“Mbak Rinai cantik deh hari ini.”
Pujian yang datang dari bibir Shahia, adik Ksatria, membuat Rinai tersenyum gugup. “Eh?” responsnya spontan. “Thank you, Sha.”
“Mbak, mau blind date sama temenku nggak? Temenku ganteng lho,” tawar Shahia dengan enteng dan tak menyadari kalau kakaknya yang baru saja tiba di teras, langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar tawaran tersebut.
Rinai sendiri terkejut karena ditawari blind date pagi-pagi seperti ini.
Memang sih, menurut ramalan zodiak yang tadi sempat Rinai baca ketika sarapan, tampil berbeda hari ini akan membuat suasana hatinya lebih baik dan siapa tahu membawa keberuntungan untuknya.
Maka dari itu Rinai yang biasanya mengenakan setelan blazer dan celana panjang, hari ini memilih untuk menggunakan rok yang dipadu dengan tweed blazer yang jarang ia gunakan.
Dan benar saja, hari ini dijatuhi tawaran yang entah bisa disebut sebagai sebuah keberuntungan atau bukan.
“Blind date?” tanya Rinai untuk memastikan. “Sama siapa?”
Shahia baru akan menjawab ketika Ksatria buru-buru menengahi mereka. “Nggak, nggak ada yang namanya blind date!”
Shahia melirik kakaknya dengan sinis. Padahal Shahia sudah berusaha bangun lebih pagi dari biasanya untuk menghampiri Rinai di halaman rumahnya sebelum perempuan itu berangkat kerja.
“Apa sih, Bang? Jangan rese deh.”
Shahia tahu kalau Rinai setiap hari berangkat kerja bersama dengan kakaknya. Maka dari itu ia menunggu Rinai masih dengan piyamanya di halaman rumah.
Rencana blind date ini sudah muncul di benaknya sejak hari pertama ia tahu Rinai (yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu) kembali ke Jakarta.
“Rinai kan baru balik ke Jakarta, biarin dia adaptasi dululah di sini,” sergah Ksatria yang sebenarnya bingung harus beralasan apa untuk mencegah upaya adiknya tersebut. “Kamu jangan ganggu Rinai, Sha.”
“Adaptasi?” Shahia tertawa mengejek. “Bang, Mbak Rinai tuh dari lahir juga udah di Jakarta. Dia ke Jogja cuma setahun, nggak bikin Mbak Rinai lupa sama semua hal di Jakarta.” Kemudian Shahia beralih pada Rinai. “Iyakan, Mbak?”
“Iya.” Rinai menjawab dengan jujur dan senang rasanya melihat Ksatria yang semakin kesal.
Sejak dulu hubungan Ksatria dan Shahia memang seperti Tom & Jerry—lebih banyak ributnya dibanding damainya. Sebagai anak tunggal, Rinai sangat menikmati interaksi antara Ksatria dan Shahia.
Walaupun sekarang yang dijadikan topik perdebatan mereka adalah dirinya sendiri.
“Pokoknya nggak ada blind date apalah itu. Rinai sibuk!”
“Kalau Abang ngasih kerjaan ke Mbak Rinai lebih dari jam dan beban kerja yang seharusnya, aku aduin ke Disnaker lho.”
Kesal, Ksatria berusaha menoyor Shahia tapi adiknya itu menghindar dengan cepat.
Shahia pun mendekat pada Rinai dan cepat-cepat menggandeng lengan Rinai supaya kakaknya itu tak berani macam-macam. “Mau nggak, Mbak? Pikirin aja dulu, orangnya baik kok, nggak neko-neko juga.”
“Jangan mau, Nai.” Kali ini Ksatria beralih pada Rinai. “Kalau dia kenalan Shahia berarti dia kan berondong.”
“Emang salah kalau sama berondong? Yang penting setia, bukan buaya!” elak Shahia yang kemudian menjulurkan lidahnya kepada Ksatria, meledek sang kakak.
Shahia pun kembali bicara pada Rinai. “Ini bukan berondong kok, Mbak. Seumuran sama Mbak Rinai, dia senior di kantorku.”
“Ah, begitu….” Rinai mengangguk kecil. “Hm, aku pikirin dulu deh ya, Sha.”
“Nai!”
“Beneran, Mbak?” Shahia berusaha menendang kakaknya yang langsung berseru tak terima.
Rinai kembali mengangguk. “Aku pikir-pikir dulu ya.”
“Oke.” Dengan centil, Shahia mencium pipi Rinai dan segera kabur dari halaman sebelum dijitak Ksatria.
Tinggallah Ksatria dan Rinai. Ksatria menatap Rinai dengan tak percaya dan Rinai menatap Ksatria dengan bingung.
“Kok melamun?” tegur Rinai. Rinai mengedikkan kepalanya ke arah mobil Ksatria yang sudah siap dengan sang sopir yang sudah ada di dalam. “Ayo, masuk. Nanti kena macet.”
Melihat Ksatria yang tak kunjung bergerak, Rinai hanya berdecak pelan dan masuk lebih dulu ke mobil. Seperti ada yang menjentikkan jari untuk membuyarkan lamunannya, Ksatria segera bergerak dan menyusul Rinai.
“Nai, kamu beneran mau blind date?” tanya Ksatria langsung.
“Masih kupikirin sih,” jawab Rinai dengan tak acuh. “Menurut ramalan zodiak hari ini, Leo yang single berpotensi ketemu pasangan baru yang cocok. Mungkin aja kan orangnya itu senior Shahia?”
“Hah, bullshit,” umpat Ksatria. “Mending kamu nggak usah ikut blind date itulah, si Shahia kan magnet laki-laki nggak bener. Makanya susah jagain dia ya karena entah kenapa yang ketarik sama dia laki-laki yang aneh semua.”
