunda dari tangan Ayah, Amira harus tetap bertahan apapun yang terjadi," jawabnya. Buliran Air matannya kembali mengalir. Amira sudah bertahan sejauh ini demi satu tujuannya, walaupun ia harus mendapatkan perlakuan tak pantas dari sang suami berserta keluarganya. Amira tidak ingin semua usahanya sia-sia karena Irene, anak dari wanita yang sudah menghancurkan keluarganya. 'Apakah kamu yakin? Oma tidak ingin kamu semakin terluka, Sayang. Oma tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kamu.' Amira mengatupkan bibirnya, berusaha menahan tangisnya sambil melempar pandangannya ke kaca jendela taxi di bagian samping kirinya. 'Nak, pulanglah jika kamu tak mampu lagi menahannya. Pintu rumah selalu terbuka untukmu kapanpun kamu mau. Oma sangat menyayangimu, dibandingkan harta yang tak seberapa itu, kebahagiaanmu adalah segalanya bagi Oma.' Jebol sudah tanggul pertahanan Amira. Ia segera menutup telepon dari Yolanda karena sudah tak kuat lagi untuk menahan tangisannya. Hatinya yang berpura-pura kuat telah tersentuh, kini ia merasa lemah karena menyadari jika semuanya tak dapat lagi diperbaiki. *** "Selamat pagi, Pak!" Alicia, sekretaris pribadi Dexa menyapa sambil berdiri dengan posisi sedikit merunduk. "Ya, Pagi!" jawab Dexa disertai dengan senyuman yang membuat siapapun yang melihat bergidik ngeri. Bagaimana tidak, pria acuh yang bahkan jarang berbicara itu untuk pertama kalinya membalas sapaan para bawahannya ditambah dengan sebuah senyuman. "Apa kita sudah melakukan kesalahan fatal?" tanya Alicia berbisik pada Nathan, pria berkacamata yang turut menemani Dexa di diskotik malam itu. Nathan menggeleng, dan menjawab ngasal, "Abis menang lotre kayaknya!" Ekspresi wajah Alicia seketika berubah, ia pun melirik sinis ke arah Nathan sambil meraih sebuah ikat rambut dari atas meja kerjanya. "Emangnya kau, dapat lotre langsung kesenangan 7 hari 7 malam! Huh, mau aku ikat bibirmu?!" "Dasar judes, judes, judes! Lagian siapa suruh tanya ke aku? Aku cuma asisten Pak Bos, bukan cenayang," jawab Nathan dengan nada mengejek dan semakin membuat Alicia jengkel padanya. Kring! Kring! Kring! Telepon di atas meja kerja Alicia berdering, membuatnya terkejut dan reflek mengangkatnya dengan cepat. "Baik, Pak!" jawab Alicia lalu menutup kembali telepon itu. Gadis itu kembali menatap Nathan sambil menunjuk ke arah ruangan Dexa. "Cepat sana!" Nathan pun segera melangkah menuju ruangan Dexa tanpa banyak bertanya. Diketuknya pintu beberapa kali, sebelum ia benar-benar membukanya. "Nathan, ada yang saya mau bicarakan padamu." Dexa berkata sambil merapihkan beberapa dokumen di hadapannya. Jas yang dipadu dengan celana bahan berwarna senada membuat penampilan Dexa semakin terlihat menawan. "Silahkan duduk!" serunya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Nathan. Lagi-lagi Dexa tersenyum. Pria yang menginjak usia 37 tahun itu seketika kembali membuat Nathan merinding. "Kamu ingat wanita semalam yang menghampiriku?" tanya Dexa. Nathan kembali menggali ingatannya, lalu mengangguk. "Iya, saya ingat." "Dia adalah Amira Alexandra. Istri dari sepupuku, Gio Vegas." Nathan terkejut. Ia tidak menyangka jika wanita mabuk yang terlihat tidak waras itu adalah istri Gio yang selama ini disembunyikan. Namun bukan hanya itu, sikap Dexa yang tak seperti biasanya tak kalah membuatnya terkejut. Dexa, sang pewaris Vegas yang terkenal misterius dan tak sedikitpun tertarik pada lawan jenis itu pun tampak sumringah hanya dengan membicarakan sosok Amira yang bahkan penampilannya tidak sedikitpun terlihat