"Gimana Alen? Kali ini, cocok kan?" David kembali menginterogasi Mayleen di meja makan saat sarapan pagi, seperti yang biasa dia lakukan. "Papa sudah ketemu langsung dengan orangnya waktu ada seminar investasi, dia bagus kok! Tampan, pekerja keras, baik juga. Papa yakin, kali ini pasti sukses."
Ingatan soal kejadian semalam tiba-tiba terputar di kepala Mayleen. Itu membuatnya trauma.Ternyata menghadapi orang yang lebih gila itu bisa sangat melelahkan dan membuat frustasi ya? Mayleen jadi merasa bersalah pada orang-orang yang sudah lama menghadapi kegilaannya. Mereka juga pasti merasakan apa yang Mayleen rasakan.Tapi tidak separah ini! Tingkat kegilaan Devin jauh di atas rata-rata!Mayleen langsung menggeleng sambil menunjukkan raut traumanya. "Papa salah! Dia orang yang gila!"Mengingat wajahnya saja sudah membuat bulu kuduk Mayleen merinding. Seolah yang dia temui waktu itu adalah hantu penasaran yang menagih tumbal."Hahaha! Bagus deh kalau gitu!" David tertawa puas dengan jawaban yang Mayleen berikan.Alih-alih kapok dan berusaha menghentikan rencana perjodohan itu, David malah jadi makin semangat untuk mendorong anaknya menikah dengan Devin."Pah! Nggak! Jangan pikirkan rencana konyol itu lagi!" Mayleen yang menyadari rencana papanya langsung saja menolak. Papanya pasti berusaha untuk merencanakan pertemuan lanjutan dengan Devin kan?Mayleen sudah susah payah kabur untuk menghindari kegilaan Devin semalam. Di kantor nanti, dia juga harus menemuinya untuk mendapatkan approval untuk proposalnya.Ingin sekali rasanya Mayleen berhenti saja dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan di tempat lain. Tapi Mayleen tidak bisa keluar begitu saja dari sana. Mayleen sudah menghabiskan masa muda-emasnya di kantor itu. Dia sudah sangat bekerja keras di sana. Akan sia-sia waktu yang dia kerahkan untuk timnya jika pada akhirnya dia memilih untuk berhenti karena alasan konyol seperti ini."Kenapa enggak? Papa malah bersyukur karena ada orang yang bisa mengimbangi sikap gila kamu itu! Hahaha!" Sepertinya David tidak peduli dengan kondisi mental putrinya sendiri.Bagaimana bisa dia menyerahkan anaknya pada orang gila seperti Devin?Orang yang katanya dari keluarga konservatif, langsung melamarnya di hari pertemuan mereka, dan bahkan setuju untuk melakukan Bed Date. Itu saja sudah sangat aneh! Entah keanehan seperti apa lagi yang akan Devin tunjukkan nantinya."Papa sama orang itu sama aja ya? Ini ide yang konyol!" Kata Mayleen setengah berseru. Dia kemudian buru-buru menyelesaikan makanannya untuk pergi dari meja makan setan itu.Iya, itu adalah meja makan setan yang akan membuat siapapun yang makan di atasnya gila dan frustasi. Utamanya jika itu seorang wanita karir dengan usia yang sudah cukup matang namun belum juga menikah, seperti Mayleen."Hati-hati di jalan Alen!" Seru Ariana yang menatap punggung putrinya mulai menjauh dari pandangannya."Lucu ya, Ma? Biasanya yang kayak gini nanti berakhir jatuh cinta. Hahaha!" David terus saja menertawakan sikap yang ditunjukkan Mayleen pagi ini.David pikir, orang yang Mayleen temui saat ini sangat tepat untuk mendampinginya sebagai pasangan. Baru kali ini David melihat Mayleen bersikap sampai seperti ini. Ini artinya, pria itu berhasil membuat Mayleen takluk."Beneran nggak papa kan Pa?" Ariana agak cemas sebetulnya. Mayleen terlihat seperti sangat menentang