Tawa menggema saat mendengar tantangan yang diajukan oleh Nicko. Bagi mereka Nicko telah menggali kuburannya sendiri.
"Kau yakin dengan rencanamu?" tanya Adrian pongah. "Apa kau lihat diriku sedang becanda?" balas Nicko. Josephine memegangi lengan suaminya erat-erat, sepertinya tak setuju dengan usulan para pria itu. Bagi Josephine sikap mereka kali ini terlihat kekanakan."Huh, Boys will be boys," batinnya. Kekhawatiran terpancar jelas pada paras ayu Josephine. Adrian Law cukup dikenal sebagai keluarga terpandang. Mereka memiliki akses dengan para pesohor dan juga orang-orang kaya lainnya. Berbeda dengan Nicko yang tampak percaya diri. Sang istri justru menunduk karena takut. Nicko yang menyadari perubahan pada istrinya pun mengusap lembut jemari sang istri. "Tenang ya, Sayang," katanya mencoba menenangkan. Josephine mengangguk dan mencoba untuk tenang. Walau sesungguhnya dalam hatinya tengah was was. "Jadi kau yakin dengan keputusanmu wahai pecundang? ejek Adrian. "Ya, aku tak pernah bermain-main.""Kau ini bodoh sekali Nicko, dia bertanya begitu memberi kesempatan bagimu untuk menyelamatkan diri dari rasa malu!" teriak Damian. Nicko bergeming, dan mulai memalingkan wajah. Ia sangat muak dengan gaya Adrian yang sombong. "Aku tak akan mundur. Justru aku ingin mengingatkanmu agar mundur sekarang daripada kau menanggung malu. Semua di sini pasti tahu bagaimana keluarga Law yang terhormat. Tentunya jika kalah dari seorang Nicko yang tak memiliki nama belakang tentu saja akan menjdi hal yang memalukan bukan?" ejek Nicko mencoba mempermainkan perasaan Adrian. "Sudah Adrian, lakukan saja. Sepertinya dia memang sudah siap menanggung malu. Karena dia memang sudah terbiasa," kata Damian diikuti Armando dan juga Bryan. "Baiklah, tapi aku ingin taruhanditambah. Siapa yang kalah, maka harus menjilat sepatu yang menang," tambah Adrian. Secepat kilat Nicko mengatakan Deal dengan disaksikan oleh keluarga Windsor. Hampir seluruh keluarga Windsor tak setuju dengan tindakan Nicko yang menerima tantangan Adrian. Mereka sepertinya takut kalau menantu tak berguna itu akan mencoreng harga diri mereka. "Nicko, apa kau sudah gila. Kau ingin mempermalukan keluarga kami ha?" cecar Howard, tapi hanya dibalas dengan senyum sinis Nicko. "Hey benalu! Apa kau tak memikirkan perasaaan Josephine jika kau kalah. Kau ini sudah tak mampu menafkahi putriku, malah membuat dia malu!" tambah Daisy, Ibu mertuanya. Josephine mempererat genggamannya pada tangan Nicko, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu bidang sang suami. Mencoba berbisik mesra agar suaminya membatalkan taruhan itu. "Sayang, sudahlah tak perlu kau ladeni pria tidak waras itu," bisik Josephine. Nicko berbalik dan mulai menatap istrinya lekat-lekat. Memperhatikan pahatan sempurna pada wajah wanita yang selalu mendampinginya dua tahun belakangan ini. "Sayang, aku tak pernah peduli dengan apa tanggapan mereka tentangku. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah, pria angkuh ini baru saja mengganggu Istriku. Sebagai suami aku tak akan membiarkan siapapun untuk mengganggumu," kata pria bertinggi 180 senti itu dan membuat istrinya tersenyum. "Tapi,—" Josephine tak melanjutkan kalimatnya, lantaran bibir merah mudanua dibungkam dengan kecupan dari suaminya yang tampan."Tak usah khawatir sayang, percayalah laki-laki yang bersikap tidak sopan terhadap istriku akan mendapatkan ganjarannya," kata Nicko mencoba menenangkan. Entah mengapa tatapan mata dan ucapan dari suaminya mampu menenangkan hati. Ia yang tadinya ragu berubah optimis, yakin kalau suaminya tak akan kalah. "Aku percaya padamu.""Ah terlalu banyak drama. Tak perlu diulur waktunya, bilang saja kau menyerah, maka aku dengan senang hati membatalkan taruhan ini. Asal, —" Adrian melirik ke arah wanita berambut pirang yang tak melepaskan tangannya pada Nicko. "Asal apa Adrian?" balas Nicko tanpa basa-basi. Lirikan yang ditujukan pada bidadari cantiknya telah mengarah pada sesuatu yang tidak pantas. "Hmm, asal kau biarkan istrimu menghabiskan satu malam denganku,"Pria berambut cokelat gelap ini mengepal tangannya cukup kuat.Bahkan membuat urat-uratnya terlihat lebih menonjol dari biasanya. Kata-kata yang baru diucapkan oleh Adrian mampu membuat darahnya mendidih.
