“Ini acara nikahan atau pemakaman sih? Suram ya.”
“Kayak nikahan Badai yang pertama dong.” Yogas menjawab pertanyaan Kalu dengan spontan.
Ksatria, Nara, Kalu, Rinai, dan Shua langsung menoleh pada Yogas yang mengatakan hal tersebut. Beruntung Badai dan Padma sedang tak bersama mereka, jadi nyawa Yogas masih ada di tubuh lelaki itu—belum melayang keluar dari tubuhnya karena dihajar Badai.
“Aku kan cuma ngomongin fakta.” Yogas membela dirinya ketika sadar kalau semua orang tengah memelototinya.
Ksatria menggeleng. “Susah juga temenan sama orang yang otaknya tinggal setengah.”
Yogas mendesis kesal, tapi menahan diri untuk tidak meninju Ksatria di tengah-tengah resepsi antara Ipang dan perempuan yang bukan calon istrinya i
“Yang nikah siapa, yang keliatan kayak pasangan jatuh cinta malah siapa,” ujar Kalu begitu Ksatria dan Rinai kembali usai menyanyikan dua lagu—Lucky-nya Jason Mraz dan Colbie Caillat pilihan Ksatria dan I Still Love You dari The Overtunes yang diminta khusus oleh Suri.“Iri bilang, Bos,” sahut Ksatria dengan santai. “Yang lain pada ke mana?”“Shua sama Padma ke toilet, Badai nyamperin ayah mertuanya, Yogas dipanggil kakeknya, Nara di sini—” Kalu langsung celingukan saat menyadari kalau ia benar-benar sendirian saat ini.Padahal sampai tadi Ksatria dan Rinai turun bersama dari panggung, Nara masih ada di sebelahnya dan mengomentari bagaimana modusnya Ksatria hari ini berjalan cukup lancar.Tetapi, lelaki itu kini malah menghilang entah ke mana.
“Apa tujuan Mama jodohin aku dengan Aleah?”“Biar kamu bisa berpikir berhenti main-main dan menikah.”Ksatria tentu saja mendengus begitu mendengar jawaban Leona. Ia sudah sering mendengar alasan tersebut dan rasanya hal itu saja tidak cukup untuk menjadi landasan, dari tingkah ibunya yang menyodorkan Aleah ke depan hidungnya setiap hari.“Bukan karena Mama yang ngincer sesuatu dari Time Indonesia?” tanya Ksatria dengan santai. Setelah menyesap kopinya, Ksatria kembali berkata, “Kayak hak retail untuk brand tertentu atau apa gitu?”“Kamu ngeliat Mama serendah itu?” tanya Leona dengan tajam.Awalnya Leona senang karena Ksatria bergabung dengannya di meja makan saat Minggu siang seperti ini. Suaminya sedang
Ksatria berlalu dari teras dengan Aleah yang langsung menggandeng tangan lelaki itu seakan tidak ada masalah di antara mereka. Secepat itu Aleah menggandengnya, secepat itu juga Ksatria mencampakkan lengan Aleah dari lengannya.“Kamu kasar banget sama aku, Yang.”“Yang?” Ksatria berhenti di depan pintu penghubung antara dapur rumah utama dan berbalik menghadap Aleah sambil mengerjap jijik. “Aku tahu ini terdengar kasar, tapi kamu benar-benar nggak tahu diri ya, Al.”“Aku selalu punya tujuan dan tahu apa yang aku mau, Ksatria,” jawab Aleah dengan tegas. “Kita punya restu orangtua, keluarga yang setara, dan kesempatan yang ada. Kenapa kamu nggak mau coba buka hati untuk aku sama sekali?”“Karena emang aku nggak mau.”
