Gisca sangat terkejut. Namun, detik berikutnya Gisca mulai waspada, diambilnya guling yang ada di kasur untuk berjaga-jaga siapa tahu pria itu bermaksud macam-macam padanya.
Gisca mulai bepikir, siapa pun pria di hadapannya ini, sangat jelas pria tersebut memiliki akses masuk ke apartemen Sela. Jadi sudah pasti ini adalah orang yang Sela kenal.
Atau jangan-jangan ... pria di hadapan Gisca ini adalah pacar Sela? Hanya itu kemungkinan yang paling masuk akal mengingat apa yang hendak pria itu lakukan cenderung mengarah pada hal vulgar. Gisca yakin, pria ini salah mengira kalau dirinya adalah Sela.
"Tunggu, tunggu ... seharusnya aku yang nanya begitu. Kamu siapa dan kenapa bisa ada di kamar ini?" tanya sang pria.
Sial … kenapa pria itu harus top-less, sih? Jujur, ini kali pertama Gisca melihat pemandangan sialan begini secara langsung. Selama ini ia terbiasa melihatnya di serial drama favoritnya. Dan Gisca refleks menelan ludahnya.
Apa Tuhan memang terkadang sengaja memberikan anugerah ganda pada seseorang? Bagaimana tidak, pria itu sudah memiliki tubuh yang bagus, perutnya kotak-kotak bak roti sobek, ditambah lagi paras yang sangat tampan. Postur tubuhnya pun sangat proporsional sehingga cocok dijadikan model.
"Maaf, sebenarnya kamu siapa?" ulang pria itu.
"A-aku teman Sela." Gisca masih merasa gugup. Namun, ia sudah meletakkan guling ke tempat semula karena sepertinya pria itu tidak akan macam-macam, jadi Gisca tak perlu memukulnya untuk membela diri.
"Jadi kamu teman Sela?"
Gisca mengangguk. Sejujurnya masih ada perasaan syok dengan apa yang baru saja terjadi.
"Sebelumnya sori. Aku nggak tahu kalau kamu ada di sini. Aku kira kamu Sela. Padahal jelas-jelas Sela udah bilang hari ini sibuk banget banyak kerjaan, tapi aku tetap ngira kamu Sela. Apalagi kamu pakai baju Sela."
Gisca masih melongo. Dugaannya benar kalau pria di hadapannya ini pasti salah mengira.
"Oh iya, hampir lupa. Kenalin ... aku Saga, pacar Sela."
Benar lagi dugaan Gisca! Itu pacar Sela!
Memiliki pacar adalah hal normal. Namun, Gisca masih tidak menyangka kalau kehidupan asmara Sela sebebas ini. Pria bernama Saga ini jelas-jelas tadi hendak melakukan hal yang lebih dari sekadar memeluk di ranjang. Semua orang 'dewasa' pasti tahu kelanjutannya akan bagaimana.
"Sumpah demi apa pun, aku nggak bermaksud melakukan hal yang lancang sama kamu," tegas Saga. "Andai tahu ada teman Sela sendirian di sini, aku pasti nggak akan datang," sambungnya.
Tentu saja tanpa dijelaskan pun Gisca sudah tahu ini hanya salah paham dan Saga tidak punya maksud berbuat tak senonoh padanya. Untuk itu, Gisca tidak punya alasan untuk mempermasalahkan apalagi marah pada pria itu.
Selain itu, ada hal yang lebih konyol. Ya, bohong jika Gisca tidak terpesona pada ketampanan Saga. Namun tentu saja ia harus sadar diri dan ingat status hubungan Saga dengan Sela.
"Sadar, Gis! Sadar!"
Ya, Gisca harus secepatnya sadar, jangan jadi teman yang tidak tahu diri. Sekalipun hanya terpesona dalam hati, itu tetap tidak boleh.
"Maaf? Kamu dengar apa yang aku katakan?"
Lamunan Gisca seketika buyar. "Eh?"
Sial, untuk apa Gisca melamun di saat seperti ini?
"Dengar, kok. Aku ngerti ini murni ketidaksengajaan," sambung Gisca.
"Ya, apa yang barusan terjadi ... itu kecelakaan," balas Saga.
