"Selamat ulang tahun Opa tersayang, semoga panjang umur dan sehat sentosa."
Dengan bangga Gio datang bersama dengan seorang wanita yang sejak tadi menggandeng lengannya. Semua awak media saling berbisik, begitu pula para keluarga yang terlihat bingung. "Saya memiliki hadiah istimewa pada ulang tahun Opa kali ini," ucap Gio. Gio mengeluarkan selembar kertas dan juga foto hasil USG seseorang. Pria itu tersenyum lebar lalu menarik Irene untuk sedikit maju. "Dia adalah Irene Darsono. Kekasihku dan tengah mengandung anakku." "Kami akan segera menikah," lanjut Gio. Bak tersambar petir di siang bolong, Amira terkejut hingga nyaris membuatnya limbung. Kepalanya terasa berputar, diperparah dengan reaksi keluarga Gio yang tampak bahagia. Tidak ada yang memperdulikannya dan perasaannya. Kesabarannya telah habis. Dengan sisa tenaga yang ia punya Amira mendekat dan menarik Gio dengan kasar, "Apa? Apa maksudmu, Mas?!" "Saya akan menikahi Irene. Apa kau tuli?" jawab Gio enteng. Semua perhatian tertuju padanya, tetapi Amira sama sekali tidak peduli. Hidupnya hancur karena wanita yang telah merenggut kasih sayang sang ayah darinya. "Irene, kamu adikku. Kenapa kamu bisa-bisanya berselingkuh dengan suamiku?!" jerit Amira. Sejenak suasana menjadi hening. Semua orang terdiam dengan segala spekulasi yang ada di pikiran mereka masing-masing. Irene tersenyum tipis, lalu tiba-tiba saja menangis seperti orang yang memiliki 2 kepribadian. "Berselingkuh? Sejak awal kamu yang memaksa untuk menikahi Gio!" teriak Irene dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Irene memeluk Gio, membuat siapapun merasa iba dengannya yang terlihat begitu lemah lembut. Disela isakan tangisnya, Irene kembali berkata, "Kamu jahat Amira, karena yang seharusnya menikah dengan Gio adalah aku, bukan kamu! Seandainya kamu tidak mengancam ingin bunuh diri, maka Ayah pasti menikahkan aku dengan Gio." "Kamu adalah penghalang cinta kami, harusnya kamu sadar saat Gio tidak mau mempublikasikan hubungan kalian! Itu semua karena dia berusaha menjaga perasaanku," lanjutnya. Bibir Amira sedikit terbuka, wajahnya terlihat kebingungan. Semua ucapan Irene sama sekali berbeda dari kenyataannya, dan membuatnya gugup harus berkata apa lagi. "Gio, benarkah apa yang dikatakan olehnya?" Riani tiba-tiba saja membuka suaranya, membuat Amira semakin terpojokkan. Gio mengangguk, sambil menunjuk ke arah Amira dengan penuh kebencian. "Dia adalah wanita buruk rupa yang menjijikan. Tingkah lakunya seburuk wajahnya." Plak! Tak hanya difitnah. Amira kembali merasakan sakitnya tamparan dari ibu mertuanya. Hatinya sangat sakit, harga dirinya hancur lebur terinjak-injak. Tiap kilatan cahaya kamera yang menyorotnya seperti sebilah pisau yang terus menyayatinya. Tanpa ada yang membela, Amira berusaha kuat berdiri di tengah-tengah orang-orang yang menatapnya penuh rasa jijik dan benci. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Amira sekuat tenaga membuka mulutnya yang terasa berat. Ia harus mempertahankan harga dirinya yang tersisa, itulah yang tengah dipikirkannya. "T-tidak! Ini semua fitnah, aku tidak seperti itu!" ucapnya terbata. "A-aku yang dipaksa menikahimu, Gio. Karena ayah mengatakan, aku yang seharusnya bertanggung jawab atas hutang Beauty Lab." Wajah yang pucat dengan tubuh gemetar, membuat Irene tertawa melihat kondisi saudari tirinya. Semua skenario yang sudah disusunnya dan Gio, berhasil menarik simpati dan membuat Amira