Berawal dari kecurigaan Saga pada Sela yang belakangan ini sulit dihubungi. Ralat, dihubungi memang bisa, tapi hubungan mereka tidak seperti biasanya.
Mereka memang tidak sedang bertengkar, saat menelepon pun masih sayang-sayangan. Namun, Saga merasa Sela sedang menjaga jarak bahkan menjauhinya.
Saat Saga menelepon Sela untuk mengajak bertemu, dengan tegas Sela mengatakan tidak bisa lantaran sibuk bekerja. Selalu begitu. Pulang kerja pun Sela berdalih lelah.
Baik, sebelum mereka berpacaran pun sebenarnya Sela sudah bekerja, tapi wanita itu biasanya masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu. Sekarang hampir satu tahun hubungan mereka, Sela benar-benar lebih dari sekadar sibuk sampai-sampai selalu menolak jika diajak menghabiskan waktu bersama. Intensitas pertemuan mereka sudah semakin jarang, terakhir Saga bertemu Sela yaitu sekitar seminggu yang lalu.
Terkadang Saga sengaja mendatangi apartemen Sela untuk sekadar beristirahat atau menunggu pacarnya itu.
Jika Sela pulang kerja Saga masih menunggu, setidaknya hal itu bisa sedikit mengobati kerinduannya karena mereka bisa bertemu.
Hari itu ... Saga curiga kalau Sela hanya pura-pura sibuk, padahal sebenarnya berselingkuh. Saga memutuskan mengikuti Sela yang tampak terburu-buru. Ia penasaran siapa yang hendak wanita itu temui pada jam kerja di sebuah kafe. Klien pria ... atau memang selingkuhan Sela?
Sampai kemudian, Saga menyadari kalau yang Sela temui adalah seorang wanita. Alih-alih pergi karena kecurigaannya tidak terbukti, Saga malah semakin mendekat untuk menguping pembicaraan dua wanita itu. Tentunya ia bertindak dengan sangat hati-hati sehingga keberadaannya tidak diketahui oleh sang pacar.
Ia tidak sempat mendengar siapa nama wanita yang bersama Sela. Namun, ia mendengar kalau wanita itu hendak menumpang di apartemen Sela.
"Lumayan juga," batin Saga saat melihat wajah Gisca yang tidak kalah cantik dari Sela.
Dari gerak-gerik Gisca, saat itu Saga sudah bisa menebak kalau wanita itu merupakan pendatang. Untuk itu, otak omes Saga mulai bereaksi. Ia berencana mendekati Gisca, itung-itung cadangan saat Sela sedang jauh darinya.
Saga berjanji akan membuat teman Sela itu takluk padanya. Selama ini Saga yakin, tidak ada wanita yang sulit diraih olehnya. Tak terkecuali teman Sela itu.
Saga memutuskan pergi duluan ke apartemen Sela. Dalam perjalanan, ia memikirkan skenario terbaik sehingga dirinya bisa bermesraan dengan Gisca.
Tiba di sana, Saga sengaja bersembunyi di balkon kamar. Tentunya ia lebih dulu membuka tirainya. Ia yakin Gisca tidak akan membuka pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon. Kalaupun membuka dan Saga ketahuan, pria itu akan menggunakan rencana alternatif, yakni melakukan sedikit paksaan agar Gisca tidak bisa menolaknya.
Namun, Saga tetap berharap Gisca tidak menemukannya. Dengan begitu ia bisa 'bermain cantik' membuat jebakan agar Gisca berhasil masuk perangkapnya.
Hal pertama yang Saga lakukan saat sembunyi adalah mempersiapkan ponsel cadangan. Ya, selama ini Saga memang memiliki dua ponsel. Satu untuk digunakan normal seperti orang-orang, sedangkan satunya lagi ia gunakan demi 'hasrat dan kesenangannya'.
Di balkon, Saga menunggu sampai Gisca tertidur. Beruntung cuaca tidak terlalu terik sehingga ia tetap merasa nyaman bersembunyi cukup lama. Sesekali ia mengintip dari balik jendela kaca. Melihat apa yang sedang Gisca lakukan di kamar.
