'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya. Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran. Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya. Brak! Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya berkomentar buruk tanpa tahu apa-apa." Dengan cepat Dexa meraih kembali ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Selesaikan!" *** "Mir, kamu yakin?" tanya Devan saat mereka tengah menikmati sarapan bersama. Amira mengangguk, sudah mantap dengan pilihannya demi bertahan hidup. "Ya, bagaimanapun kehidupanku terus berjalan. Aku harus memiliki pekerjaan sendiri demi hidupku, aku tidak bisa terus menerus bergantung padamu." "Ya, tapi ...," ucap Devan menggantung. Tetapi Amira tersenyum lebar sambil mengangguk, berusaha meyakinkan Devan jika semua akan baik-baik saja. Devan menghela napas, sejak dulu ia memang tidak bisa menang dari bujukan Amira. Sekali lagi ia melihat sebuah poster yang berasal dari salah satu tabloid fashion, yang mengiklankan jika akan ada audisi untuk pemilihan model wanita. "Ya, terserah kamu saja," jawab Devan pasrah. "Mau aku antar?" Amira tersenyum tipis. Raut wajahnya bahkan berubah seketika. "Tapi, aku mau ke suatu tempat dulu sebelum kita ke salon," ucap Amira ragu. Devan mengerutkan keningnya, tatapannya menerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Amira. Namun semua pertanyaannya terjawab sudah saat Amira mengarahkan jalan menuju kantor pengadilan agama. "Amira, mau aku temani?" tanya Devan sebelum Amira membuka pintu mobil. Amira menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis menatap Devan dengan sayu. "Tidak perlu. Kamu tunggu saja di sini karena aku tidak mau menyeretmu dalam masalahku." Beberapa kali Amira menghela napasnya, sebelum ia benar-benar keluar dari dalam mobil. Sedangkan Devan hanya bisa menatap kepergian Amira hingga bayangan Amira hilang dari pandangannya. "Waw! Lihat siapa yang datang?" Irene tersenyum dengan tangan yang terus saja bergelayut manja pada Gio tanpa rasa malu. Tak bisa dipungkiri Amira merasa sakit hati. Walaupun pernikahan mereka tak didasarkan oleh cinta, tetapi selama 2 tahun ini Amira selalu berharap dan berusaha agar mereka bisa menjadi pasangan yang normal. "Sayang lebih baik kamu jangan terlalu lama menatapnya. Jangan sampai anak kita tertular virus kampungannya," cibir Gio. Kedua pasangan itu tertawa mengejek, menatap Amira dengan pandangan Hina. Mau marah pum dirasa percuma, air matanya seakan sudah mengering setelah penghinaan dan fitnah bertubi yang menimpanya malam itu. Tanpa ekspresi Amira menatap Gio dan berkata, "Lebih baik segera selesaikan, saya ada urusan penting daripada ladeni kalian." *** "Apa ada peserta lain?" tanya salah satu juri yang mulai bosan. Sudah satu jam berjalan tetapi tidak ada 1 peserta pun yang masuk dengan penilaian dirinya. Mereka butuh model yang berbeda, yang tidak hanya terlihat cantik tetapi juga memancarkan aura anggun dan karismatik dari dalam dirinya. "Selanjutnya peserta nomer 50 atas nama Amira Alexandra!" Deg! Seorang wanita perlahan muncul dan tampak kikuk berjalan di atas sebuah catwalk. Rambut hitam panjangnya yang berkilau dan bergelombang, dipadu dengan riasannya yang tak begitu mencolok. Memancarkan kecantikan alamiahnya yang dibalut dress mini selutut yang mengekspos tulang selangkanya. Amira seakan menjadi sosok yang berbeda dan jauh dari kata kampungan yang selama ini melekat di dalam dirinya. 'G-gigolo itu!' teriak Amira di dalam hati. Pandangan mereka saling bertemu, membuat Amira semakin panas dingin setelah membaca papan nama 1 dari 6 juri acara tersebut. 