Beranda / Romansa / Teman tapi Khilaf / Bab 6 - Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 6 - Pertemuan Tak Terduga

Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga! Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?

Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.

Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri.

"Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama.

"Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.

Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."

Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.

Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikirannya, terlebih saat bersama Sela begini.

Namun, Gisca tidak bisa sepenuhnya lupa meskipun otaknya sudah dipaksa mengusir pria itu. Bagaimana tidak, Saga itu hanya menarik dari segi penampilan saja, padahal sifatnya benar-benar mengerikan sekaligus menyeramkan. Membuat Gisca merasa tidak aman.

Jujur, sampai detik ini Gisca masih tidak habis pikir bagaimana bisa Saga mengirimkan foto yang sangat tidak masuk akal. Apa itu artinya Saga sebenarnya sudah tahu kalau yang berbaring di kasur bukanlah pacarnya, dan pria itu sengaja memanfaatkan keadaan untuk menjeratnya?

Dasar playboy gila, sinting, mengerikan!

Konyolnya Saga seperti orang tak berdosa mengatakan kalau semua itu hanya kecelakaan, padahal pria itu jelas sudah melakukan pelecehan.

Ah sial! Bisa-bisanya Gisca percaya begitu saja dan masuk perangkap pria itu. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, bagaimana caranya agar terlepas dari pria itu?

Gisca yakin Saga akan menggunakan foto sialan itu untuk mengancamnya, bahkan merusak pertemanannya dengan Sela.

"Gisca? Kok ngelamun?"

Suara Sela berhasil membuyarkan segala pemikiran Gisca.

"Oh, nggak kok. Aku nggak melamun."

"Kamu kepikiran interview besok, ya?"

Gisca mengangguk agar Sela tidak curiga.

"Aku harap kamu diterima, ya. Kamu nanti jawabnya santai aja, jangan tegang."

Gisca mengangguk. "Iya, Sel. Makasih."

"Ah, andai ada teman yang kerja di situ ... aku bakalan minta tolong buat nerima kamu, jadi kamu nggak perlu susah payah."

"Nepotisme maksudnya? Enggak Sel, aku berharap bisa diterima secara bersih."

"Dasar, seandainya aja ada orang dalam, kamu pasti nggak akan nolak kalau mau dibantu."

Gisca terkekeh. Dan mereka pun tertawa.

"Oh ya, BTW setelah interview mau langsung pulang atau nyari tempat tinggal dulu?"

"Diterima aja belum, masa nyari tempat tinggal?" jawab Gisca. "Aku mau pulang dulu. Setelah resmi diterima, barulah bergerak nyari kos-kosan atau kontrakan. Tentunya yang murah tapi nyaman."

"Andai kamu diterima, sori ya Gis ... aku nggak bisa ajak kamu tinggal bareng di sini. Padahal sebenarnya aku pengen."

"Enggak apa-apa, kok. Aku justru nggak enak ngerepotin kamu terus," balas Gisca. "Lagian aku mau cari tempat terdekat sama tempat kerja, kalau di sini kejauhan."

Gisca tentu tidak akan bertanya alasan Sela tidak bisa tinggal bersama dengannya. Ya, sudah pasti ini menyangkut privasi wanita itu dengan sang pacar. Gisca sengaja tidak menyinggungnya, ia malah seharusnya berpura-pura tidak tahu kalau Sela punya pacar. Si pria mengerikan itu.

"Jadi besok setelah interview aku mau pulang dulu. Misalnya aku beneran diterima nih, aku bakalan balik lagi sekalian bawa baju dan segala kebutuhanku. Masalah tempat tinggal nantinya, aku sebenarnya lagi nyari-nyari di grup F******k, ternyata banyak yang posting informasi seputar kontrakan maupun kos-kosan di sekitar situ. Jadi nanti tinggal survey, nggak akan ribet nyari ke sana-sini."

"Hati-hati loh kalau di grup begitu. Jangan sembarangan, nanti ketemu orang jahat yang nyamar jadi perantara," ujar Sela. "Aku berharap senggang deh, supaya bisa antar kamu nyari tempat tinggal."

"Sekarang yang penting aku diterima aja dulu," jawab Gisca. "Tapi makasih banyak ya, Sel. Sejujurnya aku antara berani nggak berani di sini. Untung ada kamu."

Mengingat Saga sepertinya bisa keluar-masuk tempat tinggal Sela dengan mudahnya, Gisca jadi tidak punya alasan untuk lebih lama di sini. Jika dirinya diterima kerja pun, Gisca tidak akan menitipkan barang-barangnya di apartemen Sela.

Ya, Gisca tidak mau berurusan dengan Saga lagi. Gara-gara foto sialan itu, Gisca mungkin tidak akan memblokir nomor Saga, tapi ia akan membisukan notifikasinya. Mengabaikan lebih baik, terlebih pria itu tipe pria yang mengerikan, pria yang wajib dijauhi olehnya.

***

Gisca lega, interview-nya di kantor Starlight, perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce, berjalan dengan lancar. Ia hanya perlu menunggu keputusan apakah diterima atau tidak. Katanya, pihak perusahaan akan memberi kabar via email paling lambat lusa.

Gisca merasa optimis diterima, terlebih perusahaan yang memang sedang butuh tenaga kerja ini setidaknya akan merekrut setengah dari semua peserta yang diwawancarai hari ini.