Jujur, Saga sempat frustrasi saat Gisca tidak kunjung tidur. Padahal ia sudah mengintai cukup lama. Sialnya, ponsel cadangan Saga pun mulai lowbatt. Dan Saga tidak kehabisan akal, ia akan menggunakan ponsel utamanya.
Sampai pada akhirnya hati Saga mulai bersorak bahagia saat melihat Gisca mulai merebahkan diri di atas tempat tidur. Saga akan menunggu lagi sampai wanita itu benar-benar tertidur nyenyak, setelah itu ia akan melancarkan aksinya.
Ketika hampir satu jam Gisca masih pada posisi yang sama yakni berbaring menyamping, juga gerakan napasnya teratur membuat Saga yakin kalau Gisca sudah tidur nyenyak.
Hal itu terbukti saat Saga pelan-pelan membuka pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon, tidak membuat Gisca terbangun.
Saga mendekati Gisca, selama beberapa saat ia menatap wajah Gisca yang tertidur nyenyak. Sangat manis sehingga membuatnya bersemangat untuk melakukan tindakan yang lebih jauh.
Sesuai rencananya, Saga meletakkan ponselnya secara horizontal di meja yang posisinya lurus dengan tempat tidur. Kamera pada ponsel tersebut aktif menyalakan rekaman video. Setelah yakin pengambilan angle-nya pas, Saga langsung mengambil posisi di tempat tidur, tepat di kasur kosong samping Gisca. Rupanya posisi wanita itu masih menyamping sehingga membelakangi dirinya.
Saga sengaja merekamnya dalam bentuk video, dengan begitu ia akan mencari posisi yang 'aduhay' lalu menyimpannya dalam tangkapan layar atau screenshot. Ia yakin akan mendapatkan rekaman sesuai keinginannya, yakni dirinya dengan Gisca terlihat sedang bermesraan.
Dengan penuh semangat, Saga melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukannya. Menyentuh, memeluk bahkan sampai mendaratkan lidahnya di leher wanita itu.
Saga benar-benar menikmati apa yang dilakukannya sampai Gisca terperanjat bangun dari tidurnya.
Saat Gisca bangun, tentu Saga akan berpura-pura bodoh dengan mengatakan bahwa dirinya mengira Gisca adalah Sela. Ya, Saga sengaja bermain aman dengan memasang jebakan agar dirinya tidak harus berakhir di kantor polisi karena sudah melakukan pelecehan yang direncanakan.
Dan semua rencana Saga berhasil dengan mulus. Gisca percaya dan otomatis masuk dalam perangkapnya.
Di saat semua rencana dikatakan berhasil, Sela menelepon di saat yang tepat terlebih Saga sudah kembali mengubah mode silent ke mode dering sehingga ponsel yang digunakan merekam otomatis berbunyi. Ah, beruntung videonya tersimpan secara otomatis sehingga Saga tidak khawatir kehilangannya.
Meski ponsel cadangannya lowbatt, Saga senang ponsel utamanya berhasil membantu rencananya.
Setelah itu, Saga mengangkat panggilan Sela dan semenjak saat itu ia baru tahu nama wanita yang sedang dijebaknya. Gisca.
Demi bisa mengetahui nomor ponsel Gisca, Saga bahkan menggunakan otak liciknya untuk menukar dompetnya. Semua semakin mudah karena Gisca benar-benar sudah masuk perangkapnya sekarang.
Saat melakukan rencana senekat yang Saga lakukan, pria itu tidak takut ketahuan oleh Sela. Ia tahu betul pacarnya itu akan pulang malam, makanya Saga bertingkah sangat berani.
Sekarang Saga merasa menang, setelah ini ia akan dengan mudahnya mengendalikan Gisca.
Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga! Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri."Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama."Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikira
Usianya 31 tahun. Dokter perusahaan. Ya, setidaknya itu informasi yang Gisca ketahui tentang pria bernama Barra. Pria yang saat ini berjalan di sampingnya.Awalnya Gisca berpikir kalau Barra bisa jadi orang suruhan Saga yang mungkin semakin menjerumuskannya pada pria sinting itu. Namun, saat Barra memintanya untuk ikut ... Gisca seolah terhipnotis sehingga mengikuti langkah pria itu.Entah mengapa sebagian dari dirinya yakin kalau Barra bukanlah pria jahat. Terbukti saat mereka berjalan, di sepanjang perjalanan banyak karyawan Starlight yang menyapa Barra dengan penuh hormat dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.Konyol juga kalau Barra berkomplot dengan Saga. Bukankah sangat kurang kerjaan?Namun terlepas dari itu, Gisca berusaha tetap waspada. Ia tidak boleh percaya sepenuhnya pada Barra.Melewati pintu belakang, Gisca dibawa ke salah satu mobil yang terparkir di sana. Gisca jadi baru tahu ternyata di belakang juga ada tempat parkir.Sampai pada akhirnya, Gisca sudah duduk di kurs
Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memaksa pulang dengan risiko diikuti oleh pria sinting, atau ikut dengan pria asing dengan cover baik ... sebenarnya Gisca tidak sepenuhnya yakin apakah keputusan yang dipilihnya tepat.Namun, di sinilah Gisca sekarang. Ia masih berada di kursi penumpang dan saat ini Barra sedang menyetir dengan tenang meskipun Saga terus mengikuti mereka.Barra bilang, Gisca akan dibawa ke tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa didatangi oleh Saga. Dan Gisca berusaha percaya. Hanya itu yang bisa Gisca lakukan sekarang.Katanya, apa yang dipikirkan dan tanamkan di otak, itulah yang kemungkinan akan terjadi. Seperti sugesti. Untuk itu, Gisca akan menanamkan di otak bahwa Barra tidak seburuk Saga. Barra adalah orang baik yang kebetulan dikirim Tuhan untuk menolongnya.Untuk kesekian kalinya Gisca melirik kaca spion, dan mobil Saga masih setia membuntuti mereka. Gisca bertanya-tanya, terlepas dari tempat aman yang Barra sebutkan, sebenarnya pria itu akan memb
Hanya satu kalimat pertanyaan via chat seperti itu saja membuat Gisca ketakutan.Belum hilang kepanikan dan rasa takut Gisca, layar ponselnya berganti tampilan lantaran ada panggilan masuk diikuti getarannya.Ekspresi takut Gisca berubah menjadi penuh frustrasi. Bukan ... yang meneleponnya bukanlah Saga, melainkan Rumina."Iya?" sapa Gisca hati-hati."Kamu udah kerja?"Sungguh pertanyaan yang sangat to the point, tanpa basa-basi."Belum, Bu. Interview-nya diundur. Baru hari ini, bukan kemarin.""Masa bodoh, nggak peduli mau kapan aja, yang penting kamu kerjanya kapan? Gajiannya setiap tanggal berapa? Kapan mulai kirim uang?"Astaga...."Pengumuman penerimaannya aja belum, mending Ibu doain aja supaya aku diterima.""Kapan pengumumannya?" cecar Rumina terus."Paling lambat lusa, Bu. Sekarang pun aku mau pulang dulu, sambil nunggu pengumuman. Lagian barang-barangku masih di rumah.""Buang-buang ongkos aja. Seharusnya kamu bawa sekalian barang-barangnya!" marah Rumina. “Udah tahu keuanga