“Om nggak istirahat?”Sandy menoleh kepada Ksatria yang bertanya dengan pelan. Hari mulai beranjak malam, tapi Ksatria tidak beranjak sedikit pun dari kamar rawat inap Rinai sejak siang tadi tiba di rumah sakit.“Kamu sendiri nggak pulang?”Ksatria langsung menegakkan tubuhnya. Sebenarnya Ksatria ingin bermalam di sini, tapi ia tahu tidak akan semudah itu bagi Sandy untuk mengizinkannya.Walau begitu, Ksatria tetap mencoba peruntungannya. “Saya boleh tetep di sini nemenin Om dan Rinai nggak?”Kedua lelaki beda generasi itu bertukar tatap, lalu Sandy bangkit dari kursi di samping ranjang anaknya.“Kayaknya ada coffee shop yang buka 24 jam di sini,” gumam Sandy seraya kembali memaka
“Kamu udah pikirin pertanyaanku waktu itu, Nai?”“Pertanyaan—oh.” Rinai mengatupkan bibirnya saat ingat apa yang barusan dimaksud Atlas.Di hari ketiga Rinai dirawat, Atlas kembali menjenguknya saat jam besuk. Ksatria sedang pergi ke coffee shop dan ayahnya baru saja izin pergi sebentar. Jadilah hanya tinggal mereka berdua di kamar ini.Pertanyaan yang dimaksud Atlas adalah pertanyaan yang diajukan Atlas ketika lelaki itu datang ke rumahnya hari Minggu lalu, saat Aleah juga datang mengikutinya ke rumah Rinai.“Aku mau kita bisa menjalani hubungan yang lebih dari temen, Nai, dan tentu aja ke jenjang yang lebih serius. Kamu mau nggak?”Pertanyaan sederhana dengan jawaban yang sulit Rinai dapatkan.
“Kamu nggak dandan aja cantik ya, Nai. Nyesel juga sih dulu nggak usaha banget nyingkirin Ksatria.”Rinai tersenyum malu mendengar pujian tersebut, “Makasih lho, Nara.”“Stop it, Bastard,” tegur Ksatria sambil memicingkan matanya kepada Nara. “Nggak usah genit sama Rinai.”“Posesif,” cibir Nara. “Kukasih tahu aja, kalau kamu posesif nanti Rinai kabur, Sat.”Ksatria mendengus pelan dan berniat menjauhkan Nara dari ranjang Rinai, karena Nara kebetulan duduk di kursi yang tak jauh dari ranjang perempuan itu.Tetapi, Kalu dengan isengnya menahan bahu Ksatria supaya lelaki itu tetap bertahan di sampingnya, di sofa.Hari ini giliran semua sahabat Ksatria yang men
“Kamarnya di mana, Sayang?”“Itu, yang paling ujung.” Leona menunjuk pintu kamar yang sudah terlihat semakin dekat. “Tapi Pak Anwar tadi bilang, Mas Sandy lagi pulang buat istirahat.”“Oh, iya? Bagus dong, bisa gantian kita yang jagain Rinai,” sahut Haydar. “Papa juga hari ini nggak ada meetingkok. Kamu abis ini ada perlu, Yang?”“Nggak.” Leona menggeleng. “Aku emang udah niat mau di sini sampai nanti Mas Sandy dateng.”Kalau sedang tidak di kantor suaminya atau bicara dengan suaminya, Leona memang kerap kali menyebut Sandy dengan panggilan ‘Mas’. Karena lelaki itu memang lebih tua darinya setahun dan di luar hubungan kerja pun, mereka sangat akrab.“Berarti yang
“Kamu mau minum? Makan? Atau mau aku?”“Nggak, nggak, nggak.”“Yah….” Ksatria mendesah pelan. “Padahal kalau kamu mau dipangku aku, aku nggak keberatan lho.”Rinai melotot kepada Ksatria yang hanya membalas dengan cengiran lebarnya seperti biasa.“Mau popcorn?”“Kalau itu aku mau.” Rinai menanggapi tawaran Ksatria dengan anggukan.Selagi Ksatria mengambil stoples berisi popcorn asin untuk Rinai, Rinai sendiri menatap ke sekeliling rumahnya yang sudah ia tinggalkan selama beberapa saat. Rumah itu masih terlihat bersih meski Rinai tahu, ayahnya jarang pulang ke rumah untuk menjaganya.