menarik. Rumor gila yang selalu menyebutnya sebagai seorang penyuka sesama jenis tampaknya sekedar isapan jempol belaka. Nathan merasa lega sekaligus khawatir secara bersamaan. "Ada 1 tugas untukmu!" seru Dexa. Nathan mengangguk, memerhatikan secara seksama lawan bicaranya. Sikapnya yang cekatan dan loyal menjadi daya tarik Nathan. Dexa selalu puas dengan hasil kinerja dari sang asisten setianya. "Saya ingin kau menyelidiki tentang Gio Vegas. Gali apapun informasi yang kau dapatkan tentangnya, karena saya pikir ada sesuatu yang menarik di balik sosoknya yang menjengkelkan itu.""Jangan-jangan selama ini Mas Gio selalu pulang ke apartemen Irene."Amira bergumam, berspekulasi liar akan suaminya yang jarang pulang dengan alasan sibuk.Menjadi seorang aktor yang tengah naik daun memang memuat Gio memiliki jadwal yang padat, tetapi kini Amira tidak mampu lagi menahan prasangka buruknya.Amira menutup kedua wajahnya, meratap akan nasibnya. "Apa kurangku? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik walaupun kamu tidak pernah sekalipun menoleh ke arahku."Dibaringkannya tubuh di atas ranjang. Ranjang besar yang bahkan tak sekalipun pernah Gio jamah sepanjang waktu pernikahan mereka."Seandainya sikap Gio bisa seperti pria semalam," gumamnya mengingat betapa lembut dan hangatnya Dexa memperlakukannya. Pikiran liat itu seketika Amira tepis, bagaimanapun suaminya adalah Gio diluar bagaimana pria itu bersikap buruk padanya.Amira menghela napasnya, melihat jam di dindin yang sudah menunjukkan pukul 1 siang. Namun, walaupun waktu telah berlalu tidak ada satu orang peker
"Selamat ulang tahun Opa tersayang, semoga panjang umur dan sehat sentosa."Dengan bangga Gio datang bersama dengan seorang wanita yang sejak tadi menggandeng lengannya.Semua awak media saling berbisik, begitu pula para keluarga yang terlihat bingung."Saya memiliki hadiah istimewa pada ulang tahun Opa kali ini," ucap Gio.Gio mengeluarkan selembar kertas dan juga foto hasil USG seseorang. Pria itu tersenyum lebar lalu menarik Irene untuk sedikit maju. "Dia adalah Irene Darsono. Kekasihku dan tengah mengandung anakku.""Kami akan segera menikah," lanjut Gio.Bak tersambar petir di siang bolong, Amira terkejut hingga nyaris membuatnya limbung. Kepalanya terasa berputar, diperparah dengan reaksi keluarga Gio yang tampak bahagia. Tidak ada yang memperdulikannya dan perasaannya.Kesabarannya telah habis. Dengan sisa tenaga yang ia punya Amira mendekat dan menarik Gio dengan kasar, "Apa? Apa maksudmu, Mas?!""Saya akan menikahi Irene. Apa kau tuli?" jawab Gio enteng.Semua perhatian tertu
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" Amira berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan ibukota.Terpaan gerimis dan angin yang cukup kencang seolah bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Tak peduli dengan orang yang menatapnya aneh, Amira terus menangis. Hatinya, harga dirinya, dan hidupnya hancur berantakan dalam sekejap."Jangankan merebut kembali perusahaan ibu. Merebut hati suamimu saja pun aku tak mampu," gumamnya.Entah kemana langkah kaki akan membawanya. Amira sama sekali tidak tahu harus kemana ia kembali. Pulang ke desa pun rasanya tidak mungkin, Amira takut hanya menjadi beban sang nenek dan membuat neneknya jatuh sakit karena memikirkan nasibnya.Sudah nyaris 1 jam lamanya ia berjalan, kakinya pun sudah terasa sakit. Amira terduduk di ujung trotoar, termenung memikirkan arah tujuannya."Amira, sedang apa kamu di sini?"Amira yang sedari tadi menenggelamkan wajah di lutut pun mulai mengadah, melihat suara familiar yang baru saja menyapanya. "
