Entah pria gila dari mana yang Gisca tengah hadapi saat ini, yang pasti ia masih tidak habis pikir ada pria yang berstatus sebagai 'pacar orang' kini terang-terangan sedang berusaha mendekatinya.
Parahnya lagi, Saga adalah pacar dari Sela. Teman Gisca sendiri! Bukankah sangat tidak waras pria itu berusaha merayunya?
Ya, apa namanya kalau bukan merayu? Dasar playboy sinting!
Percuma tampan kalau ketampanannya digunakan untuk hal kotor seperti itu.
Gisca tentu jangan sampai terbuai. Persetan dengan wajah tampan dan tubuh yang sempurna. Seharusnya ia tidak boleh tergoda. Sangat tidak boleh!
Saat ini, tidak peduli hari sudah malam, selagi Sela belum pulang, Gisca menunggu panggilannya diangkat oleh Saga. Tentunya ia menghubungi nomor Saga yang tertera di balik kertas tadi.
"Halo, dengan Saga di sini," sapa Saga di ujung telepon sana yang sangat sok imut.
"Kamu gila?! Sebenarnya apa yang kamu rencanakan?" kesal Gisca tanpa mau berbasa-basi.
"Wah, sepertinya aku tahu siapa yang menelepon," balas Saga. "Sejujurnya aku agak kecewa, kenapa baru menghubungi sekarang padahal aku pergi dari tadi sore? Apa kamu baru menemukan dompetku?"
"Sial. Balikin dompet aku sekarang juga!"
"Tentunya kamu harus balikin dompetku juga dong," jawab Saga santai.
"Sebenarnya maksud kamu apa, sih, ngelakuin hal sekonyol ini? Apa kamu nggak mikir ... apa jadinya kalau yang menemukan dompetnya itu Sela? Dia pasti mikir yang nggak-nggak."
"Aku cuma lagi iseng aja, ngisi waktu luang dengan cara mengenal kamu lebih dekat," jawab Saga tanpa merasa berdosa. "Kamu bilang gimana kalau Sela yang nemuin? Hmm, tapi kenyataannya kamu yang nemuin, kan? Bukan Sela."
"Kamu pasti beneran nggak waras. Aku ini teman Sela. Kenapa kamu begini?"
"Loh, memangnya kenapa kalau kamu teman dari pacarku? Bukankah bagus."
"Apa? Bagus kamu bilang?"
"Iya bagus. Kenapa? Kamu mau lapor sama Sela kalau aku begini? Silakan aja kalau mau mencari masalah."
Gisca terdiam. Memang sempat terbesit keinginan untuk menceritakan apa yang dialaminya pada Sela, tapi Gisca tidak siap dengan risiko terburuk. Sekalipun menceritakan yang sebenarnya terlebih dirinya tidak salah, tetap saja Gisca takut perasaan Sela pada Saga bisa mempengaruhi jalan pikiran wanita itu.
Ya, bagaimana jika Sela lebih percaya Saga? Kalau sudah begini, harus bagaimana? Gisca jadi galau sendiri.
"Diam artinya lagi mikir. Dan aku yakin kamu setuju kalau kita ketemu lagi," tambah Saga.
Baiklah, Gisca akan menganggap pertemuannya dengan Saga untuk menukar dompet merupakan terakhir kalinya mereka bertemu.
Gisca merasa Saga adalah tipe pria yang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, terbukti pria itu bisa-bisanya memiliki ide menukar dompet agar mereka bertemu lagi.
Ah, andai saja di dompetnya hanya berisi uang saja, Gisca mungkin memilih mengikhlaskannya sekalipun dirinya tidak kaya. Masalahnya adalah ... terdapat barang-barang berharga seperti kartu-kartu identitas yang akan ribet mengurusnya jika sampai kehilangannya. Sungguh, Gisca tidak mau membuang waktu hanya untuk mengurus hal-hal seperti itu.
"Foto KTP kamu cantik juga, ya?" Suara Saga kembali membuyarkan lamunan Gisca. "Eh, tapi aslinya lebih cantik, sih."
