Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga! Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?
Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.
Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri.
"Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama.
"Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.
Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."
Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.
Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikirannya, terlebih saat bersama Sela begini.
Namun, Gisca tidak bisa sepenuhnya lupa meskipun otaknya sudah dipaksa mengusir pria itu. Bagaimana tidak, Saga itu hanya menarik dari segi penampilan saja, padahal sifatnya benar-benar mengerikan sekaligus menyeramkan. Membuat Gisca merasa tidak aman.
Jujur, sampai detik ini Gisca masih tidak habis pikir bagaimana bisa Saga mengirimkan foto yang sangat tidak masuk akal. Apa itu artinya Saga sebenarnya sudah tahu kalau yang berbaring di kasur bukanlah pacarnya, dan pria itu sengaja memanfaatkan keadaan untuk menjeratnya?
Dasar playboy gila, sinting, mengerikan!
Konyolnya Saga seperti orang tak berdosa mengatakan kalau semua itu hanya kecelakaan, padahal pria itu jelas sudah melakukan pelecehan.
Ah sial! Bisa-bisanya Gisca percaya begitu saja dan masuk perangkap pria itu. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, bagaimana caranya agar terlepas dari pria itu?
Gisca yakin Saga akan menggunakan foto sialan itu untuk mengancamnya, bahkan merusak pertemanannya dengan Sela.
"Gisca? Kok ngelamun?"
Suara Sela berhasil membuyarkan segala pemikiran Gisca.
"Oh, nggak kok. Aku nggak melamun."
"Kamu kepikiran interview besok, ya?"
Gisca mengangguk agar Sela tidak curiga.
"Aku harap kamu diterima, ya. Kamu nanti jawabnya santai aja, jangan tegang."
Gisca mengangguk. "Iya, Sel. Makasih."
"Ah, andai ada teman yang kerja di situ ... aku bakalan minta tolong buat nerima kamu, jadi kamu nggak perlu susah payah."
"Nepotisme maksudnya? Enggak Sel, aku berharap bisa diterima secara bersih."
"Dasar, seandainya aja ada orang dalam, kamu pasti nggak akan nolak kalau mau dibantu."
Gisca terkekeh. Dan mereka pun tertawa.
"Oh ya, BTW setelah interview mau langsung pulang atau nyari tempat tinggal dulu?"
"Diterima aja belum, masa nyari tempat tinggal?" jawab Gisca. "Aku mau pulang dulu. Setelah resmi diterima, barulah bergerak nyari kos-kosan atau kontrakan. Tentunya yang murah tapi nyaman."
"Andai kamu diterima, sori ya Gis ... aku nggak bisa ajak kamu tinggal bareng di sini. Padahal sebenarnya aku pengen."
"Enggak apa-apa, kok. Aku justru nggak enak ngerepotin kamu terus," balas Gisca. "Lagian aku mau cari tempat terdekat sama tempat kerja, kalau di sini kejauhan."
Gisca tentu tidak akan bertanya alasan Sela tidak bisa tinggal bersama dengannya. Ya, sudah pasti ini menyangkut privasi wanita itu dengan sang pacar. Gisca sengaja tidak menyinggungnya, ia malah seharusnya berpura-pura tidak tahu kalau Sela punya pacar. Si pria mengerikan itu.
"Jadi besok setelah interview aku mau pulang dulu. Misalnya aku beneran diterima nih, aku bakalan balik lagi sekalian bawa baju dan segala kebutuhanku. Masalah tempat tinggal nantinya, aku sebenarnya lagi nyari-nyari di grup F******k, ternyata banyak yang posting informasi seputar kontrakan maupun kos-kosan di sekitar situ. Jadi nanti tinggal survey, nggak akan ribet nyari ke sana-sini."
"Hati-hati loh kalau di grup begitu. Jangan sembarangan, nanti ketemu orang jahat yang nyamar jadi perantara," ujar Sela. "Aku berharap senggang deh, supaya bisa antar kamu nyari tempat tinggal."