“Mungkin karena kakaknya nggak bener, jadi dia ketemunya sama yang nggak bener juga.”
“Sial.”
Bisa jadi sih, pikir Ksatria.
“Pokoknya kamu jangan ikut blind date itu, tolak aja,” perintah Ksatria lagi. “Jangan ngerasa nggak enak nolak karena yang minta Shahia.”
Rinai mendelik kesal karena Ksatria tahu apa yang ada di pikirannya. Sebenarnya Rinai agak takut bertemu orang baru dengan niatan sejak awal untuk berkencan. Rinai pun merasa tak enak pada Shahia karena rasanya selama ini ia tak pernah menolak apa pun yang diminta Shahia.
Yah, memang baru kali ini juga Shahia memintanya ikut blind date yang sengaja dia rancang untuk Rinai.
Ksatria yang sejak tadi mengoceh langsung berhenti sejenak saat sadar kalau Rinai malah sedang melamun. “Nai, dengerin aku nggak sih?” tanyanya dengan kesal.
“Berhenti merengek, Sat,” gerutu Rinai. “Udahlah, nggak usah dipikirin. Itu urusanku.”
Ksatria memicingkan mata, tak terima dengan jawaban Rinai. “Kamu lebih percaya sama ramalan zodiak daripada aku?”
Rinai mendengus karena menahan tawanya. Ksatria kalau di depan orang lain, apalagi perempuan, bisa saja terlihat cool dan menyenangkan.
Tetapi, di mata Rinai, Ksatria lebih sering bersikap seperti balita yang tak berhenti merengek kalau mainannya diambil saat ia sedang asyik bermain. Sikapnya pagi ini benar-benar menggambarkan hal tersebut.
“Iya, aku lebih percaya ramalan zodiak daripada kamu untuk beberapa hal.”
Ksatria berdecak kesal. Setelah semua tawarannya ditolak mentah-mentah, Rinai bahkan mau mempertimbangkan tawaran blind date adiknya yang tak jelas itu?
Rinai benar-benar tak adil!
“Kenapa kamu nggak langsung tolak tawaran itu kayak kamu nolak aku?” tanya Ksatria pada akhirnya.
Sebenarnya niatan Rinai untuk menerima tawaran Shahia hanya 40%.
Akan tetapi, melihat bagaimana Ksatria terus memerintahnya untuk menolak tawaran tersebut sedangkan kemarin Ksatria sendiri bersenang-senang dengan Scarlett, membuat Rinai jadi berpikir lagi.
Untuk apa juga ia mempertimbangkan larangan Ksatria? Toh kemarin—meskipun sebentar, pastilah Ksatria bersenang-senang dengan Scarlett kan?
Hal itulah yang kemudian mendorong Rinai untuk berkata, “Karena laki-laki yang ditawarin Shahia bukan kamu dan aku yakin, sebagai adiknya buaya darat kayak kamu, Shahia nggak akan nawarin laki-laki sejenis kayak kamu buat aku.”
Ksatria mendesis kesal. Sial kuadrat! Ia takkan membiarkan Rinai kencan dengan lelaki tak dikenal itu!
Bagaimanapun caranya!
***
Saat pertama kali ditugaskan menjadi asisten pribadi Ksatria, Rinai tahu kalau ia tidak hanya menjadi asisten sahabatnya—tapi juga mengasuh balita yang terjebak dalam tubuh lelaki dewasa.
“Are you still mad at me just because I want to have a blind date?” tanya Rinai pada Ksatria ketika siang ini mereka makan siang bersama seperti biasa.
Sudah dua hari sejak Shahia menawarinya blind date dan akhirnya Rinai menyetujui rencana tersebut. Ksatria yang tahu tentu saja kesal, ia pun mendiamkan Rinai selama dua hari penuh.
Mereka tetap pergi dan pulang bekerja bersama, makan siang bersama juga, tapi Ksatria hanya mengajaknya bicara jika benar-benar diperlukan.
Benar-benar kekanakan khas Ksatria Auriga Abimayu.
“Aku nggak marah, cuma kesel.” Sebelum Rinai sempat menyahut, Ksatria sudah lebih dulu menambahkan, “Itu beda.”
“Whatever.” Rinai memutar kedua bola matanya. Rinai memilih untuk berkonsentrasi mengelap sendok dan garpunya dengan tisu sebelum kemudian mulai makan.
Ksatria kembali menatap sahabatnya dengan kesal. Dari yang ia dengar di meja makan saat sarapan tadi, hari ini Rinai akan pergi bertemu dengan pasangan blind date-nya.
Namanya Atlas dan Ksatria langsung berjengit ketika mendengarnya tadi pagi.
Kenapa namanya tidak sekalian ‘yellow page’ seperti buku yang dulu berisi nomor telepon dan tebalnya bisa untuk mengganjal pintu?
Yah, untuk saat ini Ksatria lupa kalau namanya juga sama anehnya.
“Jadi kamu beneran sore nanti bakal ketemu sama dia?” tanya Ksatria pada akhirnya.
Ksatria tak berselera makan dan memilih untuk mengabaikan makan siang yang sudah dipesan oleh Rinai sebelumnya. Hari ini ia memang memilih untuk makan siang di ruangannya dan tentu saja mengajak Rinai.
Selain karena terbiasa makan berdua dengannya, Ksatria juga ingin mencari tahu keputusan akhir Rinai. Siapa tahu perempuan itu akan berubah pikiran di detik-detik terakhir.
“Beneran,” jawab Rinai sambil melirik menu Warung Leko yang tadi ia pesan sesuai request Ksatria. “Kamu nggak makan? Itu iga penyet kesukaan kamu lho.”
“Males,” jawab Ksatria singkat.
Rinai melirik Ksatria, tapi tak berkomentar banyak. “Awas ya kalau kamu ngerjain aku dengan ngasih pekerjaan sampai malam. Aku nggak terima sikap kekanakan kamu yang kayak gitu.”
