Seiring berjalannya waktu, masalah antara Dimas, Laras, dan Nina mulai terkuak di depan publik. Berita tuntutan hukum yang diajukan Nina terhadap Dimas dengan cepat menyebar, merambat melalui percakapan orang-orang di lingkungan sekitar, tempat kerja, hingga grup WhatsApp keluarga.
Laras merasa dunianya perlahan runtuh ketika kenyataan ini tak lagi dapat ia sembunyikan. Di tengah usaha kerasnya untuk menjaga kehormatan keluarganya dan melindungi anak-anak dari dampak pengkhianatan ini, kini ia dihadapkan pada sorotan yang tak ia inginkan.
Laras merasa semakin terpojok setiap kali mendengar bisik-bisik di lingkungan rumah dan sekolah anak-anaknya. Suatu pagi, saat ia mengantar anak-anak ke sekolah, ia merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa ibu yang biasanya menyambutnya dengan senyum ramah.
Mereka menatapnya
Malam itu, rumah Laras dan Dimas terasa hening, tetapi hening yang berbeda—penuh dengan ketegangan yang terpendam. Di balik keheningan itu, ada amarah, kekecewaan, dan ketidakpastian yang menggantung di udara. Dimas duduk di ruang tamu, mencoba fokus pada berita di televisi, namun pikirannya terusik oleh tatapan dingin yang kerap ia dapatkan dari putri sulungnya, Sarah. Sudah beberapa hari ini, Sarah lebih sering menghindarinya dan berbicara dengan suara datar saat diajak bicara. Dimas merasa ada sesuatu yang berubah pada putri kecilnya, sesuatu yang membuatnya semakin merasakan dampak dari kesalahan besar yang ia perbuat.Sarah, yang kini berusia 13 tahun, sudah cukup besar untuk memahami sebagian dari apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Meskipun Lar
Laras duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan kertas yang mencerminkan kehidupannya yang kini berantakan. Sudah berhari-hari ia bergulat dengan pikirannya, mempertanyakan keputusan yang akan ia ambil. Namun, setiap kali ia melihat wajah anak-anaknya, terutama Sarah yang semakin terluka dengan pengkhianatan ayahnya, Laras merasa bahwa keputusan untuk pergi adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.Malam itu, Laras mulai membuka laptop dan mencari informasi tentang sekolah di kota lain. Ia membutuhkan tempat baru, lingkungan yang bersih dari gosip dan tekanan yang terus menghantuinya di sini. Laras ingin memberikan kehidupan yang stabil dan damai bagi anak-anaknya, kehidupan di mana mereka bisa tumbuh tanpa bayang-bayang kesalahan yang bukan milik mereka. Laras tahu bahwa keputusan ini tidak mudah, dan ia
Ketika Dimas pulang dari kantor pada sore hari itu, rumahnya tampak sunyi, terlalu sunyi untuk ukuran rumah yang biasanya dipenuhi dengan suara tawa anak-anak dan aktivitas keluarga. Ia menaruh tas kerjanya di dekat pintu dan segera merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia berjalan menuju kamar tidur dan tertegun melihat lemari pakaian Laras yang setengah kosong, laci-laci yang terbuka dan beberapa barang hilang. Pakaian anak-anak pun tidak ada di tempatnya.Rasanya dada Dimas tertikam tajam. Ia merasa seperti kehilangan keseimbangan, seolah tanah di bawahnya runtuh. Kepanikan perlahan berubah menjadi kemarahan yang mendidih dalam hatinya. Laras benar-benar berniat meninggalkannya. Kenyataan itu menghantam dirinya dengan keras, dan amarah mulai menguasainya. Dengan tangan gemetar, Dimas mengambil ponsel dan sege
Malam itu, Laras tidak bisa tidur. Hatinya terasa seperti medan pertempuran yang penuh dengan amarah, kekecewaan, dan luka yang sudah terlalu lama ia simpan. Suara pintu yang ditutup dengan keras oleh Dimas beberapa jam sebelumnya masih terngiang di telinganya, menyisakan rasa marah yang kian membakar. Laras sudah terlalu lama menahan perasaannya, mencoba menjaga kehormatan keluarganya, mencoba kuat demi anak-anaknya, tapi kali ini, ia merasa sudah tidak bisa lagi.Ketika Dimas kembali ke rumah Santi pada pagi harinya, berusaha untuk berbicara dengan Laras dan berharap bisa mencapai kesepakatan, ia tidak menyangka bahwa dirinya akan berhadapan dengan Laras yang tak lagi sama. Laras yang biasanya tenang dan tabah kini berdiri di hadapannya dengan wajah yang penuh denga
Dimas duduk di meja kerjanya, menatap ponsel yang tergeletak di atas meja dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa harus segera menelepon Nina dan memastikan bahwa tanggung jawabnya atas anak yang dikandung Nina tidak diabaikan. Namun, di sisi lain, pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang Laras dan anak-anak mereka yang telah pergi meninggalkannya. Ia berada di antara dua dunia yang bertolak belakang—keluarga yang ia hancurkan dan janji yang ia buat pada Nina. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menambah rumit keadaan, membuatnya semakin terjebak dalam perang batin yang tak berujung.Pikirannya melayang kembali ke malam ketika Laras meluapkan kemarahannya. Setiap kata yang diucapkan Laras terasa menusuk, membuatnya menyadari betapa dalam luka yang telah ia torehkan.
