Nicko masih tak percaya dengan nominal yang tertera di layat monitor ATM beberapa waktu lalu. Kini pemuda itu bersandar sambil mengipas-ngipaskan kartu tak jauh dari mesin uang.
Tiga puluh milyar dolar adalah jumlah yang sungguh fantastis, apalagi baginya yang tak pernah memegang banyak uang. Ia bertanya-tanya berapa total kekeyaan Keluarga Lloyd, jika uang tabungan yang memang sengaja disiapkan untuknya saja sebesar ini. Bisa-bisa mencapai satu atau lima triliyun dollar atau mungkin lebih. Kemahsayuran keluarga Lloyd memang bukan rahasia umum lagi di Westcoast Town. Mereka memiliki beberapa perusahaan ternama yang tak haya terkenal di Westcoast Town tapi seantero negeri. Harta kekayaan keluarga Blanc saja nominalnya tak jauh beda dengan saldo ATM nya, apalagi keluarga Windsor. Kartu ATM yang diterima oleh Nicko memang edisi khusus. Bank hanya menerbitkannya untuk kalangan atas yang minimal kekayaannya adalah satu triliyun dollar. Setidaknya itu yang diketahui Nicko di majalah. "Dengan uang ini aku akan bisa membungkam mereka semua," pikir Nicko. Tentu saja itu benar, bagi keluarga Windsor yang gila hormat, saldo di ATM Nicko mampu membahagiakan mereka. Mereka bisa dengan mudah membeli barang-barang bermerk atau berplesir ke luar negri kapan saja mereka mau. Namun keinginan itu segera ditepiskan olehnya, "Tidak, aku tak boleh melakukannya. Jika aku memamerkan ini semua, maka apa bedanya aku dengan mereka?"Nicko pun bergegas meninggalkan Rumah Sakit dan mencari bus dan kembali ke villa Paman Howard. Di tengah perjalanan mencari Bus, tanpa sengaja ia melihat toko alat olahraga yang ramai oleh pengunjung. Rupanya saat itu sedang ada Mitchell Laurance seorang pegolf kenamaan. Tiba-tiba saja terbesit ide pada Nicko untuk mencoba kartu ATM nya. Seisi toko melirik Nicko tak bersahabat. Bagi mereka orang seperti Nicko hanyalah pria yang numpang AC ataupun wifi. Namun pandangan itu diacuhkan oleh Nicko. Ia terus melihat-lihat koleksi yang ada pada toko olahraga Sporty Win, mencari barang yang menarik. Perhatiannya kini beralih pada Mitch yang tengah menandatangani stick golf. Ia ingat kalau Mitch Laurance baru saja di endorse oleh perusahaan stick golf The Bogey. Nicko menduga kedatangan Mitch kali ini adalah untuk mempromosikan signature stick dari The Bogey. Tentu saja dengan tanda tangan darinya, harga stick golf akan semakin tinggi. Nicko yang berpakaian lusuh pun mendekat ke arah Mitch yang dikelilingi beberapa orang. Ia memberanikan diri untuk menanyakan berapa harga stick golf tersebut. "Ini mahal, tak mungkin dijual padamu," kata pria berdasi yang disinyalir adalah pemilik toko.Perkataan dari pria itu tentu saja membuat beberapa orang di sana tertawa meremehkan termasuk Mitchell. "Aku bermaksud membelinya," kata Nicko semakin membuat mereka tertawa. "Hei anak muda, dengan apa kau akan membelinya. Satu set stick golf ini harganya lebih dari sejuta dollar, mana bisa kau membelinya," tambah si pemilik toko penuh hinaan. "Nak, lebih baik kau pulang saja, jangan permalukan dirimu," kata salah seorang pengunjung. Mereka terus-terusan membuatnya kesal dengan kata-kata pedas. Sampai akhirnya Nicko merasa kesal dan mengeluarkan kartu saktinya."Katakan saja berapa harganya?" kata Nicko menyodorkan kartu ATM platinum spesialnya yang mampu membungkam mereka karena takjub. Sayang itu hanya sekejap, mereka pun kembali menertawakan Nicko."Ha ha kau ingin melucu dengan kartu mainan?" ledek salah seorang dari mereka yang akhirnya mengundang tawa. "Sudah lupakan saja, pemuda ini pasti mencuri. Mana mungkin orang seperti dia mampu membeli ini semua," kata salah seorang lagi."Benar, kau pasti mencuri. Tangkap dia!" perintah pemilik toko memanggil anak buahnya. Dua orang pria bertubuh besar pun mendekat ke arah Nicko dan mulai mengunci tangannya. Nicko mencoba untuk meronta dan menjelaskan kalau kartu itu adalah miliknya, tapi tak seorang pun percaya. Mereka justru semakinnkuat memegangi tubuh Nicko dan memberi akses seorang lagi untuk memukulinya. Saat tinju hampir mengenai perut Nicko, saat itulah sekawanan pria berjubah hitam masuk ke dalam toko. "Kau akan mati jika berani menyentuh Tuan Muda!" teriak salah satu dari kawanan berjubah hitam. Nicko yang terjepit pun menoleh ke arah kawanan itu dan menyebut, "Russell?"Pria bernama Russell memang diberi tugas oleh Tuan Lloyd untuk mengawasinya diam-diam. Kartu ATM yang ada pada Nicko memang didesain khusus karena memiliki chip pelacak yang bisa diakses oleh pemilik kartu dan orang pilihan mereka.Tujuannya untuk melacak keberadaan kartu kalau-kalau kartunya hilang, jadi tak heran jika mereka dapat menemukan Nicko dengan mudah.