"Sekarang yang penting aku diterima aja dulu," jawab Gisca. "Tapi makasih banyak ya, Sel. Sejujurnya aku antara berani nggak berani di sini. Untung ada kamu."
Mengingat Saga sepertinya bisa keluar-masuk tempat tinggal Sela dengan mudahnya, Gisca jadi tidak punya alasan untuk lebih lama di sini. Jika dirinya diterima kerja pun, Gisca tidak akan menitipkan barang-barangnya di apartemen Sela.
Ya, Gisca tidak mau berurusan dengan Saga lagi. Gara-gara foto sialan itu, Gisca mungkin tidak akan memblokir nomor Saga, tapi ia akan membisukan notifikasinya. Mengabaikan lebih baik, terlebih pria itu tipe pria yang mengerikan, pria yang wajib dijauhi olehnya.
***
Gisca lega, interview-nya di kantor Starlight, perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce, berjalan dengan lancar. Ia hanya perlu menunggu keputusan apakah diterima atau tidak. Katanya, pihak perusahaan akan memberi kabar via email paling lambat lusa.
Gisca merasa optimis diterima, terlebih perusahaan yang memang sedang butuh tenaga kerja ini setidaknya akan merekrut setengah dari semua peserta yang diwawancarai hari ini.
Itu artinya, kemungkinannya 50:50. Gisca berharap dirinya benar-benar menjadi setengah yang beruntung itu.
Saat sedang berjalan keluar dari kantor Starlight, secara tidak sengaja pandangan mata Gisca bertemu dengan tatapan pria yang seharusnya tidak ada di sini.
Tunggu, sejak kapan ada Saga di sini? Dari caranya tersenyum, sangat jelas pria itu hendak menemuinya. Apa jangan-jangan Saga memang sengaja membuntutinya? Sejak pagi?
Jika iya, fix ... Saga pasti tidak waras!
Astaga ... kenapa pria itu semakin membuat Gisca takut? Sumpah demi apa pun, Saga benar-benar menyeramkan dan baru kali ini Gisca berurusan dengan pria semacam itu.
Hai, aku nungguin kamu. Sini mendekat.
Meskipun notifikasi Saga sudah di-mute, tapi Gisca yang kebetulan sedang membuka aplikasi pesan andalannya, spontan melihat chat pria itu.
Chat seperti itu saja berhasil membuat Gisca bergidik ngeri. Ya Tuhan.
Gisca kembali menoleh pada Saga, dan kali ini pria itu melambaikan tangan sembari tersenyum pada Gisca. Senyuman yang membuat Gisca semakin ingin berlari menjauh.
Gisca yang sangat takut, memilih kembali masuk ke Starlight. Ia akan duduk di lobi dulu, setidaknya sampai Saga menyerah dan pergi dari sana.
Untuk saat ini, Gisca belum punya keberanian melawan, jadi menghindar atau bersembunyi adalah solusi terbaik baginya. Meminta pertolongan pun Gisca tidak tahu pada siapa. Satpam? Polisi? Karena mustahil pada Sela. Ah, Gisca tidak mau menimbulkan kehebohan.
Sampai detik ini Gisca masih tidak habis pikir. Entah mimpi buruk apa sehingga dirinya harus mengalami hal seperti ini. Kacau.
Sial, Gisca sudah menghabiskan hampir satu jam waktunya untuk duduk menunggu Saga pergi yang konyolnya pria itu masih tetap bertahan. Haruskah Gisca menerobos pergi? Apa Saga akan tetap mengejarnya? Haruskah Gisca berteriak jika Saga menghadangnya atau memaksanya ikut? Perlukah Gisca melapor polisi? Akankah benar-benar menjadi kehebohan nantinya?
Berbagai pertanyaan terus memenuhi benak Gisca. Ia sudah bolak-balik melihat ke arah gerbang dan Saga masih tetap menunggunya. Apa Saga tidak punya kerjaan lain? Ya Tuhan, akhirnya Gisca memutuskan duduk lagi di kursi lobi. Berharap sebentar lagi Saga akan menyerah.