“Kamu pikir aku selicik itu?”
“Iya!” tandas Rinai tanpa ragu.
Ksatria merengut sebal. “Kok kamu mau sih ketemu sama si peta dunia itu?”
Rinai mengabaikan bagaimana Ksatria mengubah nama Atlas menjadi peta dunia. Suka-suka Ksatria saja. “Kenapa aku nggak mau? Nambah relasi itu juga perlu. Kamu juga relasinya kan banyak banget tuh sampai nggak kehitung.”
“Itu beda, Nai.”
“Beda dari mananya,” cibir Rinai. “Udah ah, nggak usah berisik soal blind date-ku nanti. Itu makan dong makananmu, Sat!”
“Suapin!”
Rinai kembali memutar kedua bola matanya. “Gimana kalau iganya buat aku?”
Rinai akan selalu jadi Rinai, yang mengutamakan makanan dan menaruh makanan di atas persahabatan mereka.
Ksatria mendengus kesal dan mengambil potongan iga miliknya, lalu menaruhnya di atas nasi Rinai. “Makan yang banyak, biar kekenyangan, terus ketiduran sampai besok pagi,” gerutu Ksatria.
Rinai tak ambil pusing dengan ocehan Ksatria dan memakan iga yang diberikan Ksatria padanya. Ksatria sendiri akhirnya ikut makan, meskipun yang tersisa di piringnya tinggal nasi dan cah brokoli.
Usai makan siang, Rinai keluar dari ruangan Ksatria dan mereka kembali bekerja seperti biasa. Siang itu Rinai harus menemani Ksatria meeting dengan tim R&D menyangkut produk baru yang rencananya akan diluncurkan paling lambat di akhir tahun ini.
Rapat itu berlangsung selama dua jam, karena Ksatria membahas detail rencananya untuk produk tersebut. Hanya saat bekerja, Rinai bisa melihat Ksatria bersikap dewasa dan sesuai umurnya.
“Kamu dijemput di sini sama si peta dunia?” tanya Ksatria begitu meeting tersebut selesai.
Rinai mengangguk sembari mengetik beberapa kalimat lagi sebelum menyudahi kegiatannya. “Iya.”
“Oh, oke.”
Rinai langsung melirik Ksatria dengan curiga. “Kamu nggak berencana bikin aku lembur kan?”
“Nggak,” jawab Ksatria. “Kan udah kubilang, aku nggak selicik itu.”
Rinai tahu kalau Ksatria sebenarnya selicik itu. Tetapi, ini sudah kedua kalinya lelaki itu membantah hal tersebut.
“Beneran?”
“Beneran.”
“Janji?” Rinai menyodorkan kelingkingnya, mengajak Ksatria berjanji seperti biasa yang mereka lakukan.
Ksatria menautkan kelingkingnya ke kelingking Rinai. “Aku janji.”
Mungkin… kali ini Rinai bisa percaya kalau Ksatria tidak akan melakukan apa pun yang akan membuat kencannya gagal.
***
Ksatria memang berjanji tidak akan membuat Rinai lembur hanya karena untuk menghalangi perempuan itu blind date dengan si peta dunia.
Tapi Ksatria tidak berjanji untuk tidak mengikuti Rinai dan lelaki itu seperti seorang penguntit.
“You’re so pathetic,” ejek Kalu pada Ksatria.
Ksatria langsung melotot. “I’m not.”
Kalu mendengus malas. Siang tadi dia dihubungi oleh Ksatria untuk menemaninya makan malam berdua. Awalnya Kalu menolak, aneh sekali Ksatria mengajaknya makan malam berdua.
Namun pikiran itu terbantahkan ketika dengan malas Ksatria mengatakan padanya, “Aku mau buntutin si Rinai kencan sama laki-laki nggak jelas yang dikenalin Shahia ke dia.”
Dan di sinilah mereka, mengintai lelaki bernama Atlas dan Rinai berjalan bersisian di Senayan City. Sore tadi Kalu sampai di Heavenly & Co setengah jam sebelum Rinai turun ke lobi dan masuk ke BMW milik lelaki bernama aneh itu.
Kalu yang ditugaskan untuk bersiap tidak jauh dari pelataran lobi, langsung mengamati mobil Atlas. Tak lama kemudian Ksatria muncul dengan napas terengah-engah dan mereka mengikuti mobil Atlas dari kejauhan.
“Sebenernya ngapain kita ngikutin Rinai?” tanya Kalu saat mereka berdua menyusup ke dalam rombongan anak muda supaya tak terlihat masuk ke Social Garden, tempat yang Atlas dan Rinai pilih untuk makan malam.
Kalu dan Ksatria duduk di tempat yang agak jauh dari meja yang dipilih pasangan blind date tersebut. Namun dari posisinya saat ini, Ksatria masih bisa mengamati Rinai. Posisinya saat ini duduk menghadap punggung Rinai supaya Rinai tak bisa melihat langsung ke arahnya.
“Buat mastiin kalau dia nggak kenapa-kenapa.”
“Orang itu kelihatannya baik,” komentar Kalu. Sejak tadi ia mengamati Atlas, lelaki itu pintar menjaga sikap dan tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia adalah lelaki kurang ajar.
“Laki-laki di sekitar Shahia tuh rata-rata nggak bener,” bantah Ksatria. “Kalau yang ini juga nggak bener gimana?”
“Biarin ajalah Rinai nge-date, kan udah setahun putus juga,” imbuh Kalu lagi. “Rinai udah dewasa, Sat, nggak perlu diawasin kayak gini. Kalau kamu suka sama Rinai, harusnya bilang. Jangan ngikutin kayak pecundang begini.”
