Ksatria turun dari mobil dan menatap halaman rumahnya, yang dipenuhi mobil ayahnya dan Shahia.
Setahu Ksatria, hari ini ibunya tidak pergi ke Kaia Jewellery karena acara makan malam ini. Makanya tidak terlihat mobil yang biasa digunakan ibunya itu di halaman tersebut.
Lelaki itu melangkah masuk sambil bersiul pelan. Perlahan, pulang ke rumah bukan menjadi sesuatu yang menyebalkan lagi.
Meski kadang-kadang masih teringat jelas di benak Ksatria bagaimana ia selalu tak betah di rumah, tapi kali ini ia sudah bisa mengendalikan emosinya.
Apa yang sudah berlalu tak bisa ia atau bahkan orangtuanya perbaiki. Ya, dulu bagi Ksatria pulang ke ruma
“Damn! Ksatria!!!”Rinai menatap panik ke sebelahnya, di mana Ksatria tidur dengan nyaman—berkebalikan dengannya yang saat ini sedang panik dan langsung bangun hingga menyebabkan kepalanya terasa berputar seperti gasing.“Ksatria! Bangun!”“Lima menit lagi, please,” gumam Ksatria dengan mata yang masih terpejam. “Lima menit lagi, baru aku pulang, Yang.”“Nggak ada lima menit lagi!” Rinai menjewer telinga Ksatria. “Ini udah pagi! Kamu pikir ini masih jam sembilan malam, hah?!”“Hah?!” Ksatria se
“Are you okay?”Rinai menggeleng, tak tahu juga harus menjawab bagaimana. Apakah ia baik-baik saja?Setelah menaruh dua kaleng soda di atas meja, Rinai menyusul Ksatria duduk di sofa dan melamun, kembali memikirkan tentang jam-jam yang ia lalui hari ini.Sebenarnya, seharian ini Rinai beberapa kali kehilangan fokusnya. Padahal seharusnya pertemuan dengan ibu tiri Atlas tidak terlalu mempengaruhinya.Iyakan?Tetapi, ada kalanya Rinai masih tak bisa mengendalikan pikirannya. Sampai akhirnya saat tadi sedang menunggu Ksatria menjemputnya, Rinai menghubungi orang yang selama
Ksatria bersiul pelan saat memasuki Kaia Jewellery. Ingatannya tentang ia yang sengaja membelikan cincin untuk Rinai di sini hanya untuk membuat ibunya marah, melintas sejenak dan membuat lelaki itu tertawa kecil.Bocah banget ya Anda, batinnya kepada diri sendiri.“Selamat malam, Mas,” sapa salah satu pegawai Kaia Jewellery yang mengenali Ksatria sebagai anak Leona. “Ada yang bisa dibantu?”“Bu Leona ada?” Ksatria mengedarkan pandangannya dan tak menemukan sosok sang ibu.Seperti apa yang dibilang Rinai semalam, Ksatria ingin bicara dengan ibunya dulu selagi menunggu jam kerja Rinai berakhir
“Apa yang mau kamu lakukan kalau suatu hari nanti kamu ketemu sama mantan calon suami kamu, Nai?”Rinai masih mengingat dengan jelas pertanyaan ayahnya, yang dilontarkan kira-kira satu tahun yang lalu—atau lebih ya? Rinai sendiri lupa kapan tepatnya pertanyaan itu terucap dan apa jawabannya saat itu.Sampai akhirnya Rinai kini dihadapkan pada sosok Marco yang masih bisa ia kenali bahkan setelah lama tak berjumpa.“Rinai…,” panggil Marco begitu tiba di hadapan Rinai. “Kamu… apa kabar?”Di sebelahnya, Ksatria mendengus kasar dan Rinai bisa merasakan genggaman tangan kekasihn
“Sejujurnya, aku emang mencari-cari kamu, Nai.”“Kamu tahu aku kerja di Kaia PI dari Danang?”Marco mengangguk enggan, sementara Rinai hanya bisa menghela napasnya. Siang ini, ia dan Marco benar-benar duduk berhadapan untuk membicarakan apa yang tidak pernah mereka bicarakan sebelumnya.Lelaki itu muncul di Kaia tepat saat jam makan siang. Tanpa banyak bicara, Rinai mengajaknya ke Sushi Hiro. Kebetulan Rinai sedang ingin sushi dan Marco mengiakan tawaran Rinai dengan mudah.“Setelah kita batal nikah, katanya kamu ke Jogja,” kata Marco lagi. “Saat itu aku masih menjalani proses rehab dan
