Howard Windsor membuka kotak hitam yang diberikan oleh Adrian tepat di dekat Josephine. Pria paruh baya ini memang sengaja menunjukkan pesona Adrian di depan keponakannya yang cantik.
Sebuah miniatur kuda berlapis emas tersimpan rapi dalam kotak pemberian pria berambut pirang itu. Howard menduga harganya cukup mahal, bisa mencapai jutaan dollar. "Wow, ini bagus sekali, terima kasih Adrian," kata Howard. "Apakah Anda menyukainya?" tanya Adrian bermaksud menyombong. "Tentu saja Ayahku menyukainya, hadiah darimu sungguh istimewa. Kau benar-benar menunjukkan kepedulianmu pada keluarga kita," jawab Damian mencoba untuk menyindir Josephine lantaran suaminya tak membawa apapun. "Ya, kau sungguh menghargai Pamanku," tambah Armando yang mengerti maksud dari Damian. "Kau sungguh baik Adrian, yang menjadi bagian dari keluarga kami saja tak membawa apapun, bahkan sekaleng acar pun tidak," cibir Catherine pada adiknya. Josephine tahu betul kalau maksud dari saudaranya adalah untuk merendehkannya. Namun tak ada sesal dalam dirinya telah menikah dengan Nicko. Tak peduli sosok Nicko yang saat ini hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi Josephine, pria yang telah menikahinya adalah yang terbaik, walaupun hina di mata keluarganya. Tak ada pria yang begitu sabar mendengar semua keluh kesahnya. Bertahan dan menepati janji untuk setia dan menerima dirinya saat sehat atau sakit, susah ataupun senang. ***"Tuan Muda, apa Anda yakin untuk turun di sini saja?" tanya Russell pada Nicho, saat mereka mencapai ujung jalan rumah Howard Windsor. "Ya, aku yakin," jawab Nicko dengan mantap. Raut wajah Russell tampak sedikit bingung. Pemuda yang seharusnya berada dalam pengawasannya menolak untuk dikawal, sementara Bos Besarnya memerintahkan demikian. "Tapi, Tuan Muda, kami khawatir nanti Tuan Besar akan marah pada kami," jawab Russell. Nicko menapak-napakkan kakinya sambil berpikir. Di sisi lain ia merasa kasihan jika pria yang tadi menolongnya mendapat masalah. Namun ia juga khawatir keluarga Windsor akan mengetahui identitasnya dan mungkin memanfaatkannya. "Maafkan aku Russell, tapi kau tahu kan aku tak ingin mereka tahu tentang siapa diriku," kata Nicko memulai. "Aku mengerti akan tugas dan kewajiban kalian. Bagaimana jika kalian mengantarku sampai sana saja, tepat di samping rumah Paman Istriku," tunjuk Nicko memberikan solusi. Russell tampak menimbang-nimbang kemudian mengangguk, mengiyakan permintaan Nicko. Mungkin baginya, ia masih bisa mengawasi dengan mengantar ke samping tempat tujuan."Baik, Tuan Muda.""Maafkan aku Russell, jika ini menyusahkanmu, tapi kau tahu ini tak mudah bagiku. Lagipula hasil DNA belum juga keluar, aku tak ingin nanti akan mengecewakan," jawab Nicko tampak kacau. Russell hanya mengangguk. Namun di dasar hatinya ia sangat yakin kalau pemuda yang dikawalnya adalah sosok Tuan Muda yang sebenarnya. Russell bukanlah orang baru di dunia hitam. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan jalanan, bisnis gelap. Semua karena pengasuhan dari seorang pria Chuck Raines yang ia panggil dengan sebutan ayah. Chuck Raines yang menjadi pimpinan organisasi pun bekerja pada keluarga Lloyd. Karena kekuatan Tuan Raines lah, pesaing-pesaing Lloyd yang memiliki biat jahat tumbang satu per satu. Sayang umurnya pendek, hingga beliau menghembuskan napas terakhir dalam pelukan putra angkatnya karena serangan jantung. Semua pengaruh dan organisasi pun jatuh ke tangan Russell."Baiklah Tuan Muda, hubungi saya kapanpun Anda membutuhkan bantuan," tawarnya. "Terima kasih." ***Adrian merasa di atas angin saat Keluarga Windsor melayangkan pujian untuknya. Kedua mata cokelatny tak henti melirik sosok Josephine yang sedari tadi diam. Ia sangat mengharapkan ada pujian dari Josephine untuknya, walau hanya sedikit. "Hey Josephine apa kau tak ingin melihat miniatur kuda yang dibawakan oleh Adrian?" tanya Armando sambil merangkul pundak Adrian dengan bangga. "Tak perlu," jawabnya ketus. "Memangnya kenapa, Josephine sayang. Kau sudah lama tak melihat benda yang berkilauan lantaran suamimu yang bodoh itu tak bisa memanjakanmu," tambah Catherine mencemoohnya. "Dia bukan bodoh, dia suamiku," balas Josephine. "Yang dikatakan saudaramu itu benar Josephine. Apa yang bisa kau harapkan dari laki-laki pecundang seperti dia. Menghidupi dirinya sendiri saja dia tak sanggup.Bagaimana ia bisa menghidupimu sebagai istri. Ingat Jo, kau lahir dan dibesarkan oleh keluarga terhormat. Mana pantas kau bersanding dengan laki-laki tak berguna seperti dia," kata Nenek Elizabeth dengan nada tinggi.
