“Kamu mau minum? Makan? Atau mau aku?”
“Nggak, nggak, nggak.”
“Yah….” Ksatria mendesah pelan. “Padahal kalau kamu mau dipangku aku, aku nggak keberatan lho.”
Rinai melotot kepada Ksatria yang hanya membalas dengan cengiran lebarnya seperti biasa.
“Mau popcorn?”
“Kalau itu aku mau.” Rinai menanggapi tawaran Ksatria dengan anggukan.
Selagi Ksatria mengambil stoples berisi popcorn asin untuk Rinai, Rinai sendiri menatap ke sekeliling rumahnya yang sudah ia tinggalkan selama beberapa saat. Rumah itu masih terlihat bersih meski Rinai tahu, ayahnya jarang pulang ke rumah untuk menjaganya.
“Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal kerja?”“Nggak apa-apalah,” jawab Rinai dengan bersemangat. “Justru aku bosen lihat mukamu.”Ksatria memicingkan matanya. “Nggak mungkin.”“Mungkin aja, Sat. Kita udah temenan dari bayi, kamu pikir seumur hidupku aku nggak pernah bosen liat mukamu?”“Jadi kamu pernah bosen?”“Sering.”“Duh.” Tiba-tiba Ksatria memegangi dadanya. “Sakit banget dengernya.”Rinai tentu saja hanya bercanda dan ia segera tergelak melihat bagaimana berlebihannya Ksatria.“Udah sana, kerja.&rdq
“Jadi Mbak Rinai belum jadian juga sama Mas Al?”Rinai memang tak terlalu pintar menyembunyikan reaksinya atas hal-hal tertentu, termasuk ketika dengan frontalnya Shahia menanyakan hal tersebut.“Belum.” Atlas-lah yang menjawab pertanyaan Shahia. “Kamu sih, kurang kenceng doanya.”“Yah, gimana sih, Mas Al.” Shahia mengerucutkan bibirnya, lalu menyandarkan kepala di bahu Rinai yang duduk di sampingnya “Ayo, usaha lebih kenceng lagi dong. Perempuan kayak Mbak Rinai nih satu banding sejuta alias langka banget!”“Kamu gencar banget promosiin aku, Sha,” canda Rinai kepada Shahia.“Abisnya aku kan nggak mau Mbak Rinai ketemu laki-laki yang nyia-nyiain Mbak gitu aja. Jadi aku cuma kenalin dan promosiin
“Mbak Rinai nggak nyesel?” Shahia bertanya dengan sangsi. “Ini si Bangsat-nya VIP lho, Mbak. Belum terlambat kok kalau Mbak mau ganti orang.”Dengan dramatis (sepertinya Rinai mulai tertular Ksatria), Rinai menggeleng. “Aku juga pengennya gitu, Sha. Tapi gimana ya….”“Nai!” Tanpa Ksatria sendiri sadari, ia sudah melotot dan merajuk pada Rinai. “Kok kamu gitu sih sama aku?”“Abisnya gimana ya, Sat…. Sebenernya kan yang dibilang Shahia ada benernya.” Rinai sengaja menoleh pada Ksatria yang masih duduk di sampingnya. “Ini Ksatria lho, si Bangsat-nya VIP Club.”Ksatria mendengus pelan. Lama kelamaan kalau ia biarkan Shahia lebih lama lagi bersama dengan Rinai, hubungannya dengan Rinai bisa bubar jalan karena tiba-tib
“Orang kalau mau kencan biasanya pakai baju apa?”“Nggak pakai baju?”“Orang gila!” maki Rinai kepada Shua yang terhubung dengannya melalui sambungan telepon.“Serius, Nai, skin to skin bagus juga lho.”“Ah, capek ngomong sama kamu!” desis Rinai kesal.Panggilan itu sudah terhubung sejak setengah jam yang lalu dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Karena malas memegang ponsel sambil mondar-mandir, Rinai mengaktifkan mode loudspeaker.Hari masih cukup pagi, kalau Rinai tak ada janji, ia mungkin masih tertidur sampai sekarang. Tapi hari ini adalah jadwal kencannya dengan Ksatria dan tiba-tiba saja, Rinai tidak tahu harus memakai pakaiannya yang mana.