"Kalian?" kata pemilik toko yang cukup familiar dengan Russel. "Kenapa? Kau ingin tokomu ditutup?" tanya Russell sambil mengambil stick golf dan memukulkan pada etalase kaca. Perlahan-lahan orang yang ada di sana pun berhamburan keluar, mereka takut akan insiden yang ada saat ini. Pemilik toko yang tadinya garang pun mendadak menciut. Mencoba memohon pada Russell agar tak merusak tokonya. "Cih!" maki Nicko sambil memalingkan muka. Ia merasa muak dengan sikap pemilik toko. Tadi ia menghina habis-habisan, sekarang memohon-mohon.Prang! Russell terus menghancurkan properti toko dan membuat pria angkuh ini bersimpuh di hadapan Nicko. Memohon agar ia menghentikan Russell dan tidak mengambil nyawanya. Mitchell yang ada di sana pun hanya bisa diam dan mencoba untuk kabur, tapi terharlang tubuh anak buah Russell. "Katakan berapa harga signature golf stick itu dan akan kubayar dengan ini!" kata Nicko menyodorkan kartu ATM nya dan melirik Russell untuk berhenti merusak. "Dengar bajingan! Kau hanya boleh mencharge tagihan barang yang dipesan oleh Tuan Muda saja, tidak dengan yang hancur ini! Kau mengerti!" bentak Russell membuat pria itu gemetar. Meskipun tak suka dengan apa yang dikatakan pria berjubah hitam ini, tapi s pemilik toko tetap melakukan perintah Russell. Ia masih menyayangi nyawanya sendiri. Setelah membayar dan menerima signature golf stick, Nicko pun menoleh ke arah Mitchell. "The Lloyd group salah satu sponsormu kan?" tebaknya dan dijawab dengan anggukan oleh pegolf profesional itu. "Hmm, cobalah bersikap rendah hati," kata Nicko kemudian berlalu dengan diikuti Russell dan anak buahnya yang membawa barang pesanan Nicko. "Tuan Muda, kami diminta oleh Tuan Lloyd untuk mengawal Anda," kata Russell. "Terima kasih, tapi bisakah dari jauh saja. Aku ingin menyembunyikan identitasku. Agar aku bisa tahu mana yang benar-benar tulus kepadaku," kata Nicko. ***Seorang pria berambut pirang baru saja datang di pesta ulang tahun Howard Windsor. Kedatangannya yang membawa kotak kecil berwarna hitam membuat seisi ruangan memandang ke arahnya. Pria itu Adrian Law yang dijodohkan dengan si bungsu Josephine. "Tuan Howard, aku meminta maaf karena datang terlambat di hari istimewamu. Ada urusan pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan kali ini. Sekali lagi saya mohon maaf," katanya dengan sopan dan tentu saja untuk membuat keluarga Windsor terkesan. Adrian melirik ke arah Josephine yang berdiri tak jauh darinya. Pandangan matanya lapar menatap sosok Josephine yang begitu cantik. Kulitnya yang semulus pualam serta tubuh yang ramping seperti biola membuat darah laki-lakinya mendidih. Melihat Adrian yang melirik ke arah Josephine, timbullah niat Damian untuk mendekatkan mereka berdua. Jika Adrian bersanding dengan Josephine tentu martabat Windsor akan terangkat, dan ia bisa mendapat jabatan penting pada Windsor Group.Howard Windsor membuka kotak hitam yang diberikan oleh Adrian tepat di dekat Josephine. Pria paruh baya ini memang sengaja menunjukkan pesona Adrian di depan keponakannya yang cantik. Sebuah miniatur kuda berlapis emas tersimpan rapi dalam kotak pemberian pria berambut pirang itu. Howard menduga harganya cukup mahal, bisa mencapai jutaan dollar. "Wow, ini bagus sekali, terima kasih Adrian," kata Howard. "Apakah Anda menyukainya?" tanya Adrian bermaksud menyombong. "Tentu saja Ayahku menyukainya, hadiah darimu sungguh istimewa. Kau benar-benar menunjukkan kepedulianmu pada keluarga kita," jawab Damian mencoba untuk menyindir Josephine lantaran suaminya tak membawa apapun. "Ya, kau sungguh menghargai Pamanku," tambah Armando yang mengerti maksud dari Damian. "Kau sungguh baik Adrian, yang menjadi bagian dari keluarga kami saja tak membawa apapun, bahkan sekaleng acar pun t