'Dexa Vegas? Presiden Direktur Vegas Group! Matilah aku!' Tenggorokannya terasa tercekik, mimik wajahnya pun tidak bisa ia kendalikan lagi. Dengan sikapnya yang semakin kaku, Amira memutuskan pura-pura bodoh. Perasaannya tidak tenang bahkan setelah audisi usai. Amira benar-benar pasrah akan nasibnya yang sudah mencari masalah dengan Dexa. "Sudah tidak ada harapan lagi, pasti aku di blacklist," gumamnya lemas. Satu jam kemudian pengumuman hasil audisi pun keluar. Suara jeritan satu persatu peserta terdengar, dan ada pula yang menangis karena kecewa tak bisa lolos audisi. Amira pun melihat hasilnya yang diumumkan lewat website online tanpa harapan, tetapi seketika kedua matanya melotot karena nama dirinya lah yang terpampang diurutan pertama peserta yang lolos. "Selamat untuk semua peserta yang lolos audisi. Lalu untuk urutan pertama, mohon ikut saya ke ruang direktur!" ucap seorang satu wanita yang merupakan kru acara audisi. Dengan langkah gontai Amira mengikutinya. Perasannya campur aduk dan didominasi rasa takut hingga membuat perutnya menjadi mulas. "Silahkan masuk!" ucap wanita itu mempersilahkan. Amira mengangguk dan menatap pintu kaca yang bagaikan pintu neraka baginya. Perlahan ia melangkahkan kakinya dan di sambut oleh Dexa dengan secarik kertas di atas mejanya."Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"Sudah mau 2 tahun pernikahanmu, kapan kamu bisa memberikan kami cucu?"Tenggorokan Amira terasa tercekik saat pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh ayah mertuanya. Makanan yang sedari tadi dikunyah terasa sukar ditelan, Amira terdiam sambil menunduk bahkan tangannya gemetar sambil menggenggam pisau dan garpu."S-secepatnya, Pih. Iya, kan Mas?" jawabnya sambil menatap sang suami. Namun Gio sama sekali tidak menggubrisnya dan masih terus saja menikmati makanannya sendiri seolah tak mendengar apapun.Amira Alexandra, dipaksa menikahi Gio Vegas oleh sang ayah demi menjadi hutang piutang perusahaan kosmetik milik mendiang ibunya yang semakin lama semakin membengkak.Gadis yang tumbuh remaja di desa Greenville bersama neneknya ini hanya bisa pasrah, tanpa bisa melawan kehendak ayah yang telah menelantarkannya demi menikahi wanita simpanannya."Saya merasa ditipu, uang 500 miliar sia-sia hanya ditukar oleh wanita kampung mandul dan tidak berguna ini," celetuk Riani Herawati dengan ketus.
"Maaf ya, Mbak ...." ucapan seorang pria berkacamata yang duduk di samping pria tampan itu terputus, karena pria tampan itu memberikan isyarat untuk diam.Pria bernama Dexa itu tersenyum miring, alisnya terangkat sebelah ke atas menatap Amira yang berada di hadapannya dengan berani. "Aku ingin kau menghamiliku, aku akan membayar mahal untuk benihmu!" ucap Amira sambil menunjuk Dexa."Sungguh?" tanya Dexa. Suaranya terdengar sangat berat selaras dengan wajahnya yang terkesan maskulin dan sensual."Aku ini orang kaya raya. Uang aku banyak. Aku akan bayar benih kamu dengan harga fantastis. Cepat buat aku hamil!"Amira meraih kerah baju Dexa, hingga membuat jarak mereka semakin terkikis. "Apa kamu meragukanku karena penampilanku? Tenang saja, aku adalah pewaris resmi Beauty Lab, aku bisa membayar benihmu dengan cek kosong!"Dexa bangkit dari duduknya, kudua tangannya merangkul pinggul mungil Amira. Dexa tersenyum dan berbisik, "Baiklah, aku harap kau tidak menyesalinya, pelanggan!"***"K
"Aku sudah gak waras! Aku benar-benar gak waras!"Sepanjang perjalanan pulang Amira tak henti-hentinya bergumam, merutuki dirinya sendiri yang telah melakukan kesalahan besar. Amira terus saja mengigit kuku ibu jarinya, yang merupakan sebuah kebiasaannya jika tengah gundah.Kring! Kring!Ponselnya berdering, Amira segera mengambilnya dari dalam tas lalu melihat nama nenek kesayangannya yang terpampang jelas pada layar ponsel berbentuk persegi panjang itu."Iya, Oma," ucap Amira memulai pembicaraan.Terdengar samar-samar suara Nenek Yolanda menangis. Hal itu sontak membuat Amira mengerutkan keningnya dan merasa khawatir. "Hallo, Oma. Oma kenapa?" tanyanya.'Nak, pulang sajalah. Oma sudah tahu semuanya dari Devan.'Amira membisu setelah mendengar ucapan dari Yolanda. Suara wanita tua berusia 65 tahun itu terdengar parau, membuat Amira semakin terluka mendengarnya."Tidak Oma, jika Amira pulang maka Amira akan kalah. Amira ingin mengambil kembali perusahaan Bunda dari tangan Ayah, Amira