“Si Bos Kecil kok mukanya sepet banget ya, Mbak? Salah makan atau kurang kasih sayang dari Mbak Rinai?” “Eh, masa?”“Iya, Mbak. Nggak marah-marah sih, tapi ngomongnya singkat-singkat gitu terus makan siang pun maunya di ruangan, nggak keluar.”“Lagi sibuk kali?”“Nggak juga kok, Mbak.”Rinai meletakkan sumpit yang ia gunakan untuk memakan ramennya. Niat awalnya ia menelepon Fiona sebenarnya untuk menanyakan apakah hari ini Ksatria sibuk atau tidak sampai sore, karena Rinai hendak mengajak kekasihnya itu hangout secara dadakan.Ksatria tidak mengatakan apa-apa soal jadwalnya hari ini dan biasanya kalau begitu, Ksatria tidak punya agenda penting usai jam kerja. Tapi untuk lebih aman, Rinai ingin memastikannya lagi pada Fiona.“Hmmm, kenapa ya?” gumam Rinai. “Kok aku jadi bingung….”“Mbak komunikasinya lancar nggak sama Bos Kecil?”Karena Fiona bisa dibilang sudah tahu banyak mengenai Ksatria dan Rinai, Rinai tidak segan untuk sedikit berbagi pada teman kerjanya itu. Yah, setidaknya Fio
“Sayang, aku udah di basement apartemen kamu nih. Bener nggak ada yang mau dititip dari minimarket atau coffee shop? Coffee shop di tower kamu masih buka nih.”“Nggak ada yang aku pengen atau butuhin sih,” jawab Rinai di seberang sana. “Semuanya udah ada di sini kok. Cuma kurang kamunya aja.”“Astaga,” desah Ksatria dengan dramatis. “Gemesin banget sih kamu! Pacar siapa coba?”Rinai tertawa dan dari nada suaranya, Ksatria tahu kalau Rinai sengaja menggodanya. “Pacar kamuuu.”“Oke, kalau gitu. Nanti pas buka pintu, langsung cium aku ya.” Meski tidak ada Rinai di hadapannya, tapi secara refleks Ksatria jadi cengar-cengir sendiri saat mengatakan permintaan ngawurnya.“Dasar! Belakangan ini yang ada di otak kamu cuma pengen dicium akuuu terus,” omel Rinai.Ksatria tertawa. “Siapa suruh gemesin sama ngangenin gitu jadi orang?”“Susah sih, udah bawaan dari lahir.”“Kok kamu kedengeran kayak aku ya?”“Kenapa? Kedengeran narsis ya? Aku kan belajar dari ahlinya,” ledek Rinai saat Ksatria menya
Hari-hari Ksatria rasanya sudah kembali normal. Di hari kerja, Ksatria akan sibuk bekerja dan kemudian menyempatkan diri untuk bertemu dengan Rinai meski hanya satu sampai dua jam. Di hari libur, Ksatria akan beristirahat dengan Rinai—kadang di apartemennya, di apartemen Rinai, atau ya... jalan-jalan ke tempat baru maupun tempat favorit mereka."Seneng deh, akhirnya hari-hariku normal lagi," kata Ksatria setelah mengulurkan tangannya melintang di punggung sofa dan membuatnya seolah tengah merangkul Rinai yang duduk di sebelahnya."Emang tadinya nggak normal?" tanya Rinai yang masih fokus dengan remote di tangannya.Hari ini kebetulan adalah tanggal merah dan besok adalah hari Sabtu. Jadi sejak pagi tadi, Ksatria sudah menampakkan diri di apartemen Rinai. Pasangan itu memilih untuk movie marathon seperti biasanya, sebelum nanti malam dinner di Saujana—restoran milik keluarga Yogas, sahabat Ksatria."Pas nggak ada kamu ya nggak normal," jawab Ksatria. "Kan dari lahir udah sama kamu.""O
"Rinai beneran ninggalin kamu berdua sama Rengga?""Iya." Ksatria menyuapi Rengga yang menerima suapannya dengan riang. "Kenapa?""Wah... kasihan Rinai nanti pas pulang," jawab Yogas dari seberang sana. "Menurut pengalamanku setelah lihat temen-temen kita, bapak dan anak kecil yang ditinggal sama istrinya pasti akan bikin kekacauan.""Aku nggak bikin kekacauan," tampik Ksatria, setengah keki. Enak saja Yogas bicara seperti itu! Maksudnya Ksatria dan Rengga bisa jadi biang onar sampai Rinai pusing, begitu?!“Lagipula kamu juga ditinggal Shua!” sambung Ksatria. “Nggak usah jemawa gitu!”“Tapi aku nggak pernah separah Badai dan Ipang.”“Halah, itu kan karena Tuhan belum nunjukin aibmu aja!”
