Dimas duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap taman kecil di belakang rumah. Hari-hari belakangan ini terasa semakin gelap baginya, seolah-olah segala yang ia miliki sedang perlahan menghilang dari genggamannya.
Laras, wanita yang selama ini selalu ada di sisinya, kini seperti berada di tempat yang jauh dan tak terjangkau, meskipun hanya berada di ruangan lain dalam rumah yang sama.
Ia menyesali setiap langkah keliru yang telah ia ambil. Dimas tahu bahwa perselingkuhannya dengan Nina telah menciptakan luka yang dalam, yang mungkin tak akan pernah bisa benar-benar sembuh bagi Laras.
Ia telah menghancurkan fondasi yang mereka bangun bersama, sebuah rumah tangga yang dulu penuh dengan kehangatan, kini terasa dingin dan hampa.
Seti
Dimas menerima surat panggilan hukum itu dengan tangan yang bergetar. Ia tahu betul bahwa keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan Nina tidak akan mudah, tetapi ia tidak pernah menyangka akan menghadapi tuntutan yang resmi. Surat itu dari pengacara Nina, menuntut pengakuan dan tunjangan bagi anak yang dikandungnya. Nina tidak hanya ingin kejelasan untuk masa depan anaknya, tetapi juga menuntut tanggung jawab penuh dari Dimas—tanggung jawab yang selama ini diabaikan oleh Dimas karena keraguannya.Dimas duduk di ruang kerjanya, menatap surat itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa marah, kecewa, dan semakin tertekan. Di satu sisi, ia tahu bahwa Nina berhak mendapatkan dukungan, terutama untuk anak yang akan lahir. Tetapi, di sisi lain, tuntutan ini terasa seperti pisau yang semakin menusuk di tengah
Seiring berjalannya waktu, masalah antara Dimas, Laras, dan Nina mulai terkuak di depan publik. Berita tuntutan hukum yang diajukan Nina terhadap Dimas dengan cepat menyebar, merambat melalui percakapan orang-orang di lingkungan sekitar, tempat kerja, hingga grup WhatsApp keluarga. Laras merasa dunianya perlahan runtuh ketika kenyataan ini tak lagi dapat ia sembunyikan. Di tengah usaha kerasnya untuk menjaga kehormatan keluarganya dan melindungi anak-anak dari dampak pengkhianatan ini, kini ia dihadapkan pada sorotan yang tak ia inginkan.Laras merasa semakin terpojok setiap kali mendengar bisik-bisik di lingkungan rumah dan sekolah anak-anaknya. Suatu pagi, saat ia mengantar anak-anak ke sekolah, ia merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa ibu yang biasanya menyambutnya dengan senyum ramah. Mereka menatapnya
Malam itu, rumah Laras dan Dimas terasa hening, tetapi hening yang berbeda—penuh dengan ketegangan yang terpendam. Di balik keheningan itu, ada amarah, kekecewaan, dan ketidakpastian yang menggantung di udara. Dimas duduk di ruang tamu, mencoba fokus pada berita di televisi, namun pikirannya terusik oleh tatapan dingin yang kerap ia dapatkan dari putri sulungnya, Sarah. Sudah beberapa hari ini, Sarah lebih sering menghindarinya dan berbicara dengan suara datar saat diajak bicara. Dimas merasa ada sesuatu yang berubah pada putri kecilnya, sesuatu yang membuatnya semakin merasakan dampak dari kesalahan besar yang ia perbuat.Sarah, yang kini berusia 13 tahun, sudah cukup besar untuk memahami sebagian dari apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Meskipun Lar
Laras duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan kertas yang mencerminkan kehidupannya yang kini berantakan. Sudah berhari-hari ia bergulat dengan pikirannya, mempertanyakan keputusan yang akan ia ambil. Namun, setiap kali ia melihat wajah anak-anaknya, terutama Sarah yang semakin terluka dengan pengkhianatan ayahnya, Laras merasa bahwa keputusan untuk pergi adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.Malam itu, Laras mulai membuka laptop dan mencari informasi tentang sekolah di kota lain. Ia membutuhkan tempat baru, lingkungan yang bersih dari gosip dan tekanan yang terus menghantuinya di sini. Laras ingin memberikan kehidupan yang stabil dan damai bagi anak-anaknya, kehidupan di mana mereka bisa tumbuh tanpa bayang-bayang kesalahan yang bukan milik mereka. Laras tahu bahwa keputusan ini tidak mudah, dan ia
