Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, pikirannya dipenuhi oleh keraguan yang semakin mengganggu. Sejak Dimas berjanji untuk tetap berkomitmen pada keluarga mereka, Laras merasa bahwa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur dari sikap suaminya.
Meskipun Dimas terlihat berusaha memperbaiki hubungan mereka, sering kali ia pergi dengan alasan yang tidak jelas, menghilang di saat-saat yang tak terduga, meninggalkan Laras dengan perasaan cemas dan curiga.
Kecurigaan Laras semakin menjadi ketika ia melihat Dimas menerima telepon di tengah malam, suaranya berbisik, dan raut wajahnya tampak gelisah. Dimas cepat-cepat keluar dari kamar dan berbicara dengan suara rendah di luar ruangan, seolah-olah tidak ingin Laras mendengar percakapannya.
Perasaan was-was dan ketidakpercayaan mulai merayap dalam hati Laras. Ia mulai bertan
Beberapa hari setelah kejadian di kafe, Laras merasa hatinya semakin kosong. Meskipun ia telah melihat kebenaran yang tak bisa lagi ia abaikan, menghadapi kenyataan bahwa pernikahannya berada di ambang kehancuran tetaplah sulit. Namun, di tengah kehampaan itu, Andi muncul sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya. Tanpa banyak bertanya atau menuntut, Andi hanya memberikan kehadiran yang tenang, menjadi tempat bagi Laras untuk mengalirkan semua beban yang selama ini ia pikul sendiri.Suatu malam, Andi mengajak Laras keluar untuk makan malam di sebuah restoran kecil yang tenang di pinggir kota. Andi tahu bahwa Laras butuh tempat di mana ia bisa merasa nyaman tanpa khawatir akan pandangan orang lain. Restoran itu sepi, hanya ada beberapa meja yang terisi. Mereka duduk di sudut ruangan yang tenang, dan Andi
Beberapa minggu berlalu sejak kejadian di kafe, dan selama itu, Dimas menyadari adanya perubahan yang halus namun jelas dalam sikap Laras. Meskipun mereka masih tinggal di rumah yang sama, kehangatan yang dulu mereka bagi seolah lenyap, digantikan oleh keheningan yang terasa dingin. Laras lebih sering keluar rumah, menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri atau bersama teman-teman. Dimas mulai menyadari bahwa Andi adalah orang yang paling sering mendampingi Laras, menjadi pendengar yang setia di saat Dimas sudah tidak lagi menjadi sosok yang bisa diandalkan.Pada awalnya, Dimas mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kedekatan Laras dan Andi hanyalah bentuk dukungan dari seorang sahabat. Tetapi, semakin lama, semakin jelas bahwa hubungan mereka telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Setiap kali Laras p
Laras duduk di kamarnya, dikelilingi oleh keheningan malam yang terasa semakin menyesakkan. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan pertanyaan dan rasa bersalah yang tak kunjung hilang. Semakin ia mencoba untuk mencari kejelasan dalam perasaannya, semakin kabur jawaban yang ia temukan. Laras tahu bahwa ia masih mencintai Dimas, meskipun pengkhianatan itu telah meruntuhkan kepercayaannya. Namun, di saat yang sama, ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya—sesuatu yang semakin sulit ia abaikan. Perasaan itu semakin jelas setiap kali ia bersama Andi, setiap kali Andi menatapnya dengan sorot yang tulus, seolah-olah ia melihat Laras sebagai seseorang yang berharga dan pantas dicintai.Laras menghela napas panjang, merasakan dadanya terasa sesak. Ia merasa seolah-olah hidupnya terjebak dalam pusaran perasaan yang t
Hari itu, hujan turun deras di luar jendela rumah Laras, menambah suasana sendu yang melingkupi hatinya. Semakin ia mencoba memfokuskan pikirannya pada hal-hal yang sederhana, semakin sulit baginya untuk mengabaikan pergulatan emosional yang terus membayangi. Ia masih terjebak di antara cinta lamanya pada Dimas dan perasaan yang semakin kuat terhadap Andi. Meskipun ia tahu bahwa Andi mencintainya, Laras belum sepenuhnya memahami kedalaman perasaan itu—hingga hari ini.Sore itu, Andi menghubungi Laras dan memintanya untuk bertemu di sebuah kafe yang tenang di pinggiran kota. Laras setuju, meskipun ia merasakan firasat bahwa percakapan ini tidak akan seperti percakapan mereka biasanya. Ada sesuatu dalam nada suara Andi yang membuatnya merasa bahwa pengakuan yang tertahan selama ini akan akhirnya terungkap.
Hari itu, Laras merasa dadanya penuh beban. Keluarga besarnya mengundangnya ke rumah orang tuanya untuk pertemuan yang terasa lebih seperti sidang keluarga. Ayah dan ibu Laras sudah mendengar sebagian besar masalah yang sedang terjadi dalam pernikahannya dengan Dimas, namun mereka belum mengetahui seluruh kebenaran. Laras tahu bahwa rapat keluarga ini akan penuh dengan tekanan dan, mungkin, tuntutan yang sulit ia hadapi.Begitu tiba di rumah orang tuanya, Laras melihat bahwa hampir semua anggota keluarga sudah berkumpul. Ayahnya duduk dengan ekspresi serius, sementara ibunya tampak resah. Beberapa anggota keluarga lainnya, termasuk tantenya, paman, dan beberapa sepupu, duduk di ruang tamu dengan tatapan penuh keprihatinan. Dimas belum datang, meskipun ia sudah diberitahu tentang pertemuan ini.