"Rinai beneran ninggalin kamu berdua sama Rengga?""Iya." Ksatria menyuapi Rengga yang menerima suapannya dengan riang. "Kenapa?""Wah... kasihan Rinai nanti pas pulang," jawab Yogas dari seberang sana. "Menurut pengalamanku setelah lihat temen-temen kita, bapak dan anak kecil yang ditinggal sama istrinya pasti akan bikin kekacauan.""Aku nggak bikin kekacauan," tampik Ksatria, setengah keki. Enak saja Yogas bicara seperti itu! Maksudnya Ksatria dan Rengga bisa jadi biang onar sampai Rinai pusing, begitu?!“Lagipula kamu juga ditinggal Shua!” sambung Ksatria. “Nggak usah jemawa gitu!”“Tapi aku nggak pernah separah Badai dan Ipang.”“Halah, itu kan karena Tuhan belum nunjukin aibmu aja!”
"Berhenti cengar-cengirnya, bisa nggak? Kamu nggak takut dikira kurang waras sama orang lain kah?"Ksatria menggeleng tanpa pikir panjang. Tangannya meraih tangan Rinai yang ada di atas meja, tapi perempuan itu dengan iseng menarik tangannya menjauh dari Ksatria."Aku nggak takut, soalnya nggak peduli kata orang." Ksatria masih saja nyengir saat menjawab Rinai. "Aku seneng banget.""Aku juga."Ah, senang sekali mendengar dari bibir Rinai secara langsung kalau ia juga senang.Ksatria merekam senyum di wajah Rinai dengan latar belakang dinding Huize Trivelli yang dipenuhi figura dan hiasan dinding lawas lainnya.Sore ini Rinai mengajak Ksatria ke sebuah restoran yang bisa dibilang cukup tersembunyi di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Restor
Rinai melangkah keluar dari lift dengan perasaan rindu. Wah, ternyata ia lumayan rindu datang dan bekerja di sini, di Heavenly & Co. Dari perusahaan keluarga Ksatria ini juga, tumbuh kecintaan Rinai terhadap wewangian dan semua proses menyangkut wewangian."Mbak Rinaiii!"Rinai terkekeh melihat bagaimana hebohnya Fiona saat melihat dirinya. Ia merentangkan tangan dan Fiona yang segera keluar dari mejanya langsung menyambut Rinai ke dalam pelukan."Kangen deeeh," kata Fiona sambil mengeratkan pelukannya pada Rinai. Rinai sendiri tertawa mendengarnya. "Apa kabar? Sehat, Mbak?""Sehat kok. Kamu sendiri?""Sehattt, Bos Kecil jarang lembur soalnya, hehehe."Rinai tertawa dan merenggangkan pelukan mereka. Setelah menikah dengan Ksatria, h
Kehidupan sebagai orangtua baru bukanlah hal yang mudah.Ksatria belajar banyak hal dari pengalamannya selama enam bulan ini bersama Rengga, anak pertamanya dengan Rinai. Pengalaman Ksatria saat ikut menyaksikan bagaimana tumbuh kembang anak-anak sahabatnya, nyatanya hanya sebagian kecil daripada apa yang harusnya ia lakukan."Rengga ganteng, anaknya Papa yang ganteng juga... tidur yuk...." Ksatria masih menimang-nimang tubuh mungil Arengga Cakra Abimayu di dalam dekapannya. Anaknya yang biasa dipanggil Rengga itu masih menangis, meski tangisannya sudah tidak sekeras tadi. "Kan minum susu udah... dibawa keliling kamar udah... sekarang waktunya bobo yuk? Ikut Mama tidur... siapa tahu ketemu di mimpi."Omongan panjang lebar Ksatria kali ini ternyata berhasil meredakan tangis anaknya. Kini, tangisan Rengga semakin memelan. Anaknya itu mulai mengerj