Rinai hanya memutar kedua bola matanya begitu mendengar ucapan Ksatria dan masuk ke mobil lelaki itu. Ksatria sendiri tertawa melihat reaksi Rinai, kemudian mulai mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah.Di mobil, Rinai sibuk mengganti stasiun radio dan berhenti di Prambors. Setelahnya, Rina bertanya kepada Ksatria, “Kita mau ke mana emangnya hari ini, Sat?”“Sebenernya aku nggak tahu kita enaknya ke mana, Nai,” aku Ksatria seraya. “Kupikir kita harus ke tempat yang belum pernah kita datengin karena ini kencan pertama kita secara resmi. Semalam aku tidur sampai jam tiga buat nyari ide, nggak ketemu-ketemu.“Aku pengennya hari ini ya spesial buat kamu, tapi ternyata minimnya pengalamanku bener-bener bikin aku nggak bisa kepikiran tempat kencan yang ideal buat kamu.”
“Masih disayangkan juga ya kenapa Rinai mau sama si Bangsat ini.” Kalu mengusap dagunya dengan perlahan, terlihat dramatis apalagi ditambah dengan gelengan kepalanya yang dibuat sepelan mungkin.“Iya, bener. Kayak nggak ada laki-laki yang lebih baik aja. Si Ksatria plusnya juga cuma di tampang doang. Kelakuan sih minus,” imbuh NaraYogas mengangguk setuju atas pernyataan Nara barusan. Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya untuk ikut bicara, Ksatria sudah lebih dulu menjejalkan makanan ke mulut salah satu sahabatnya tersebut.“Kalian tuh kayaknya yang paling sebel aku bisa bareng sama Rinai.” Ksatria memicingkan matanya ketika kembali duduk di sofa, berhadapan dengan Yogas, Nara, dan Kalu.Badai yang duduk di sampingnya hanya tertawa. Hari ini mereka berlima berkumpul di rum
“Kamu mau makan siang sama siapa?”“Al,” jawab Rinai dengan ringan. “Nggak usah pura-pura nggak denger ya. Nanti jadi susah denger beneran, baru tahu rasa.”“Bukan pura-pura nggak denger, tapi susah menerima kenyataan.”“Lebay,” cibir Rinai. “Lagian kamu kan mau ke The Clouds katanya.”“Iya sih, emang kamu nggak mau ikut?”“Nggak deh, aku udah janji sama Al dari Sabtu kemarin. Nggak enak kalau dibatalin.”Ksatria mendengus pelan dan segera menggandeng lengan Rinai padahal mereka masih berada di lorong.“Ih, Sat!” Rinai segera melotot. “Nanti kelihatan yang lain. Lepas, nggak?!”
“Aku akan cepet-cepet cari cara untuk buktiin kalau emang Aleah dalangnya.”Melihat tekad di mata Ksatria, Rinai malah menjadi khawatir. “Iya, tapi kamu juga harus hati-hati lho.”“Aku akan selalu hati-hati, tapi keselamatan kamu kan lebih penting, Nai,” timpal Ksatria seraya meraih tangan Rinai dan menggenggamnya. “Mau mampir McD nggak? Katanya bosen sama makanan The Clouds.”“Mau!” Rinai segera menjawab dengan antusias begitu ditawari drive thru McD oleh Ksatria. “Aku kan sering ke The Clouds karena kamu, wajar dong aku bosen sama makanannya. Bertahun-tahun ke tempat yang sama, Sat….”Saking seringnya menemani Ksatria ke The Clouds, Rinai bahkan sampai hafal semua yang ada di menu The C
"Rinai beneran ninggalin kamu berdua sama Rengga?""Iya." Ksatria menyuapi Rengga yang menerima suapannya dengan riang. "Kenapa?""Wah... kasihan Rinai nanti pas pulang," jawab Yogas dari seberang sana. "Menurut pengalamanku setelah lihat temen-temen kita, bapak dan anak kecil yang ditinggal sama istrinya pasti akan bikin kekacauan.""Aku nggak bikin kekacauan," tampik Ksatria, setengah keki. Enak saja Yogas bicara seperti itu! Maksudnya Ksatria dan Rengga bisa jadi biang onar sampai Rinai pusing, begitu?!“Lagipula kamu juga ditinggal Shua!” sambung Ksatria. “Nggak usah jemawa gitu!”“Tapi aku nggak pernah separah Badai dan Ipang.”“Halah, itu kan karena Tuhan belum nunjukin aibmu aja!”