Ketika Dimas pulang dari kantor pada sore hari itu, rumahnya tampak sunyi, terlalu sunyi untuk ukuran rumah yang biasanya dipenuhi dengan suara tawa anak-anak dan aktivitas keluarga. Ia menaruh tas kerjanya di dekat pintu dan segera merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia berjalan menuju kamar tidur dan tertegun melihat lemari pakaian Laras yang setengah kosong, laci-laci yang terbuka dan beberapa barang hilang. Pakaian anak-anak pun tidak ada di tempatnya.Rasanya dada Dimas tertikam tajam. Ia merasa seperti kehilangan keseimbangan, seolah tanah di bawahnya runtuh. Kepanikan perlahan berubah menjadi kemarahan yang mendidih dalam hatinya. Laras benar-benar berniat meninggalkannya. Kenyataan itu menghantam dirinya dengan keras, dan amarah mulai menguasainya. Dengan tangan gemetar, Dimas mengambil ponsel dan sege
Malam itu, Laras tidak bisa tidur. Hatinya terasa seperti medan pertempuran yang penuh dengan amarah, kekecewaan, dan luka yang sudah terlalu lama ia simpan. Suara pintu yang ditutup dengan keras oleh Dimas beberapa jam sebelumnya masih terngiang di telinganya, menyisakan rasa marah yang kian membakar. Laras sudah terlalu lama menahan perasaannya, mencoba menjaga kehormatan keluarganya, mencoba kuat demi anak-anaknya, tapi kali ini, ia merasa sudah tidak bisa lagi.Ketika Dimas kembali ke rumah Santi pada pagi harinya, berusaha untuk berbicara dengan Laras dan berharap bisa mencapai kesepakatan, ia tidak menyangka bahwa dirinya akan berhadapan dengan Laras yang tak lagi sama. Laras yang biasanya tenang dan tabah kini berdiri di hadapannya dengan wajah yang penuh denga
Dimas duduk di meja kerjanya, menatap ponsel yang tergeletak di atas meja dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa harus segera menelepon Nina dan memastikan bahwa tanggung jawabnya atas anak yang dikandung Nina tidak diabaikan. Namun, di sisi lain, pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang Laras dan anak-anak mereka yang telah pergi meninggalkannya. Ia berada di antara dua dunia yang bertolak belakang—keluarga yang ia hancurkan dan janji yang ia buat pada Nina. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menambah rumit keadaan, membuatnya semakin terjebak dalam perang batin yang tak berujung.Pikirannya melayang kembali ke malam ketika Laras meluapkan kemarahannya. Setiap kata yang diucapkan Laras terasa menusuk, membuatnya menyadari betapa dalam luka yang telah ia torehkan.
Dimas duduk di ruang kerjanya, merasakan kepalanya semakin berat dengan beban yang ia pikul. Baru saja ia menerima panggilan dari pengacara Nina. Kali ini, Nina tidak hanya menuntut pengakuan sebagai ayah dari anaknya, tetapi juga menuntut dukungan finansial yang besar. Jumlah yang diajukan oleh Nina cukup mengejutkan, jauh melebihi apa yang sebelumnya pernah dibicarakan. Tuntutan itu jelas bukan hanya soal tunjangan anak; Nina seakan ingin memastikan bahwa hidupnya terjamin sepenuhnya.Dimas menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia merasa marah, tertekan, dan semakin tidak tahu harus berbuat apa. Tuntutan yang semakin besar ini seperti tamparan yang menambah luka dalam hidupnya yang sudah hancur. Nina, yang dulu memberinya kenyamanan sesaat, kini berubah menjadi seseorang yang seolah tidak mengenal batas.