pernikahan ini dari awal."Nggak papa. Putra Monrow itu anak yang baik, Papa sudah mengenalnya dari lama. Dan dia adalah orang yang tepat untuk mendampingi Mayleen." Pungkas David dengan tenang."Mereka semua bersengkongkol ya? Sudah gila!" Mayleen tidak bisa berhenti menggerutu sejak dia keluar dari rumahnya, sampai tiba di kantor.Kenapa semua orang begitu terobsesi dengan yang namanya pernikahan? Mayleen pasti akan menikah kok, di waktu yang tepat nanti. Dan pastinya dengan pria yang tepat.Devin tidak pernah masuk dalam pertimbangan Mayleen, sekalipun!Sambil masih menggerutu dalam hatinya, Mayleen mengambil tas yang dia letakkan di kursi belakang dan bergegas masuk ke dalam kantor untuk memulai rutinitas kerjanya.Masih tersisa 15 menit sebelum jam masuk kerja dimulai. Itu waktu yang lebih dari cukup bagi Mayleen untuk tiba di meja kerjanya yang ada di lantai 4.Tapi, kejadian tidak terduga terjadi. Saat akan masuk ke lift yang ada di lobi, matanya menangkap sosok yang sangat familiar sedang menuju ke arah lift dari pintu masuk. Bukan hanya familiar, Mayleen sangat mengenal sosok itu, dan sedang berusaha untuk menghindarinya."Sial! Kenapa
Mayleen sudah siap di depan pintu ruangan Devin. Dia mengenakan masker dan kacamata hitam untuk menutupi wajahnya.Saat ini, Mayleen terlihat seperti pelancong asing yang hendak berjalan-jalan di pantai!Tok... Tok... Tok...Setelah mendapat izin dari Devin, melalui sekretarisnya, Mayleen mengetuk pintu ruangan Devin dengan penuh hati-hati."Masuk!" Terdengar seruan Devin dari dalam ruangan itu.Dengan hati yang masih gugup karena takut ketahuan, Mayleen melangkahkan kakinya pelan-pelan menuju ruangan itu."Emm... Saya perlu approval Anda untuk proyek terbaru departemen pemasaran..." Tak lupa Mayleen membuat suaranya terdengar serak agar tidak mudah dikenali oleh Devin."Ngapain kamu?" Devin menjawabnya dengan ketus."Seperti yang saya bilang. Saya ingin minta persetujuan Anda." Tegas Mayleen."Bukan itu. Ngapain kamu pakai kacamata dan masker seperti itu di kantor?!"Devin mempertanyakan penampilan Mayleen yang terlihat aneh di mata
"Kenapa diam saja?"Devin yang melihat Mayleen terus berdiri di depan pintu, mengambil tindakan dengan menuntunnya untuk duduk di sofa yang dimaksud."Tunggu sebentar." Devin pergi mengambil sesuatu dari balik laci meja kerjanya. Kemudian, dia buru-buru mendatangi Mayleen yang duduk dengan tegap dan kaku.Sungguh, di titik ini, Mayleen kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya karena saking gugupnya.Jangan-jangan Devin sudah tahu kalau dia itu Mayleen?Ini gawat! Jika benar begitu, masa depan Mayleen di perusahaan ini benar-benar terancam! Jangankan mendapatkan promosi dari kantor, dia mungkin makin dipaksa untuk segera menikah dengan Devin nantinya.Dengan hati-hati, Devin melepaskan sepatu hak yang dikenakan Mayleen.Kontak fisik yang terjadi diantara mereka semakin membuat jantung Mayleen berdetak dengan kencang.Orang itu.... Tidak sedang merencanakan Bed Date di kantor kan? Bukan! Devin tidak mengenali Mayleen kan?"A-apa yang Anda laku