"Berhenti cengar-cengirnya, bisa nggak? Kamu nggak takut dikira kurang waras sama orang lain kah?"Ksatria menggeleng tanpa pikir panjang. Tangannya meraih tangan Rinai yang ada di atas meja, tapi perempuan itu dengan iseng menarik tangannya menjauh dari Ksatria."Aku nggak takut, soalnya nggak peduli kata orang." Ksatria masih saja nyengir saat menjawab Rinai. "Aku seneng banget.""Aku juga."Ah, senang sekali mendengar dari bibir Rinai secara langsung kalau ia juga senang.Ksatria merekam senyum di wajah Rinai dengan latar belakang dinding Huize Trivelli yang dipenuhi figura dan hiasan dinding lawas lainnya.Sore ini Rinai mengajak Ksatria ke sebuah restoran yang bisa dibilang cukup tersembunyi di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Restor
Rinai melangkah keluar dari lift dengan perasaan rindu. Wah, ternyata ia lumayan rindu datang dan bekerja di sini, di Heavenly & Co. Dari perusahaan keluarga Ksatria ini juga, tumbuh kecintaan Rinai terhadap wewangian dan semua proses menyangkut wewangian."Mbak Rinaiii!"Rinai terkekeh melihat bagaimana hebohnya Fiona saat melihat dirinya. Ia merentangkan tangan dan Fiona yang segera keluar dari mejanya langsung menyambut Rinai ke dalam pelukan."Kangen deeeh," kata Fiona sambil mengeratkan pelukannya pada Rinai. Rinai sendiri tertawa mendengarnya. "Apa kabar? Sehat, Mbak?""Sehat kok. Kamu sendiri?""Sehattt, Bos Kecil jarang lembur soalnya, hehehe."Rinai tertawa dan merenggangkan pelukan mereka. Setelah menikah dengan Ksatria, h
Kehidupan sebagai orangtua baru bukanlah hal yang mudah.Ksatria belajar banyak hal dari pengalamannya selama enam bulan ini bersama Rengga, anak pertamanya dengan Rinai. Pengalaman Ksatria saat ikut menyaksikan bagaimana tumbuh kembang anak-anak sahabatnya, nyatanya hanya sebagian kecil daripada apa yang harusnya ia lakukan."Rengga ganteng, anaknya Papa yang ganteng juga... tidur yuk...." Ksatria masih menimang-nimang tubuh mungil Arengga Cakra Abimayu di dalam dekapannya. Anaknya yang biasa dipanggil Rengga itu masih menangis, meski tangisannya sudah tidak sekeras tadi. "Kan minum susu udah... dibawa keliling kamar udah... sekarang waktunya bobo yuk? Ikut Mama tidur... siapa tahu ketemu di mimpi."Omongan panjang lebar Ksatria kali ini ternyata berhasil meredakan tangis anaknya. Kini, tangisan Rengga semakin memelan. Anaknya itu mulai mengerj
Mungkin jika dibandingkan dengan lelaki sebayanya, Ksatria telah melalui hari persalinan lebih banyak dibanding orang-orang di luar sana.Ksatria pernah beberapa kali ikut menemani sahabatnya yang menanti kelahiran buah hati mereka dengan harap-harap cemas. Jadi ia sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bagaimana biasanya seorang calon ayah menghadapi situasi seperti ini.Dulu, Ksatria akan mencatat di dalam hatinya bahwa ia akan melakukan A atau tidak akan melakukan B kalau suatu hari ia akan mendampingi istrinya melahirkan. Tapi lihatlah saat ini….Pengetahuan yang Ksatria simpan, entah hilang ke mana saat harinya sebagai calon ayah baru datang.“Kacau banget kelihatannya.” Yogas datang sambil tertawa. Tangan lelaki itu menyodorkan segelas kopi hangat yang langsung d