Pagi itu, Laras terbangun lebih awal dari biasanya. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar menyinari wajahnya, memberikan kehangatan yang menenangkan. Namun, ada kekosongan dalam dirinya yang tak bisa ia hindari, sebuah kehampaan yang tertinggal setelah perpisahan. Meskipun ia merasa lega karena telah lepas dari hubungan yang penuh kebohongan, ia menyadari bahwa luka emosional yang ia alami masih meninggalkan jejak.Hari-harinya kini dipenuhi dengan tanggung jawab yang tak ringan. Sebagai ibu tunggal, Laras harus memastikan bahwa anak-anaknya tetap merasa dicintai dan dilindungi. Di satu sisi, ia harus menjalani pekerjaan penuh waktu untuk mencukupi kebutuhan mereka. Di sisi lain, ia juga harus memainkan peran ayah dan ibu sekaligus. Perasaan lelah sering kali menyergapnya, tetapi ia tahu bahwa anak-anak
Laras menatap rumah baru mereka dengan senyuman kecil yang penuh arti. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya memiliki beberapa ruangan yang cukup untuknya dan ketiga anaknya. Tidak ada taman yang luas atau ruang tamu yang megah seperti di rumah lamanya, tapi rumah ini memberi Laras perasaan yang tak bisa ia temukan selama bertahun-tahun terakhir—perasaan damai dan kebebasan. Di sini, ia bisa memulai hidup baru, bebas dari kebohongan dan pengkhianatan yang selama ini membayangi hidupnya.Sarah berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangan Laras, sementara Naya dan Raka berlarian di halaman kecil depan rumah, tertawa riang sambil menikmati sore yang cerah. Melihat anak-anaknya tersenyum, Laras merasakan sebuah dorongan dalam hatinya, perasaan bahwa ia telah membua
Pagi itu, gedung pengadilan dipenuhi orang-orang yang sedang menunggu sidang perceraian mereka dimulai. Laras duduk di ruang tunggu dengan hati yang berdebar-debar. Meski sudah lama mempersiapkan diri, ia tak bisa memungkiri bahwa menghadapi perceraian resmi adalah salah satu hal paling berat dalam hidupnya. Ia menatap ruang pengadilan yang dingin dan formal, tempat di mana semua keputusannya akan disahkan secara hukum. Keputusan yang akan menutup bab panjang dalam hidupnya bersama Dimas.Di seberang ruang tunggu, Dimas duduk dengan kepala tertunduk, tampak gelisah. Matanya sedikit merah, seolah ia tak tidur semalam, terjaga dalam perasaan yang penuh dengan sesal dan ketidakpastian. Ia beberapa kali mengangkat kepala, menatap Laras dari kejauhan dengan tatapan yang pe
Sudah beberapa minggu sejak perceraian itu resmi, dan hidup Dimas kini terasa sangat berbeda, lebih sunyi dan kehilangan arah. Ia mulai terbiasa bangun di apartemen kecilnya yang sunyi, tanpa suara tawa anak-anak atau aroma kopi pagi yang biasa disiapkan Laras. Kesendirian ini menjadi pengingat bahwa semua yang ia hancurkan dulu adalah kehidupan yang selama ini ia rindukan.Setiap hari, Dimas bangun dengan perasaan hampa dan penyesalan yang mendalam. Setelah perceraian selesai, ia mulai mencoba memperbaiki hubungan dengan anak-anak, terutama dengan Sarah dan Naya. Dimas tahu bahwa selama ini ia sering mengabaikan mereka, terperangkap dalam hubungan yang seharusnya tak pernah ia mulai. Namun, ketika ia mengulurkan tangan untuk memperbaiki keadaan, ia menemukan kenyataan yang jauh lebih sulit daripada yang pernah ia