"Berhenti cengar-cengirnya, bisa nggak? Kamu nggak takut dikira kurang waras sama orang lain kah?"Ksatria menggeleng tanpa pikir panjang. Tangannya meraih tangan Rinai yang ada di atas meja, tapi perempuan itu dengan iseng menarik tangannya menjauh dari Ksatria."Aku nggak takut, soalnya nggak peduli kata orang." Ksatria masih saja nyengir saat menjawab Rinai. "Aku seneng banget.""Aku juga."Ah, senang sekali mendengar dari bibir Rinai secara langsung kalau ia juga senang.Ksatria merekam senyum di wajah Rinai dengan latar belakang dinding Huize Trivelli yang dipenuhi figura dan hiasan dinding lawas lainnya.Sore ini Rinai mengajak Ksatria ke sebuah restoran yang bisa dibilang cukup tersembunyi di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Restor
Rinai melangkah keluar dari lift dengan perasaan rindu. Wah, ternyata ia lumayan rindu datang dan bekerja di sini, di Heavenly & Co. Dari perusahaan keluarga Ksatria ini juga, tumbuh kecintaan Rinai terhadap wewangian dan semua proses menyangkut wewangian."Mbak Rinaiii!"Rinai terkekeh melihat bagaimana hebohnya Fiona saat melihat dirinya. Ia merentangkan tangan dan Fiona yang segera keluar dari mejanya langsung menyambut Rinai ke dalam pelukan."Kangen deeeh," kata Fiona sambil mengeratkan pelukannya pada Rinai. Rinai sendiri tertawa mendengarnya. "Apa kabar? Sehat, Mbak?""Sehat kok. Kamu sendiri?""Sehattt, Bos Kecil jarang lembur soalnya, hehehe."Rinai tertawa dan merenggangkan pelukan mereka. Setelah menikah dengan Ksatria, h
Kehidupan sebagai orangtua baru bukanlah hal yang mudah.Ksatria belajar banyak hal dari pengalamannya selama enam bulan ini bersama Rengga, anak pertamanya dengan Rinai. Pengalaman Ksatria saat ikut menyaksikan bagaimana tumbuh kembang anak-anak sahabatnya, nyatanya hanya sebagian kecil daripada apa yang harusnya ia lakukan."Rengga ganteng, anaknya Papa yang ganteng juga... tidur yuk...." Ksatria masih menimang-nimang tubuh mungil Arengga Cakra Abimayu di dalam dekapannya. Anaknya yang biasa dipanggil Rengga itu masih menangis, meski tangisannya sudah tidak sekeras tadi. "Kan minum susu udah... dibawa keliling kamar udah... sekarang waktunya bobo yuk? Ikut Mama tidur... siapa tahu ketemu di mimpi."Omongan panjang lebar Ksatria kali ini ternyata berhasil meredakan tangis anaknya. Kini, tangisan Rengga semakin memelan. Anaknya itu mulai mengerj
Mungkin jika dibandingkan dengan lelaki sebayanya, Ksatria telah melalui hari persalinan lebih banyak dibanding orang-orang di luar sana.Ksatria pernah beberapa kali ikut menemani sahabatnya yang menanti kelahiran buah hati mereka dengan harap-harap cemas. Jadi ia sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bagaimana biasanya seorang calon ayah menghadapi situasi seperti ini.Dulu, Ksatria akan mencatat di dalam hatinya bahwa ia akan melakukan A atau tidak akan melakukan B kalau suatu hari ia akan mendampingi istrinya melahirkan. Tapi lihatlah saat ini….Pengetahuan yang Ksatria simpan, entah hilang ke mana saat harinya sebagai calon ayah baru datang.“Kacau banget kelihatannya.” Yogas datang sambil tertawa. Tangan lelaki itu menyodorkan segelas kopi hangat yang langsung d