'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya.Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran.Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.Brak!Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya ber
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya.Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran.Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.Brak!Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya ber
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" Amira berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan ibukota.Terpaan gerimis dan angin yang cukup kencang seolah bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Tak peduli dengan orang yang menatapnya aneh, Amira terus menangis. Hatinya, harga dirinya, dan hidupnya hancur berantakan dalam sekejap."Jangankan merebut kembali perusahaan ibu. Merebut hati suamimu saja pun aku tak mampu," gumamnya.Entah kemana langkah kaki akan membawanya. Amira sama sekali tidak tahu harus kemana ia kembali. Pulang ke desa pun rasanya tidak mungkin, Amira takut hanya menjadi beban sang nenek dan membuat neneknya jatuh sakit karena memikirkan nasibnya.Sudah nyaris 1 jam lamanya ia berjalan, kakinya pun sudah terasa sakit. Amira terduduk di ujung trotoar, termenung memikirkan arah tujuannya."Amira, sedang apa kamu di sini?"Amira yang sedari tadi menenggelamkan wajah di lutut pun mulai mengadah, melihat suara familiar yang baru saja menyapanya. "
"Selamat ulang tahun Opa tersayang, semoga panjang umur dan sehat sentosa."Dengan bangga Gio datang bersama dengan seorang wanita yang sejak tadi menggandeng lengannya.Semua awak media saling berbisik, begitu pula para keluarga yang terlihat bingung."Saya memiliki hadiah istimewa pada ulang tahun Opa kali ini," ucap Gio.Gio mengeluarkan selembar kertas dan juga foto hasil USG seseorang. Pria itu tersenyum lebar lalu menarik Irene untuk sedikit maju. "Dia adalah Irene Darsono. Kekasihku dan tengah mengandung anakku.""Kami akan segera menikah," lanjut Gio.Bak tersambar petir di siang bolong, Amira terkejut hingga nyaris membuatnya limbung. Kepalanya terasa berputar, diperparah dengan reaksi keluarga Gio yang tampak bahagia. Tidak ada yang memperdulikannya dan perasaannya.Kesabarannya telah habis. Dengan sisa tenaga yang ia punya Amira mendekat dan menarik Gio dengan kasar, "Apa? Apa maksudmu, Mas?!""Saya akan menikahi Irene. Apa kau tuli?" jawab Gio enteng.Semua perhatian tertu
"Jangan-jangan selama ini Mas Gio selalu pulang ke apartemen Irene."Amira bergumam, berspekulasi liar akan suaminya yang jarang pulang dengan alasan sibuk.Menjadi seorang aktor yang tengah naik daun memang memuat Gio memiliki jadwal yang padat, tetapi kini Amira tidak mampu lagi menahan prasangka buruknya.Amira menutup kedua wajahnya, meratap akan nasibnya. "Apa kurangku? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik walaupun kamu tidak pernah sekalipun menoleh ke arahku."Dibaringkannya tubuh di atas ranjang. Ranjang besar yang bahkan tak sekalipun pernah Gio jamah sepanjang waktu pernikahan mereka."Seandainya sikap Gio bisa seperti pria semalam," gumamnya mengingat betapa lembut dan hangatnya Dexa memperlakukannya. Pikiran liat itu seketika Amira tepis, bagaimanapun suaminya adalah Gio diluar bagaimana pria itu bersikap buruk padanya.Amira menghela napasnya, melihat jam di dindin yang sudah menunjukkan pukul 1 siang. Namun, walaupun waktu telah berlalu tidak ada satu orang peker