Barra sempat terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.“Farra itu?” Gisca bertanya karena Barra terus bungkam.Berbagai kejadian seperti berputar dalam otak Barra. Bagai kilasan film yang bergantian menayangkan adegan demi adegan di masa lalu. Satu hal yang pasti. Ia tidak siap menceritakannya."Apa yang terjadi padanya itu sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Lebih buruk dari yang kamu alami," sambung Barra.Ada kepedihan sekaligus dendam dari nada bicara Barra, yang membuat Gisca tahu diri untuk berhenti bertanya lebih detail."Untuk itu saya ingin menyarankan agar kamu jangan tinggal di kota ini," tambah Barra.Gisca terkejut. "Apa?""Saya tahu saya terkesan lancang dan ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi itu lebih baik daripada kamu harus terlibat dengan pria gila seperti Saga.""Tapi aku ingin kerja di Starlight, Pak," kata Gisca. "Selain itu, Bapak pikir ini adil? Saga yang jahat, kenapa aku yang harus mengorbankan harapanku untuk be
Dasar pembohong!Dua kata itulah yang ingin Gisca sematkan pada Barra. Bagaimana tidak, pria itu secara tegas berkata tidak akan peduli pada Gisca, bahkan mengatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena menurutnya Gisca susah diberi tahu.Namun, apa yang Barra lakukan sekarang? Setelah kembali dari klinik, pria itu memaksa mengantar Gisca sampai rumah. Padahal Gisca berpikir dirinya hanya akan diantar sampai stasiun saja karena Saga sudah tidak mengintainya lagi, tapi Barra tetap memaksa mengantar sampai rumah tanpa peduli jaraknya cukup jauh.Tentunya penolakan yang Gisca lakukan pun akan percuma, akhirnya daripada berdebat, ia memutuskan setuju untuk diantar oleh Barra. Apalagi hari sudah malam. Gisca tidak menyangkal kalau ia merasa aman saat diantar pulang oleh Barra.Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam melalui jalur bebas hambatan, kini mereka sudah berada di depan pintu masuk gapura perumahan tempat tinggal Gisca.“Tolong sampai sini aja, Pak,” pinta
Gisca yang sedang menenggak segelas air putih, tentu sangat emosi mendengar ucapan Reza. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Selama ini Reza sering mengeluarkan kalimat tidak sopan dan itu sebabnya ia selalu waspada saat kakak tirinya itu ada di rumah ini.Meski sangat emosi, Gisca terus menenggak minumannya sampai habis. Setelah gelasnya kosong, ia meletakkannya di meja cukup keras, tapi tidak sampai pecah. Hanya saja, cukup untuk membuat Reza terkejut."Kamu marah?" tanya Reza seraya mematikan kompor."Selama ini aku diam bukan berarti aku nggak marah." Gisca kemudian mengambil alih panci di tangan Reza lalu melemparnya ke lantai hingga mi beserta airnya tumpah berantakan."Kamu sinting?!" Reza yang terkejut secepatnya menghindar agar cipratan air panasnya tidak mengenai tubuhnya."Masih mending aku melemparnya ke arah lain, bukan ke wajah Mas Reza.""Kamu pasti nggak waras.""Ada apa ini?" Rumina yang mendengar suara ribut-ribut
Bagi Gisca, Barra adalah pria yang sangat aneh. Sulit dipercaya pria yang sebelumnya berkata tidak mau peduli jika terjadi sesuatu padanya, kini mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa ingin berteman dengannya.Ajakan berteman Barra sungguh tiba-tiba dan terkesan aneh. Gisca awalnya ingin mengabaikan, khawatir Barra punya niat terselubung.Oke, Barra memang sudah terbukti baik dan tidak ditemukan kecurigaan kalau pria itu jahat atau bekerja sama dengan Saga. Sama sekali tidak. Namun, bukankah terlalu mendadak untuk mengajak berteman? Sungguh, Gisca merasa ada yang aneh di sini.Namun, Gisca tersadar sedang butuh bantuan pria itu sekarang juga. Ia yang seharusnya mengabaikan malah mengiyakan ajakan pria itu."Oke, kita berteman sekarang," kata Gisca.Lagi pula kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya berteman dengan Barra. Gisca juga tidak rugi apa pun kalau berteman dengan pria itu."Kalau begitu, tunggu di sini sebentar. Saya ambil mobil dulu." Setelah mengatakan itu, Barra langsung b