Tawa menggema saat mendengar tantangan yang diajukan oleh Nicko. Bagi mereka Nicko telah menggali kuburannya sendiri."Kau yakin dengan rencanamu?" tanya Adrian pongah."Apa kau lihat diriku sedang becanda?" balas Nicko.Josephine memegangi lengan suaminya erat-erat, sepertinya tak setuju dengan usulan para pria itu. Bagi Josephine sikap mereka kali ini terlihat kekanakan."Huh, Boys will be boys," batinnya.Kekhawatiran terpancar jelas pada paras ayu Josephine. Adrian Law cukup dikenal sebagai keluarga terpandang. Mereka memiliki akses dengan para pesohor dan juga orang-orang kaya lainnya.Berbeda dengan Nicko yang tampak percaya diri. Sang istri justru menunduk karena takut. Nicko yang menyadari perubahan pada istrinya pun mengusap lembut jemari sang istri."Tenang ya, Sayang," katanya mencoba menenangkan.Josephine mengangguk dan mencoba untuk tenang. Walau se
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nicko mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Rumah Edmund Winsor yang luasnya tak seberapa dibandingkan Paman Howard.Tak ada sesal baginya tiap kali mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Baginya, apa yang ia lakukan saat ini adalah penyeimbang dalam kehidupan rumah tangganya. Josephine bekerja di perusahaan keluarga dan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka termasuk Tuan dan Nyonya Windsor.Nicko bukannya enggan atau malas mencari pekerjaan dan menafkahi sang istri. Namun keputusannya meninggalkan tempat kerjanya yang lama secara tiba-tiba membuat dirinya sedikit kesulitan mencari pekerjaan. Apalagi pekerjaan lamanya berada di kota kecil pada perusahaan yang tidak terlalu bergengsi.Pernah sekali ia mendapat pekerjaan sebagai kurir pengantar barang, tapi hal itu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Windsor. Bekerja sebagai pengantar barang dinilai sangat hina bagi keluarga Windsor yang cukup terpandang. A
Mobil Van yang dikemudikan Nicko baru saja tiba di pelataran Rumah Sakit. Setelah ia mengantar wanita yang dicintai ke kantornya.Pemuda 25 tahun itu pun segera melangkahkan kakinya lebar-lebar. Ia mungkin terlambat untuk bertemu dengan Tuan Brenan. Mobil van yang ia bawa bukanlah mobil mewah, maka dari itu ia harus parkir di tempat yang jauh dari lobi.Dengan langkah tergesa dan napas yang menderu lebih cepat, Nicko mencapai lobi. Tampak sosok yang dikenalnya sedang duduk di sofa yang letaknya sedikit tersembunyi.Fyuh! Pemuda berwajah tampan itu pun menyunggingkan senyum setelah menghembuskan napas lega. Di hadapannya duduk dua orang berpakaian rapi, salah satunya memegang sebuah tongkat kebesaran. Di belakang mereka berdiri beberapa orang dengan pakaian serba hitam."Mohon maaf, saya terlambat Tuan," katanya sopan."Tak apa, duduklah anak muda! dan berhentilah untuk memanggilku Tuan!" perintah T
