Malam itu, Laras duduk di meja makan, merasakan kekosongan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sarah telah pergi meninggalkan rumah dengan mata yang penuh kemarahan, tekad bulat terlihat jelas di wajahnya saat ia mengucapkan niatnya untuk tinggal bersama Dimas, ayahnya.
Keputusan ini bukan sesuatu yang Laras bayangkan akan terjadi secepat ini, apalagi di saat hubungan mereka mulai sedikit membaik setelah percakapan-percakapan penuh pengertian yang mereka lalui.
Namun, percikan pertengkaran kecil baru-baru ini tampaknya menjadi pemicu bagi Sarah. Meskipun Laras tahu bahwa ia tidak bisa terus menahan anaknya, keputusan Sarah tetap membuatnya merasa hancur.
Suara langkah kaki Sarah yang terburu-buru, kata-kata tegas yang mengungkapkan keinginannya untuk tinggal bersama
Malam itu, Laras sedang menyiapkan makan malam di dapur ketika ia mendengar suara langkah kaki kecil mendekat. Naya berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit pucat dan lelah. Matanya menyiratkan kecemasan yang sulit disembunyikan, dan Laras segera menyadari ada sesuatu yang salah.“Naya, kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Laras, mencoba menangkap pandangan putrinya.Naya mengangguk pelan, tetapi ekspresi wajahnya tidak meyakinkan. “Aku cuma… aku cuma mau lihat Mama,” jawab Naya, suaranya terdengar pelan dan sedikit gemetar. Ia berjalan mendekati ibunya, lalu memeluk Laras erat-erat, seolah takut jika ibunya akan menghilang.Laras merasakan pelukan itu begitu erat, penuh dengan kebutuhan akan perhatian dan keamanan yang mungkin semakin jarang dirasakan Naya sejak perpecahan ke
Pagi itu, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang memancarkan cahaya matahari pagi. Hari-hari belakangan ini terasa semakin berat baginya. Kepergian Sarah untuk tinggal bersama Dimas telah menciptakan kekosongan dalam hatinya yang tak mudah diisi, dan kecemasan Naya yang semakin nyata membuat Laras merasa semakin terpuruk. Ia merasa seolah-olah terjebak dalam lingkaran emosi yang tidak berujung, antara rasa kehilangan, kecemasan, dan keinginan kuat untuk tetap tegar bagi anak-anaknya.Di tengah kebingungannya, suara notifikasi pesan di ponsel tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Nama Andi muncul di layar, dan Laras merasakan dorongan perasaan yang sulit diungkapkan. Pesan itu sederhana, namun penuh perhatian:"Laras, apa kabar? Aku sed
Hari itu terasa panjang dan melelahkan bagi Laras. Pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai ibu tunggal membuatnya sering kali merasa kehabisan energi. Namun, yang membuatnya tertekan bukanlah pekerjaan atau rutinitas harian, melainkan kabar yang baru saja ia dengar—Nina telah melahirkan anak Dimas. Berita ini tiba-tiba datang, menghantamnya seperti gelombang besar yang menghancurkan pertahanannya.Laras duduk sendirian di ruang tamu, menggenggam ponselnya dengan erat, mencoba mencerna kabar yang baru saja ia terima. Perasaan sakit yang dulu ia pikir telah hilang perlahan-lahan mulai muncul kembali, membawa luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dimas, mantan suaminya, kini resmi menjadi ayah dari dua keluarga yang terpisah. Seolah perpisahan mereka belum cukup rumit
Siang itu, Laras sedang sibuk menyiapkan makan siang ketika ponselnya berdering. Nama Dimas muncul di layar, dan meskipun ia sedikit ragu untuk menjawab, akhirnya ia mengangkat telepon tersebut, menyiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang mungkin akan dibicarakan mantan suaminya.“Halo, Laras,” suara Dimas terdengar di ujung telepon, terdengar penuh antusiasme yang aneh bagi Laras. “Aku punya ide yang mungkin bisa membantu anak-anak kita menerima situasi baru ini.”Laras terdiam, mencoba menahan napas, merasakan ada sesuatu yang besar di balik kalimat tersebut.“Laras, aku ingin memperkenalkan bayi baru itu pada anak-anak kita. Aku berpikir ini bisa jadi cara untuk menyatukan kedua keluarga kita, biar mereka bisa lebih cepat menerima kenyataan ini,” lanjut Dimas, suaranya terden
Malam itu, Laras pulang dari kantor dengan perasaan lelah. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah yang semakin membuat hidupnya terasa berat. Namun, yang paling menekan hatinya adalah konflik emosional yang melibatkan dua pria penting dalam hidupnya: Andi dan Dimas. Keduanya memiliki tempat khusus dalam hatinya, tetapi situasi yang rumit ini membuatnya semakin bingung.Tidak lama setelah ia sampai di rumah, terdengar ketukan di pintu. Laras membuka pintu dan mendapati Andi berdiri di sana, wajahnya tampak penuh ketegangan. Sebelum Laras sempat menyapanya, Andi masuk ke dalam dengan langkah yang tegas, seolah ada hal penting yang ingin ia sampaikan."Andi, ada apa? Kamu kelihatan... gelisah," tanya Laras, sedikit khawatir melihat ekspresi Andi yang tidak seperti biasanya.
