Happy Reading*****Tangan kanan Ramadan terangkat dengan kelima jarinya tegak ke atas. "Pokoknya jangan sampai Papa melihat wajah Wening cemberut gara-gara ulahmu," ucapnya, "sekarang kita bahas pekerjaan. Kalian berdua harus menemui tamu yang baru saja datang dari Surabaya. Dia jauh-jauh nyari garmen kita padahal di tempatnya begitu banyak garmen besar yang bisa memenuhi permintaan baju untuk menyuplai tokonya. Papa minta kamu bisa membuat kesepakatan dengan beliau. Akan sangat menguntungkan jika kita bisa bekerja sama. Order yang dia lakukan jelas berlanjut dan dengan jumlah besar. Dia memiliki banyak banyak reseller saat menjalankan usaha.""Hmm," jawab Ibra. Dia terlihat menyimpan amarah karena perkataan Ramadan."Kamu bisa, kan, Ning? Bekerja dengan cowok menjengkelkan macam putra saya ini.""Pa, bisa tidak, jangan merendahkan aku terus," protes Ibra. Sengaja membuang muka agar tidak terlalu kentara kemarahannya pada si gadis.Ramadan tertawa keras mendengar protesan sang putra.
Happy Reading*****Perempuan yang berada di sebelah klien Ibra, tersenyum. "Kalian berdua ini lucu sekali. Segeralah menikah supaya tidak terhindar dari fitnah."Sekali lagi, Wening menggeleng dengan sangat cepat. "Saya bukan calon menantu Pak Ramadan. Kami berdua tidak ada hubungan apa pun kecuali hubungan pekerjaan," jelas si gadis.Si klien lelaki makin mengeraskan tawa. Sambil duduk, dia menatap Ibra dan Wening bergantian. "Semoga disegerakan," ucapnya kemudian.Ibra dan Wening sama-sama terdiam. Putra semata wayang Ramadan bahkan tidak mengetahui dengan hatinya sendiri mengapa dia bisa menjawab seperti itu tadi. "Kalian sudah memesan makanan?" tanya lelaki di sebelah Ibra, klien mereka yang bernama Wijaya."Kami baru pesan minuman saja," jawab Ibra."Apa kalian sudah sarapan," sahut perempuan di sebelah Wijaya."Kalau saya sudah, Bu. Nggak tahu kalau Pak Ibra."Saya juga sudah. Silakan saja misal Bapak atau Ibu mau sarapan terlebih dulu. Kami akan menunggu, santai saja." Ibra t
Happy Reading*****"Tidak perlu sepolos itu untuk menutupi hubungan kalian itu seprti apa sebenarnya. Apalagi berpura-pura jika kamu tidak mengetahui bahwa Fandra adalah salah satu pemilik kafe ini." Tatapan Ibra tajam menghunus jantung Wening. Seolah gadis itu adalah penjahat yang ketahuan melakukan kesalahan."Maksud Bapak apa?" "Sudahlah," kata Ibra, "sebaiknya kita turun sekarang. Tidak enak membuat Pak Wijaya dan istrinya menunggu." Membuka pintu dan turun. Ibra bahkan mengabaikan Wening yang berjalan tergesa mengikuti langkahnya yang lebar dan panjang.Maklum, Wening tergolong gadis mungil dengan tinggi 150 cm. Jika dibanding dengan atasannya, mungkin gadis itu cuma di atas pinggang Ibra.Melewati pintu masuk kafe, beberapa karyawan sudah menyapa keempat pelanggan yang baru masuk. Salah satu pegawai bahkan langsung menyapa Wening dengan menyebutkan namanya."Wah, Mbak Wening pasti ada janji sama Mas bos. Makanya, sejak pagi Mas bos sudah standby di dapur membuat menu favorit k
Happy Reading*****"Masih menyangkal kalau kamu tidak janjian ketemu sama Fandra di kafe miliknya?" kata Ibra setelah lelaki berkumis tipis itu meninggalkan meja mereka untuk membuatkan pesanan makanan yang diminta oleh Sarah. "Terserah penilaian Bapak. Saya jelaskan sampai berbusa pun tidak akan pernah digubris. Benar jika Jalaludin Rumi berkat bahwa kita nggak perlu menjelaskan sesuatu kepada orang yang nggak menyukai kita. Apa pun kebenaran yang kita sampaikan tetap buruk di mata para pembenci." Wening bahkan membuang muka. Malas sekali menghadapi Ibra yang pemarah dan tidak jelas tersebut.Beberapa saat kemudian, Fandra datang membawa nampan berisi makanan pesanan Sarah. Senyumnya menghiasi wajah membuat lelaki yang duduk di sebelah Wening makin cemberut.Melirik sebentar ke arah piring Wening. Fandra membuka suara. "Cobain, deh, Mbak. Pancake itu khusus dibuat untuk Mbak Ning seorang dengan tambahan bumbu cinta dan segenap kasih sayang.""Lho, Mas ini pacarnya Mbak Wening apa g