Ksatria menatap nanar ke arah laptopnya, di mana terpampang fotonya dan Rinai di SUBO saat mereka masih sebagai kekasih. Lelaki itu mengembuskan napasnya, sebal karena lima menit yang lalu, formulir untuk RSVP ke SUBO besok telah ditutup alias reservasinya sudah penuh.Padahal Ksatria ingin sekali ke sana. Sejak semalam lelaki itu sudah membayangkan bagaimana indahnya makan siang dengan menu yang tidak ia tahu apa (karena memang begitu sistem di Subo, mereka tidak punya menu pasti), sambil mendengarkan lagu-lagu gubahan Glenn Fredly dan The Bakuucakar lewat piringan hitam.Hal itu memang sudah pernah ia dan Rinai lakukan. Tapi Ksatria tiba-tiba terpikirkan ingin mengulangi lagi salah satu momen kencan manisnya dengan sang istri."Pak Ksatria....""Hmmm?" Ksatria bergumam asal tanpa mendongak untuk me
Menjelang ulang tahun Rinai, Ksatria selalu excited dan bingung di waktu yang sama.Hadiah apa yang kira-kira dibutuhkan dan akan disukai Rinai? Apa Rinai akan tersenyum lebar saat menerima hadiah darinya?Pertanyaan-pertanyaan sejenis masih sering mampir di kepala Ksatria, meskipun sudah puluhan kali ia mencari hadiah untuk Rinai alias sudah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan momen yang sama.Siapa bilang Ksatria tidak pernah berpikir keras jika harus memberikan hadiah untuk sahabat slash istrinya itu?Karena selalu ingin memberikan yang terbaik dan sebisa mungkin memang berguna juga disukai Rinai, Ksatria selalu berakhir dengan kebingungan sendiri dan berpikir sangat keras untuk waktu yang lama.Seperti sekarang ini.
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria melangkah menuju rumah Rinai sambil berpikir mau makan siang dengan apa hari ini—ayam penyet sambal cabai hijau atau soto daging dengan tambahan kikil dan babat yang terlihat tidak sehat, tapi melenakan.Baru sampai di teras, pintu rumah Rinai tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terlihat cantik dengan midi skirt hitam dan blus longgar berwarna baby pink. Ada pita di rambutnya dan hal itu memberi tahu Ksatria kalau sahabatnya ini sedang senang.Iya, Rinai kerap kali mengenakan jepitan berhias pita tersebut hanya saat sedang senang.“Baru mau kupanggil,” sapa Ksatria. “Udah siap? Yuk.”“
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria mengetukkan jemarinya di stir mobil, mencoba bersabar menunggu Rinai yang belum juga keluar dari rumahnya. Lelaki itu mengecek jam di tangannya. Memang sih, masih ada satu setengah jam lagi sebelum kelas dimulai. Tapi biasanya Rinai sudah akan menyuruh Ksatria menyetir ke kampus dengan alasan tidak ingin datang mepet dan mendapat kursi tidak strategis di kelas."Ke mana sih dia?" gerutu Ksatria. Lelaki itu akhirnya tidak tahan menunggu dan bergegas keluar dari mobilnya yang masih parkir di halaman rumah.Pandangan Ksatria mengedar ke sekitar dan setelah merasa aman (tidak ada pegawai rumahnya yang berkeliaran di sekitar), Ksatria mengeluarkan kotak rokok dan lighter-nya dari saku celana jeans