"Berisik! Enggak usah banyak omong deh. Mending kasih tahu kapan bisa balikin dompetku."
"Secepatnya dong. Bila perlu, sekarang juga bisa."
"Kamu gila?" Sumpah demi apa pun Gisca masih tidak menyangka beginilah sifat Saga, padahal tadi pria itu tidak menunjukkan gelagat mencurigakan.
"Entah berapa kali kamu nyebut aku gila. Gimana kalau kamu ikutan gila juga, nemenin aku. Jadi kita gila sama-sama."
"Dasar sinting!"
Saga malah tertawa.
"Aku tunggu di basemen sekarang. Sebelum KTP punyamu aku daftarin pinjol." Saga masih terkekeh. "Buruan sekarang juga, sebelum Sela pulang."
Mengecek isi dompet Saga, Gisca ingin mengumpat saat tidak menemukan satu kartu identitas pun. Rupanya pria itu sangat niat sehingga hanya meninggalkan uang dan catatan saja.
"Dasar licik!" kesal Gisca. "Mau kamu itu apa, sih? Kamu udah punya pacar, ngapain masih ngerayu aku?"
"Ayo, aku tunggu. Aku udah sampai basemen nih." Saga sengaja mengabaikan pertanyaan Gisca.
"Gimana kalau kita ketemu Sela?"
"Itu sebabnya dari tadi aku bilang buruan, sebelum Sela pulang. Hmm, atau kamu mau dompetnya nginep di aku?"
"Astaga." Gisca terpaksa mengambil jaket yang digantung di kamar Sela. "Tunggu sebentar. Aku turun sekarang. Tapi aku cuma mau tukeran dompet aja, ya. Udah itu doang."
"Lah, memangnya mau ngapain lagi selain tuker dompet? Apa mau ngamar dulu? Aku yakin untuk sekarang kamu belum mau."
Gisca tidak menjawab pertanyaan Saga yang semakin melantur. Ia memilih memutus sambungan telepon mereka lalu bergegas menuju basemen, sambil berharap-harap cemas semoga Sela masih di kantornya. Ya, setidaknya sampai Gisca kembali ke kamar, Sela jangan sampai pulang dulu.
Sampai pada akhirnya, di sinilah Gisca berada. Di dalam sebuah mobil yang dikemudikan oleh Saga.
Tadi saat Gisca baru tiba di basemen, sebuah mobil langsung mendekat padanya. Pintu mobil pun dibuka dan Gisca dipersilakan masuk. Ah, lebih tepatnya diancam, jika tidak masuk secepatnya dikhawatirkan Sela memergoki mereka. Untuk itu Gisca terpaksa menuruti permintaan Saga untuk duduk di samping pria itu.
"Sebenarnya kita mau ke mana? Kita hanya perlu tukeran dompet, kenapa nggak di sana aja?"
Sambil menyetir dengan tenang, Saga menjawab, "Kamu serius mau ketahuan sama Sela? Dia hafal mobilku loh. Enggak lucu, kan, saat kita tukeran dompet ... Sela tiba-tiba mendekat dan memergoki kita."
"Sial. Kita nggak lagi berbuat hal vulgar. Justru kamu yang salah di sini. Bisa-bisanya kamu ngelakuin ini ke teman pacarmu yang bahkan baru kamu temui hari ini. Sumpah ya, aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu."
"Lagi berbuat vulgar atau nggak, tetap aja bahaya kalau Sela memergoki kita. Lagian tenang aja, kita nggak akan ke mana-mana, kok. Ini sekarang lagi putar balik."
"Mana dompetku?" tanya Gisca cepat.
"Sabar dong."
"Mana? Cepetan?"
"Ternyata kamu nggak sabaran ya." Sejenak Saga merogoh saku hoodie-nya. "Nih."
Secepatnya Gisca langsung mengambil alih dompetnya. Ia juga tanpa ragu langsung meletakkan dompet Saga secara sembarang di dasbor. Dan di saat yang bersamaan, ponsel Gisca bergetar tanda ada panggilan masuk.
Gawat! Itu dari Sela!