"Kau seharusnya melihat Adrian. Ia tak ada ikatan dengan keluarga Windsor, tapi bisa menunjukkan niat baiknya dengan menyempatkan diri hadir dan membawakan hadiah untuk Pamanmu," Edmund, Ayah Josephine yang sedari tadi diam pun ikut berbicara. "Suamimu memang tak tahu malu. Jangankan hadiah, acara penting saja ditinggal olehnya. Lihat kemana dia Sekarang?" tambah Daisy, Ibu dari Josephine. "Ayah, Ibu, Nenek, Nicko pergi sebentar karena ada keperluan di rumah sakit. Ada keluarga angkatnya yang membutuhkannya," bela Josephine. "Ah itu alasannya saja. Dia pasti merasa minder karena tak bisa membawa hadiah. Iya kan," balas Catherine diikuti tawa anggota keluarga Windsor yang lain. Josephine tetap berusaha membela Nicko di depan mereka. Namun semakin keras wanita berambut pirang ini membela sang suami, semakin ia mendapat kecaman yang mampu memporak-porandakan hatinya. Melihat raut muka masam dari wanita pujaan, Adrian pun tampil bagai seorang pahlawan. Melangkah mendekat ke arah Josephine dan mencoba menarik simpati darinya. "Halo cantik, apa yang membuatmu bersedih?" tanya Adrian mencoba untuk merangkul pinggang ramping Josephine.Dengan cepat, wanita itu menepiskan tangan Adrian yang lancang. Kemudian menatap pria perlente itu dengan tatapan penuh amarah. "Apa kau tak bisa bersikap sopan?" bentak Josephine kasar. Siikap Josephine ini membuat keluarga Windsor murka. Menurut mereka sikap Adrian adalah hal yang wajar. Tentu saja hal ini membuat Josephine sangat kecewa. "Apa ada yang menyakitimu, Sayang?" tanya Nicko yang datang tiba-tiba dan berdiri di belakang istrinya. "Sayang, kau sudah kembali, bagaimana dengan Emily?" tanya Josephine. "Dia, yah begitulah," jawab Nicko yang hampir saja menceritakan apa yang dialaminya hari ini pada sang Istri. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi mereka berdua untuk saling bercerita. Nicko mulai mendekat pada Paman Howard dan memberikan signature golf stick dari The Bogey. Ia sangat tahu kalau Pamannya menggemari olahraga golf, walau tak mahir dan juga tak banyak mengetahui seluk beluk permainannya. Hanya untuk menjaga gengsi di depan kolega. "Paman Howard, maaf aku baru bisa memberikan hadiah," kata Nicko menyodorkan hadiahnya pada Paman Josephine. Howard memang tak mahir bermain golf, namun ia paham betul akan merk yang ada di hadapannya. Perlahan ia mengambil salah satu dari stick golfnya dan mendapati tanda tangan Mitchell Laurance di sana. Pria berumur itu tak mampu untuk menyembunyikan kegembiraannya, dan memamerkan apa yang baru saja ia dapat. "Paman, maaf jangan senang dulu. Memang barang itu terlihat mahal tapi belum tentu asli, paling dipakai sekali sudah patah. Lagipula mana mungkin orang seperti Nicko mampu membeli yang asli.""Menurutku ini asli, karena aku cukup mengenal tanda tangan dari Mitchell Laurance," kata Paman Howard. Kini keluarga Windsor pun kembali berisik, membahas apa yang dihadiahkan oleh Nicko. Sampai akhirnya Adrian menanyakan pada menantu tak berguna itu. "Dari mana kau mendapatkan tanda tangan Mitchell? Apa dia mau memegang barang yang kau ambil dari rongsokan?" tanyanya sinis. "Aku diberi olehnya, karena berhasil menjawab pertanyaan," kata Nicko sambil menuliskan pesan pada Russell untuk mengatur pihak Sporty Win untuk mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakannya kali ini. "Ha ha diberi? Mana bisa orang sepertimu bertemu dengan sosoknya.""Aku beretemu dengannya di toko olahraga Sporty Win," jawab Nicko. "Ha ha, baik aku akan menanyakannya pada Tuan Thomas si pemilik toko. Aku mengenalnya dengan baik," tantang Adrian. "Silakan, tapi sebelumnya kau harus setuju menerima resiko jika omonganku benar," balas Nicko. "Huh, apa yang kau janjikan pecundang?" balas Adrian. "Siapapun yang kalah harus melepas kemejanya, kemudian berlutut dan membersihkan sepatu pemenang dengan kemejanya," tantang Nicko. Sebenarnya ia tak peduli dengan anggapan mereka. Taruhan ini semata-mata ia lakukan karena kemarahannya pada Adrian yang berani menyentuh istrinya. "Kau tidak sedang becanda kan wahai pecundang?" balas Damian meledek. "Kenapa? Apa kau takut temanmu akan kalah?" balas Nicko.Note : Hai, terima kasih sudah mengunjungi ceritaku. Buat yang suka cerita fantasi bisa kunjungi novel terbaruku berjudul Sang Pengawal. Terima kasih