Ksatria memicingkan matanya begitu tatapannya beralih dari punggung Rinai kepada Kalu yang duduk di hadapannya.
“Siapa yang pecundang? Aku justru lagi berbaik hati jagain sahabatku.”
“Ini sih bukan karena kamu sahabatnya dia,” bantah Kalu.
“Sok tahu!”
“Akan lebih logis kalau kamu ngaku kamu suka Rinai, Sat,” tandas Kalu sambil tersenyum mengejek. “Tapi kamu nggak mau ngaku, karena kamu nggak bisa ngasih dia hubungan yang layak atau bahkan komitmen kayak laki-laki di luar sana—atau bahkan kayak si Atlas itu.”
Ksatria mengepalkan tangannya di atas meja dengan sangat erat. Mungkin apa yang dikatakan Kalu memang benar.
Karena itulah untuk pertama kali dalam hidupnya, Ksatria merasa insecure dengan lelaki lain yang lebih mungkin memberi hubungan dan kehidupan yang lebih baik, daripada apa yang bisa ia tawarkan.
Ketika Kalu baru saja akan memesan minuman sembari menunggu Ksatria meninjunya karena tersinggung atau menangis karena akhirnya punya sedikit kewarasan, ponsel Ksatria bergetar singkat layarnya menampilkan satu pesan singkat di W******p dari Rinai.
Rinai Bukan Merek Kompor: Aku tahu kamu ngikutin aku dan kalau dalam setengah jam ke depan kamu nggak pergi, aku nggak akan mau ngomong sama kamu minimal selama sebulan.
***
Satu hal yang Rinai sadari ketika sudah bertemu dengan Atlas adalah dia benar-benar berbeda dari Ksatria, bahkan dari mantan tunangannya dulu.
Terlepas dari namanya yang unik, Atlas adalah laki-laki baik yang sopan, lucu, dan pintar.
Sebenarnya, tanpa diketahui Ksatria, Rinai dan Atlas sudah saling menghubungi satu sama lain sejak sehari sebelum mereka bertemu. Shahia memberikan nomor teleponnya pada Atlas supaya mereka lebih mudah untuk janjian bertemu di kantor Rinai.
“Kamu udah bilang papamu kalau hari ini pulang agak malam karena ketemu aku?”
Suara berat Atlas yang menenangkan itu mengembalikan Rinai dari lamunannya. “Udah kok, tenang aja.”
“Nanti aku turun sebentar untuk minta maaf ke papamu karena kita pulang kemaleman ya.”
“Eh?” Mereka memang pulang agak terlambat karena terjebak kemacetan, tapi kalau dipikir-pikir, baru Atlas yang dengan beraninya mengatakan ingin bertemu ayahnya di pertemuan pertama mereka.
"Nggak usah nggak apa-apa kok, Al.” Rinai memanggil Atlas dengan nama panggilan yang disarankan Shahia. “Papaku nggak bakal marah kok, toh tadi aku udah chat dia.”
Atlas yang masih menyetir menoleh dan tersenyum pada Rinai. “Kecepetan ya ketemu papa kamu sekarang?”
Rinai tersenyum malu. Ia memang tidak biasa mempertemukan ayahnya dan lelaki yang baru ia kenal atau baru dekat dengannya seperti Atlas.
Meskipun sang ayah mewanti-wanti kalau Rinai harus memperkenalkan semua laki-laki di sekitarnya, tapi Rinai baru mau mengenalkan mereka jika ia dan lelaki itu sudah lebih dari lima kali bertemu.
Atau sederhananya, ketika ia yakin kalau lelaki itu tidak sekadar bertemu sekali lalu menghilang setelahnya.
Melihat respons Rinai, Atlas tertawa pelan. “Oke, kalau gitu, aku ngikutin enaknya kamu aja.”
“Thank you, Al.”
“Anytime,” sahut Atlas ringan. Mobilnya berhenti di depan pagar kediaman Abimayu. “Bener di sini?”
“Bener kok.” Rinai melepas seat belt-nya, lalu menoleh pada Atlas. “Makasih ya buat hari ini.”
“Apa kamu enjoy pertemuan pertama kita?” tanya Atlas.
“Enjoy banget,” jawab Rinai jujur. “Kamu gimana?”
Rinai tak berekspektasi apa pun mengenai pertemuannya dengan Atlas, tapi siapa sangka dari makanan, film, lagu, buku, hingga hal-hal kecil lainnya di antara mereka ternyata sangat cocok.
Rinai bahkan sampai lupa waktu saat mengobrol dengan Atlas.
“Aku bahkan mau nawarin kamu ketemu sama aku lagi untuk lunch.”
Jawaban jujur Atlas membuat Rinai terkekeh. “Sure.”
“Okay,” sahut Atlas yang tidak menyembunyikan kegembiraannya.
“Hati-hati di jalan ya.” Rinai membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum menutup pintunya, ia menambahkan, “Kasih tahu aku kalau kamu udah sampai di rumah ya.”
“Oke, nanti aku akan hubungin kamu. Good night, Nai.”
“Good night, Al.”
Rinai menutup pintunya dan melambaikan tangan pada Atlas yang sengaja membuka jendela mobilnya selama beberapa saat, sebelum kemudian melaju meninggalkan kediaman tersebut.
Awalnya Atlas ingin mengantar sampai dalam, tapi Rinai memintanya hanya sampai pagar. Selain karena tak ingin mengganggu penghuni lain, Rinai juga ingin menikmati waktunya untuk berpikir selagi berjalan dari depan pagar sampai rumahnya.
Satpam rumah membukakan pagar untuk Rinai sembari menggoda Rinai supaya lain kali pacarnya itu diizinkan saja masuk sampai halaman. Rinai membalasnya dengan tawa dan mengucapkan terima kasih.