Pekerjaan Mayleen di kantor harus terhenti karena terbentur jam makan siang. Biasanya, kantor ini menyediakan makan siang gratis untuk para karyawannya di kantin.“Mau makan sekarang, Kak? Bareng yuk!” ajak Dela pada Mayleen yang masih membereskan beberapa lembar dokumen di mejanya.“Menunya apa ya? Agak nggak enak buat makan hari ini.” keluh Mayleen yang teringat soal pengalaman kecut pagi tadi. Otaknya masih memikirkan karakter asli dari Devin si gila itu. Padahal mereka baru bertemu beberapa kali, itu pun belum terlalu lama. Tapi seolah Devin sudah mematri tempat khusus dalam ingatan Mayleen itu.Astaga! Apa yang Mayleen pikirkan? Dia pasti makin gila karena terus terpikir oleh Devin! Kalau begini terus, mungkin Mayleen akan membutuhkan bantuan psikiater!“Tumis daging plus tomat!” seru Dela begitu antusias.Mendengar menu makan siang hari ini membuyarkan konflik pikiran dalam otak Mayleen. Itu tidak penting sekarang, yang penting adalah tumis daging plus tomat di kantin! Itu adala
Mayleen buru-buru membereskan wadah makannya yang belum habis termakan. Jika dia bertahan di sana lebih lama, bisa-bisa makanan yang sudah masuk dalam perutnya keluar semua, saking gugupnya karena takut ketahuan oleh Devin."Aku balik dulu ya," pamit Mayleen pada rekan kerja yang datang ke kantin bersamanya tadi.Semua orang jelas bingung dengan sikap Mayleen yang tiba-tiba berubah seperti itu. Belum juga ada 30 menit sejak Mayleen terus memuja menu makan siang hari ini, tapi sekarang dia kabur dari sana tanpa memberikan keterangan yang jelas.Huft...Tidak ada tempat yang tenang setelah dia bertemu dengan Devin malam itu. Andai saja dia menolak keputusan papanya dengan tegas waktu itu, hal seperti sekarang tidak akan pernah terjadi. Dia tidak perlu bersembunyi dari bosnya di kantor. Dia tidak perlu merasa tak nyaman untuk datang dan melakukan pekerjaannya di kantor. Semuanya pasti akan baik-baik saja andai kata dia memilih tidak menghadiri pertemuan itu.Tapi semuanya sudah terlambat
Hari ini tidak sepenuhnya berantakan. Mayleen menarik ucapannya lagi, hari ini tidak sepenuhnya berantakan.Selain tumis daging plus tomat yang selalu dia sukai, muncul pula Farel yang jadi cahaya dalam hidupnya nan suram.Saat ini, Mayleen benar-benar berharap jam kantor akan segera berakhir. Dengan begitu, dia bisa segera menemui Farel lagi.Kebahagiaan membuncah dalam hati Mayleen sekarang.Tidak berselang lama, beberapa kolega kerjanya kembali ke mejanya masing-masing. Ruangan ini mulai dipenuhi dengan banyak karyawan yang datang dari kantin."Kenapa balik duluan Kak May? Biasanya juga nunggu sisaan kan kalau menunya ini??" Tanya Dela frontal.Kata 'menunggu sisaan' terdengar sangat memprihatinkan disini. Bukan karena Mayleen yang tidak bisa membeli menu serupa di luar, atau karena masakan chef kantin ini yang kelewat enaknya, tapi kan sayang kalau ada makanan yang tersisa dan malah berakhir di truk pembuangan. "Nggak nunggu juga sih, takut mubazir kan?""Iya, iya! Terus kenapa ba
Mayleen sudah siap dengan segala penyamarannya di depan kantor Devin. Dalam hatinya, dia ketar-ketir, takut kalau Devin akhirnya tahu mengenai dirinya yang bekerja di perusahaan ini setelah makan siang di kantin tadi.Tapi Mayleen cukup yakin, dia menyembunyikan wajahnya dengan baik di kantin itu. Hampir mustahil Devin mengenalinya dari belakang. Iya kan?"Bapak memanggil saya?" Tanya Mayleen super gugup. Dia terus menerus meremas kedua tangannya untuk mengurangi rasa gugupnya itu, walau itu tidak terlalu berhasil."Oh, iya. Ada hal yang perlu direvisi dari proposal tadi.""Iya, Pak. Di bagian mana saja?""Kamu bisa lihat tulisannya dari situ? Sini sebentar." Devin memintanya untuk mendekat. Posisi mereka terlalu jauh untuk bisa saling berkomunikasi dengan baik. Dalam tahap ini, Devin pun yakin jika tulisan dalam proposal yang dipegangnya tidak bisa dibaca oleh karyawan yang berdiri nan jauh di sana, saking jauhnya. Mungkin posisi mereka terpisah sekitar 3 meter jaraknya.Dengan langk