Mungkin jika dibandingkan dengan lelaki sebayanya, Ksatria telah melalui hari persalinan lebih banyak dibanding orang-orang di luar sana.Ksatria pernah beberapa kali ikut menemani sahabatnya yang menanti kelahiran buah hati mereka dengan harap-harap cemas. Jadi ia sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bagaimana biasanya seorang calon ayah menghadapi situasi seperti ini.Dulu, Ksatria akan mencatat di dalam hatinya bahwa ia akan melakukan A atau tidak akan melakukan B kalau suatu hari ia akan mendampingi istrinya melahirkan. Tapi lihatlah saat ini….Pengetahuan yang Ksatria simpan, entah hilang ke mana saat harinya sebagai calon ayah baru datang.“Kacau banget kelihatannya.” Yogas datang sambil tertawa. Tangan lelaki itu menyodorkan segelas kopi hangat yang langsung d
Ksatria menatap nanar ke arah laptopnya, di mana terpampang fotonya dan Rinai di SUBO saat mereka masih sebagai kekasih. Lelaki itu mengembuskan napasnya, sebal karena lima menit yang lalu, formulir untuk RSVP ke SUBO besok telah ditutup alias reservasinya sudah penuh.Padahal Ksatria ingin sekali ke sana. Sejak semalam lelaki itu sudah membayangkan bagaimana indahnya makan siang dengan menu yang tidak ia tahu apa (karena memang begitu sistem di Subo, mereka tidak punya menu pasti), sambil mendengarkan lagu-lagu gubahan Glenn Fredly dan The Bakuucakar lewat piringan hitam.Hal itu memang sudah pernah ia dan Rinai lakukan. Tapi Ksatria tiba-tiba terpikirkan ingin mengulangi lagi salah satu momen kencan manisnya dengan sang istri."Pak Ksatria....""Hmmm?" Ksatria bergumam asal tanpa mendongak untuk me
Menjelang ulang tahun Rinai, Ksatria selalu excited dan bingung di waktu yang sama.Hadiah apa yang kira-kira dibutuhkan dan akan disukai Rinai? Apa Rinai akan tersenyum lebar saat menerima hadiah darinya?Pertanyaan-pertanyaan sejenis masih sering mampir di kepala Ksatria, meskipun sudah puluhan kali ia mencari hadiah untuk Rinai alias sudah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan momen yang sama.Siapa bilang Ksatria tidak pernah berpikir keras jika harus memberikan hadiah untuk sahabat slash istrinya itu?Karena selalu ingin memberikan yang terbaik dan sebisa mungkin memang berguna juga disukai Rinai, Ksatria selalu berakhir dengan kebingungan sendiri dan berpikir sangat keras untuk waktu yang lama.Seperti sekarang ini.
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria melangkah menuju rumah Rinai sambil berpikir mau makan siang dengan apa hari ini—ayam penyet sambal cabai hijau atau soto daging dengan tambahan kikil dan babat yang terlihat tidak sehat, tapi melenakan.Baru sampai di teras, pintu rumah Rinai tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terlihat cantik dengan midi skirt hitam dan blus longgar berwarna baby pink. Ada pita di rambutnya dan hal itu memberi tahu Ksatria kalau sahabatnya ini sedang senang.Iya, Rinai kerap kali mengenakan jepitan berhias pita tersebut hanya saat sedang senang.“Baru mau kupanggil,” sapa Ksatria. “Udah siap? Yuk.”“
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria mengetukkan jemarinya di stir mobil, mencoba bersabar menunggu Rinai yang belum juga keluar dari rumahnya. Lelaki itu mengecek jam di tangannya. Memang sih, masih ada satu setengah jam lagi sebelum kelas dimulai. Tapi biasanya Rinai sudah akan menyuruh Ksatria menyetir ke kampus dengan alasan tidak ingin datang mepet dan mendapat kursi tidak strategis di kelas."Ke mana sih dia?" gerutu Ksatria. Lelaki itu akhirnya tidak tahan menunggu dan bergegas keluar dari mobilnya yang masih parkir di halaman rumah.Pandangan Ksatria mengedar ke sekitar dan setelah merasa aman (tidak ada pegawai rumahnya yang berkeliaran di sekitar), Ksatria mengeluarkan kotak rokok dan lighter-nya dari saku celana jeans