Keluarga Abimayu memang tidak membatasinya, semua temannya diperbolehkan masuk sampai halaman layaknya tamu yang lain, karena akses ke rumah itu hanya ada satu, yaitu pagar depan tadi.
Rinai sendiri berjalan menelusuri halaman depan rumah yang luas tersebut. Karena penerangan di sana selalu terang, maka Rinai tidak pernah takut berjalan sendirian.
Selain lewat pintu penghubung di dapur, akses ke rumahnya juga bisa ditempuh melalui jalan kecil di samping garasi yang langsung terhubung ke halaman belakang.
Ketika melihat mobil Ksatria di halaman, secara otomatis Rinai langsung merengut sebal. Rinai tahu ia dibuntuti Ksatria sejak masih jalan-jalan di sekitar Senayan City.
Awalnya Rinai tentu saja tidak sadar, tapi ketika ia tak sengaja menoleh ketika di eskalator, matanya menemukan dua orang yang ia kenal dari jarak cukup jauh.
Keduanya sedang berdiskusi alot entah tentang apa dan Rinai buru-buru kembali menghadap depan, supaya keduanya tak tahu kalau Rinai sudah menyadari kehadiran mereka.
Dasar nyebelin, gerutu Rinai sembari berjalan ke samping garasi, di mana terdapat celah kecil yang hanya muat untuk dilalui satu orang karena merupakan celah antara dinding garasi dengan dinding tinggi pembatas rumah.
“Kamu baru pulang jam segini?”
“Hah?!” Rinai terlonjak kaget karena ia yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, tidak menyadari kalau Ksatria menunggu di jalan kecil tersebut.
Ksatria berdiri bersandar di dinding dan masih mengenakan pakaian kerjanya, minus jas, dasi, dan dua kancing teratas kemejanya yang telah terbuka.
Begitu melihat Rinai, Ksatria langsung menegakkan tubuhnya. “Ngapain aja kamu? Kok pulangnya selarut ini?”
“Ini bahkan belum jam dua belas malam.” Rinai mendengus pelan. “Udah deh, sana, minggir. Aku mau lewat.”
“I don’t like him,” tandas Ksatria. “Si peta dunia itu kelihatan kayak ada hidden agenda sama kamu.”
“Justru serem kalau kamu suka dia.” Rinai mulai bersedekap dada, kesal juga karena Ksatria tak kunjung menyingkir dari hadapannya. “Kalau komentarmu ini dikasih setelah kamu lama kenal dia kayak kamu sama tunanganku dulu, aku masih bisa terima. Tapi omongan kamu tadi justru terdengar nggak masuk akal.”
Ksatria memicingkan matanya. Ia sudah berada di teras rumahnya sejak setengah jam yang lalu, kemudian berpindah ke sini sejak melihat sosok Rinai berjalan dari pagar rumahnya.
Ksatria tidak bisa tidur—lebih tepatnya, ia tak bisa berbuat apa-apa karena pikirannya selalu tertuju pada Rinai dan Rinai lagi. Ksatria tidak tenang dan semakin tidak senang ketika menyadari kalau Rinai berjalan sembari tersenyum sendiri.
“Emangnya kamu seneng jalan sama dia?” Meski enggan mendengar jawabannya, pada akhirnya Ksatria tetap menanyakan hal tersebut.
“Seneng,” jawab Rinai dengan santai. “Dia orangnya baik, lucu, pinter juga, dan apa pun yang kita omongin itu nyambung.”
“Kita kalau ngobrol juga nyambung.”
“Ya jelas nyambung, kita temenan dari bayi!” gerutu Rinai. “Ini bukan pertama kalinya aku deket sama laki-laki, jadi berhenti bertingkah kekanakan begini, Sat.”
“Tapi ini pertama kalinya ada laki-laki yang deketin kamu saat aku bilang aku mau kamu.”
“Kamu bilang kamu mau tidur sama aku,” koreksi Rinai. “Udah deh, Sat, aku capek, mau tidur. Minggir!”
Ksatria menatap Rinai dengan tajam. “Kok kamu nggak mau kasih kesempatan ke aku kayak kamu ngasih kesempatan ke dia sih? You’re unfair, Nai.”
“Unfair?” Rinai tertawa sinis.
Rasanya Rinai ingin membenturkan kepala Ksatria atau membawanya tes urin, siapa tahu sahabatnya itu mengonsumsi obat terlarang sampai-sampai pikirannya bisa sekacau ini.
Apa sih yang merasuki Ksatria sampai bisa menginginkannya?
Setelah persahabatan mereka sejak bayi?
Rinai tak mengerti kenapa Ksatria bisa punya rasa penasaran sebesar itu terhadap dirinya, setelah selama ini mereka bersahabat begitu saja belasan tahun lamanya.
“Kukasih tahu ya, Sat,” desis Rinai kesal. “Jelas aja semua laki-laki punya kesempatan yang sama, kecuali kamu. What you want from me is to sleep together for once, only to fulfil your curiosity. Your feeling is invalid and what you offer to me isn’t something that I’m looking for.”
Setelah mengatakan hal itu, Rinai menarik tubuh Ksatria agar menyingkir dari hadapannya, lalu berlalu meninggalkan Ksatria begitu saja.