Suasana romantis menyelimuti restoran bintang 4 yang terletak di pusat ibukota. Tanpa ada pengunjung lain di lantai ini, hanya ada Mayleen dan juga Farel yang duduk saling berhadapan satu sama lain.Situasi ini membuat Mayleen gugup bukan main. Ini adalah kali pertama dia duduk bersama seorang pria di tempat seperti ini, juga dalam situasi seperti ini.“Jadi, apa yang mau dibicarakan?” tanya Mayleen tidak sabar.“Tunggu dulu dong, tunggu sampai makanannya datang.” balas Farel.Benar saja, Mayleen terus menunggu detik demi detik sampai makanan yang mereka pesan datang ke meja. Selama itu, tidak ada banyak topik menarik yang mereka bicarakan. Hanya sebatas saling bertanya soal kabar satu sama lain dan apa aktivitas menarik yang mereka lakukan selama ini.Lucunya, mereka tidak pernah membahas hal serupa sebelum ini. Saat masih bekerja di perusahaan ini 2 tahun lalu, apa yang mereka bahas hanyalah soal pekerjaan dan hal-hal yang menyangkutnya. Baru sekarang mereka banyak berbasa-basi, dan
"Oh... Aku nggak tahu kalau aku se-brengsek itu..." Keluh Devin atas umpatan Mayleen. Dia memang tidak mengambil hati atas perkataan yang Mayleen ucapkan. Mau dibilang brengsek, kurang ajar, atau yang lainnya, dia tidak sakit hati kalau yang mengatakannya adalah Mayleen. Karena dia tahu betul, jika Mayleen tidak benar-benar mengatakannya dari hati. Devin sekadar menanggapinya sebagai guyonan untuk menenangkan Mayleen."Kenapa mesti selingkuh sih? Sama cowok lagi! Ah sialan!" Cerocos Mayleen."Ummm.... Kamu suka cewek?" Tanya Devin dengan konyolnya."Dih! Apaan sih nggak jelas!""Tadi bilangnya selingkuh sama cowok?""Ah bodoh banget!" Mayleen kembali merutuki kesialannya. Betapa bodohnya dia yang sudah menyukai pria seperti itu. "Kenapa bodoh banget sih!""Mau cerita lebih jauh?" Tanya Devin menenangkan. Barangkali Mayleen butuh teman cerita, pikirnya."Kenapa gitu loh?! Padahal hari sebelumnya bilang suka, terus di hari yang lain bilang sukanya ke
Mayleen tidak sanggup melihatnya lagi. Hubungan mereka semakin intens dan itu membuat mata Mayleen merasa kotor untuk sekadar menontonnya. Dia merasa seperti sedang melihat adegan dewasa yang tidak senonoh.Di saat seperti ini Mayleen bingung harus bereaksi seperti apa. Apakah dia harus marah karena secara tidak langsung Farel sudah berselingkuh darinya. Atau harus merasa lega karena tak perlu memberikan jawaban atas ungkapan perasaan pria itu.Rasanya campur aduk. Kecewa, marah, juga bingung.Walaupun ini tergolong sebagai bentuk perselingkuhan, tapi tetap saja dia tidak bisa berbuat apa-apa.Andai saja selingkuhan Farel adalah seorang wanita, dia pasti sudah nyelonong masuk ke dalam sana tanpa berpikir panjang. Melabrak, niatnya.Tapi situasinya lain.Untuk saat ini, Mayleen hanya bisa menjauh pergi dari tempat kejadian.Dengan pikiran yang kosong, tubuhnya bergerak sendiri ke arah lift untuk turun ke lantai 1. Pokoknya, dia harus menjauh dari area kantor. Itu adalah perintah yang o