Tawa menggema saat mendengar tantangan yang diajukan oleh Nicko. Bagi mereka Nicko telah menggali kuburannya sendiri."Kau yakin dengan rencanamu?" tanya Adrian pongah."Apa kau lihat diriku sedang becanda?" balas Nicko.Josephine memegangi lengan suaminya erat-erat, sepertinya tak setuju dengan usulan para pria itu. Bagi Josephine sikap mereka kali ini terlihat kekanakan."Huh, Boys will be boys," batinnya.Kekhawatiran terpancar jelas pada paras ayu Josephine. Adrian Law cukup dikenal sebagai keluarga terpandang. Mereka memiliki akses dengan para pesohor dan juga orang-orang kaya lainnya.Berbeda dengan Nicko yang tampak percaya diri. Sang istri justru menunduk karena takut. Nicko yang menyadari perubahan pada istrinya pun mengusap lembut jemari sang istri."Tenang ya, Sayang," katanya mencoba menenangkan.Josephine mengangguk dan mencoba untuk tenang. Walau se
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nicko mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Rumah Edmund Winsor yang luasnya tak seberapa dibandingkan Paman Howard.Tak ada sesal baginya tiap kali mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Baginya, apa yang ia lakukan saat ini adalah penyeimbang dalam kehidupan rumah tangganya. Josephine bekerja di perusahaan keluarga dan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka termasuk Tuan dan Nyonya Windsor.Nicko bukannya enggan atau malas mencari pekerjaan dan menafkahi sang istri. Namun keputusannya meninggalkan tempat kerjanya yang lama secara tiba-tiba membuat dirinya sedikit kesulitan mencari pekerjaan. Apalagi pekerjaan lamanya berada di kota kecil pada perusahaan yang tidak terlalu bergengsi.Pernah sekali ia mendapat pekerjaan sebagai kurir pengantar barang, tapi hal itu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Windsor. Bekerja sebagai pengantar barang dinilai sangat hina bagi keluarga Windsor yang cukup terpandang. A
Mobil Van yang dikemudikan Nicko baru saja tiba di pelataran Rumah Sakit. Setelah ia mengantar wanita yang dicintai ke kantornya.Pemuda 25 tahun itu pun segera melangkahkan kakinya lebar-lebar. Ia mungkin terlambat untuk bertemu dengan Tuan Brenan. Mobil van yang ia bawa bukanlah mobil mewah, maka dari itu ia harus parkir di tempat yang jauh dari lobi.Dengan langkah tergesa dan napas yang menderu lebih cepat, Nicko mencapai lobi. Tampak sosok yang dikenalnya sedang duduk di sofa yang letaknya sedikit tersembunyi.Fyuh! Pemuda berwajah tampan itu pun menyunggingkan senyum setelah menghembuskan napas lega. Di hadapannya duduk dua orang berpakaian rapi, salah satunya memegang sebuah tongkat kebesaran. Di belakang mereka berdiri beberapa orang dengan pakaian serba hitam."Mohon maaf, saya terlambat Tuan," katanya sopan."Tak apa, duduklah anak muda! dan berhentilah untuk memanggilku Tuan!" perintah T
Seketika raut wajah Josephine berubah saat mendengar ucapan sang nenek. Ia yang tadinya bersemangat berubah jadi enggan dan ingin sekali pertemuan ini berakhir."Benar, Tuan Law pasti tak akan segan untuk menyuntikkan dana pada perusahaan kita," tambah Howard."Ya itu pasti, Tuan Law orangnya sangat kaya dan sepertinya ia menghormati keluarga kita," Kali ini giliran Nenek Elizabeth yang berbicara.Seisi ruangan tak henti membicarakan kehebatan dan kekayaan keluarga Law. Mereka seolah telah mendewakan sosok keluarga yang posisinya dua tingkat di atas mereka.Pembicaraan itu sebenarnya hanya untuk menyindir Josephine dan merendahkan suaminya. Mereka terus saja berbicara dan berharap Josephine melakukan sesuatu untuk membantu mereka."Damian, kenapa kau tak mencoba untuk bicara dengan Adrian Law, bukankah kalian cukup akrab?" tanya Howard tapi kedua matanya melirik ke arah Josephine.Namun istri dari Nic
