Pagi ini adalah hari kedua perang dingin antara Nicko dan Jo. Bahkan malam kemarin Nicko masih saja tidur di ruang TV, dan tentu saja ini membuat mertuanya merasa senang. Itulah sebabnya kali ini mereka tidak membully Nicko dan membahas perpisahannya dengan Josephine.
"Nicko, setelah kau antar Josephine, ambilkan pesananku di butik!" perintah Daisy sambil menyerahkan nota pembelian."Baik Bu!" jawab Nicko tanpa membantah. Namun diam-diam ia menantikan sesuatu.Diam-diam ia menghitung sampai sepuluh dalam hati. Ia ingin tahu bagaimana kelanjutan cerita Daisy dan tagihan makan siang di hotel Emerald. Sejak semalam, wanita ini sama sekali belum menceritakan apa-apa."Jo, Ibu minta uang lima ratus ribu!" kata Daisy sambil menadahkan tangan pada putrinya yang bersiap-siap untuk pergi kerja."Untuk apa Bu? Bukankah aku sudah memberikan separuh dari gaji terakhirku pada Ibu sewaktu aku masih bergabung dengan Hotel Windsor," jPasangan muda itu masih terlihat kaku dan dingin tak seperti biasanya. Kebiasaan sang suami mengantar istri ke kantor terkesan seperti sebuah kewajiban saja, bukan karena rasa cinta yang seharusnya diberikan."Kau akan pulang jam berapa?" tanya Nicko saat membukakan pintu mobil untuk istrinya."Seperti biasa jam enam sore, aku akan memberitahumu jika ada perubahan," jawab Josephine dengan nada yang datar."Oh, baiklah."Sebenarnya ingin sekali Nicko memberikan kecupan hangat di kening istrinya seperti yang biasa dilakukan olehnya. Tentu saja ia sudah tak tahan lagi untuk saling diam dengan istri cantiknya.Namun melihat sikap Jo yang masih dingin dan tidak bersahabat membuatnya mengurungkan niat. Ingin minta maaf, tapi khawatir istrinya makin bertambah marah. Sepertinya memang sudah digariskan kalau sebagai laki-laki ia harus dipersalahkan terus."Sayang, sampai kapan kau akan bersikap angkuh seperti ini?
Sedan hitam nan mewah baru saja berhenti di kawasan niaga, tempat butik-butik mewah berjajar dan berlomba-lomba menarik pelanggan. Adalah seorang perempuan berambut pirang keluar dari sedan mewah itu. Ia sedang butuh hiburan, di tengah kebosanan dan kegelisahan yang melanda pada kehidupan pribadinya."Anda butuh ditemani Nyonya?" tanya sopir yang mengantarnya."Tidak usah, kau pulang saja. Aku akan menghubungimu jika sudah selesai!" katanya kemudian memasang kacamata hitam.Dialah Catherine Blanc, atau kakak kandung Josephine. Sudah jadi kebiasaannya untuk menggunakan uang yang diberikan oleh sang suami saat kebosanan melanda.Beruntung, suaminya Armando memberikan fasilitas uang belanja yang tak terhitung. Sehingga, ia bisa memanjakan dirinya dengan berbelanja di butik-butik mewah, kemudian memanjakan diri dengan rangkaian perawatan di spa favoritnya.Catherine pun melenggang dan melangkah anggun di kawasan pedestrian
Bugh!Armando memegangi pipinya karena merasakan tinju yang menghantam dengan keras."Huh dasar pengecut!" ledek laki-laki yang baru saja melayangkan tinju pada wajah suami Catherine."Hei ipar tak tahu malu! Jangan ikut campur urusan keluargaku!" maki Armando pada laki-laki itu, dialah Nicko."Hmm aku tak berniat ikut campur, tapi anggap saja hari ini kau sedang sial hingga aku terpaksa memukulmu," ejek Nicko.Tak hanya Armando yang terkejut akan kehadiran Nicko yang tiba-tiba. Namun juga Catherine, ia tak mengira adik ipar yang selama ini selalu ia cemooh tiba-tiba datang dan membelanya.Secara kebetulan Nicko akan memasuki butik yang ada di samping MaBelle untuk mengambil pesanan mertuanya. Saat itulah ia mendapati Armando baru saja menampar istrinya untuk pertama kalinya.Memang benar, Catherine selama ini selalu menghina dan meremehkannya. Terlebih saat kakak iparnya didampingi sang suami
"Bagaimana keadaanmu?" tanya laki-laki berambut cokelat itu pada kakak iparnya."Eh aku ... Aku, ya merasa lebih baik," jawab Catherine yang masih dikuasai oleh keterkejutan."Kau mau kuantar pulang?" tawar Nicko, tapi Catherine menggeleng. Namun ia justru melangkah mendekati adik iparnya."Terima kasih," jawabnya disambut anggukan Nicko."Aku tak ingin pulang, bawa aku ke tempat Ibu saja!" pinta Catherine."Hmm baiklah, tapi aku akan mengambil pesanan Ibu mertua dulu," kata Nicko sambil menunjuk ke arah butik."Tunggu! Aku ikut!" pinta Catherine.Kakak ipar Jo tahu kalau butik yang ditunjuk Nicko biasa dikunjungi oleh kaum kelas atas. Ia khawatir Nicko akan diperlakukan tidak baik oleh karyawan di sana lantaran penampilannya.Kakak Josephine beranggapan dengan pergi bersamanya, maka Nicko tak akan dianggap sebagai pengemis lagi. Namun ia lupa dengan tampilannya yang sekarang.
