"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" Amira berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan ibukota.
Terpaan gerimis dan angin yang cukup kencang seolah bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Tak peduli dengan orang yang menatapnya aneh, Amira terus menangis. Hatinya, harga dirinya, dan hidupnya hancur berantakan dalam sekejap. "Jangankan merebut kembali perusahaan ibu. Merebut hati suamimu saja pun aku tak mampu," gumamnya. Entah kemana langkah kaki akan membawanya. Amira sama sekali tidak tahu harus kemana ia kembali. Pulang ke desa pun rasanya tidak mungkin, Amira takut hanya menjadi beban sang nenek dan membuat neneknya jatuh sakit karena memikirkan nasibnya. Sudah nyaris 1 jam lamanya ia berjalan, kakinya pun sudah terasa sakit. Amira terduduk di ujung trotoar, termenung memikirkan arah tujuannya. "Amira, sedang apa kamu di sini?" Amira yang sedari tadi menenggelamkan wajah di lutut pun mulai mengadah, melihat suara familiar yang baru saja menyapanya. "Devan!" "Kamu ngapain duduk di pinggir jalan begini, Amira? Ini sudah malam, mau hujan pula!" omel Devan cemas. Pandangan mata Devan tertuju pada koper dan tas jinjing yang berada di sebelah Amira. Ia pun menghela napas, lalu menarik tangan Amira agar segera bangun. "Sudah gak perlu jelasin sekarang. Yang penting kamu masuk dulu sebelum hujan!" titah Devan. Amira mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil milik Devan. Entah akan dibawa kemana, ia pasrah dan sepenuhnya percaya pada pria muda yang sudah ia anggap layaknya saudara sendiri. "Kamu sudah makan?" tanya Devan. Matanya fokus menatap jalanan di hadapannya, sambil sesekali melirik singkat Amira. Amira hanya diam, tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulutnya. Pandangan matanya kosong, matanya pun terlihat memerah dan sembab karena terlalu banyak menangis. 'Sial! Sebenarnya apa yang sudah dilakukan keluarga congkak itu kepada kamu?' Sepanjang jalan Devan tak hentinya mengumpat di dalam hatinya. Dadanya terasa bergemuruh melihat kondisi Amira yang memprihatinkan. Seandainya keluarganya lebih kuat, maka Devan pasti akan melindungi Amira dan tak merasa payah seperti saat ini. Rahangnya mengeras, hingga kedua tangannya mencengkram kemudi dengan sekuat tenaga. *** "Ha! ha! ha! Akhirnya aku terbebas dari wanita sialan itu!" Gio tiada henti-hentinya tertawa mengingat semua kemenangan dirinya. Sementara Irene tersenyum puas sambil menyenderkan kepalanya pada dada Gio di dalam sebuah kamar hotel. "Berkat akting siapa dulu?" "Iya-iya berkat kamu, Sayang!" jawab Gio. Dengan segelas wine yang sedari tadi ia goyang-goyangkan. Gio menikmati keberhasilannya sambil menikmati pemandangan gemerlap ibukota lewat jendela kamar yang terletak di lantai 30. Dibelainya dengan lembut rambut Irene, wanita yang sudah 1 tahun lebih menjadi simpanannya. "Tapi, jika kami dan dia bercerai. Kamu bisa memastikan Amira tidak mendapatkan harta gono gini, kan?" tanya Irene tiba-tiba. Wanita itu bangkit lalu menatap Gio dengan serius. Keinginannya untuk membuat Amira sengsara akan gagal jika saudari tirinya itu mendapatkan harta dari Gio berapapun