Josephine kembali memainkan jemarinya sambil menunduk. Ia tak tahan dengan tatapan sinis yang menyerangnya. Menyalahkan atas semua yang terjadi pada sang Nenek.Dia mencoba untuk mendekat ke arah pintu, tapi Paman Howard menghalangi dan menyuruhnya pergi."Untuk apa kau kemari? Bukankah kau tak peduli akan keadaan Nenek?" kata Tuan Howard."Aku hanya ingin melihat keadaan Nenek," jawab Josephine takut-takut."Huh, masih berani kau memanggilnya Nenek, setelah apa yang baru kau lakukan?" ejek Damian."Maaf ... Aku ... Aku tak bermaksud melakukannya. Aku hanya tak bisa berkencan dengan orang lain sementara statusku telah bersuami," Josephine mencoba membela diri."Ah, alasan. Kau memang sudah tak peduli pada keluargamu.Tak lama pintu ruangan Nenek pun terbuka. Seorang wanita berjubah putih keluar dari sana. Dia adalah dokter Dolores Ryan, dokter pribadi keluarga Windsor.&nbs
Josephine membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang. Kegelisahan tak henti merundungnya.Nicko yang berada di sebelahnya pun langsung meletakkan majalah olahraga yang tengah ia baca. Khawatir akan keadaan sang Istri."Sayang, ada apa?" tanya Nicko tenang, tapi tak bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya.Josephine segera bangun dan duduk di samping sang suami. Menutupi wajah cantiknya dengan kedua tangan kemudian menghembuskan napas panjang.Sedih dan kesal terpancar jelas pada wajahnya. Kemudian memperhatikan wajah tampan milik sang suami."Apa yang kau rasakan jika dikhianati oleh keluargamu sendiri?"Nicko mengernyitkan alis, memperhatikan perkataan Istrinya. Ia sungguh paham akan perasaan wanita yang dua tahun belakangan ini menjadi teman hidupnya.Selama bertahun-tahun ia tinggal dengan pengkhianat keluarganya. Tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya."Ceritakan
Josephine masih tak percaya dengan apa yang disarankan oleh sang Suami. Sepertinya Nicko sangat tertekan berada di lingkungan keluarganya, hingga membuat ide yang tak masuk akal."Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Josephine meletakkan telapak tangannya pada dahi Nicko.Nicko mendesah dan tertawa melihat tingkah sang istri. Diraihnya tangan lembut itu dan dikecupnya."Apakah wajahku terlihat sedang sakit?" tanya Nicko lembut."Bukan ... Bukan begitu sayang, tapi mmm,—""Tapi, kau takut kalau pihak Grup Richmond tak akan bersedia menemuimu?" tanya Nicko cepat dan dibalas anggukan dari Josephine."Hmm sejak kapan Josephineku menjadi seorang yang pesimis, selalu takut sebelum berperang?" tanya Nicko seperti memberikan tantangan untuk Josephine.Istrinya memang lemah lembut, tapi tak pernah membiarkan siapapun meremehkannya. Benar saja, mendengar ucapan Nicko barusan, napas Jose
"Apa yang kalian lakukan, bodoh!" maki Laura pada dua orang petugas keamanan."Ma ... Maaf, kami telah lalai dan membiarkan gembel itu masuk ke dalam gedung Richmond," kata salah satu petugas keamanan bernama Josh Smith, yang tadi menyindir Nicko saat masuk gedung."Huh! Sudah sana, cepat kejar jangan biarkan pria gembel itu masuk ke dalam lift!" bentak Laura.Sementara Nicko terlihat melenggang santai menuju lift. Dua petugas itu terlihat berusaha keras untuk mengejar Nicko."Hei gembel, kau mau kemana!" teriak Josh Smith.Sementara rekannya, Noah Wilder yang bertubuh lebih ramping berhasil meraih lengan Nicko dan membuatnya berhenti."Kalian ada perlu dengan saya?" tanya Nicko."Ya, kau seharusnya tak boleh berada di sini?" bentak Josh."Memangnya kenapa?""Kantor ini bukan untuk gembel, pergilah sebelum direktur baru kami datang!"Nic