"Sela nelepon. Sebaiknya aku turun aja deh. Urusan kita udah selesai, bukan?""Tanggung, sebentar lagi sampai. Kamu jawab telepon saat mobilku berhenti, ya. Jangan sampai dia mendengar kalau kamu lagi dalam perjalanan."Tak lama kemudian, Saga memberhentikan mobilnya tepat di depan apartemen. Ponsel Gisca pun sudah tidak bergetar lagi, layarnya bertuliskan ada satu panggilan tak terjawab.Tentu saja Gisca bersiap turun, tapi Saga malah menahannya."Kenapa lagi?""Sela pasti nelepon lagi. Jawab di sini aja. Kalau dia udah tiba di apartemen, bilang aja kamu habis beli sesuatu ke minimarket sambil sekalian jalan-jalan cari angin."Ternyata memang benar, rupanya Sela kembali menelepon Gisca. Sebelum mengangkatnya, Gisca menarik napas sejenak. Berusaha tenang, jangan sampai gugup apalagi terdengar mencurigakan."Jawab setenang mungkin. Biasa aja," tambah Saga.Gisca tidak menjawab perkataan Saga. Ia memilih menggeser layar ke warna hijau sekarang juga."Halo, Gisca?" sapa Sela di ujung tel
Berawal dari kecurigaan Saga pada Sela yang belakangan ini sulit dihubungi. Ralat, dihubungi memang bisa, tapi hubungan mereka tidak seperti biasanya.Mereka memang tidak sedang bertengkar, saat menelepon pun masih sayang-sayangan. Namun, Saga merasa Sela sedang menjaga jarak bahkan menjauhinya.Saat Saga menelepon Sela untuk mengajak bertemu, dengan tegas Sela mengatakan tidak bisa lantaran sibuk bekerja. Selalu begitu. Pulang kerja pun Sela berdalih lelah.Baik, sebelum mereka berpacaran pun sebenarnya Sela sudah bekerja, tapi wanita itu biasanya masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu. Sekarang hampir satu tahun hubungan mereka, Sela benar-benar lebih dari sekadar sibuk sampai-sampai selalu menolak jika diajak menghabiskan waktu bersama. Intensitas pertemuan mereka sudah semakin jarang, terakhir Saga bertemu Sela yaitu sekitar seminggu yang lalu.Terkadang Saga sengaja mendatangi apartemen Sela untuk sekadar beristirahat atau menunggu pacarnya itu.Jika Sela pulang kerja Saga m
Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga! Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri."Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama."Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikira
Usianya 31 tahun. Dokter perusahaan. Ya, setidaknya itu informasi yang Gisca ketahui tentang pria bernama Barra. Pria yang saat ini berjalan di sampingnya.Awalnya Gisca berpikir kalau Barra bisa jadi orang suruhan Saga yang mungkin semakin menjerumuskannya pada pria sinting itu. Namun, saat Barra memintanya untuk ikut ... Gisca seolah terhipnotis sehingga mengikuti langkah pria itu.Entah mengapa sebagian dari dirinya yakin kalau Barra bukanlah pria jahat. Terbukti saat mereka berjalan, di sepanjang perjalanan banyak karyawan Starlight yang menyapa Barra dengan penuh hormat dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.Konyol juga kalau Barra berkomplot dengan Saga. Bukankah sangat kurang kerjaan?Namun terlepas dari itu, Gisca berusaha tetap waspada. Ia tidak boleh percaya sepenuhnya pada Barra.Melewati pintu belakang, Gisca dibawa ke salah satu mobil yang terparkir di sana. Gisca jadi baru tahu ternyata di belakang juga ada tempat parkir.Sampai pada akhirnya, Gisca sudah duduk di kurs
Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memaksa pulang dengan risiko diikuti oleh pria sinting, atau ikut dengan pria asing dengan cover baik ... sebenarnya Gisca tidak sepenuhnya yakin apakah keputusan yang dipilihnya tepat.Namun, di sinilah Gisca sekarang. Ia masih berada di kursi penumpang dan saat ini Barra sedang menyetir dengan tenang meskipun Saga terus mengikuti mereka.Barra bilang, Gisca akan dibawa ke tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa didatangi oleh Saga. Dan Gisca berusaha percaya. Hanya itu yang bisa Gisca lakukan sekarang.Katanya, apa yang dipikirkan dan tanamkan di otak, itulah yang kemungkinan akan terjadi. Seperti sugesti. Untuk itu, Gisca akan menanamkan di otak bahwa Barra tidak seburuk Saga. Barra adalah orang baik yang kebetulan dikirim Tuhan untuk menolongnya.Untuk kesekian kalinya Gisca melirik kaca spion, dan mobil Saga masih setia membuntuti mereka. Gisca bertanya-tanya, terlepas dari tempat aman yang Barra sebutkan, sebenarnya pria itu akan memb
Hanya satu kalimat pertanyaan via chat seperti itu saja membuat Gisca ketakutan.Belum hilang kepanikan dan rasa takut Gisca, layar ponselnya berganti tampilan lantaran ada panggilan masuk diikuti getarannya.Ekspresi takut Gisca berubah menjadi penuh frustrasi. Bukan ... yang meneleponnya bukanlah Saga, melainkan Rumina."Iya?" sapa Gisca hati-hati."Kamu udah kerja?"Sungguh pertanyaan yang sangat to the point, tanpa basa-basi."Belum, Bu. Interview-nya diundur. Baru hari ini, bukan kemarin.""Masa bodoh, nggak peduli mau kapan aja, yang penting kamu kerjanya kapan? Gajiannya setiap tanggal berapa? Kapan mulai kirim uang?"Astaga...."Pengumuman penerimaannya aja belum, mending Ibu doain aja supaya aku diterima.""Kapan pengumumannya?" cecar Rumina terus."Paling lambat lusa, Bu. Sekarang pun aku mau pulang dulu, sambil nunggu pengumuman. Lagian barang-barangku masih di rumah.""Buang-buang ongkos aja. Seharusnya kamu bawa sekalian barang-barangnya!" marah Rumina. “Udah tahu keuanga
Barra sempat terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.“Farra itu?” Gisca bertanya karena Barra terus bungkam.Berbagai kejadian seperti berputar dalam otak Barra. Bagai kilasan film yang bergantian menayangkan adegan demi adegan di masa lalu. Satu hal yang pasti. Ia tidak siap menceritakannya."Apa yang terjadi padanya itu sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Lebih buruk dari yang kamu alami," sambung Barra.Ada kepedihan sekaligus dendam dari nada bicara Barra, yang membuat Gisca tahu diri untuk berhenti bertanya lebih detail."Untuk itu saya ingin menyarankan agar kamu jangan tinggal di kota ini," tambah Barra.Gisca terkejut. "Apa?""Saya tahu saya terkesan lancang dan ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi itu lebih baik daripada kamu harus terlibat dengan pria gila seperti Saga.""Tapi aku ingin kerja di Starlight, Pak," kata Gisca. "Selain itu, Bapak pikir ini adil? Saga yang jahat, kenapa aku yang harus mengorbankan harapanku untuk be
Dasar pembohong!Dua kata itulah yang ingin Gisca sematkan pada Barra. Bagaimana tidak, pria itu secara tegas berkata tidak akan peduli pada Gisca, bahkan mengatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena menurutnya Gisca susah diberi tahu.Namun, apa yang Barra lakukan sekarang? Setelah kembali dari klinik, pria itu memaksa mengantar Gisca sampai rumah. Padahal Gisca berpikir dirinya hanya akan diantar sampai stasiun saja karena Saga sudah tidak mengintainya lagi, tapi Barra tetap memaksa mengantar sampai rumah tanpa peduli jaraknya cukup jauh.Tentunya penolakan yang Gisca lakukan pun akan percuma, akhirnya daripada berdebat, ia memutuskan setuju untuk diantar oleh Barra. Apalagi hari sudah malam. Gisca tidak menyangkal kalau ia merasa aman saat diantar pulang oleh Barra.Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam melalui jalur bebas hambatan, kini mereka sudah berada di depan pintu masuk gapura perumahan tempat tinggal Gisca.“Tolong sampai sini aja, Pak,” pinta