Your feeling is invalid.Kata-kata itu terus terngiang di kepala Ksatria bahkan sampai keesokan paginya ia terbangun di ranjangnya.“Invalid my ass,” maki Ksatria meski tidak ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.Setelah puas menatap langit-langit kamarnya selama lima belas menit sambil mereka ulang kejadian semalam, Ksatria bangkit dari ranjang dan bersiap ke kantor. Usai mandi, Ksatria menatap walk in closet-nya dengan malas dan mengambil pakaian yang paling pertama ia lihat.“Bang!” panggil Shahia begitu Ksatria keluar dari kamarnya. Adiknya itu juga sudah rapi dengan setelan blazer dan rok yang panjangnya hingga lima senti di atas lutut. “Kemarin Abang nggak gangguin Mbak Rinai kan?”“Nggak,” jawab Ksatria dengan enteng. Mereka berdua turun ke lantai satu bersama. “Kenapa semua orang mikir aku bakal gangguin Rinai?”“Karena Abang sejak Mbak Rinai pulang tengilnya keliatan jadi naik dua kali lipat,” kata Shahia tanpa takut dijitak oleh kakaknya. “Pokoknya Abang nggak boleh
“Morning, Rinai bukan merek kompor!”Rinai mengernyitkan kening saat mendengar sapaan Ksatria yang terdengar ceria sekaligus meledek namanya.Walau begitu, ia tidak berkomentar apa pun dan menyusul Ksatria masuk ke mobil. Pak Anwar segera mengemudikan mobil dan Rinai memejamkan matanya saat mobil tersebut sudah melewati pagar.Semalaman Rinai sulit tidur karena lelah dan entah kenapa memikirkan kata-kata ayahnya hingga pukul tiga pagi. Kalau orang lain saat lelah jadi bisa cepat tidur, Rinai justru kebalikannya.“Hari ini kamu nggak ada jadwal ketemu sama si peta dunia kan?” tanya Ksatria mengusik Rinai. “Masa ketemu tiap hari? Kalau mau ketemu tiap hari ya sekolah aja sana.”“Nyinyir ya kamu sekarang,” komentar Rinai balik. Rinai pun membuka matanya dan menoleh ke arah Ksatria. “Bisa aja kalau aku mau ketemu setiap hari sama dia, nikah aja,” jawabnya asal.“ENAK AJA!” Ksatria berseru panik hingga membuat Pak Anwar di depan sana juga ikut terkejut. “Nggak, nggak! Nggak ada ceritanya k
Atlas Satyanegara: Kamu belum pulang kerja? Lembur?Rinai Prawara: Iya, lembur. Tapi bukan di kantor.Atlas Satyanegara: Lho, terus ngapain?Rinai Prawara: Ngasuh anak kecil.Rinai melirik sinis ke arah meja yang kini ditempati oleh Ksatria dan Aleah. Saat Aleah tiba tadi, tentu saja perempuan itu menyadari kehadiran Rinai yang duduk berjarak beberapa meja dari meja mereka.Aleah tentu saja terlihat bingung, tapi perempuan itu menyempatkan diri menyapa Rinai dan Rinai pun mengatakan jangan menganggap dirinya ada di sini supaya tidak mengganggu mereka.Karena dibawa ke restoran ini, akhirnya Rinai memutuskan balas dendam dengan memesan makanan favoritnya yang kebetulan jadi menu utama di restoran tersebut.Rinai makan tanpa peduli kalau Ksatria sewaktu-waktu bisa memanggilnya, anggap saja ia tengah ke sini sendirian karena sedang kebanyakan uang.Saat sedang makan itulah, Rinai tak menyadari kalau beberapa kali Ksatria melirik ke arahnya. Kadang lelaki itu tersenyum kecil melihat betap
Ksatria mengamati Rinai yang bersenandung pelan mengikuti HONNE feat BEKA yang menyanyikan lagu berjudul Location Unknown tersebut. Kepalanya bersandar di kaca dan sesekali jemarinya bermain di permukaan kaca tersebut.“Kita mau ke mana sih jadinya?” tanya Rinai saat mereka sudah di mobil untuk waktu yang tidak sebentar.“Nggak tahu,” jawab Ksatria jujur. Malam ini ia yang menyetir karena buat apa juga memanggil Pak Anwar yang sudah tidur.Rinai berdecak pelan. “Kebiasaan.”“Ke tempat biasa aja mau nggak?”“Kota tua?”“Iya. Kangen makan kerak telur di sana nggak?”Rinai terkekeh pelan. “Aku lebih kangen kue pancongnya sih.”“Oke, kita ke sana.” Ksatria mengarahkan mobilnya menuju kawasan Kota Tua yang berdekatan dengan stasiun Jakarta Kota tersebut.Sejak dulu, Kota Tua selalu menjadi tempat ternyaman mereka. Agak jauh dari rumah, tidak terlalu banyak gedung pencakar langit, dan mereka bisa membeli makanan apa pun yang mereka mau dengan mudah karena semua pedagang berbaris rapi di kaw