Sialnya, Saga tidak kunjung pergi. Akhirnya Gisca yang sudah tidak tahan lagi karena Saga sangat keterlaluan ... tidak ada pilihan selain menghubungi Sela. Ya, Sela harus tahu kelakuan pacarnya. Ia tidak takut lagi tentang hubungan mereka yang kemungkinan rusak karena hal ini. Sungguh, apa yang Saga lakukan benar-benar tidak bisa dibiarkan.
Jika Gisca diam saja, khawatir pria itu malah semakin menjadi-jadi.
Untuk itu, Gisca sudah siap dengan apa pun risikonya.
Selama beberapa saat, Gisca menunggu sampai panggilannya diangkat.
"Kamu mau pergi dari sini?" Suara berat seorang pria membuat Gisca mendongak. Gisca refleks membatalkan panggilannya pada Sela.
Suara pria itu terdengar sangat enak di telinga Gisca. Dan ternyata suaranya sebanding dengan penampilannya yang juga enak dipandang.
Seorang pria tampan dengan pakaian formal kini sedang berbicara padanya. Ya, memangnya bicara pada siapa lagi ... hanya ada Gisca yang duduk di sini.
"I-iya," jawab Gisca spontan sambil berdiri.
"Kamu sedang menghindari pria di luar sana, kan?"
Gisca mengangguk. "Kok tahu?" tanyanya heran. "Maaf sebelumnya, tapi Bapak siapa?"
"Pria di luar itu ... namanya Saga, kan?" Pria yang terlihat manly itu malah balik bertanya.
Gisca semakin heran. Apa pria di hadapannya ini mengenal Saga? Lalu, dari mana pria itu tahu kalau dirinya sedang berusaha bersembunyi?
"Iya, tapi Bapak siapa? Bapak mengenal Saga?" Gisca bertanya lagi.
"Ikut saya."
Gisca terkejut bukan main. Ia masih melongo, tidak mengiyakan maupun menolak.
"Ikut saya. Kamu bisa meninggalkan kantor ini tanpa ketahuan oleh Saga," jelas pria itu. "Astaga, saya yakin kamu bingung. Ya, saya mengenal Saga. Dan seharusnya saya juga menjawab pertanyaanmu dulu tentang siapa saya."
Sambil menunjukkan ID Card-nya, pria itu lanjut berkata, "Saya Barra. Saya kerja di sini."
Usianya 31 tahun. Dokter perusahaan. Ya, setidaknya itu informasi yang Gisca ketahui tentang pria bernama Barra. Pria yang saat ini berjalan di sampingnya.Awalnya Gisca berpikir kalau Barra bisa jadi orang suruhan Saga yang mungkin semakin menjerumuskannya pada pria sinting itu. Namun, saat Barra memintanya untuk ikut ... Gisca seolah terhipnotis sehingga mengikuti langkah pria itu.Entah mengapa sebagian dari dirinya yakin kalau Barra bukanlah pria jahat. Terbukti saat mereka berjalan, di sepanjang perjalanan banyak karyawan Starlight yang menyapa Barra dengan penuh hormat dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.Konyol juga kalau Barra berkomplot dengan Saga. Bukankah sangat kurang kerjaan?Namun terlepas dari itu, Gisca berusaha tetap waspada. Ia tidak boleh percaya sepenuhnya pada Barra.Melewati pintu belakang, Gisca dibawa ke salah satu mobil yang terparkir di sana. Gisca jadi baru tahu ternyata di belakang juga ada tempat parkir.Sampai pada akhirnya, Gisca sudah duduk di kurs
Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memaksa pulang dengan risiko diikuti oleh pria sinting, atau ikut dengan pria asing dengan cover baik ... sebenarnya Gisca tidak sepenuhnya yakin apakah keputusan yang dipilihnya tepat.Namun, di sinilah Gisca sekarang. Ia masih berada di kursi penumpang dan saat ini Barra sedang menyetir dengan tenang meskipun Saga terus mengikuti mereka.Barra bilang, Gisca akan dibawa ke tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa didatangi oleh Saga. Dan Gisca berusaha percaya. Hanya itu yang bisa Gisca lakukan sekarang.Katanya, apa yang dipikirkan dan tanamkan di otak, itulah yang kemungkinan akan terjadi. Seperti sugesti. Untuk itu, Gisca akan menanamkan di otak bahwa Barra tidak seburuk Saga. Barra adalah orang baik yang kebetulan dikirim Tuhan untuk menolongnya.Untuk kesekian kalinya Gisca melirik kaca spion, dan mobil Saga masih setia membuntuti mereka. Gisca bertanya-tanya, terlepas dari tempat aman yang Barra sebutkan, sebenarnya pria itu akan memb
Hanya satu kalimat pertanyaan via chat seperti itu saja membuat Gisca ketakutan.Belum hilang kepanikan dan rasa takut Gisca, layar ponselnya berganti tampilan lantaran ada panggilan masuk diikuti getarannya.Ekspresi takut Gisca berubah menjadi penuh frustrasi. Bukan ... yang meneleponnya bukanlah Saga, melainkan Rumina."Iya?" sapa Gisca hati-hati."Kamu udah kerja?"Sungguh pertanyaan yang sangat to the point, tanpa basa-basi."Belum, Bu. Interview-nya diundur. Baru hari ini, bukan kemarin.""Masa bodoh, nggak peduli mau kapan aja, yang penting kamu kerjanya kapan? Gajiannya setiap tanggal berapa? Kapan mulai kirim uang?"Astaga...."Pengumuman penerimaannya aja belum, mending Ibu doain aja supaya aku diterima.""Kapan pengumumannya?" cecar Rumina terus."Paling lambat lusa, Bu. Sekarang pun aku mau pulang dulu, sambil nunggu pengumuman. Lagian barang-barangku masih di rumah.""Buang-buang ongkos aja. Seharusnya kamu bawa sekalian barang-barangnya!" marah Rumina. “Udah tahu keuanga
Barra sempat terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.“Farra itu?” Gisca bertanya karena Barra terus bungkam.Berbagai kejadian seperti berputar dalam otak Barra. Bagai kilasan film yang bergantian menayangkan adegan demi adegan di masa lalu. Satu hal yang pasti. Ia tidak siap menceritakannya."Apa yang terjadi padanya itu sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Lebih buruk dari yang kamu alami," sambung Barra.Ada kepedihan sekaligus dendam dari nada bicara Barra, yang membuat Gisca tahu diri untuk berhenti bertanya lebih detail."Untuk itu saya ingin menyarankan agar kamu jangan tinggal di kota ini," tambah Barra.Gisca terkejut. "Apa?""Saya tahu saya terkesan lancang dan ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi itu lebih baik daripada kamu harus terlibat dengan pria gila seperti Saga.""Tapi aku ingin kerja di Starlight, Pak," kata Gisca. "Selain itu, Bapak pikir ini adil? Saga yang jahat, kenapa aku yang harus mengorbankan harapanku untuk be
Dasar pembohong!Dua kata itulah yang ingin Gisca sematkan pada Barra. Bagaimana tidak, pria itu secara tegas berkata tidak akan peduli pada Gisca, bahkan mengatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena menurutnya Gisca susah diberi tahu.Namun, apa yang Barra lakukan sekarang? Setelah kembali dari klinik, pria itu memaksa mengantar Gisca sampai rumah. Padahal Gisca berpikir dirinya hanya akan diantar sampai stasiun saja karena Saga sudah tidak mengintainya lagi, tapi Barra tetap memaksa mengantar sampai rumah tanpa peduli jaraknya cukup jauh.Tentunya penolakan yang Gisca lakukan pun akan percuma, akhirnya daripada berdebat, ia memutuskan setuju untuk diantar oleh Barra. Apalagi hari sudah malam. Gisca tidak menyangkal kalau ia merasa aman saat diantar pulang oleh Barra.Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam melalui jalur bebas hambatan, kini mereka sudah berada di depan pintu masuk gapura perumahan tempat tinggal Gisca.“Tolong sampai sini aja, Pak,” pinta