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya.Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran.Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.Brak!Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya ber
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" Amira berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan ibukota.Terpaan gerimis dan angin yang cukup kencang seolah bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Tak peduli dengan orang yang menatapnya aneh, Amira terus menangis. Hatinya, harga dirinya, dan hidupnya hancur berantakan dalam sekejap."Jangankan merebut kembali perusahaan ibu. Merebut hati suamimu saja pun aku tak mampu," gumamnya.Entah kemana langkah kaki akan membawanya. Amira sama sekali tidak tahu harus kemana ia kembali. Pulang ke desa pun rasanya tidak mungkin, Amira takut hanya menjadi beban sang nenek dan membuat neneknya jatuh sakit karena memikirkan nasibnya.Sudah nyaris 1 jam lamanya ia berjalan, kakinya pun sudah terasa sakit. Amira terduduk di ujung trotoar, termenung memikirkan arah tujuannya."Amira, sedang apa kamu di sini?"Amira yang sedari tadi menenggelamkan wajah di lutut pun mulai mengadah, melihat suara familiar yang baru saja menyapanya. "
"Selamat ulang tahun Opa tersayang, semoga panjang umur dan sehat sentosa."Dengan bangga Gio datang bersama dengan seorang wanita yang sejak tadi menggandeng lengannya.Semua awak media saling berbisik, begitu pula para keluarga yang terlihat bingung."Saya memiliki hadiah istimewa pada ulang tahun Opa kali ini," ucap Gio.Gio mengeluarkan selembar kertas dan juga foto hasil USG seseorang. Pria itu tersenyum lebar lalu menarik Irene untuk sedikit maju. "Dia adalah Irene Darsono. Kekasihku dan tengah mengandung anakku.""Kami akan segera menikah," lanjut Gio.Bak tersambar petir di siang bolong, Amira terkejut hingga nyaris membuatnya limbung. Kepalanya terasa berputar, diperparah dengan reaksi keluarga Gio yang tampak bahagia. Tidak ada yang memperdulikannya dan perasaannya.Kesabarannya telah habis. Dengan sisa tenaga yang ia punya Amira mendekat dan menarik Gio dengan kasar, "Apa? Apa maksudmu, Mas?!""Saya akan menikahi Irene. Apa kau tuli?" jawab Gio enteng.Semua perhatian tertu
"Jangan-jangan selama ini Mas Gio selalu pulang ke apartemen Irene."Amira bergumam, berspekulasi liar akan suaminya yang jarang pulang dengan alasan sibuk.Menjadi seorang aktor yang tengah naik daun memang memuat Gio memiliki jadwal yang padat, tetapi kini Amira tidak mampu lagi menahan prasangka buruknya.Amira menutup kedua wajahnya, meratap akan nasibnya. "Apa kurangku? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik walaupun kamu tidak pernah sekalipun menoleh ke arahku."Dibaringkannya tubuh di atas ranjang. Ranjang besar yang bahkan tak sekalipun pernah Gio jamah sepanjang waktu pernikahan mereka."Seandainya sikap Gio bisa seperti pria semalam," gumamnya mengingat betapa lembut dan hangatnya Dexa memperlakukannya. Pikiran liat itu seketika Amira tepis, bagaimanapun suaminya adalah Gio diluar bagaimana pria itu bersikap buruk padanya.Amira menghela napasnya, melihat jam di dindin yang sudah menunjukkan pukul 1 siang. Namun, walaupun waktu telah berlalu tidak ada satu orang peker