“Di mata kamu, aku bakal ngelakuin hal itu ke kamu? Tidur sama kamu terus ninggalin kamu begitu aja tanpa sepatah kata pun?”“Aku yang nanya duluan, Sat, kenapa kamu yang malah balik nanya?”Ksatria menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Tepat di saat itu, sate mereka diantarkan.“Makan dulu,” kata Ksatria pada Rinai.“Biar kamu ada waktu buat ngarang jawaban?”“Biar kamu ada tenaga buat bales omonganku,” bantah Ksatria. “Kamu kan kayaknya nggak pernah sehari aja nggak bales omonganku.”“Kamu juga gitu,” ejek Rinai tak mau kalah.Ksatria hanya tersenyum dan menaruh separuh lontongnya ke piring Rinai. Dibanding Ksatria, selera dan porsi makan Rinai sebenarnya lebih besar daripada dirinya.Meski Rinai tengah menunggu jawaban Ksatria dengan jantung berdebar, ia tetap menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih.Dulu berat badan Rinai sempat melebihi berat badan ideal dan membuat tubuhnya agak berisi. Hal itu sering jadi bahan olokan teman-teman mereka yang pa
“Mas, menurut kamu Ksatria naksir Rinai nggak?”Haydar Abimayu menoleh terkejut ke arah istrinya.Hari masih sangat pagi, anak-anaknya belum terbangun ketika mereka berdua sudah duduk di teras halaman belakang ditemani secangkir teh hangat sebelum sarapan dimulai.Tetapi, istrinya malah sudah menanyakan hal yang di luar dugaannya.Leona, istrinya, tengah menatapnya dengan serius, menanti jawaban atas pertanyaan paling absurd yang pernah Haydar dengar.“Nggak mungkinlah. Masa sih Ksatria naksir Rinai?”“Menurutku nggak ada yang nggak mungkin.”Haydar menaruh koran paginya ke atas meja. “Mereka kan udah sahabatan sejak bayi, Sayang. Udah banyak kesempatan yang bisa digunakan Ksatria kalau dia beneran naksir Rinai, tapi lihat sampai sekarang, nggak ada apa-apa kan?”“Semalam aku lihat mereka pelukan di halaman rumah.”Haydar mengernyit. “Beneran?”“Beneran,” jawab Leona dengan bersikukuh. “Aku lihat sendiri semalam dari teras.”“Kamu salah lihat kali.”“Nggak, Mas.” Kali ini Leona sudah
Siang ini Rinai bisa bernapas lega karena tidak harus makan siang dengan Ksatria.Bukannya apa-apa, saat ini Ksatria sedang makan siang dengan para petinggi Heavenly & Co. Meski tidak semua, beberapa dari mereka matanya suka sekali jelalatan dan menatap Rinai atau bahkan asisten serta sekretaris lainnya hingga membuat para perempuan itu risih.Maka dari itu ketika mereka menyarankan untuk makan bersama usai rapat, Rinai bersyukur karena Ksatria meminta mereka semua—asisten pribadi dan sekretaris yang saat itu juga ikut rapat, untuk makan di tempat lain bersama.“Mbak, Mbak,” panggil salah seorang sekretaris dari departemen lain—pemasaran, kalau Rinai tak salah ingat. “Jadi Mbak Rinai sama Bos Kecil beneran pacaran?”Meja panjang kafetaria tersebut langsung heboh mendengar pertanyaan itu. Topik pembicaraan mengenai Bos Kecil mereka selalu menarik perhatian siapa pun—muda atau tua, pegawai lama atau baru… semua sama saja.Kabar mengenai kembalinya satu-satunya asisten pribadi Ksatria ke
“Itu Ksatria sahabat kamu kan? Yang kakaknya Shahia?”“Iya.”“Oh, kalau nggak tahu dia sahabatmu, aku pasti udah ngira dia tadi hampir bunuh aku karena cemburu, Nai.”Kalimat itu diucapkan dengan tawa oleh Atlas. Rinai yang hanya mendengarnya saja tidak bisa sesantai lelaki itu.Tadi memang mereka bertemu secara resmi untuk yang pertama kalinya. Ksatria membukakan pintu mobil Atlas untuk Rinai dan menyempatkan diri untuk memberi salam secara sopan kepada Atlas.Bahkan Ksatria sempat berpesan pada Atlas, “Hati-hati di jalan dan pulangin Rinai dalam keadaan selamat, nggak kurang apa pun ya.”“Sahabat doang kok.” Rinai tersenyum kecil.Saat ini mereka berencana pergi ke Plaza Indonesia, Atlas meminta bantuan Rinai untuk memilih kado karena ibu Atlas akan berulang tahun sebentar lagi.Atlas sendiri melirik Rinai beberapa kali selama di perjalanan menuju Plaza Indonesia tersebut. Rinai awalnya tak menyadari hal itu, tapi ketika ia tak sengaja menoleh pada Atlas, Rinai mulai sadar kalau lel
"Rinai beneran ninggalin kamu berdua sama Rengga?""Iya." Ksatria menyuapi Rengga yang menerima suapannya dengan riang. "Kenapa?""Wah... kasihan Rinai nanti pas pulang," jawab Yogas dari seberang sana. "Menurut pengalamanku setelah lihat temen-temen kita, bapak dan anak kecil yang ditinggal sama istrinya pasti akan bikin kekacauan.""Aku nggak bikin kekacauan," tampik Ksatria, setengah keki. Enak saja Yogas bicara seperti itu! Maksudnya Ksatria dan Rengga bisa jadi biang onar sampai Rinai pusing, begitu?!“Lagipula kamu juga ditinggal Shua!” sambung Ksatria. “Nggak usah jemawa gitu!”“Tapi aku nggak pernah separah Badai dan Ipang.”“Halah, itu kan karena Tuhan belum nunjukin aibmu aja!”