menjadi tersangka utamanya. "Sampai akhir pun kamu masih tidak mengaku! Pantas saja, Irene ketakutan saat aku memohon padanya untuk kembali padaku 2 bulan yang lalu!" hina Gio. "Pantas saja kamu tak kunjung hamil. Kamu adalah wanita paling jahat yang dikutuk oleh Tuhan!" Seluruh ucapan lontar dari mulut suaminya semakin memperburuk kondisi mental Amira. Tak sampai di situ, Gio melemparkan sepucuk surat dan juga sebuah pena hingga mengenai wajah Amira. Amira meraih surat tersebut dan membacanya. Air matanya seketika tumpah, menerima kenyataan jika Gio sungguh akan menceraikan dirinya. Napasnya terengah-engah, pandangannya berputar dan berkunang-kunang. Amira menatap Gio dengan wajah sembab. "Cerai? Kamu ingin kita bercerai?" "Cepat tanda tangani! Tidak ada lagi tempatmu di sini!" bentak Gio. Tatapan penuh kebencian mengelilinginya. Menekan dan memaksa agar dirinya segera membubuhkan tanda tangan perceraian. Tak ada lagi yang bisa ia perjuangkan, semua kesabarannya selama ini berbuah getir. Dengan gemetar Amira menanda tangani surat perceraian tersebut, dan segera direbut kembali oleh Gio yang terlihat tersenyum puas. Tak sampai disitu saja. Tiba-tiba seseorang masuk sambil menarik sebuah koper dan sebuah tas jinjing berukuran besar. Amira sangat mengenalinya, karena orang tersebut adalah salah satu asisten rumah tangga yang sering mencibirnya. Brak! Koper dan tas itu mendarat tepat dihadapannya. Beberapa pakaian terpental keluar, yang membuat Amira menyadari jika semua itu adalah barang-barang miliknya. "Silahkan pergi! Kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini!""Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" Amira berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan ibukota.Terpaan gerimis dan angin yang cukup kencang seolah bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Tak peduli dengan orang yang menatapnya aneh, Amira terus menangis. Hatinya, harga dirinya, dan hidupnya hancur berantakan dalam sekejap."Jangankan merebut kembali perusahaan ibu. Merebut hati suamimu saja pun aku tak mampu," gumamnya.Entah kemana langkah kaki akan membawanya. Amira sama sekali tidak tahu harus kemana ia kembali. Pulang ke desa pun rasanya tidak mungkin, Amira takut hanya menjadi beban sang nenek dan membuat neneknya jatuh sakit karena memikirkan nasibnya.Sudah nyaris 1 jam lamanya ia berjalan, kakinya pun sudah terasa sakit. Amira terduduk di ujung trotoar, termenung memikirkan arah tujuannya."Amira, sedang apa kamu di sini?"Amira yang sedari tadi menenggelamkan wajah di lutut pun mulai mengadah, melihat suara familiar yang baru saja menyapanya. "
'Target masuk ke Apartemen Nature View, dengan pria yang diduga cucu ke 3 keluarga Sulaiman, Devan Sulaiman. Sekitar 1 jam kemudian mobil milik Devan Sulaiman meninggalkan gedung apartemen tersebut.'Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Dexa berserta beberapa foto yang menyertainya. Dexa yang sama sekali tidak tertarik hadir ke pesta ulang tahun kakeknya, hanya terus menunggu kabar dari seseorang yang sudah menjadi mata-mata kepercayaannya.Diketuk-ketuknya meja kerjanya dengan jemari tangan. Dexa berpikir sampai keningnya berkerut. "Devan Sulaiman, siapa dia?" gumamnya penasaran.Tak lama perhatiannya tertuju pada layar laptop, dimana gosip tentang Amira dan Gio langsung tersebar di portal online tanpa mengenal waktu. Hujatan dan cacian dari para pengguna internet pun tertuju pada Amira, tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya.Brak!Dexa tanpa sengaja memukul meja kerjanya, membaca seluruh komentar membuatnya menjadi sakit kepala. "Orang-orang ini! Bisa-bisanya ber