Sebenarnya ia ingin tertawa melihat penampilan kakak iparnya kali ini. Perempuan yang biasa tampil elegan itu tampak seperti orang bangun tidur. Namun mengingat apa yang baru dialami Catherine membuat Nicko mengurungkan niatnya untuk tertawa."Sekarang, apa menurut kalian, kalian pantas berada di sini?" tanya pelayan toko yang sombong itu sambil melangkah dan berkacak pinggang.Catherine yang tak pernah diperlakukan seburuk ini pun terkejut. Masih tak terima ia pun mengeluarkan kartu member butik dan memberikannya pada pelayan toko."Kalian lihat ini, aku memiliki kartu platinum di sini!" serunya sambil menyodorkan kartu itu.Namun sang pelayan hanya menepiskan dan mencibirnya, "Kartu siapa yang anda curi?"Perempuan itu pun mengerang kesal dan merasa dirinya gagal. Nicko yang mengetahui hal ini pun segera menghampiri untuk memprotes.Sebenarnya mudah saja baginya untuk menghentikan pelayan itu. Ia tinggal
Daisy menyambut menantunya dengan umpatan begitu ia tiba di rumah keluarga Windsor."Lama sekali, memang apa susahnya untuk mengambil pesananku!" seru Daisy geram.Nicko hanya menunduk diam, dan menoleh ke belakang. Saat itu Catherine melangkah dengan ragu-ragu."Maafkan aku, tadi aku memintanya untuk menjemputku Bu," kata Catherine berbohong."Oh, kalian datang bersama, yah sudahlah. Tumben sekali kau mau menumpang mobil jelek itu? Sopir dan mobil mewahmu kemana?" tanya Daisy penasaran.Catherine pun tertunduk saat mendengar pertanyaan ibunya. Ia bingung bagaimana harus menjawab, karena tak ingin keluarganya tahu tentang masalah yang dihadapinya.Tampaknya Nicko mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh Catherine. Pemuda itu menduga kalau kakak iparnya tak ingin membuat Ibunya bersedih jika tahu apa yang tengah dialaminya."Tadi Catherine bilang sopirnya sedang libur dan ia bilang ingin ke s
Sebuah sedan mewah berhenti di kawasan sentra niaga kelas atas. Seorang pemuda berpakaian rapi serta berkelas pun keluar dari pintu belakang mobil setelah seorang pria berjubah hitam membukakan pintu."Silakan Tuan Muda," katanya.Sang Tuan Muda pun melangkahkan kakinya menuju J Couture, sebuah butik kenamaan untuk pria dan wanita. Butik yang memang dikhususkan untuk mereka yang berada pada kelas menengah atas.Kedatangannya dengan pengawal tentu saja disambut ramah oleh pegawai toko. Bahkan mereka rela mengesampingkan tamu yang sudah datang hanya untuk menyambutnya.Ia hanya memandang mereka dengan sinis di balik kacamata hitamnya dan senyum yang mengejek."Sebuta itukah mereka akan penampilan?" tanyanya dalam hati.Pemuda itu pun terus melangkah saat mendekati sosok wanita berahang besar yang berhasil ditangkap oleh matanya. Pelayan toko berahang besar itu baru saja meletakkan pesanan seseorang di meja k
Dari dalam sedan mewahnya, Nicko mengamati J Couture yang makin lama makin menjauh dari pandangan mata. Ada sedikit penyesalan atas apa yang baru dilakukan olehnya.Sepertinya situasi yang dihadapi bersama Jo membuat Nicko melakukan tindakan diluar kendali. Seharusnya ia bisa melakukan cara lain untuk membalas hinaan pelayan angkuh itu. Membayar semua koleksi dan memberikan pada yang membutuhkan misalnya."Ah bodoh sekali aku," runtuknya dalam diam. Tentu ia mengkhawatirkan kalau ada yang mengetahui akan tindakannya dan membuat Ayahnya mungkin murka. Atau bisa saja identitasnya akan terbongkar dan ia akan mendapatkan julukan miliyarder sakit jiwa."Anda memikirkan sesuatu Tuan Muda?" tanya Russell yang berada di samping kemudi."Hmm Russell, aku hanya ingin tahu apakah ada yang melihat tentang kejadian di butik J Couture tadi?" tanya Nicko yang masih memiliki kekhawatiran."Masalah itu Anda tak perlu mengkhawatir