Ksatria menatap nanar ke arah laptopnya, di mana terpampang fotonya dan Rinai di SUBO saat mereka masih sebagai kekasih. Lelaki itu mengembuskan napasnya, sebal karena lima menit yang lalu, formulir untuk RSVP ke SUBO besok telah ditutup alias reservasinya sudah penuh.Padahal Ksatria ingin sekali ke sana. Sejak semalam lelaki itu sudah membayangkan bagaimana indahnya makan siang dengan menu yang tidak ia tahu apa (karena memang begitu sistem di Subo, mereka tidak punya menu pasti), sambil mendengarkan lagu-lagu gubahan Glenn Fredly dan The Bakuucakar lewat piringan hitam.Hal itu memang sudah pernah ia dan Rinai lakukan. Tapi Ksatria tiba-tiba terpikirkan ingin mengulangi lagi salah satu momen kencan manisnya dengan sang istri."Pak Ksatria....""Hmmm?" Ksatria bergumam asal tanpa mendongak untuk me
Menjelang ulang tahun Rinai, Ksatria selalu excited dan bingung di waktu yang sama.Hadiah apa yang kira-kira dibutuhkan dan akan disukai Rinai? Apa Rinai akan tersenyum lebar saat menerima hadiah darinya?Pertanyaan-pertanyaan sejenis masih sering mampir di kepala Ksatria, meskipun sudah puluhan kali ia mencari hadiah untuk Rinai alias sudah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan momen yang sama.Siapa bilang Ksatria tidak pernah berpikir keras jika harus memberikan hadiah untuk sahabat slash istrinya itu?Karena selalu ingin memberikan yang terbaik dan sebisa mungkin memang berguna juga disukai Rinai, Ksatria selalu berakhir dengan kebingungan sendiri dan berpikir sangat keras untuk waktu yang lama.Seperti sekarang ini.
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria melangkah menuju rumah Rinai sambil berpikir mau makan siang dengan apa hari ini—ayam penyet sambal cabai hijau atau soto daging dengan tambahan kikil dan babat yang terlihat tidak sehat, tapi melenakan.Baru sampai di teras, pintu rumah Rinai tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terlihat cantik dengan midi skirt hitam dan blus longgar berwarna baby pink. Ada pita di rambutnya dan hal itu memberi tahu Ksatria kalau sahabatnya ini sedang senang.Iya, Rinai kerap kali mengenakan jepitan berhias pita tersebut hanya saat sedang senang.“Baru mau kupanggil,” sapa Ksatria. “Udah siap? Yuk.”“
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria mengetukkan jemarinya di stir mobil, mencoba bersabar menunggu Rinai yang belum juga keluar dari rumahnya. Lelaki itu mengecek jam di tangannya. Memang sih, masih ada satu setengah jam lagi sebelum kelas dimulai. Tapi biasanya Rinai sudah akan menyuruh Ksatria menyetir ke kampus dengan alasan tidak ingin datang mepet dan mendapat kursi tidak strategis di kelas."Ke mana sih dia?" gerutu Ksatria. Lelaki itu akhirnya tidak tahan menunggu dan bergegas keluar dari mobilnya yang masih parkir di halaman rumah.Pandangan Ksatria mengedar ke sekitar dan setelah merasa aman (tidak ada pegawai rumahnya yang berkeliaran di sekitar), Ksatria mengeluarkan kotak rokok dan lighter-nya dari saku celana jeans