Belum sempat Gisca menjawab lagi, suara ponsel otomatis menghentikan pembicaraan mereka. Rupanya itu berasal dari ponsel milik Saga yang diletakkan di meja seberang tempat tidur.
"Sela," gumam Saga.
"Sela nelepon?" tanya Gisca spontan. Entah kenapa ia jadi deg-degan berlebihan, padahal ini murni ketidaksengajaan. Ia takut Sela salah paham.
Saga mengangguk. Pria itu tidak lupa mengambil kausnya kemudian menjauh dari Gisca. Ponsel Saga pun kini sudah menempel di telinganya.
"Halo, Sayang?" sapa Saga pada Sela di ujung telepon sana.
"Sayang ... aku tadi udah bilang hari ini sibuk banget, kan?"
"Iya, anehnya kenapa masih bisa nelepon aku? Sekangen itukah?" Saga berkata setenang mungkin. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ah, memang faktanya tidak terjadi apa-apa, bukan?
"Aku lupa bilang kalau apartemenku lagi kedatangan tamu. Teman sekampungku. Jadi, jangan datang dulu, oke?"
"Sejak kapan? Seingatku kemarin nggak ada siapa-siapa."
"Perhari ini. Aku nggak tahu sampai kapan, yang pasti jangan datang dulu. Aku nggak mau bikin Gisca nggak nyaman."
"Oh, jadi namanya Gisca," batin Saga.
"Untung kamu bilangnya tepat waktu. Hampir aja aku mau istirahat tidur siang di apartemen kamu," bohong Saga.
"Astaga. Untung aja. Ya udah aku tutup dulu ya, Ga. Masih banyak kerjaan nih."
"Iya, Sayang. Semangat kerjanya."
Setelah menutup sambungan teleponnya, Saga langsung menoleh pada Gisca yang sedang berjalan ke arahnya.
Sebenarnya, sedari tadi Gisca mencuri dengar apa yang Saga katakan pada Sela di ujung telepon sana. Dan tentu saja Gisca terkejut Saga berbohong.
"Kenapa kamu bohong?" tanya Gisca.
Saga tidak langsung menjawab. Ia lebih dulu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia juga yang semula tidak mengetakan atasan sudah kembali memakai kausnya.
"Mencegah urusannya jadi panjang. Ribet nantinya."
"Ya ampun."
"Kalau Sela tahu apa yang kita lakukan tadi, bukankah pertemanan kalian malah jadi canggung dan nggak nyaman? Terlepas kalau itu kecelakaan," jawab Saga. "Baik, kita memang nggak ngapa-ngapain, tapi tetap aja ... bahaya kalau Sela tahu kita 'hampir'. Aku hafal betul sifat dia, kamu juga harusnya tahu karena temennya," lanjut pria itu.
Gisca akui ada benarnya juga, tapi tetap saja bagi Gisca ada yang mengganjal hatinya saat berbohong begini.
"Berbohong demi kebaikan bukan masalah. Aku juga lagi malas berantem. Itu sebabnya aku bilang hampir mau datang ke sini, padahal sebenarnya aku udah di sini," jelas Saga kemudian.
Gisca memilih tidak menjawab. Ia mengerti tujuan Saga. Namun, entah kenapa ia malah jadi tidak enak sendiri, seperti sudah berbuat salah pada orang yang sudah menolongnya.
"Udah, nggak usah dipikirin. Anggap aja nggak terjadi apa-apa di antara kita," kata Saga lagi. "Oh ya, nama kamu Gisca, kan?"
Gisca tidak heran, pasti Sela yang memberi tahu namanya pada Saga.
"Salam kenal, ya. Mungkin kesan pertama pertemuan kita cenderung aneh dan konyol, tapi mau gimana lagi. Kita nggak bisa menebak segala sesuatu yang akan terjadi." Saga lalu mengulurkan tangannya, "Meskipun kita barusan udah saling tahu nama masing-masing, tapi nggak ada salahnya untuk berkenalan secara resmi. Kenalin ... aku Saga," lanjutnya.
Meskipun ragu, Gisca menerima uluran tangan Saga sambil berkata, "Gisca."