Rampung dengan kegiatannya merapikan meja kerjanya, Mayleen bersiap pulang ke rumahnya. Tentu setelah ia mengantarkan kunci loker itu dan mengambil kembali mobilnya di bengkel.Huft….Mayleen menarik nafasnya panjang. Berharap tidak ada hal yang terjadi padanya saat dia menemui Farel nanti.Perusahaan ini cukup ketat dengan jam kerja karyawannya. Begitu jam kerja usai, semua karyawan bisa langsung pulang ke tempatnya masing-masing. Kalaupun lembur, itu hanya untuk proyek besar yang perlu penanganan khusus.Tidak heran jika di jam kerja seperti ini, cukup banyak ruangan yang sudah ditinggalkan penghuninya.Mayleen menyusuri koridor di lantai 4 untuk mencapai ruang kerja milik Fajar. Jaraknya dari meja kerjanya tidak terlalu jauh. Hanya butuh sekitar 2-3 menit untuk berjalan kaki.Namun langkah kakinya terhenti di depan toilet pria. Dia mendengar sesuatu yang sangat mengejutkannya, tak pernah dia sangka sebelumnya.“Gimana? Katanya sudah nembak Mayleen dari Departemen sebelah kan? Diter
“Okay, karena kamu juga panggil aku pakai nama, jadi aku bisa bersikap lebih santai kan?”Mayleen memutar bola matanya kesal. Rasanya tak ada sedetikpun dalam hidupnya yang terasa tenang setelah dia bertemu dengan Devin waktu itu.Selalu saja ada hal yang mengesalkan dan membuatnya frustasi.“Bisa nggak sih, nggak harus ganggu aku? Masalah panggilan aja dibikin ribet!” Mayleen mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.Berbeda halnya saat berada di suatu tempat dengan orang lain, Mayleen cenderung mudah untuk mengeluarkan uneg-unegnya pada mereka. Mayleen adalah tipe orang yang ceplas-ceplos saat berbicara dengan orang lain.tapi entah bagaimana, jika orang itu adalah Devin, dia selalu merasa kesulitan untuk melakukan hal itu. Seakan ada sesuatu d
Setibanya di lantai 4, Mayleen buru-buru melakukan absen. Dia benar-benar melakukannya tepat waktu! Meski cukup mepet, hanya kurang beberapa detik lagi sebelum alat itu tidak bisa menerima scan sidik jarinya.Untuk situasi ini, Mayleen merasa bersyukur telah menerima bantuan dari Devin. Walaupun dia tidak mengharapkannya.“Ayo Kaksa, duduk sebentar.” ajaknya kemudian.Marissa mengikutinya di belakangnya tanpa menjawab apapun.“Duh! Tahu nggak? Sejak Kaksa cuti, kerjaanku jadi makin banyak tahu! Apalagi aku yang mesti setor kerjaan ke ruangan si onoh! Bener-bener kayak di neraka rasanya!”“Hush! Jangan ngomong sembarangan!” peringat Marissa.Mayleen ini memang tipe-tipe orang yang asal ceplos sesuai dengan isi hatinya. Kerap kali dia tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri untuk tidak berkata hal yang buruk tentang orang lain, tidak peduli bagaimana situasi dan tempatnya.“Aduh tapi gimana ya, May?” Marissa mendahului jalan Mayleen, ia lantas menarik salah satu kursi kerja di dekatnya d
"Padahal awalnya kamu usil banget, pake segala ngusulin Bed Date. Eh.... Sekarang jadi ketus gitu," pernyataan Devin sontak membuat mata Mayleen membulat.Mayleen sudah sangat malu untuk mengingat kecerobohannya waktu itu. Sok-sok an ini jadi wanita jalang agar dibenci oleh lawan kencan butanya, tapi malah berdampak sebaliknya.Apalagi saat Devin menyinggungnya seperti ini, rasa malu yang dia rasakan menjadi berkali-kali lipat!Ingin sekali Mayleen menghilang saja dari bumi ini, saking malunya saat ini.Tapi Mayleen akan bersikap acuh terhadap pernyataan itu. Gengsi lah kalau dia ciut setelah semua yang terjadi."Oh! Itu cuma tes aja." Jawab Mayleen sedikit gugup. Mau sekeras apapun dia berusaha menutupinya, rasa gugup itu tidak bisa menghilang begitu saja."Tes buat apa?""Ya..." Mayleen berusaha keras mencari alasan yang paling masuk akal untuk situasinya, hingga akhirnya dia mengatakan, "tes buat cek aja, cowok yang papa kenalin itu brengsek apa enggak. Main cewek atau enggak.""Te