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"M-maaf! Maaf aku gak sengaja!"Kedua pipinya merona, dengan kepalanya yang menunduk sambil sedikit membungkuk.Amira setengah mati menahan rasa malu setelah ia akhirnya menyadari, jika dirinya sedari tadi terjatuh di tas tubuh Dexa."Kenapa harus minta maaf? Bahkan jika kamu masih ingin bersandar padaku pun aku akan senang hati melakukannya," ujar Dexa menggoda.Dengan pakaian yang terlihat berantakan dan membuka sebagian kemeja bagian atasnya, Dexa merentangkan tangannya seolah menanti Amira untuk kembali terjun ke dalam pelukannya.Brak!"K-kamu tidur di sini!" ucap Amira setelah melemparkan sebuah bantal sofa hingga mengenai wajah Dexa.Rasa malu yang mendominasi hatinya membuat Amira segera berlari masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya. Amira terdiam di balik pintu, memegang dadanya yang masih terasa berdetak kencang."Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi pada hidupku?"Perlahan tubuhnya merosot hingga terduduk di lantai. Rasa dingin malam itu terasa menusuk hati, menema
"Dasar orang gila! Kalian pikir aku bisa terus menerus kalian injak!" Sambil terus memakai, Amira berjalan keluar toko itu. Perasaannya sungguh tak karuan, ingin rasanya ia segera membalas semua perlakuan adik tiri dan mantan suaminya. Tiba-tiba tangannya di tarik seseorang. Amira yang terkejut pun langsung menatap sosok yang menarik tangannya. "Dexa?" "Kita bicara di tempat lain!" bisik Dexa dan segera membawa Amira untuk menjauh. Kali ini Dexa memesan sebuah restoran secara privat. Memastikan agar tidak ada yang mengganggu atau menguping pembicaraannya dengan Amira. "Minum dulu," ucapnya tersenyum, menyodorkan segelas jus jeruk kepada istrinya. Amira tak banyak bicara. Tanpa sedikitpun keraguan ia segera meminum seluruhnya hingga tandas. Napasnya masih terlihat terengah-engah, wajahnya memerah sampai membuat dahinya berkeringat. Dexa mengambil sapu tangan miliknya dari dalam saku, lalu mengusapkannya perlahan pada kening istrinya. "Minumnya perlahan aja agar tidak terseda
"Maaf, saya tidak sengaja." Spontan Amira mengucapkan permintaan maaf dengan suaranya yang lembut dan sopan. Ia pun turut membantu mengambilkan barang wanita yang baru saja ia tabrak tanpa melihat sosoknya terlebih dahulu."Kalau jalan tuh pakai mata! Lihat tas mewah saya jadi jatuh, emangnya kami bisa ganti?!" teriak wanita tersebut dengan wajah jengkel.Amira yang masih menunduk dan berpakaian sederhana itu pun di anggap sebagai seorang pembantu oleh wanita tersebut, yang terus menerus memaki dan merendahkannya. "Mana tas saya, lelet!"Wanita itu pun menarik paksa tas yang baru saja Amira raih, sehingga membuat Amira tersentak dan spontan mendongakkan kepala.Seketika tawa wanita itu pecah, melihat siapa sosok yang ada di hadapannya."Ya ampun! Lihat siapa ini, Sayang?!"Amira terdiam, dadanya terasa bergemuruh karena wanita yang tak sengaja ia tabrak adalah Irene yang tengah bersama Gio. Keduanya tampak mesra, dan tanpa ragu menunjukkan kemesraan mereka di depan umum.Irene menoleh
"Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu tapi, aku harap kamu tidak akan lupa akan janjimu!"Dexa tersenyum sumringah lalu lalu berdiri dan mendekati Amira. Pria tampan itu merengkuh dagu Amira, menatap lekat mata jernih nan indah milik Amira. "Satu tahun! Berikan waktu paling lama 1 tahun untuk menyelesaikannya. Tapi, jika semua sudah aku penuhi, aku harap ...." ucap Dexa menggantung.Dexa mendekati telinga Amira dan berbisik, "Jangan pernah sedikitpun berpikir untuk pergi dariku!"Entah mengapa Amira merasa berdebar hanya karena bisikan dari Dexa. Ia menelan salivanya dengan kasar, dan berusaha untuk tetap memasang mimik wajah tenang. "Baiklah.""Bagus. Tugas pertamamu adalah pindah ke rumahku! Bawalah barang-barang yang menurutmu berharga, selebihnya aku akan membelikan semuanya yang baru."Amira mengangguk, tanpa banyak bicara ia menuruti semua perintah dari Dexa. Amira masuk ke dalam kamarnya dan membawa berkas berharga serta barang peninggalan mendiang ibunya, seda
"M-maaf! Maaf aku gak sengaja!"Kedua pipinya merona, dengan kepalanya yang menunduk sambil sedikit membungkuk.Amira setengah mati menahan rasa malu setelah ia akhirnya menyadari, jika dirinya sedari tadi terjatuh di tas tubuh Dexa."Kenapa harus minta maaf? Bahkan jika kamu masih ingin bersandar padaku pun aku akan senang hati melakukannya," ujar Dexa menggoda.Dengan pakaian yang terlihat berantakan dan membuka sebagian kemeja bagian atasnya, Dexa merentangkan tangannya seolah menanti Amira untuk kembali terjun ke dalam pelukannya.Brak!"K-kamu tidur di sini!" ucap Amira setelah melemparkan sebuah bantal sofa hingga mengenai wajah Dexa.Rasa malu yang mendominasi hatinya membuat Amira segera berlari masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya. Amira terdiam di balik pintu, memegang dadanya yang masih terasa berdetak kencang."Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi pada hidupku?"Perlahan tubuhnya merosot hingga terduduk di lantai. Rasa dingin malam itu terasa menusuk hati, menema
"Sayang, pelan-pelan dong! Geli tau."Suara desahan dan tawa saling silih berganti, memenuhi sebuah kamar yang biasanya hanya diselimuti keheningan.Sinar sang rembulan yang bersinar terang mengintip di balik celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Sepasang kekasih bak merpati itu saling bercumbu berbagi kasih atas kemenangan hubungan mereka."Apakah dia pernah menyentuhmu seperti ini?" tanya Irene dengan jemarinya membelai lembut wajah tampan Gio.Gio tersenyum, menangkap tangan Irene yang berada di bawahnya lalu perlahan mengecupnya. "Hanya kamu yang melakukannya, Sayang.""Sungguh?""Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan wanita kampungan buruk rupa itu menyentuhku," jawan Gio tersenyum lebar.Suara decitan ranjang pun semakin membuat panas malam itu. Mereka tidak memperdulikan apapun, selain kesenangan dan kepuasan mereka sendiri.Sementara di lantai bawah sebuah kabar membuat keributan dari orang tua Gio. Wajah pasangan suami istri itu tampak bingung sekaligus terkejut tidak perc
"Kamu ini sudah gak waras?" Suara seorang pria tampak murka selaras dengan wajahnya yang memerah. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari lawan bicaranya. "Amira, jawab!""Semuanya terjadi begitu saja! Aku juga masih bingung, Devan!" jawab Amira.Satu jam yang lalu, dirinya dan Dexa pergi menuju catatan sipil. Keduanya pun segera mendaftarkan pernikahan mereka, agar langsung terlihat dah di mata hukum negara.Amira menghela napasnya, memijat keningnya yang masih terasa berdenyut. "Aku gak punya pilihan lain. Aku benar-benar bingung!"Kedua tangan Devan mengepal, rahangnya bahkan mengeras menahan rasa kesal yang sudah payah ia kendalikan. "Dasar Vegas brengsek. Mereka semua sama saja!"Amira meraih segelas air putih dingin yang terletak di atas meja, lalu segera meminumnya hingga tandas. Matanya menatap pemandangan balkon apartemen milik sang ibu. Langit terlihat kelabu, seolah menggambarkan hati dan pikirannya saat ini."Gak bisa dibiarkan"