Ingin rasanya ia melayangkan tinju pada hidung beo pria yang ada di hadapannya. Mungkin juga perutnya. Menghina dan melecehkan istrinya sama halnya dengan merobek-robek harga dirinya sebagai lelaki. ***"Kurang ajar! Sekarang tunjukkan kalau kau memang mengenal Tuan Thomas si pemilik toko!" kata Nicko memerintah. "Baiklah, jika kau memang memaksa. Bersiaplah menyambut penghinaan terhadap dirimu!" balas Adrian kemudian menekan nomor ponsel Tuan Thomas dan melakukan panggilan video. Dengan disaksikan seluruh keluarga Windsor, pria berkulit putih ini pun menanyakan perihal signature stick golf itu. "Hello Tuan Thomas, apakah kau sibuk?" tanya Adrian berbasa-basi."Tidak, aku hanya baru saja berbincang ringan dengan Tuan Laurance yang kebetulan datang ke tokoku untuk memberikan tanda tangannya pada signature stick golf dari The Bogey."Mendadak Adrian lupa akan basa-basi pada Tuan Thomas. Pria angkuh ini kemudian mengkonfirmasi kebenaran cerita Nicko. "Oh iya benar, tadi memang Mitchel Laurance kesini. Kami mengadakan pembagian hadiah untuk yang menjawab pertanyaan kami, dengan hadiah utama satu set signature golf stick dari The Boogey," jelas Tuan Thomas.Adrian yang tak puas dengan jawaban Tuan Thomas pun mulai mengarahkan camera ponselnya ke arah suami Josephine. Menanyakan apakah benar orang ini yang memenangkan. Lagi-lagi pria sombong itu harus menelan pil pahit karena Tuan Thomas mengatakan ya. Seketika lutut Adrian terasa lemas. Ia telah kehilangan harga diri di mata keluarga Windsor. Tak bisa membayangkan jika ia harus menjilat alas sepatu si pecundang.Bukan hanya Adrian yang terkejut, namun seluruh keluarga Windsor pun sama. Mereka memilih diam dan tak mempedulikan nasib Adrian saat ini. Perlahan-lahan Adrian berjalan mundur dan mencari celah untuk kabur. Ia tak mau jika harus berlutut di hadapan suami Josephine. Sayang, saat ia kabur seseorang memanggilnya. "Adrian," sapanya lembut. Suara yang renyah dan lembut itu mampu menghentikan langkah Adrian. Terlebih saat ia menoleh dan mendapati sosok cantik berjalan berlenggak-lenggok ke arahnya. "Josephine?""Kau mau kemana, tunggu aku," kata Josephine manja, dan tentu saja mebuat Adrian tergoda, hingga pria itu kembali melangkah ke arahnya dan berdiri tepat di hadapan Josephine. Saat itulah istri Nicko menuangkan sebotol penuh soda pada kepala Adrian. "Kau mau mencoba kabur sebelum membersihkan sepatu suamiku dengan lidahmu?" cecar Josephine. Adrian hanya bisa tergagap, mencoba mengatakan pada Josephine kalau ia ada urusan mendadak dan harus pergi. Namun putri bungsu keluarga Windsor ini tidak mempercayai ucapannya begitu saja. Wanita ini terus mencecar Adrian dan memaksanya untuk menerima konsekuensi atas kekalahannya. "Jika suamiku yang kalah, kau tak akan melepaskannya bukan? Namun saat ini kau adalah yang kalah.Seharusnya kau lakukan konseukuensinya kan!"