Gisca harap, ini adalah kali pertama dan terakhir dirinya berurusan dengan Saga. Entah kenapa firasatnya mengatakan agar dirinya jauh-jauh dengan pria tampan itu. Terlebih tatapan mata Saga memancarkan sesuatu yang sulit Gisca artikan.
"Karena kamu udah telanjur bohong sama Sela ... kamu nggak mungkin di sini terus sampai dia pulang, kan?" tanya Gisca hati-hati. Lebih tepatnya, mengusir Saga secara halus.
"Aku mau pulang sekarang, kok. Tapi sebelumnya mau izin ke toilet dulu."
"Oh, silakan silakan," balas Gisca.
"Kamu nggak mungkin nungguin di kamar terus, kan? Soalnya aku mau pakai toilet yang ada di kamar ini."
"Astaga. Sori. Silakan." Gisca jadi salah tingkah sendiri. Ia lalu cepat-cepat keluar dari kamar dan menuju ruang tamu.
Sungguh, ini adalah hari yang absurd.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Sela belum juga pulang. Gisca yang baru saja mencuci piring bekas makan malamnya, kemudian memilih menghabiskan waktu di kamar.
Sialnya, Gisca masih teringat Saga. Ralat, tepatnya bukan Saga-nya yang ia ingat, melainkan kejadian yang mereka alami tadi yang seolah betah dalam pikirannya.
Berusaha mengenyahkan segala hal yang mengganggu pikirannya mengingat besok adalah hari yang menentukan diterima atau tidaknya Gisca, untuk itu Gisca akan berusaha lebih fokus dan konsentrasi. Jangan sampai kejadian konyol yang sepele malah merusak segalanya.
Gisca berbaring dan menarik selimutnya. Saat tubuhnya hendak menyamping, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal pahanya. Dengan tangannya, Gisca berusaha menggapai benda keras tersebut.
Gisca sontak mengernyit saat berhasil mengambilnya, yakni sebuah dompet pria berwarna cokelat. Refleks Gisca langsung terduduk.
Jangan-jangan ini milik Saga yang ketinggalan. Astaga ... bagaimana jika iya bahwa pria itu tidak sengaja meninggalkannya?
Namun, jika tak sengaja, bukankah seharusnya Saga sudah balik lagi untuk mengambilnya karena pria itu pergi dari sini sudah beberapa jam yang lalu.
Daripada penasaran, Gisca dengan hati-hati membuka untuk memeriksanya. Begitu dompet terbuka, sebuah kertas yang dilipat cukup besar dan sengaja diselipkan sembarangan, berhasil menarik perhatian Gisca. Wanita itu perlahan membukanya.
Hai Gisca, ini dompetku. Titip dulu ya, sebagai gantinya, maaf dengan lancang aku bawa dompetmu. Jadi untuk sementara kita bertukar dompet dulu. Kamu boleh pakai uangku sesuka hatimu, begitu juga sebaliknya.
Gisca, mari bertemu lagi untuk menukar dompet masing-masing. Lebih cepat lebih baik. Segera hubungi aku di nomor yang tertulis di balik kertas ini.
~Saga
Gisca lalu membalik kertasnya. "Dasar gila!"
Seharusnya Gisca sudah sadar sejak awal kalau ketampanan Saga digunakan untuk hal-hal seperti ini. Ya, Saga pasti playboy!
Kalau bukan playboy, untuk apa Saga melakukan hal itu? Ah, pokoknya Gisca menyesal sempat terpesona pada pria itu.
Sungguh, Gisca sama sekali tidak tahu kapan dan bagaimana caranya Saga mengambil dompetnya yang disimpan dalam handbag-nya. Gisca juga baru menyadarinya sekarang karena sedari tadi ia memang tidak menggunakan dompetnya lantaran tidak membeli apa pun.
Oh Tuhan, bagaimana ini? Bicara pada Sela pun mustahil. Firasat Gisca jadi semakin buruk. Seharusnya ia tidak terlibat dengan pacar Sela.
Benar, pertemuan antara dirinya dengan Saga hari ini, seharusnya menjadi awal sekaligus akhir interaksi mereka.
Namun nyatanya, sepertinya Gisca terpaksa akan bertemu lagi dengan pria itu.
Astaga ... sebenarnya apa yang Saga inginkan, sih?