nilainya. Gio tersenyum, lalu mengecup bibir Irene yang dilapisi lipstik berwarna merah. Lalu menyelipkan rambut kekasihnya ke belakang telinga. "Kamu tenang saja. Hanya rasa malu yang akan ia dapatkan setelah ini semua berakhir," jawabnya. Entah kesalahan apa yang sudah Amira perbuat, hingga membuat Gio memendam rasa tidak suka sebesar itu padanya. Gio hanya tidak suka dengan latar Amira tumbuh di pedesaan, dan penampilan wanita itu yang menurutnya sama sekali tidak menarik. Berbeda dengan Irene yang tumbuh di ibukota. Gaya berpakaiannya pun modis dan menggoda, membuat Gio berpikir jika Irene lah yang cocok bersanding dengan dirinya tanpa mengetahui niat tersembunyi wanita ular itu mendekatinya. *** "Ini adalah unit apartemen peninggalan almarhum ibumu," ucap Devan sesaat ia membuka pintu menggunakan sebuah kartu akses. "Tinggalkanlah disini, besok aku akan datang dan membawa bahan-bahan makanan untukmu." "Maaf, Dev. Aku benar-benar minta maaf sama kamu," ucap Amira tiba-tiba. Devan mengerutkan keningnya, menatap Amira dengan bingung. "Maaf? Untuk apa kamu minta maaf padaku?" "Selama ini aku selalu menyusahkan kamu, Dev. Bahkan kado untuk Tuan Marion pun aku mengandalkan dirimu," tutur Amira lirih. Sebenarnya Amira tidak ingin kembali membuat repot Devan, tetapi keadaannya yang tanpa tujuan seperti ini membuatnya tidak memiliki pilihan lain, setidaknya hanya untuk sementara waktu. Devan tersenyum, dan mengusap lembut pucuk kepala Amira. Tidak ada perasaan lain, Devan tulus menyayanginya layaknya saudari sendiri. "Kamu tidak pernah menyusahkan aku, Amira. Jadi tolong singkirkan rasa sungkan itu, dan minta tolonglah padaku setiap kau butuh pertolongan," jawabnya. Amira pun bergegas untuk masuk dan beristirahat. Tanpa mengetahui jika ada seseorang yang mengintai dirinya sejak Amira terusir keluar dari aula Hotel Semusim.'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya.Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran.Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.Brak!Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya ber
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"Sudah mau 2 tahun pernikahanmu, kapan kamu bisa memberikan kami cucu?"Tenggorokan Amira terasa tercekik saat pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh ayah mertuanya. Makanan yang sedari tadi dikunyah terasa sukar ditelan, Amira terdiam sambil menunduk bahkan tangannya gemetar sambil menggenggam pisau dan garpu."S-secepatnya, Pih. Iya, kan Mas?" jawabnya sambil menatap sang suami. Namun Gio sama sekali tidak menggubrisnya dan masih terus saja menikmati makanannya sendiri seolah tak mendengar apapun.Amira Alexandra, dipaksa menikahi Gio Vegas oleh sang ayah demi menjadi hutang piutang perusahaan kosmetik milik mendiang ibunya yang semakin lama semakin membengkak.Gadis yang tumbuh remaja di desa Greenville bersama neneknya ini hanya bisa pasrah, tanpa bisa melawan kehendak ayah yang telah menelantarkannya demi menikahi wanita simpanannya."Saya merasa ditipu, uang 500 miliar sia-sia hanya ditukar oleh wanita kampung mandul dan tidak berguna ini," celetuk Riani Herawati dengan ketus.
