dua tahun kemudian
“Hari ini bagaimana? Semesta masih mendukungmu kan beberapa hari belakangan?”
“Tidak buruk,”
Tidak buruk. Siapa juga yang akan menyalahkan semesta terhadap apa yang sudah terjadi. Tentang perasaannya yang terus berkembang. Tentang apa saja yang tetap menjadi perbincangan dalam.
Hari ini masih sama. Perihal perasaannya yang masih mencoba baik-baik saja.
“Dua tahun lalu, aku ingat betul bagaimana perempuan di depanku ini menangis sangat menyedihkan. Dua tahun lalu juga aku ingat betul perempuan di depanku ini memohon untuk lupa seolah esok tidak pernah ada lagi bahagia. Aku sangat ingat betul malam itu kau terus memintaku menyembuhkan perasaanmu. Perasaan yang seyogianya hanya bisa kau sembuhkan dengan caramu sendiri. Bukan melalui tangan orang lain.”
Persis kalimat terakhir itu berakhir, kamar dengan dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Membiarkan angin sore menerbangkan setangkai matahari di atas meja belajar putih menghadap jendela. Menyaksikan pemilik kamar duduk di atas kasurnya, sedang sang tamu duduk di kursi belajarnya.
“Aku menyukaimu, Nin. Persis seperti dua tahun lalu perasaan itu dipaksa berhenti sebab keinginanmu sendiri. Aku masih menyimpan rapat penolakan itu. Masih mengingat betul rasanya seperti apa. Hari ini, aku akan mengulanginya lagi. Aku menyukaimu, Nin.”
“Tidak pernah bagi seorang pun meninggalkan perasaannya ketika ia pulang. Jauh, dekat, lama, sebentar, perasaan itu sempurna milikmu. Bedanya, kau akan tetap menyukaiku atau kau tetap menyukai diriku yang dulu, itu urusanmu. Hari ini, ijinkan aku menjelaskan alasan penolakan itu yang seharusnya sudah kujelaskan dua tahun lalu.”
Lelaki di sana menggeleng. Senyuman terpatri di bibir yang selalu menengangkan perempuan di depannya. Perempuannya yang semoga diaminkan jagat raya.
“Iya atau tidak jawabanmu, aku tetap ingin menjelaskannya. Aku tidak mau kau terus berpikir jika ini salahmu. Bukan. Bukan salahmu bukan juga karenaku saja. Ini karena kita. Diri kita yang lain yang menginginkan kita tidak pernah sempurna bisa disebut kita.”
“Cukup Nin,”
“Aku ingin tenang, Ka.”
Ketenangan bagi semua orang adalah obat mujarab ketika hati sulit bekerjasama memahami keadaan yang terus menyakiti. Kata tenang seolah pelukan atau bahkan kecupan selagi diri sendiri tidak paham, apa yang sebenarnya ia inginkan. Saat itu, ketika satu perempuan di sana mengungkapkan bahwa ia ingin tenang, hari itu juga segala amin akan terus mengalir, bahwa segala amin akan bekerjasama dengan semesta membaikkan perasaan yang buruk, kecewa yang menumpuk, kegagalan di pelupuk mata serta patah hati yang kata manusia adalah kehancuran yang terus menyakiti.