Entah pria gila dari mana yang Gisca tengah hadapi saat ini, yang pasti ia masih tidak habis pikir ada pria yang berstatus sebagai 'pacar orang' kini terang-terangan sedang berusaha mendekatinya.Parahnya lagi, Saga adalah pacar dari Sela. Teman Gisca sendiri! Bukankah sangat tidak waras pria itu berusaha merayunya?Ya, apa namanya kalau bukan merayu? Dasar playboy sinting!Percuma tampan kalau ketampanannya digunakan untuk hal kotor seperti itu.Gisca tentu jangan sampai terbuai. Persetan dengan wajah tampan dan tubuh yang sempurna. Seharusnya ia tidak boleh tergoda. Sangat tidak boleh!Saat ini, tidak peduli hari sudah malam, selagi Sela belum pulang, Gisca menunggu panggilannya diangkat oleh Saga. Tentunya ia menghubungi nomor Saga yang tertera di balik kertas tadi."Halo, dengan Saga di sini," sapa Saga di ujung telepon sana yang sangat sok imut."Kamu gila?! Sebenarnya apa yang kamu rencanakan?" kesal Gisca tanpa mau berbasa-basi."Wah, sepertinya aku tahu siapa yang menelepon,"
"Sela nelepon. Sebaiknya aku turun aja deh. Urusan kita udah selesai, bukan?""Tanggung, sebentar lagi sampai. Kamu jawab telepon saat mobilku berhenti, ya. Jangan sampai dia mendengar kalau kamu lagi dalam perjalanan."Tak lama kemudian, Saga memberhentikan mobilnya tepat di depan apartemen. Ponsel Gisca pun sudah tidak bergetar lagi, layarnya bertuliskan ada satu panggilan tak terjawab.Tentu saja Gisca bersiap turun, tapi Saga malah menahannya."Kenapa lagi?""Sela pasti nelepon lagi. Jawab di sini aja. Kalau dia udah tiba di apartemen, bilang aja kamu habis beli sesuatu ke minimarket sambil sekalian jalan-jalan cari angin."Ternyata memang benar, rupanya Sela kembali menelepon Gisca. Sebelum mengangkatnya, Gisca menarik napas sejenak. Berusaha tenang, jangan sampai gugup apalagi terdengar mencurigakan."Jawab setenang mungkin. Biasa aja," tambah Saga.Gisca tidak menjawab perkataan Saga. Ia memilih menggeser layar ke warna hijau sekarang juga."Halo, Gisca?" sapa Sela di ujung tel
Berawal dari kecurigaan Saga pada Sela yang belakangan ini sulit dihubungi. Ralat, dihubungi memang bisa, tapi hubungan mereka tidak seperti biasanya.Mereka memang tidak sedang bertengkar, saat menelepon pun masih sayang-sayangan. Namun, Saga merasa Sela sedang menjaga jarak bahkan menjauhinya.Saat Saga menelepon Sela untuk mengajak bertemu, dengan tegas Sela mengatakan tidak bisa lantaran sibuk bekerja. Selalu begitu. Pulang kerja pun Sela berdalih lelah.Baik, sebelum mereka berpacaran pun sebenarnya Sela sudah bekerja, tapi wanita itu biasanya masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu. Sekarang hampir satu tahun hubungan mereka, Sela benar-benar lebih dari sekadar sibuk sampai-sampai selalu menolak jika diajak menghabiskan waktu bersama. Intensitas pertemuan mereka sudah semakin jarang, terakhir Saga bertemu Sela yaitu sekitar seminggu yang lalu.Terkadang Saga sengaja mendatangi apartemen Sela untuk sekadar beristirahat atau menunggu pacarnya itu.Jika Sela pulang kerja Saga m
Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga! Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri."Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama."Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikira
Usianya 31 tahun. Dokter perusahaan. Ya, setidaknya itu informasi yang Gisca ketahui tentang pria bernama Barra. Pria yang saat ini berjalan di sampingnya.Awalnya Gisca berpikir kalau Barra bisa jadi orang suruhan Saga yang mungkin semakin menjerumuskannya pada pria sinting itu. Namun, saat Barra memintanya untuk ikut ... Gisca seolah terhipnotis sehingga mengikuti langkah pria itu.Entah mengapa sebagian dari dirinya yakin kalau Barra bukanlah pria jahat. Terbukti saat mereka berjalan, di sepanjang perjalanan banyak karyawan Starlight yang menyapa Barra dengan penuh hormat dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.Konyol juga kalau Barra berkomplot dengan Saga. Bukankah sangat kurang kerjaan?Namun terlepas dari itu, Gisca berusaha tetap waspada. Ia tidak boleh percaya sepenuhnya pada Barra.Melewati pintu belakang, Gisca dibawa ke salah satu mobil yang terparkir di sana. Gisca jadi baru tahu ternyata di belakang juga ada tempat parkir.Sampai pada akhirnya, Gisca sudah duduk di kurs
Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memaksa pulang dengan risiko diikuti oleh pria sinting, atau ikut dengan pria asing dengan cover baik ... sebenarnya Gisca tidak sepenuhnya yakin apakah keputusan yang dipilihnya tepat.Namun, di sinilah Gisca sekarang. Ia masih berada di kursi penumpang dan saat ini Barra sedang menyetir dengan tenang meskipun Saga terus mengikuti mereka.Barra bilang, Gisca akan dibawa ke tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa didatangi oleh Saga. Dan Gisca berusaha percaya. Hanya itu yang bisa Gisca lakukan sekarang.Katanya, apa yang dipikirkan dan tanamkan di otak, itulah yang kemungkinan akan terjadi. Seperti sugesti. Untuk itu, Gisca akan menanamkan di otak bahwa Barra tidak seburuk Saga. Barra adalah orang baik yang kebetulan dikirim Tuhan untuk menolongnya.Untuk kesekian kalinya Gisca melirik kaca spion, dan mobil Saga masih setia membuntuti mereka. Gisca bertanya-tanya, terlepas dari tempat aman yang Barra sebutkan, sebenarnya pria itu akan memb
Hanya satu kalimat pertanyaan via chat seperti itu saja membuat Gisca ketakutan.Belum hilang kepanikan dan rasa takut Gisca, layar ponselnya berganti tampilan lantaran ada panggilan masuk diikuti getarannya.Ekspresi takut Gisca berubah menjadi penuh frustrasi. Bukan ... yang meneleponnya bukanlah Saga, melainkan Rumina."Iya?" sapa Gisca hati-hati."Kamu udah kerja?"Sungguh pertanyaan yang sangat to the point, tanpa basa-basi."Belum, Bu. Interview-nya diundur. Baru hari ini, bukan kemarin.""Masa bodoh, nggak peduli mau kapan aja, yang penting kamu kerjanya kapan? Gajiannya setiap tanggal berapa? Kapan mulai kirim uang?"Astaga...."Pengumuman penerimaannya aja belum, mending Ibu doain aja supaya aku diterima.""Kapan pengumumannya?" cecar Rumina terus."Paling lambat lusa, Bu. Sekarang pun aku mau pulang dulu, sambil nunggu pengumuman. Lagian barang-barangku masih di rumah.""Buang-buang ongkos aja. Seharusnya kamu bawa sekalian barang-barangnya!" marah Rumina. “Udah tahu keuanga
Barra sempat terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.“Farra itu?” Gisca bertanya karena Barra terus bungkam.Berbagai kejadian seperti berputar dalam otak Barra. Bagai kilasan film yang bergantian menayangkan adegan demi adegan di masa lalu. Satu hal yang pasti. Ia tidak siap menceritakannya."Apa yang terjadi padanya itu sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Lebih buruk dari yang kamu alami," sambung Barra.Ada kepedihan sekaligus dendam dari nada bicara Barra, yang membuat Gisca tahu diri untuk berhenti bertanya lebih detail."Untuk itu saya ingin menyarankan agar kamu jangan tinggal di kota ini," tambah Barra.Gisca terkejut. "Apa?""Saya tahu saya terkesan lancang dan ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi itu lebih baik daripada kamu harus terlibat dengan pria gila seperti Saga.""Tapi aku ingin kerja di Starlight, Pak," kata Gisca. "Selain itu, Bapak pikir ini adil? Saga yang jahat, kenapa aku yang harus mengorbankan harapanku untuk be