"Maaf ya, Mbak ...." ucapan seorang pria berkacamata yang duduk di samping pria tampan itu terputus, karena pria tampan itu memberikan isyarat untuk diam.Pria bernama Dexa itu tersenyum miring, alisnya terangkat sebelah ke atas menatap Amira yang berada di hadapannya dengan berani. "Aku ingin kau menghamiliku, aku akan membayar mahal untuk benihmu!" ucap Amira sambil menunjuk Dexa."Sungguh?" tanya Dexa. Suaranya terdengar sangat berat selaras dengan wajahnya yang terkesan maskulin dan sensual."Aku ini orang kaya raya. Uang aku banyak. Aku akan bayar benih kamu dengan harga fantastis. Cepat buat aku hamil!"Amira meraih kerah baju Dexa, hingga membuat jarak mereka semakin terkikis. "Apa kamu meragukanku karena penampilanku? Tenang saja, aku adalah pewaris resmi Beauty Lab, aku bisa membayar benihmu dengan cek kosong!"Dexa bangkit dari duduknya, kudua tangannya merangkul pinggul mungil Amira. Dexa tersenyum dan berbisik, "Baiklah, aku harap kau tidak menyesalinya, pelanggan!"***"K
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya.Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran.Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.Brak!Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya ber
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" Amira berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan ibukota.Terpaan gerimis dan angin yang cukup kencang seolah bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Tak peduli dengan orang yang menatapnya aneh, Amira terus menangis. Hatinya, harga dirinya, dan hidupnya hancur berantakan dalam sekejap."Jangankan merebut kembali perusahaan ibu. Merebut hati suamimu saja pun aku tak mampu," gumamnya.Entah kemana langkah kaki akan membawanya. Amira sama sekali tidak tahu harus kemana ia kembali. Pulang ke desa pun rasanya tidak mungkin, Amira takut hanya menjadi beban sang nenek dan membuat neneknya jatuh sakit karena memikirkan nasibnya.Sudah nyaris 1 jam lamanya ia berjalan, kakinya pun sudah terasa sakit. Amira terduduk di ujung trotoar, termenung memikirkan arah tujuannya."Amira, sedang apa kamu di sini?"Amira yang sedari tadi menenggelamkan wajah di lutut pun mulai mengadah, melihat suara familiar yang baru saja menyapanya. "
"Selamat ulang tahun Opa tersayang, semoga panjang umur dan sehat sentosa."Dengan bangga Gio datang bersama dengan seorang wanita yang sejak tadi menggandeng lengannya.Semua awak media saling berbisik, begitu pula para keluarga yang terlihat bingung."Saya memiliki hadiah istimewa pada ulang tahun Opa kali ini," ucap Gio.Gio mengeluarkan selembar kertas dan juga foto hasil USG seseorang. Pria itu tersenyum lebar lalu menarik Irene untuk sedikit maju. "Dia adalah Irene Darsono. Kekasihku dan tengah mengandung anakku.""Kami akan segera menikah," lanjut Gio.Bak tersambar petir di siang bolong, Amira terkejut hingga nyaris membuatnya limbung. Kepalanya terasa berputar, diperparah dengan reaksi keluarga Gio yang tampak bahagia. Tidak ada yang memperdulikannya dan perasaannya.Kesabarannya telah habis. Dengan sisa tenaga yang ia punya Amira mendekat dan menarik Gio dengan kasar, "Apa? Apa maksudmu, Mas?!""Saya akan menikahi Irene. Apa kau tuli?" jawab Gio enteng.Semua perhatian tertu
"Jangan-jangan selama ini Mas Gio selalu pulang ke apartemen Irene."Amira bergumam, berspekulasi liar akan suaminya yang jarang pulang dengan alasan sibuk.Menjadi seorang aktor yang tengah naik daun memang memuat Gio memiliki jadwal yang padat, tetapi kini Amira tidak mampu lagi menahan prasangka buruknya.Amira menutup kedua wajahnya, meratap akan nasibnya. "Apa kurangku? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik walaupun kamu tidak pernah sekalipun menoleh ke arahku."Dibaringkannya tubuh di atas ranjang. Ranjang besar yang bahkan tak sekalipun pernah Gio jamah sepanjang waktu pernikahan mereka."Seandainya sikap Gio bisa seperti pria semalam," gumamnya mengingat betapa lembut dan hangatnya Dexa memperlakukannya. Pikiran liat itu seketika Amira tepis, bagaimanapun suaminya adalah Gio diluar bagaimana pria itu bersikap buruk padanya.Amira menghela napasnya, melihat jam di dindin yang sudah menunjukkan pukul 1 siang. Namun, walaupun waktu telah berlalu tidak ada satu orang peker