Gisca yang sedang menenggak segelas air putih, tentu sangat emosi mendengar ucapan Reza. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Selama ini Reza sering mengeluarkan kalimat tidak sopan dan itu sebabnya ia selalu waspada saat kakak tirinya itu ada di rumah ini.Meski sangat emosi, Gisca terus menenggak minumannya sampai habis. Setelah gelasnya kosong, ia meletakkannya di meja cukup keras, tapi tidak sampai pecah. Hanya saja, cukup untuk membuat Reza terkejut."Kamu marah?" tanya Reza seraya mematikan kompor."Selama ini aku diam bukan berarti aku nggak marah." Gisca kemudian mengambil alih panci di tangan Reza lalu melemparnya ke lantai hingga mi beserta airnya tumpah berantakan."Kamu sinting?!" Reza yang terkejut secepatnya menghindar agar cipratan air panasnya tidak mengenai tubuhnya."Masih mending aku melemparnya ke arah lain, bukan ke wajah Mas Reza.""Kamu pasti nggak waras.""Ada apa ini?" Rumina yang mendengar suara ribut-ribut
Bagi Gisca, Barra adalah pria yang sangat aneh. Sulit dipercaya pria yang sebelumnya berkata tidak mau peduli jika terjadi sesuatu padanya, kini mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa ingin berteman dengannya.Ajakan berteman Barra sungguh tiba-tiba dan terkesan aneh. Gisca awalnya ingin mengabaikan, khawatir Barra punya niat terselubung.Oke, Barra memang sudah terbukti baik dan tidak ditemukan kecurigaan kalau pria itu jahat atau bekerja sama dengan Saga. Sama sekali tidak. Namun, bukankah terlalu mendadak untuk mengajak berteman? Sungguh, Gisca merasa ada yang aneh di sini.Namun, Gisca tersadar sedang butuh bantuan pria itu sekarang juga. Ia yang seharusnya mengabaikan malah mengiyakan ajakan pria itu."Oke, kita berteman sekarang," kata Gisca.Lagi pula kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya berteman dengan Barra. Gisca juga tidak rugi apa pun kalau berteman dengan pria itu."Kalau begitu, tunggu di sini sebentar. Saya ambil mobil dulu." Setelah mengatakan itu, Barra langsung b
"Hah? Ke mes Bapak?""Memangnya mes siapa lagi? Saya nggak mungkin bawa kamu ke rumah saya. Untuk sementara kamu di mes dulu ya, besok kamu cari kontrakan, kan? Nah, kalau udah dapat kamu boleh pindah.""Pak....""Seenggaknya tempat saya nggak bisa dijangkau Saga. Lagian sekarang di luar hujan dan dingin."Gisca rasa Barra ada benarnya juga. Ia hanya perlu singgah di tempat pria itu sambil menunggu matahari terbit. Setelah itu, ia akan mendatangi calon tempat tinggalnya."Kamu harus ingat, sekarang kita berteman," tambah Barra. "Kamu nggak mungkin membiarkan temanmu kelelahan, kan? Jujur, saya udah pengen banget rebahan. Saya capek banget."Menolak dan mendebat hanya akan membuang waktu. Tidak bisa dimungkiri saat ini Gisca masih sangat membutuhkan bantuan Barra. Lagi pula ia juga sama lelahnya. Ingin istirahat juga.Sampai pada akhirnya. Di sinilah mereka berada. Ya, Barra dan Gisca sudah ada di mes."Karena kasurnya satu, bisakah kamu membiarkan saya tidur di kasur? Saya capek bange