“Astaga Nin! Sudah pukul berapa ini, sedang kau baru menampakkan wajah cantikmu itu di depanku?! Dua jam, Hanin. Sempurna dua jam kau membuatku menunggu!” Korban makian itu bukan lain adalah perempuan berambut lurus bermodel updo dengan kacamata bundar setengah merosot ke hidungnya. Wajah pucatnya seharusnya sudah menjelaskan kepada lawan bicara kenapa ia telat selama itu. Kantung matanya juga harusnya bisa menjawab pertanyaan perempuan di depannya ini. Seharusnya bisa. Bahkan ransel berisi laptop di punggung pun harusnya bisa menjawab kalau Hanin baru saja pulang dari kantor. Menemui satu-satunya editor cerewet yang sialannya sudah dekat dengannya hampir satu tahun belakangan karena pekerjaan. “Kau harusnya tahu, minggu ini jadwalku padat. Kau masih saja ingin kita bertiga bertemu seperti ini. Ayolah, kau tak kasihan melihat wajahku seperti anak zombie seperti ini? Aku ingin tidur.” “Cih! Kau selalu saja membawa alasan seperti itu. Satu bulan kami menunggu j
lanjutan dua tahun kemudian “Aku akan memulai ceritanya, iya atau tidak jawabanmu, aku akan tetap cerita alasannya.” Lelaki di kursi sana masih terdiam. Duduk nyaman meskipun hatinya enggan. Tidak ingin mengulang penolakan itu. Tidak mau menikmati perasaanya dua tahun lalu. “Aku ingin tenang, Ka. Sungguh. Kau selalu tahu suasana hatiku berkata apa. Seolah kalian berteman akrab sehingga aku sendiri heran, kenapa kau begitu apik memahamiku sementara aku sulit memahami hatiku sendiri. Dan seharusnya dua tahun lalu kau tahu, aku benar-benar menginginkan ketenangan.” Hanin mengela napas. Melanjutkan pengakuan pertamanya. “Ka, sebelum pertemuan pertama kita di ruangan baru yang menghadap jalanan kota itu, sebelum aku melihatmu untuk pertama kalinya sebagai sosok baru di sana, jauh sebelum aku mengira kalau keyakinan kita tak sama dan t
Lima menit dalam sia-sia. Gadis bersurai hitam kecoklatan duduk bersandar pada kayu mahoni dengan plitur kecoklatan dipernis mengkilap menyamankan mata memandang. Masih setia duduk tanpa melakukan apa-apa kecuali mendiamkan kepalanya. Ramainya tidak karuan. Saling berdebat berebut kursi ketenangan. Hatinya ikut-ikut. Mendeklarasikan peperangan demi membuat kenyamanan. Dari dulu atau bahkan semenjak menjadi mahasiswa, riuhnya kepala menjadi nyanyian kencang bervolume maksimal seolah enggan memaafkan tuannya yang saat itu berbuat kesalahan. Terus berteriak meminta kebebasan. Terus memberontak meminta pengakuan. Hanin sudah lelah sebenarnya. Sudah kecapaian merasakan gejolak perasaanya. Sayangnya Hanin tidak pernah bisa mengerti keinginannya sendiri.Tidak pernah bisa memahaminya sehingga menjadikan keramaian ini menjadi lebih ramai. Hanin sendirian ketika duduk di gazebo. Matanya memandang segala penjuru gedung-gedung tempat ia kuliah sembari melirik alroji di pergelangan tanga
Hanin dan Karsa tiba di rumah Hanin persis saat matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit berwarna oranye. Mengantarkan matahai beristirahat berganti semburat menawan berhias burung-burung berterbangan guna kembali ke kediaman. Persis di depan gerbang setinggi pinggang ber cat hitam, motor Karsa berhenti menurunkan Hanin yang memasang wajah masam. Meskipun tidak jadi bertemu Pak Tua itu, kata diculik versi Karsa berakhir hujan-hujanan di jalan tapi kebanyakan berteduhnya. Alasan Karsa selalu sama setiap mereka berhenti di pinggir jalan atau ruko-ruko yang pemiliknya memilih menutupnya. “Kau tidak boleh sakit, Nin.” Hanin mendengus. “Kau tidak memperbolehkanku sakit tapi kau mengajakku hujan-hujanan. Tahu seperti ini lebih baik aku bertemu Pak Tua itu.” “Kalau kau sakit, Pak Tua akan marah besar. Hari ini kau absen darinya, sakit karena hujan-hujana. Wah... aku tidak bisa membayangkan wajah bundarnya semerah apa menahan untuk tidak memakanmu. Astaga a
Lajutan dua tahun kemudian Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Haninmengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia. “Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.” Karsa terkejut, “Diana?” Hanin tersenyum. Hambar. “Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru
“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?” Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu. “Aku selamat!” ketusnya. Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan. “Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.” Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.” Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seo
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak