"Sela nelepon. Sebaiknya aku turun aja deh. Urusan kita udah selesai, bukan?"
"Tanggung, sebentar lagi sampai. Kamu jawab telepon saat mobilku berhenti, ya. Jangan sampai dia mendengar kalau kamu lagi dalam perjalanan."
Tak lama kemudian, Saga memberhentikan mobilnya tepat di depan apartemen. Ponsel Gisca pun sudah tidak bergetar lagi, layarnya bertuliskan ada satu panggilan tak terjawab.
Tentu saja Gisca bersiap turun, tapi Saga malah menahannya.
"Kenapa lagi?"
"Sela pasti nelepon lagi. Jawab di sini aja. Kalau dia udah tiba di apartemen, bilang aja kamu habis beli sesuatu ke minimarket sambil sekalian jalan-jalan cari angin."
Ternyata memang benar, rupanya Sela kembali menelepon Gisca. Sebelum mengangkatnya, Gisca menarik napas sejenak. Berusaha tenang, jangan sampai gugup apalagi terdengar mencurigakan.
"Jawab setenang mungkin. Biasa aja," tambah Saga.
Gisca tidak menjawab perkataan Saga. Ia memilih menggeser layar ke warna hijau sekarang juga.
"Halo, Gisca?" sapa Sela di ujung telepon sana.
"Iya, Sel?" Gisca berusaha setenang yang ia bisa.
"Kamu belum tidur?"
Pertanyaan Sela membuat Gisca yakin temannya itu belum pulang.
"Belum. Kamu kapan pulang?" Lagi, Gisca berusaha tidak gugup.
"Aku udah hampir sampai nih. Kamu mau dibeliin sesuatu? Jajanan malam di sekitar apartemen enak-enak loh."
"Kamu udah hampir sampai?" Gisca tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Iya, emangnya kenapa? Kayak kaget banget?" tanya Sela. "Eh tunggu, tapi kamu lagi di luar ya? Soalnya samar-samar aku mendengar suara kendaraan beberapa kali."
Sepertinya Gisca tidak akan sempat kembali ke kamar dalam waktu secepat kilat. Untuk itu, ia terpaksa mengatakan apa yang Saga sarankan tadi. Lagian Sela telanjur mendengar bunyi khas kendaraan yang akan sangat mencurigakan jika Gisca mengaku sedang berada di kamar.
"Sebenarnya aku belum pengen tidur, jadi sambil nunggu kamu pulang ... aku memutuskan cari angin keluar, sekalian ke minimarket juga," bohong Gisca.
"Oke, kalau gitu kita ketemu di depan aja ya. Sekitar lima menit lagi aku sampai. Kita beli jajanan malam dulu."
"Oke, aku tunggu. Kebetulan aku juga ada di depan."
Setelah sambungan telepon mereka terputus, Gisca langsung membuka pintu mobil untuk turun.
"Ini, bawa." Saga menyerahkan satu kantong belanjaan khas minimarket yang berisi beberapa camilan dan minuman kaleng. Ia memang sudah mempersiapkannya dan sengaja diletakkan di kursi belakang untuk berjaga-jaga. Gisca sendiri heran sejak kapan kantong belanjaan tersebut ada di sana.
"Dia pasti heran kalau kamu nggak bawa belanjaan. Jadi bawa ini, ya."
Gisca mengernyit. "Kamu seniat itu?"
"Ini bagian dari antisipasi. Aku cuma waspada," jawab Saga santai.
Tanpa menjawab karena itu akan membuang-buang waktu, Gisca lalu turun dari mobil Saga.
"Aku harap kita bisa ketemu lagi. Berdua," ucap Saga. "Ah iya ... mulai sekarang kamu harus terbiasa angkat telepon atau balas chat dariku, ya."
Meskipun Gisca sudah turun, tapi wanita itu bisa mendengar dengan jelas kalimat terakhir Saga.
Tentu saja Gisca berjanji akan memblokir nomor Saga secepatnya. Ia tidak boleh terlibat dengan pria gila itu lagi. Cukup ini yang terakhir.
Terakhir. Terakhir. Terakhir!
Gisca pun menjauh dari mobil Saga. Ia juga bersyukur Saga langsung meninggalkan tempat itu. Mobilnya juga mulai menghilang dari pandangan Gisca.
Entah kenapa Gisca merasa seperti buronan. Padahal ia tidak selingkuh dengan Saga apalagi menjadi simpanan pria itu. Namun, rasa takut dan bersalahnya terus terbayang.
Selama beberapa saat Gisca berdiri, sampai kemudian sebuah mobil yang Gisca yakini adalah mobil Sela, berhenti tidak jauh dari tempat Gisca menunggu.
Gisca lalu mendekat ke mobil itu dan benar ... itu adalah mobil Sela.
"Masuk, Gis."
Sejujurnya perasaan bersalah yang tidak bisa Gisca jelaskan semakin menggebu-gebu dalam hati Gisca.
Dengan pelan ia masuk dan duduk di samping Sela.
"Simpan di belakang aja belanjaannya," tambah Sela.