Dimas duduk sendirian di apartemennya yang sunyi, menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Lampu-lampu kota berkelip-kelip, tetapi bagi Dimas, semuanya tampak buram dan tak bermakna. Ruangan di sekitarnya tampak bersih dan rapi, tetapi dingin dan sepi, jauh berbeda dari rumah yang dulu ia tinggali bersama Laras dan anak-anaknya.Sudah beberapa hari sejak Laras melayangkan gugatan cerai. Berita itu menghantam Dimas seperti badai yang tiba-tiba datang. Meskipun ia tahu bahwa Laras telah mencapai batas kesabarannya, dan meskipun ia tahu bahwa ini adalah akibat dari segala kesalahannya sendiri, tetap saja kenyataan itu terasa seperti pukulan berat yang membuatnya merasa kosong dan hancur.Dimas mencoba untuk tidak memikirkan
Siang itu, udara terasa panas dan berat di luar gedung pengadilan. Laras baru saja selesai berkonsultasi dengan pengacaranya mengenai langkah-langkah selanjutnya dalam proses perceraian. Dengan perasaan campur aduk, ia berjalan keluar gedung, menuruni anak tangga dengan langkah yang hati-hati. Namun, tepat ketika ia akan mencapai trotoar, ia melihat sosok yang tak asing berdiri di seberang jalan.Nina.Wanita itu tampak sedang menunggu seseorang, mungkin tak menyadari kehadiran Laras. Seketika, perasaan canggung dan tegang menyelimuti Laras. Ia merasa ada rasa enggan untuk berhadapan dengan wanita yang telah menghancurkan keluarganya, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang perlu ia sampaikan, sesuatu yang harus diakhiri di antara mereka.
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Laras duduk di ruang tamu, menunggu dengan hati yang berdebar. Ia telah memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan putri sulungnya, Sarah, tentang keputusan yang telah ia ambil. Baginya, ini adalah salah satu momen tersulit yang harus ia hadapi, namun ia tahu bahwa kejujuran adalah hal yang terpenting dalam hubungan mereka. Sarah adalah anak yang cerdas, dan Laras ingin putrinya mengerti bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang ia ambil dengan mudah.Tak lama kemudian, Sarah muncul di ruang tamu, masih mengenakan piyamanya. Wajahnya terlihat mengantuk, namun ada kebingungan dalam matanya saat ia melihat ibunya duduk di sofa, dengan ekspresi yang serius namun penuh kasih.“Mama, kenapa pagi-pag
Pagi itu, Laras duduk sendirian di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir tidak tersentuh. Matanya menatap kosong ke luar jendela, memandangi taman kecil di belakang rumahnya. Ia terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri, memikirkan keputusan yang selama ini ia hindari, namun yang kini terasa tak terelakkan.Setelah malam yang panjang, penuh dengan perenungan dan perdebatan dalam hati, Laras akhirnya menyadari bahwa ia tak bisa lagi bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan kebohongan dan luka. Meskipun berat, meskipun ia tahu ini akan menghancurkan hati anak-anaknya, Laras telah memutuskan untuk menggugat cerai.Hatinya terasa berat, seolah ada beban besar yang menekan dadanya. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga akan me
Dimas duduk sendirian di dalam mobilnya, menatap gedung rumah yang dulunya ia anggap sebagai tempatnya pulang. Malam sudah larut, dan lampu di ruang tamu masih menyala, tanda bahwa Laras mungkin belum tidur. Hatinya terasa hampa. Pikiran tentang pertemuannya dengan Laras di ruang tamu beberapa malam lalu terus menghantui, mengingatkan dirinya pada pengakuan yang akhirnya keluar dari mulutnya, sesuatu yang selama ini ia coba hindari.Ia tahu bahwa Laras akan benar-benar pergi kali ini. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dimas merasakan kesungguhan dalam tatapan dingin Laras, dalam suara yang penuh ketegasan ketika ia memutuskan untuk tidak lagi bertahan dalam pernikahan mereka. Dimas menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam menyelimutinya, sebuah perasaan yang lama