Itu artinya, kemungkinannya 50:50. Gisca berharap dirinya benar-benar menjadi setengah yang beruntung itu.

Saat sedang berjalan keluar dari kantor Starlight, secara tidak sengaja pandangan mata Gisca bertemu dengan tatapan pria yang seharusnya tidak ada di sini.

Tunggu, sejak kapan ada Saga di sini? Dari caranya tersenyum, sangat jelas pria itu hendak menemuinya. Apa jangan-jangan Saga memang sengaja membuntutinya? Sejak pagi?

Jika iya, fix ... Saga pasti tidak waras!

Astaga ... kenapa pria itu semakin membuat Gisca takut? Sumpah demi apa pun, Saga benar-benar menyeramkan dan baru kali ini Gisca berurusan dengan pria semacam itu.

Hai, aku nungguin kamu. Sini mendekat.

Meskipun notifikasi Saga sudah di-mute, tapi Gisca yang kebetulan sedang membuka aplikasi pesan andalannya, spontan melihat chat pria itu.

Chat seperti itu saja berhasil membuat Gisca bergidik ngeri. Ya Tuhan.

Gisca kembali menoleh pada Saga, dan kali ini pria itu melambaikan tangan sembari tersenyum pada Gisca. Senyuman yang membuat Gisca semakin ingin berlari menjauh.

Gisca yang sangat takut, memilih kembali masuk ke Starlight. Ia akan duduk di lobi dulu, setidaknya sampai Saga menyerah dan pergi dari sana.

Untuk saat ini, Gisca belum punya keberanian melawan, jadi menghindar atau bersembunyi adalah solusi terbaik baginya. Meminta pertolongan pun Gisca tidak tahu pada siapa. Satpam? Polisi? Karena mustahil pada Sela. Ah, Gisca tidak mau menimbulkan kehebohan.

Sampai detik ini Gisca masih tidak habis pikir. Entah mimpi buruk apa sehingga dirinya harus mengalami hal seperti ini. Kacau.

Sial, Gisca sudah menghabiskan hampir satu jam waktunya untuk duduk menunggu Saga pergi yang konyolnya pria itu masih tetap bertahan. Haruskah Gisca menerobos pergi? Apa Saga akan tetap mengejarnya? Haruskah Gisca berteriak jika Saga menghadangnya atau memaksanya ikut? Perlukah Gisca melapor polisi? Akankah benar-benar menjadi kehebohan nantinya?

Berbagai pertanyaan terus memenuhi benak Gisca. Ia sudah bolak-balik melihat ke arah gerbang dan Saga masih tetap menunggunya. Apa Saga tidak punya kerjaan lain? Ya Tuhan, akhirnya Gisca memutuskan duduk lagi di kursi lobi. Berharap sebentar lagi Saga akan menyerah.

Sialnya, Saga tidak kunjung pergi. Akhirnya Gisca yang sudah tidak tahan lagi karena Saga sangat keterlaluan ... tidak ada pilihan selain menghubungi Sela. Ya, Sela harus tahu kelakuan pacarnya. Ia tidak takut lagi tentang hubungan mereka yang kemungkinan rusak karena hal ini. Sungguh, apa yang Saga lakukan benar-benar tidak bisa dibiarkan.

Jika Gisca diam saja, khawatir pria itu malah semakin menjadi-jadi.

Untuk itu, Gisca sudah siap dengan apa pun risikonya.

Selama beberapa saat, Gisca menunggu sampai panggilannya diangkat.

"Kamu mau pergi dari sini?" Suara berat seorang pria membuat Gisca mendongak. Gisca refleks membatalkan panggilannya pada Sela.

Suara pria itu terdengar sangat enak di telinga Gisca. Dan ternyata suaranya sebanding dengan penampilannya yang juga enak dipandang.

Seorang pria tampan dengan pakaian formal kini sedang berbicara padanya. Ya, memangnya bicara pada siapa lagi ... hanya ada Gisca yang duduk di sini.

"I-iya," jawab Gisca spontan sambil berdiri.

"Kamu sedang menghindari pria di luar sana, kan?"

Gisca mengangguk. "Kok tahu?" tanyanya heran. "Maaf sebelumnya, tapi Bapak siapa?"

"Pria di luar itu ... namanya Saga, kan?" Pria yang terlihat manly itu malah balik bertanya.

Gisca semakin heran. Apa pria di hadapannya ini mengenal Saga? Lalu, dari mana pria itu tahu kalau dirinya sedang berusaha bersembunyi?

"Iya, tapi Bapak siapa? Bapak mengenal Saga?" Gisca bertanya lagi.

"Ikut saya."

Gisca terkejut bukan main. Ia masih melongo, tidak mengiyakan maupun menolak.

"Ikut saya. Kamu bisa meninggalkan kantor ini tanpa ketahuan oleh Saga," jelas pria itu. "Astaga, saya yakin kamu bingung. Ya, saya mengenal Saga. Dan seharusnya saya juga menjawab pertanyaanmu dulu tentang siapa saya."

Sambil menunjukkan ID Card-nya, pria itu lanjut berkata, "Saya Barra. Saya kerja di sini."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
DragoKnight
bagus sih tapi...terpangkas dg koin jika ingin melanjutkan
goodnovel comment avatar
Alfan Rls
Ok lumayan seru
goodnovel comment avatar
Dedi Andika
lumayan seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status