Gisca lalu melakukan apa yang Sela katakan. "Pasti kamu capek banget, Sel. Kenapa nggak istirahat aja?"
"Aku bakalan istirahat, kok. Tapi setelah kita beli jajanan di tempat favoritku. Ah, kamu bakalan nyesel kalau nggak nyobain pisang goreng kriuk favoritku."
Gisca tersenyum. "Oke, mari kita ke sana. Oh ya, katanya tempat jajannya di sekitar sini, aku kira kita bakalan jalan kaki."
"Biar lebih cepat," kekeh Sela.
Gisca harus selalu sadar, jangan sampai lupa betapa Sela sangat menyambut hangat kedatangannya. Wanita itu juga telah membantunya tanpa pamrih. Gisca akan jadi wanita yang sangat tidak tahu diri jika 'meladeni' Saga.
Baiklah, tidak perlu nanti-nanti. Gisca harus memblokir nomor Saga sekarang juga. Ia harus mengakhiri semua kekonyolan ini, sebelum Saga berbuat lebih jauh yang kemungkinan merepotkannya.
Saat hendak memblokir nomor Saga. Rupanya pria itu sudah lebih dulu mengirim chat. Tepatnya lima menit yang lalu. Gisca baru melihatnya karena baru membuka ponsel lagi.
Jangan berani-beraninya blokir nomorku.
Tapi kalau kamu maksa mau memblokir nomorku, coba lihat ini dulu sebelum memutuskan melakukannya. Ini ancaman.
Terlampir sebuah foto yang membuat Gisca tercengang. Bagaimana tidak, itu adalah foto Gisca dan Saga di atas tempat tidur, dengan Saga memeluk mesra Gisca dari belakang. Dari pakaian Gisca di foto tersebut, itu sepertinya tadi sore saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.
Tunggu, tunggu ... kapan foto ini diambil? Ini mustahil!
Mungkinkah editan? Astaga....
Jika bukan editan, bagaimana bisa ada foto seperti ini?
Berawal dari kecurigaan Saga pada Sela yang belakangan ini sulit dihubungi. Ralat, dihubungi memang bisa, tapi hubungan mereka tidak seperti biasanya.Mereka memang tidak sedang bertengkar, saat menelepon pun masih sayang-sayangan. Namun, Saga merasa Sela sedang menjaga jarak bahkan menjauhinya.Saat Saga menelepon Sela untuk mengajak bertemu, dengan tegas Sela mengatakan tidak bisa lantaran sibuk bekerja. Selalu begitu. Pulang kerja pun Sela berdalih lelah.Baik, sebelum mereka berpacaran pun sebenarnya Sela sudah bekerja, tapi wanita itu biasanya masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu. Sekarang hampir satu tahun hubungan mereka, Sela benar-benar lebih dari sekadar sibuk sampai-sampai selalu menolak jika diajak menghabiskan waktu bersama. Intensitas pertemuan mereka sudah semakin jarang, terakhir Saga bertemu Sela yaitu sekitar seminggu yang lalu.Terkadang Saga sengaja mendatangi apartemen Sela untuk sekadar beristirahat atau menunggu pacarnya itu.Jika Sela pulang kerja Saga m
Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga! Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri."Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama."Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikira
Usianya 31 tahun. Dokter perusahaan. Ya, setidaknya itu informasi yang Gisca ketahui tentang pria bernama Barra. Pria yang saat ini berjalan di sampingnya.Awalnya Gisca berpikir kalau Barra bisa jadi orang suruhan Saga yang mungkin semakin menjerumuskannya pada pria sinting itu. Namun, saat Barra memintanya untuk ikut ... Gisca seolah terhipnotis sehingga mengikuti langkah pria itu.Entah mengapa sebagian dari dirinya yakin kalau Barra bukanlah pria jahat. Terbukti saat mereka berjalan, di sepanjang perjalanan banyak karyawan Starlight yang menyapa Barra dengan penuh hormat dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.Konyol juga kalau Barra berkomplot dengan Saga. Bukankah sangat kurang kerjaan?Namun terlepas dari itu, Gisca berusaha tetap waspada. Ia tidak boleh percaya sepenuhnya pada Barra.Melewati pintu belakang, Gisca dibawa ke salah satu mobil yang terparkir di sana. Gisca jadi baru tahu ternyata di belakang juga ada tempat parkir.Sampai pada akhirnya, Gisca sudah duduk di kurs
Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memaksa pulang dengan risiko diikuti oleh pria sinting, atau ikut dengan pria asing dengan cover baik ... sebenarnya Gisca tidak sepenuhnya yakin apakah keputusan yang dipilihnya tepat.Namun, di sinilah Gisca sekarang. Ia masih berada di kursi penumpang dan saat ini Barra sedang menyetir dengan tenang meskipun Saga terus mengikuti mereka.Barra bilang, Gisca akan dibawa ke tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa didatangi oleh Saga. Dan Gisca berusaha percaya. Hanya itu yang bisa Gisca lakukan sekarang.Katanya, apa yang dipikirkan dan tanamkan di otak, itulah yang kemungkinan akan terjadi. Seperti sugesti. Untuk itu, Gisca akan menanamkan di otak bahwa Barra tidak seburuk Saga. Barra adalah orang baik yang kebetulan dikirim Tuhan untuk menolongnya.Untuk kesekian kalinya Gisca melirik kaca spion, dan mobil Saga masih setia membuntuti mereka. Gisca bertanya-tanya, terlepas dari tempat aman yang Barra sebutkan, sebenarnya pria itu akan memb
Hanya satu kalimat pertanyaan via chat seperti itu saja membuat Gisca ketakutan.Belum hilang kepanikan dan rasa takut Gisca, layar ponselnya berganti tampilan lantaran ada panggilan masuk diikuti getarannya.Ekspresi takut Gisca berubah menjadi penuh frustrasi. Bukan ... yang meneleponnya bukanlah Saga, melainkan Rumina."Iya?" sapa Gisca hati-hati."Kamu udah kerja?"Sungguh pertanyaan yang sangat to the point, tanpa basa-basi."Belum, Bu. Interview-nya diundur. Baru hari ini, bukan kemarin.""Masa bodoh, nggak peduli mau kapan aja, yang penting kamu kerjanya kapan? Gajiannya setiap tanggal berapa? Kapan mulai kirim uang?"Astaga...."Pengumuman penerimaannya aja belum, mending Ibu doain aja supaya aku diterima.""Kapan pengumumannya?" cecar Rumina terus."Paling lambat lusa, Bu. Sekarang pun aku mau pulang dulu, sambil nunggu pengumuman. Lagian barang-barangku masih di rumah.""Buang-buang ongkos aja. Seharusnya kamu bawa sekalian barang-barangnya!" marah Rumina. “Udah tahu keuanga
Barra sempat terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.“Farra itu?” Gisca bertanya karena Barra terus bungkam.Berbagai kejadian seperti berputar dalam otak Barra. Bagai kilasan film yang bergantian menayangkan adegan demi adegan di masa lalu. Satu hal yang pasti. Ia tidak siap menceritakannya."Apa yang terjadi padanya itu sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Lebih buruk dari yang kamu alami," sambung Barra.Ada kepedihan sekaligus dendam dari nada bicara Barra, yang membuat Gisca tahu diri untuk berhenti bertanya lebih detail."Untuk itu saya ingin menyarankan agar kamu jangan tinggal di kota ini," tambah Barra.Gisca terkejut. "Apa?""Saya tahu saya terkesan lancang dan ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi itu lebih baik daripada kamu harus terlibat dengan pria gila seperti Saga.""Tapi aku ingin kerja di Starlight, Pak," kata Gisca. "Selain itu, Bapak pikir ini adil? Saga yang jahat, kenapa aku yang harus mengorbankan harapanku untuk be
Dasar pembohong!Dua kata itulah yang ingin Gisca sematkan pada Barra. Bagaimana tidak, pria itu secara tegas berkata tidak akan peduli pada Gisca, bahkan mengatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena menurutnya Gisca susah diberi tahu.Namun, apa yang Barra lakukan sekarang? Setelah kembali dari klinik, pria itu memaksa mengantar Gisca sampai rumah. Padahal Gisca berpikir dirinya hanya akan diantar sampai stasiun saja karena Saga sudah tidak mengintainya lagi, tapi Barra tetap memaksa mengantar sampai rumah tanpa peduli jaraknya cukup jauh.Tentunya penolakan yang Gisca lakukan pun akan percuma, akhirnya daripada berdebat, ia memutuskan setuju untuk diantar oleh Barra. Apalagi hari sudah malam. Gisca tidak menyangkal kalau ia merasa aman saat diantar pulang oleh Barra.Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam melalui jalur bebas hambatan, kini mereka sudah berada di depan pintu masuk gapura perumahan tempat tinggal Gisca.“Tolong sampai sini aja, Pak,” pinta
Gisca yang sedang menenggak segelas air putih, tentu sangat emosi mendengar ucapan Reza. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Selama ini Reza sering mengeluarkan kalimat tidak sopan dan itu sebabnya ia selalu waspada saat kakak tirinya itu ada di rumah ini.Meski sangat emosi, Gisca terus menenggak minumannya sampai habis. Setelah gelasnya kosong, ia meletakkannya di meja cukup keras, tapi tidak sampai pecah. Hanya saja, cukup untuk membuat Reza terkejut."Kamu marah?" tanya Reza seraya mematikan kompor."Selama ini aku diam bukan berarti aku nggak marah." Gisca kemudian mengambil alih panci di tangan Reza lalu melemparnya ke lantai hingga mi beserta airnya tumpah berantakan."Kamu sinting?!" Reza yang terkejut secepatnya menghindar agar cipratan air panasnya tidak mengenai tubuhnya."Masih mending aku melemparnya ke arah lain, bukan ke wajah Mas Reza.""Kamu pasti nggak waras.""Ada apa ini?" Rumina yang mendengar suara ribut-ribut