Pagi itu, saat Laras membuka kotak masuk di emailnya, sebuah pesan menarik perhatiannya. Subjeknya singkat namun langsung membuat dadanya berdebar: “Opportunity in a New City – Exciting Career Growth Awaiting.”Ia membaca pesan tersebut dengan perlahan, mencoba mencerna setiap detail yang ditawarkan. Posisi ini adalah kesempatan luar biasa—peran senior dengan tanggung jawab lebih besar dan potensi pengembangan karier yang selama ini ia impikan. Pekerjaan ini adalah langkah maju yang selalu ingin ia capai, dan dengan gaji yang jauh lebih tinggi, ini bisa membawa stabilitas finansial yang lebih besar untuk dirinya dan anak-anaknya.Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu. Posisi ini berada di kota lain, cukup jauh dari tempat mereka tinggal seka
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu rumahnya yang sepi. Bayi kecilnya tertidur lelap di kamar bersama Nina, dan seharusnya suasana ini memberi Dimas ketenangan dan kebahagiaan. Namun, yang ia rasakan justru adalah rasa kosong yang semakin dalam. Sejak kelahiran bayi ini, hidupnya seolah terbelah antara dua dunia yang tak pernah benar-benar menyatu.Kehadirannya di sisi Nina adalah tanggung jawab yang harus ia jalani. Nina membutuhkan dukungan dan perhatian, dan Dimas tahu bahwa sebagai ayah dari bayi ini, ia harus ada untuk mereka. Namun, dalam setiap momen yang ia habiskan di rumah ini, pikirannya sering kali melayang pada kehidupan lamanya—kehidupan bersama Laras dan anak-anak mereka.Dimas merasakan penyesalan yang tak kunjung reda setiap kali ia me
Malam itu, Andi duduk sendirian di kamarnya, memandangi ponsel yang tergeletak di atas meja. Sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali ia berbicara dengan Laras, namun setiap pesan atau panggilan darinya tetap tidak ia balas. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi Andi tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di pinggir kehidupan Laras, berharap dan menunggu tanpa kepastian.Selama bertahun-tahun, ia menyimpan perasaan tulus terhadap Laras, menawarkan bahunya sebagai tempat Laras bersandar di saat-saat tergelapnya. Ia tidak pernah meminta apa pun sebagai balasan, tidak pernah menuntut lebih. Namun, semakin hari, ia menyadari bahwa rasa cintanya pada Laras hanya membuatnya semakin terluka. Laras masih terikat pada masa lalunya dengan Dimas, dan tidak peduli s
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh
Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.
Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu
Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk
Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja Laras, menerangi tumpukan berkas dan dokumen di atas mejanya.Matanya tertuju pada layar laptop, di mana email berisi tawaran pekerjaan di luar negeri masih terbuka. Ia membaca paragraf demi paragraf dengan hati yang berkecamuk.Kesempatan untuk bekerja di perusahaan ternama di Singapura, posisi yang menjanjikan kenaikan karier dan pendapatan yang menggiurkan. Namun, setiap kata dalam email itu seperti menambah beban di dadanya.Suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Naya tertawa renyah karena candaan Raka, dan Sarah terdengar menceritakan sesuatu dengan semangat.Laras menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah pintu terbuka yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang keluarga. Wajah anak-anaknya muncul dalam pikirannya, memaksanya mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.Dengan tangan gemetar, Laras menutup laptopnya. Tawaran itu memang menggiurkan, namun perasaa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil apartemen Nina, menyinari sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang lembut.Di meja dapur, Nina duduk dengan rambut yang disanggul rapi, mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar.Tangan kanannya sibuk menggambar sketsa bunga-bunga di buku catatan kecilnya, sementara di sampingnya, sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemani. Ruangan itu dipenuhi aroma harum teh melati, membawa kedamaian yang tak terlukiskan.Di dekat Nina, bayi kecilnya, Aidan, tertidur pulas di kursi bayi. Wajahnya yang mungil dan polos membuat hati Nina terasa penuh, meskipun letih sering kali membayangi.Setiap kali ia melihat Aidan, rasa cinta yang begitu kuat mengalir dalam dirinya, memberinya alasan untuk terus melangkah maju. Tidak ada lagi bayangan Dimas di balik senyumnya, hanya ada dirinya dan Aidan, serta tekad kuat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.Nina menutup buku catatannya, menghela napa
Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suara gemericik yang menyusup ke dalam apartemen Dimas yang sepi.Udara dingin dan lembap merayap melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan aroma tanah basah.Dimas duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong memandangi selembar kertas putih di depannya.Tangannya yang gemetar menggenggam pena, namun tulisan yang tertoreh di atas kertas itu baru separuh jadi. Di sebelahnya, secangkir kopi yang sudah dingin tak disentuh, melengkapi suasana kesendirian yang membungkus dirinya.Sore itu, Dimas merasa keheningan menggerogotinya, namun entah mengapa, ada kedamaian samar yang merayap di antara rasa penyesalan dan kelelahan.Setelah berminggu-minggu diliputi kebingungan dan konflik batin, akhirnya ia menemukan titik terang di tengah kekacauan ini—sebuah keputusan yang terasa pedih namun perlu. Ia harus merelakan Laras, bukan hanya untuk kebaikan Laras, tetapi untuk