"Aku ingin tapi,—" Adrian tak dapat meneruskan kalimatnya. Ia tengah menahan diri untuk tidak mengompol."Tapi apa Tuan Law? Anda terlalu pengecut untuk melakukannya?" tambah Nicko menimpali. Karena terus didesak dan dicecar, Adrian akhirnya melepas kemejanya dan mulai berlutut membersihkan sepatu Nicko dengan kemeja putih mahalnya. Pria angkuh ini makin merendahkan tubuhnya agar dapat menjilat alas sepatu dari Nicko.Rasa jijik tak hanya memenuhi diri Adrian, namun juga keluarga Windsor. Sepertinya mereka malu kalau pria yang mereka gadang-gadang sebagai menantu idaman. ***Sementara di toko Sporty Win, seorang pria berjubah hitam, anak buah Russell berdiri sambil memegang pistor. Setelah sebelumnya ia berjongkok, mengarahkan pistol pada bokong Tuan Thomas apabila tidak memberi pengakuan seperti yang dipetintahkan Russell Padanya.Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nicko mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Rumah Edmund Winsor yang luasnya tak seberapa dibandingkan Paman Howard.Tak ada sesal baginya tiap kali mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Baginya, apa yang ia lakukan saat ini adalah penyeimbang dalam kehidupan rumah tangganya. Josephine bekerja di perusahaan keluarga dan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka termasuk Tuan dan Nyonya Windsor.Nicko bukannya enggan atau malas mencari pekerjaan dan menafkahi sang istri. Namun keputusannya meninggalkan tempat kerjanya yang lama secara tiba-tiba membuat dirinya sedikit kesulitan mencari pekerjaan. Apalagi pekerjaan lamanya berada di kota kecil pada perusahaan yang tidak terlalu bergengsi.Pernah sekali ia mendapat pekerjaan sebagai kurir pengantar barang, tapi hal itu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Windsor. Bekerja sebagai pengantar barang dinilai sangat hina bagi keluarga Windsor yang cukup terpandang. A
Mobil Van yang dikemudikan Nicko baru saja tiba di pelataran Rumah Sakit. Setelah ia mengantar wanita yang dicintai ke kantornya.Pemuda 25 tahun itu pun segera melangkahkan kakinya lebar-lebar. Ia mungkin terlambat untuk bertemu dengan Tuan Brenan. Mobil van yang ia bawa bukanlah mobil mewah, maka dari itu ia harus parkir di tempat yang jauh dari lobi.Dengan langkah tergesa dan napas yang menderu lebih cepat, Nicko mencapai lobi. Tampak sosok yang dikenalnya sedang duduk di sofa yang letaknya sedikit tersembunyi.Fyuh! Pemuda berwajah tampan itu pun menyunggingkan senyum setelah menghembuskan napas lega. Di hadapannya duduk dua orang berpakaian rapi, salah satunya memegang sebuah tongkat kebesaran. Di belakang mereka berdiri beberapa orang dengan pakaian serba hitam."Mohon maaf, saya terlambat Tuan," katanya sopan."Tak apa, duduklah anak muda! dan berhentilah untuk memanggilku Tuan!" perintah T
Seketika raut wajah Josephine berubah saat mendengar ucapan sang nenek. Ia yang tadinya bersemangat berubah jadi enggan dan ingin sekali pertemuan ini berakhir."Benar, Tuan Law pasti tak akan segan untuk menyuntikkan dana pada perusahaan kita," tambah Howard."Ya itu pasti, Tuan Law orangnya sangat kaya dan sepertinya ia menghormati keluarga kita," Kali ini giliran Nenek Elizabeth yang berbicara.Seisi ruangan tak henti membicarakan kehebatan dan kekayaan keluarga Law. Mereka seolah telah mendewakan sosok keluarga yang posisinya dua tingkat di atas mereka.Pembicaraan itu sebenarnya hanya untuk menyindir Josephine dan merendahkan suaminya. Mereka terus saja berbicara dan berharap Josephine melakukan sesuatu untuk membantu mereka."Damian, kenapa kau tak mencoba untuk bicara dengan Adrian Law, bukankah kalian cukup akrab?" tanya Howard tapi kedua matanya melirik ke arah Josephine.Namun istri dari Nic