Belum juga Mayleen memutuskan apa dia akan berangkat bersama Devin atau tidak. Devin kembali memperingatkan Mayleen tentang sisa waktu yang mereka miliki. Dan yah... Itu membuat Mayleen bertambah kesal."Nggak mau gerak sekarang? Tinggal 5 menit lagi loh!" Devin seperti biasanya, mengucapkan fakta dengan seringai yang tak pernah Mayleen senangi. "Kamu tahu sendiri kan, sekarang ada sistem pemotongan insentif buat karyawan yang telat datang?"Hari ini, Mayleen berkali-kali ditampar oleh keadaan.Mayleen menarik napasnya dalam-dalam. Dia menanamkan stigma baru dalam otaknya. Paling tidak, dia berencana untuk menahan kekesalannya pada Devin daripada harus kehilangan insentif bulanannya.Tidak bisa dipungkiri, disini posisi insentif jauh lebih tinggi dari pada harga diri Mayleen yang sok jual mahal.Sebenarnya keluarga Mayleen cukup berada. Mau beli apapun juga Mayleen bisa meminta langsung pada papanya tanpa kerja keras.Tapi Mayleen pikir, membeli sesuatu dengan kerja kerasnya sendiri j
Bukan raut wajah lega atau bahagia yang tergambar dari wajah Mayleen, melainkan wajah yang kesal.Mayleen jadi menyesal karena menghubungi papanya tentang kondisi mobilnya, alih-alih langsung memanggil montir ke tempatnya.Tok... Tok... Tok...Pria itu kembali mengetuk kaca mobil saat pemiliknya tak menggubrisnya sebelumnya.Mayleen merotasikan bola matanya, serta menghembuskan napasnya secara kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka jendela kaca itu."Apa?" Tanyanya jengah."Keluar." Singkat, padat, dan jelas. Pria itu mengatakannya tanpa mengubah ekspresinya sebelumnya. Masih datar dan tanpa emosi apapun."Nggak bisa." Tolak Mayleen."Keluar dulu.""Nggak mau." Tolak Mayleen sekali lagi. Dia benar-benar malas untuk berargumen dengan pria itu saat ini. Harinya sudah cukup sial dan dia tidak ingin menambah kesialannya di hari ini."Mau ngapain terus di dalam kayak gitu? Lagian montirnya nggak akan bisa datang tepat waktu. Jadi turunlah."Orang itu benar. Montir yang dipanggil p
Sama seperti hari-hari lainnya, Mayleen sudah siap untuk berangkat bekerja sebelum jam 7 pagi.Mayleen adalah tipe orang yang gampang kesal jika harus berhadapan dengan kemacetan ibukota yang seakan tidak pernah memiliki akhir itu. Karena itu, dia akan selalu berusaha siap lebih awal agar bisa menghindari kemacetan jalanan."Alen berangkat dulu." Pamit Mayleen pada kedua orang tuanya. Meskipun masih menyimpan sedikit kekesalan dalam hatinya terkait dengan perjodohan tidak masuk akal itu, Mayleen tetap menunjukkan rasa hormat yang pantas untuk orang tuanya."Papa pesankan taxi dulu, mobilnya harus dibawa ke bengkel untuk service rutin.""Kelamaan, nanti jalanan keburu macet." Tolak Mayleen. "Mobilnya Alen bawa aja, sekalian taruh bengkel deket kantor.""Kalau buru-buru, biar papa aja yang service nanti.""Nggak papa, Alen aja. Lagian ada bengkel di deket kantor. Nanti pas balik kerja biar bisa langsung diambil.""Yasudah kalau gitu." David menerima usulan putrinya dengan senang hati. "