Seketika raut wajah Josephine berubah saat mendengar ucapan sang nenek. Ia yang tadinya bersemangat berubah jadi enggan dan ingin sekali pertemuan ini berakhir."Benar, Tuan Law pasti tak akan segan untuk menyuntikkan dana pada perusahaan kita," tambah Howard."Ya itu pasti, Tuan Law orangnya sangat kaya dan sepertinya ia menghormati keluarga kita," Kali ini giliran Nenek Elizabeth yang berbicara.Seisi ruangan tak henti membicarakan kehebatan dan kekayaan keluarga Law. Mereka seolah telah mendewakan sosok keluarga yang posisinya dua tingkat di atas mereka.Pembicaraan itu sebenarnya hanya untuk menyindir Josephine dan merendahkan suaminya. Mereka terus saja berbicara dan berharap Josephine melakukan sesuatu untuk membantu mereka."Damian, kenapa kau tak mencoba untuk bicara dengan Adrian Law, bukankah kalian cukup akrab?" tanya Howard tapi kedua matanya melirik ke arah Josephine.Namun istri dari Nic
Josephine kembali memainkan jemarinya sambil menunduk. Ia tak tahan dengan tatapan sinis yang menyerangnya. Menyalahkan atas semua yang terjadi pada sang Nenek.Dia mencoba untuk mendekat ke arah pintu, tapi Paman Howard menghalangi dan menyuruhnya pergi."Untuk apa kau kemari? Bukankah kau tak peduli akan keadaan Nenek?" kata Tuan Howard."Aku hanya ingin melihat keadaan Nenek," jawab Josephine takut-takut."Huh, masih berani kau memanggilnya Nenek, setelah apa yang baru kau lakukan?" ejek Damian."Maaf ... Aku ... Aku tak bermaksud melakukannya. Aku hanya tak bisa berkencan dengan orang lain sementara statusku telah bersuami," Josephine mencoba membela diri."Ah, alasan. Kau memang sudah tak peduli pada keluargamu.Tak lama pintu ruangan Nenek pun terbuka. Seorang wanita berjubah putih keluar dari sana. Dia adalah dokter Dolores Ryan, dokter pribadi keluarga Windsor.&nbs
Josephine membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang. Kegelisahan tak henti merundungnya.Nicko yang berada di sebelahnya pun langsung meletakkan majalah olahraga yang tengah ia baca. Khawatir akan keadaan sang Istri."Sayang, ada apa?" tanya Nicko tenang, tapi tak bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya.Josephine segera bangun dan duduk di samping sang suami. Menutupi wajah cantiknya dengan kedua tangan kemudian menghembuskan napas panjang.Sedih dan kesal terpancar jelas pada wajahnya. Kemudian memperhatikan wajah tampan milik sang suami."Apa yang kau rasakan jika dikhianati oleh keluargamu sendiri?"Nicko mengernyitkan alis, memperhatikan perkataan Istrinya. Ia sungguh paham akan perasaan wanita yang dua tahun belakangan ini menjadi teman hidupnya.Selama bertahun-tahun ia tinggal dengan pengkhianat keluarganya. Tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya."Ceritakan
Josephine masih tak percaya dengan apa yang disarankan oleh sang Suami. Sepertinya Nicko sangat tertekan berada di lingkungan keluarganya, hingga membuat ide yang tak masuk akal."Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Josephine meletakkan telapak tangannya pada dahi Nicko.Nicko mendesah dan tertawa melihat tingkah sang istri. Diraihnya tangan lembut itu dan dikecupnya."Apakah wajahku terlihat sedang sakit?" tanya Nicko lembut."Bukan ... Bukan begitu sayang, tapi mmm,—""Tapi, kau takut kalau pihak Grup Richmond tak akan bersedia menemuimu?" tanya Nicko cepat dan dibalas anggukan dari Josephine."Hmm sejak kapan Josephineku menjadi seorang yang pesimis, selalu takut sebelum berperang?" tanya Nicko seperti memberikan tantangan untuk Josephine.Istrinya memang lemah lembut, tapi tak pernah membiarkan siapapun meremehkannya. Benar saja, mendengar ucapan Nicko barusan, napas Jose