Josephine kembali memainkan jemarinya sambil menunduk. Ia tak tahan dengan tatapan sinis yang menyerangnya. Menyalahkan atas semua yang terjadi pada sang Nenek.Dia mencoba untuk mendekat ke arah pintu, tapi Paman Howard menghalangi dan menyuruhnya pergi."Untuk apa kau kemari? Bukankah kau tak peduli akan keadaan Nenek?" kata Tuan Howard."Aku hanya ingin melihat keadaan Nenek," jawab Josephine takut-takut."Huh, masih berani kau memanggilnya Nenek, setelah apa yang baru kau lakukan?" ejek Damian."Maaf ... Aku ... Aku tak bermaksud melakukannya. Aku hanya tak bisa berkencan dengan orang lain sementara statusku telah bersuami," Josephine mencoba membela diri."Ah, alasan. Kau memang sudah tak peduli pada keluargamu.Tak lama pintu ruangan Nenek pun terbuka. Seorang wanita berjubah putih keluar dari sana. Dia adalah dokter Dolores Ryan, dokter pribadi keluarga Windsor.&nbs
Josephine membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang. Kegelisahan tak henti merundungnya.Nicko yang berada di sebelahnya pun langsung meletakkan majalah olahraga yang tengah ia baca. Khawatir akan keadaan sang Istri."Sayang, ada apa?" tanya Nicko tenang, tapi tak bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya.Josephine segera bangun dan duduk di samping sang suami. Menutupi wajah cantiknya dengan kedua tangan kemudian menghembuskan napas panjang.Sedih dan kesal terpancar jelas pada wajahnya. Kemudian memperhatikan wajah tampan milik sang suami."Apa yang kau rasakan jika dikhianati oleh keluargamu sendiri?"Nicko mengernyitkan alis, memperhatikan perkataan Istrinya. Ia sungguh paham akan perasaan wanita yang dua tahun belakangan ini menjadi teman hidupnya.Selama bertahun-tahun ia tinggal dengan pengkhianat keluarganya. Tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya."Ceritakan
Josephine masih tak percaya dengan apa yang disarankan oleh sang Suami. Sepertinya Nicko sangat tertekan berada di lingkungan keluarganya, hingga membuat ide yang tak masuk akal."Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Josephine meletakkan telapak tangannya pada dahi Nicko.Nicko mendesah dan tertawa melihat tingkah sang istri. Diraihnya tangan lembut itu dan dikecupnya."Apakah wajahku terlihat sedang sakit?" tanya Nicko lembut."Bukan ... Bukan begitu sayang, tapi mmm,—""Tapi, kau takut kalau pihak Grup Richmond tak akan bersedia menemuimu?" tanya Nicko cepat dan dibalas anggukan dari Josephine."Hmm sejak kapan Josephineku menjadi seorang yang pesimis, selalu takut sebelum berperang?" tanya Nicko seperti memberikan tantangan untuk Josephine.Istrinya memang lemah lembut, tapi tak pernah membiarkan siapapun meremehkannya. Benar saja, mendengar ucapan Nicko barusan, napas Jose
"Apa yang kalian lakukan, bodoh!" maki Laura pada dua orang petugas keamanan."Ma ... Maaf, kami telah lalai dan membiarkan gembel itu masuk ke dalam gedung Richmond," kata salah satu petugas keamanan bernama Josh Smith, yang tadi menyindir Nicko saat masuk gedung."Huh! Sudah sana, cepat kejar jangan biarkan pria gembel itu masuk ke dalam lift!" bentak Laura.Sementara Nicko terlihat melenggang santai menuju lift. Dua petugas itu terlihat berusaha keras untuk mengejar Nicko."Hei gembel, kau mau kemana!" teriak Josh Smith.Sementara rekannya, Noah Wilder yang bertubuh lebih ramping berhasil meraih lengan Nicko dan membuatnya berhenti."Kalian ada perlu dengan saya?" tanya Nicko."Ya, kau seharusnya tak boleh berada di sini?" bentak Josh."Memangnya kenapa?""Kantor ini bukan untuk gembel, pergilah sebelum direktur baru kami datang!"Nic
Dengan kasar kedua petugas keamanan itu mendorong tubuh Nicko dan menendangnya agar keluar lewat pintu belakang. Nicko yang tak siap pun terjatuh karena posisi tubuh yang tak seimbang.Kedua petugas keamanan itu tertawa terbahak-bahak saat melihat tubuh Nicko terhuyung, nyaris jatuh."Ha ha ha rasakan kau gembel busuk!"Nicko hanya tersenyum sinis, tapi dalam hati ia berkata, "Kalian lihat saja nanti."Sepeninggal kedua pria berseragam itu, Nicko langsung mengambil ponselnya. Mencoba menghubungi Raymond."Halo, Raymond! Bisakah kau segera menjemputku di pintu belakang?" kata Nicko melalui ponselnya."Di pintu belakang? Tapi kenapa Tuan Muda?" tanya Raymond."Nanti kuceritakan, cepatlah datang kemari!" perintah Nicko."Baik Tuan Muda, aku akan segera kesana dalam hitungan detik."Raymond sungguh tak mengerti kenapa ditektur barunya masuk lewat pintu bela