"Berhenti cengar-cengirnya, bisa nggak? Kamu nggak takut dikira kurang waras sama orang lain kah?"Ksatria menggeleng tanpa pikir panjang. Tangannya meraih tangan Rinai yang ada di atas meja, tapi perempuan itu dengan iseng menarik tangannya menjauh dari Ksatria."Aku nggak takut, soalnya nggak peduli kata orang." Ksatria masih saja nyengir saat menjawab Rinai. "Aku seneng banget.""Aku juga."Ah, senang sekali mendengar dari bibir Rinai secara langsung kalau ia juga senang.Ksatria merekam senyum di wajah Rinai dengan latar belakang dinding Huize Trivelli yang dipenuhi figura dan hiasan dinding lawas lainnya.Sore ini Rinai mengajak Ksatria ke sebuah restoran yang bisa dibilang cukup tersembunyi di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Restor
Rinai melangkah keluar dari lift dengan perasaan rindu. Wah, ternyata ia lumayan rindu datang dan bekerja di sini, di Heavenly & Co. Dari perusahaan keluarga Ksatria ini juga, tumbuh kecintaan Rinai terhadap wewangian dan semua proses menyangkut wewangian."Mbak Rinaiii!"Rinai terkekeh melihat bagaimana hebohnya Fiona saat melihat dirinya. Ia merentangkan tangan dan Fiona yang segera keluar dari mejanya langsung menyambut Rinai ke dalam pelukan."Kangen deeeh," kata Fiona sambil mengeratkan pelukannya pada Rinai. Rinai sendiri tertawa mendengarnya. "Apa kabar? Sehat, Mbak?""Sehat kok. Kamu sendiri?""Sehattt, Bos Kecil jarang lembur soalnya, hehehe."Rinai tertawa dan merenggangkan pelukan mereka. Setelah menikah dengan Ksatria, h
Kehidupan sebagai orangtua baru bukanlah hal yang mudah.Ksatria belajar banyak hal dari pengalamannya selama enam bulan ini bersama Rengga, anak pertamanya dengan Rinai. Pengalaman Ksatria saat ikut menyaksikan bagaimana tumbuh kembang anak-anak sahabatnya, nyatanya hanya sebagian kecil daripada apa yang harusnya ia lakukan."Rengga ganteng, anaknya Papa yang ganteng juga... tidur yuk...." Ksatria masih menimang-nimang tubuh mungil Arengga Cakra Abimayu di dalam dekapannya. Anaknya yang biasa dipanggil Rengga itu masih menangis, meski tangisannya sudah tidak sekeras tadi. "Kan minum susu udah... dibawa keliling kamar udah... sekarang waktunya bobo yuk? Ikut Mama tidur... siapa tahu ketemu di mimpi."Omongan panjang lebar Ksatria kali ini ternyata berhasil meredakan tangis anaknya. Kini, tangisan Rengga semakin memelan. Anaknya itu mulai mengerj
Mungkin jika dibandingkan dengan lelaki sebayanya, Ksatria telah melalui hari persalinan lebih banyak dibanding orang-orang di luar sana.Ksatria pernah beberapa kali ikut menemani sahabatnya yang menanti kelahiran buah hati mereka dengan harap-harap cemas. Jadi ia sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bagaimana biasanya seorang calon ayah menghadapi situasi seperti ini.Dulu, Ksatria akan mencatat di dalam hatinya bahwa ia akan melakukan A atau tidak akan melakukan B kalau suatu hari ia akan mendampingi istrinya melahirkan. Tapi lihatlah saat ini….Pengetahuan yang Ksatria simpan, entah hilang ke mana saat harinya sebagai calon ayah baru datang.“Kacau banget kelihatannya.” Yogas datang sambil tertawa. Tangan lelaki itu menyodorkan segelas kopi hangat yang langsung d
Ksatria menatap nanar ke arah laptopnya, di mana terpampang fotonya dan Rinai di SUBO saat mereka masih sebagai kekasih. Lelaki itu mengembuskan napasnya, sebal karena lima menit yang lalu, formulir untuk RSVP ke SUBO besok telah ditutup alias reservasinya sudah penuh.Padahal Ksatria ingin sekali ke sana. Sejak semalam lelaki itu sudah membayangkan bagaimana indahnya makan siang dengan menu yang tidak ia tahu apa (karena memang begitu sistem di Subo, mereka tidak punya menu pasti), sambil mendengarkan lagu-lagu gubahan Glenn Fredly dan The Bakuucakar lewat piringan hitam.Hal itu memang sudah pernah ia dan Rinai lakukan. Tapi Ksatria tiba-tiba terpikirkan ingin mengulangi lagi salah satu momen kencan manisnya dengan sang istri."Pak Ksatria....""Hmmm?" Ksatria bergumam asal tanpa mendongak untuk me
Menjelang ulang tahun Rinai, Ksatria selalu excited dan bingung di waktu yang sama.Hadiah apa yang kira-kira dibutuhkan dan akan disukai Rinai? Apa Rinai akan tersenyum lebar saat menerima hadiah darinya?Pertanyaan-pertanyaan sejenis masih sering mampir di kepala Ksatria, meskipun sudah puluhan kali ia mencari hadiah untuk Rinai alias sudah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan momen yang sama.Siapa bilang Ksatria tidak pernah berpikir keras jika harus memberikan hadiah untuk sahabat slash istrinya itu?Karena selalu ingin memberikan yang terbaik dan sebisa mungkin memang berguna juga disukai Rinai, Ksatria selalu berakhir dengan kebingungan sendiri dan berpikir sangat keras untuk waktu yang lama.Seperti sekarang ini.
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria melangkah menuju rumah Rinai sambil berpikir mau makan siang dengan apa hari ini—ayam penyet sambal cabai hijau atau soto daging dengan tambahan kikil dan babat yang terlihat tidak sehat, tapi melenakan.Baru sampai di teras, pintu rumah Rinai tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terlihat cantik dengan midi skirt hitam dan blus longgar berwarna baby pink. Ada pita di rambutnya dan hal itu memberi tahu Ksatria kalau sahabatnya ini sedang senang.Iya, Rinai kerap kali mengenakan jepitan berhias pita tersebut hanya saat sedang senang.“Baru mau kupanggil,” sapa Ksatria. “Udah siap? Yuk.”“
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria mengetukkan jemarinya di stir mobil, mencoba bersabar menunggu Rinai yang belum juga keluar dari rumahnya. Lelaki itu mengecek jam di tangannya. Memang sih, masih ada satu setengah jam lagi sebelum kelas dimulai. Tapi biasanya Rinai sudah akan menyuruh Ksatria menyetir ke kampus dengan alasan tidak ingin datang mepet dan mendapat kursi tidak strategis di kelas."Ke mana sih dia?" gerutu Ksatria. Lelaki itu akhirnya tidak tahan menunggu dan bergegas keluar dari mobilnya yang masih parkir di halaman rumah.Pandangan Ksatria mengedar ke sekitar dan setelah merasa aman (tidak ada pegawai rumahnya yang berkeliaran di sekitar), Ksatria mengeluarkan kotak rokok dan lighter-nya dari saku celana jeans