"Benarkah?" tanya Dexa dengan senyuman yang seakan terpatri pada wajahnya yang rupawan.Mata elangnya menatap Amira yang menunduk yang sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Ketakutan menguasainya, memikirkan nasib neneknya jika ia berakhir di dalam jeruji besi."Saya pikir jika menerima perjodohan itu, hidup saya bisa bahagia. Saya berharap jika kelak suami saya akan membantu untuk mengambil kembali semua hak saya atas perusahan mendiang ibu saya," ungkap Amira.Rasa takut, khawatir, marah, kecewa pun berpadu menjadi satu. Memenuhi seluruh rongga hati yang kini bahkan kian meluap. Bibirnya gemetar, tetapi Amira tidak berniat sama sekali untuk berhenti berbicara. "Tetapi kenyataannya, yang saya dapat hanya hinaan. Dan kini kami bercerai karena ia berselingkuh dengan saudari tiri saya sendiri.""Mereka memfitnah saya, membuang saya begitu saja seperti sampah. Sebenarnya apa kurang saya? Selama ini saya selalu berusaha menjadi yang terbaik di mana mereka!" Tida
"Ayo, Sayang. Dimakan dulu buahnya!"Riani tersenyum sambil perlahan menyuapi Irene dengan semangkuk buah yang ia potong-potong sendiri. Tutur katanya begitu manis, dengan perlakuannya yang terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Amira selama ini."Sudahlah, Ma. Nanti Irene kekenyangan," ucap Gio mencegah ibunya untuk terus menerus menyuapi Irene dengan berbagai makanan. Terapi wanita tua keras kepala itu malah menatap tajam kepadanya sambil terus menyuapi Irene dengan potongan buah."Ini untuk cucu Mama! Kenapa kamu ini bawel sekali."Ruangan yang biasanya terasa sunyi itu kini dipenuhi oleh canda tawa. Sungguh ironi tetapi inilah kenyataannya, mereka tertawa bahagia di atas air mata Amira. Melupakan begitu saja perlakuan buruk mereka yang menjadi sebuah momok menakutkan bagi Amira."Ma, aku punya sesuatu untuk Mama," ucap Gio yang berhasil membuat Riani penasaran.Gio mengambil sebuah amplop yang cukup besar lalu memberikannya pada Irene, senyumannya begitu
"Selamat datang, Pelanggan!" ucap Dexa sambil tersenyum seringai.Detak jantung Amira semakin berdebar dengan kencang, selaras dengan isi kepalanya yang terus memikirkan solusi untuk masalahnya saat ini."M-maaf, saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud." Amira beralasan, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu atau tidak mengingat kejadian malam itu.Mendengarnya seketika membuat Devan tertawa. Dengan sebelah alis yang terangkat Dexa berjalan mendekati Amira tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.Diambilnya secarik kertas bekas bon belanja itu, lalu mengibaskannya di depan wajah Amira."Kamu mau melarikan diri dari hutangmu padaku?""Hutang apa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu," jawab Amira.Rahang tegas, mata biru dan wajahnya yang terkesan seksi itu sejenak membius Amira. Betulkah pria luar biasa ini adalah pasangan one night stand -nya? Amira sedikit ragu tapi inilah kenyataannya."Apakah permainanku kurang memuaskan hingga kau membayarku dengan uang receh itu? Bahkan me