Happy Reading*****"Maaf, saya nggak punya kewajiban untuk menjelaskan. Anda cuma atasan saya di sini. Segala hal yang menyangkut urusan pribadi. Sebaiknya nggak perlu dibahas di kantor. Permisi." Wening mengambil bekal yang diberikan oleh Fandra dari tangan Bella.Mengucap kata terima kasih, lalu segera berlalu dari hadapan Ibra. Menaiki tangga menuju lantai ruangannya, si gadis tidak sadar jika atasannya memperhatikan. Menghela napas panjang, lelaki dengan kulit kuning langsat itu meninggalkan meja resepsionis.Bella terdiam ketika kedua petinggi garmen sudah berada di lantai ruangan masing-masing. Merasa kepo, perempuan dengan rambut selalu dikuncir kuda itu menelepon Wening. Cukup sekali deringan, panggilannya sudah diangkat oleh orang yang dituju."Halo, Wening di sini. Ada yang bisa dibantu?""Mbak, ini Bella. Pak Ibra kenapa sih? Kenapa dia terlihat marah pas aku nyebut mas ganteng ayangnya Mbak Wening." Bella sengaja memelankan suaranya supaya tidak membuat orang lain juga k
Happy Reading*****Ramadan mengeraskan tawa. Putra semata wayangnya terlihat panik, marah, malu dan entah apalagi rasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan Ibra saat ini. Sementara itu, Wening malah diam menunduk.Melihat tingkah bawahannya yang kurang nyaman, Ramadan kembali berkata. "Lupakan pertanyaan Bapak tadi, Ning. Sekarang, ayo bahas pekerjaan. Bagaimana perkembangan orderan milik Pak Wijaya? Sudah sejauh mana sample pakaian-pakaian itu?"Ibra menghela napas lega demikian juga Wening. Sang gadis mulai mengangkat kepala dan memberikan berkas yang dia bawa pada Ramadan. "Sembilan puluh persen. Semua sample sudah jadi, Pak. Tinggal perbaikan sedikit, lalu fitting. Setelahnya baru bisa grading size," jelas Wening."Untuk bahan, apa semua sudah siap, Ib?" Ramadan menatap putranya."Dari laporan bagian gudang. Kain sudah didatangkan. Untuk kain motif khusus sesuai permintaan Pak Wijaya juga sudah mulai dikerjakan oleh pihak printing. Tapi, ada sedikit kendala, Pa." Ibra menegakk
Happy Reading*****Ramadan terbahak-bahak, demikian juga dengan istrinya. Mereka tak menyangka jika reaksi Ibra akan seperti itu ketika nama Wening di sebut. "Lihat putramu, Ma. Belum juga kita melamar gadis yang kamu sebutkan namanya tadi. Dia sudah salah tingkah duluan." Ramadan malah sengaja menggoda Ibra yang wajahnya sudah memerah karena malu."Jadi, benar dia gadisnya, Pa? Mama pengen banget deh ketemu. Cepetan panggil ke sini, Pa," pinta Ramadani, mamanya Ibra. Perempuan paruh baya tersebut bahkan sampai mengguncang pelan lengan sang suami."Tidak tahu, tanya saja pad putramu. Wening bukan gadis yang ada di hatinya saat ini," kata Ramadan.Keluarga sang pemilik garmen sedang menggoda putra semata wayangnya, Wening malah dibuat pusing dengan permintaan Fandra. Pemuda itu ingin mengajaknya berlibur di hati Minggu besok. Bukan cuma mereka berdua sebenarnya, ada Catra dan juga Silvia yang ikut dalam liburan kali ini. Cuma tetap saja, Wening merasa was-was. Pasalnya tidak ada ora
Happy Reading*****"Nggak boleh, ya. Misal saya mengajak njenengan sama Bulik sekalian sama Silvia, juga nggak boleh?" jawab Fandra. Dia berkata dengan senyum kemenangan. Wening cuma bisa memantau keberanian lelaki yang berumur di bawahnya tanpa berniat membantu meyakinkan Rahmat. Entah mengapa, melihat keyakinan di mata Fandra, si gadis berdoa dalam hati. Semoga keinginan saudara Fahri itu terkabul."Pak, bolehin saja," sahut Damayanti, "kita sudah lama juga nggak piknik sekeluarga.""Sebentar, tho, Bu," jawab Rahmat, "kita nggak tahu niat Nak Fandra mengajak berlibur. Nanti, kalau Mas Mahmud tanya bagaimana?""Saya nggak ada niat apa pun, Pak. Cuma ingin mengajak berlibur Mbak Ning saja. Itupun harus seijin njenengan. Selama berada di Malang, Mbak Ning belum pernah ke mana-mana selain ke garmen."Diam sejenak. Semua orang yang ada di ruangan itu seperti sedang berpikir tentang ajakan Fandra. Sangat berbeda dengan tamu yang datang ke rumah Rahmat, lelaki itu tersenyum menatap Wen