Dimas duduk di ruang kerjanya, merasakan kepalanya semakin berat dengan beban yang ia pikul. Baru saja ia menerima panggilan dari pengacara Nina. Kali ini, Nina tidak hanya menuntut pengakuan sebagai ayah dari anaknya, tetapi juga menuntut dukungan finansial yang besar. Jumlah yang diajukan oleh Nina cukup mengejutkan, jauh melebihi apa yang sebelumnya pernah dibicarakan. Tuntutan itu jelas bukan hanya soal tunjangan anak; Nina seakan ingin memastikan bahwa hidupnya terjamin sepenuhnya.Dimas menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia merasa marah, tertekan, dan semakin tidak tahu harus berbuat apa. Tuntutan yang semakin besar ini seperti tamparan yang menambah luka dalam hidupnya yang sudah hancur. Nina, yang dulu memberinya kenyamanan sesaat, kini berubah menjadi seseorang yang seolah tidak mengenal batas.
Laras duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak henti-hentinya menghantui: Apakah semua ini sepadan? Mengapa aku masih bertahan? Apakah aku telah kehilangan jati diriku sendiri dalam upaya menyelamatkan sesuatu yang sudah lama hancur?Di sekelilingnya, kamar yang dulu terasa begitu nyaman kini hanya terasa dingin dan hampa. Setiap sudut ruangan ini menyimpan kenangan bersama Dimas—kenangan yang dulunya penuh dengan tawa dan cinta, tetapi kini hanya meninggalkan jejak pahit dari pengkhianatan yang menghancurkan. Laras merasa seperti hidup dalam dua dunia: satu di mana ia masih mencintai Dimas dan ingin mempertahankan keluarganya demi anak-anak, dan satu lagi di mana ia merasa telah kehilangan dirinya sendiri dalam perjuangan yang semakin tak berarti.
Hari-hari semakin berlalu dalam ketegangan yang tak kunjung reda. Laras menyadari bahwa, di tengah upayanya untuk bertahan dan mencari jalan keluar dari kekacauan ini, anak-anak mereka juga terpengaruh secara mendalam. Perubahan yang terjadi pada Sarah dan Naya mulai terlihat di sekolah, dan bahkan Raka yang masih kecil tampak lebih gelisah dan rewel dari biasanya. Laras tahu bahwa mereka merasa bingung dan cemas, tidak memahami sepenuhnya apa yang terjadi tetapi merasakan perubahan besar di dalam rumah yang dulunya hangat.Suatu pagi, Laras mendapat telepon dari wali kelas Sarah. Hatinya mencelos saat mendengar nada serius dalam suara ibu guru itu."Bu Laras, maaf mengganggu di pagi hari. Saya ingin menyampaikan sesuatu tentang Sarah. Sepertinya Sarah belakangan ini m
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh
Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.
Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu
Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk
Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja Laras, menerangi tumpukan berkas dan dokumen di atas mejanya.Matanya tertuju pada layar laptop, di mana email berisi tawaran pekerjaan di luar negeri masih terbuka. Ia membaca paragraf demi paragraf dengan hati yang berkecamuk.Kesempatan untuk bekerja di perusahaan ternama di Singapura, posisi yang menjanjikan kenaikan karier dan pendapatan yang menggiurkan. Namun, setiap kata dalam email itu seperti menambah beban di dadanya.Suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Naya tertawa renyah karena candaan Raka, dan Sarah terdengar menceritakan sesuatu dengan semangat.Laras menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah pintu terbuka yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang keluarga. Wajah anak-anaknya muncul dalam pikirannya, memaksanya mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.Dengan tangan gemetar, Laras menutup laptopnya. Tawaran itu memang menggiurkan, namun perasaa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil apartemen Nina, menyinari sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang lembut.Di meja dapur, Nina duduk dengan rambut yang disanggul rapi, mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar.Tangan kanannya sibuk menggambar sketsa bunga-bunga di buku catatan kecilnya, sementara di sampingnya, sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemani. Ruangan itu dipenuhi aroma harum teh melati, membawa kedamaian yang tak terlukiskan.Di dekat Nina, bayi kecilnya, Aidan, tertidur pulas di kursi bayi. Wajahnya yang mungil dan polos membuat hati Nina terasa penuh, meskipun letih sering kali membayangi.Setiap kali ia melihat Aidan, rasa cinta yang begitu kuat mengalir dalam dirinya, memberinya alasan untuk terus melangkah maju. Tidak ada lagi bayangan Dimas di balik senyumnya, hanya ada dirinya dan Aidan, serta tekad kuat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.Nina menutup buku catatannya, menghela napa
Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suara gemericik yang menyusup ke dalam apartemen Dimas yang sepi.Udara dingin dan lembap merayap melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan aroma tanah basah.Dimas duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong memandangi selembar kertas putih di depannya.Tangannya yang gemetar menggenggam pena, namun tulisan yang tertoreh di atas kertas itu baru separuh jadi. Di sebelahnya, secangkir kopi yang sudah dingin tak disentuh, melengkapi suasana kesendirian yang membungkus dirinya.Sore itu, Dimas merasa keheningan menggerogotinya, namun entah mengapa, ada kedamaian samar yang merayap di antara rasa penyesalan dan kelelahan.Setelah berminggu-minggu diliputi kebingungan dan konflik batin, akhirnya ia menemukan titik terang di tengah kekacauan ini—sebuah keputusan yang terasa pedih namun perlu. Ia harus merelakan Laras, bukan hanya untuk kebaikan Laras, tetapi untuk