Dimas duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap taman kecil di belakang rumah. Hari-hari belakangan ini terasa semakin gelap baginya, seolah-olah segala yang ia miliki sedang perlahan menghilang dari genggamannya. Laras, wanita yang selama ini selalu ada di sisinya, kini seperti berada di tempat yang jauh dan tak terjangkau, meskipun hanya berada di ruangan lain dalam rumah yang sama.Ia menyesali setiap langkah keliru yang telah ia ambil. Dimas tahu bahwa perselingkuhannya dengan Nina telah menciptakan luka yang dalam, yang mungkin tak akan pernah bisa benar-benar sembuh bagi Laras. Ia telah menghancurkan fondasi yang mereka bangun bersama, sebuah rumah tangga yang dulu penuh dengan kehangatan, kini terasa dingin dan hampa. Seti
Dimas menerima surat panggilan hukum itu dengan tangan yang bergetar. Ia tahu betul bahwa keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan Nina tidak akan mudah, tetapi ia tidak pernah menyangka akan menghadapi tuntutan yang resmi. Surat itu dari pengacara Nina, menuntut pengakuan dan tunjangan bagi anak yang dikandungnya. Nina tidak hanya ingin kejelasan untuk masa depan anaknya, tetapi juga menuntut tanggung jawab penuh dari Dimas—tanggung jawab yang selama ini diabaikan oleh Dimas karena keraguannya.Dimas duduk di ruang kerjanya, menatap surat itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa marah, kecewa, dan semakin tertekan. Di satu sisi, ia tahu bahwa Nina berhak mendapatkan dukungan, terutama untuk anak yang akan lahir. Tetapi, di sisi lain, tuntutan ini terasa seperti pisau yang semakin menusuk di tengah
Seiring berjalannya waktu, masalah antara Dimas, Laras, dan Nina mulai terkuak di depan publik. Berita tuntutan hukum yang diajukan Nina terhadap Dimas dengan cepat menyebar, merambat melalui percakapan orang-orang di lingkungan sekitar, tempat kerja, hingga grup WhatsApp keluarga. Laras merasa dunianya perlahan runtuh ketika kenyataan ini tak lagi dapat ia sembunyikan. Di tengah usaha kerasnya untuk menjaga kehormatan keluarganya dan melindungi anak-anak dari dampak pengkhianatan ini, kini ia dihadapkan pada sorotan yang tak ia inginkan.Laras merasa semakin terpojok setiap kali mendengar bisik-bisik di lingkungan rumah dan sekolah anak-anaknya. Suatu pagi, saat ia mengantar anak-anak ke sekolah, ia merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa ibu yang biasanya menyambutnya dengan senyum ramah. Mereka menatapnya
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?
“Kamu beneran mau pergi?” Laras menatap Andi dengan mata penuh tanya, tapi jauh di dalam hatinya ia tahu jawabannya. Andi mengangguk perlahan, menatapnya dengan pandangan yang lembut namun penuh ketegasan.Keduanya duduk di taman kota yang sepi, sebuah tempat yang selama ini menjadi tempat pelarian Laras saat ingin bicara dengan Andi, saat dunia terasa begitu menghimpitnya. Namun, kali ini, ada keheningan yang berat di antara mereka, keheningan yang menyimpan begitu banyak kata tak terucap, begitu banyak perasaan yang terpendam.“Aku pikir… ini saat yang tepat, Laras,” kata Andi akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keputusan. “Kamu tahu aku selalu ada untukmu. Tapi sekarang, kamu perlu waktu untuk diri sendiri, untuk menyelesaikan semuanya tanpa… gangguan dari
Sore itu, Laras berdiri terpaku di depan kafe kecil di pinggir kota, dadanya terasa sesak. Ia tidak sengaja menemukan tempat ini saat ia berbelanja kebutuhan rumah tangga, namun pandangannya terpaku pada pemandangan di dalam kafe, tepat di sudut ruangan yang jauh dari pandangan umum.Di sana, Dimas duduk berhadapan dengan Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupannya. Laras mengamati mereka dari balik kaca, bersembunyi di balik tiang toko di dekatnya. Meskipun hatinya berdebar-debar dan telinganya berdengung, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk tetap melihat apa yang terjadi di hadapannya.Dimas terlihat berbicara dengan nada serius, sementara Nina terlihat sesekali menyeka air mata dengan saputangan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari cara mereka salin
“Mama, kenapa Papa jarang di rumah?” suara kecil Raka yang penuh kebingungan mengambang di udara, membuat hati Laras serasa dihantam oleh kenyataan yang ia coba hindari selama ini.Laras menatap putranya yang baru berusia dua tahun itu dengan perasaan campur aduk. Raka menatapnya dengan mata bulat yang besar, penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang begitu tulus. Ia tahu, di usia sekecil itu, Raka mungkin belum sepenuhnya mengerti tentang absennya Dimas dari rumah. Namun, anak sekecil itu memiliki hati yang peka, dan setiap ketidakhadiran atau perubahan dalam rutinitas akan dengan mudah ia sadari.“Papa lagi sibuk kerja, Sayang,” jawab Laras, mencoba tersenyum. Senyum yang terasa getir, seolah bibirnya sulit melengkung tanpa ada rasa sakit di baliknya.
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn
Setelah keputusan untuk berpisah, Laras berusaha mencari ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Namun, meskipun ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa hubungannya dengan Dimas telah berakhir, rasa penasaran yang tak tertahankan terus menghantuinya. Ada bagian dari dirinya yang merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang hubungan Dimas dan Nina—tentang bagaimana semua ini sebenarnya dimulai, dan apakah ada tanda-tanda yang selama ini ia abaikan.Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam. Ia tidak melakukannya karena ingin kembali pada Dimas atau mencari pembenaran untuk keputusannya, tetapi lebih sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang selama ini terus berputar di kepalanya. Ia merasa bahwa dengan mengetahui kebenaran, meskipun menyakitkan, ia bi