"Firman!" Lengkingan seriosaku menggema seantero rumah Papi.
Aku tahu Firman dan Rasti bersembunyi di salah satu sudut rumah Papi. Terlihat dari mobil yang teronggok di garasi. Pintar! Si jomlo ngenes dibuatnya makin ngenes. Suami istri sama-sama enggak ada akhlak.
"Eh, ada Mama Mayra!"
"Mama Mayra udah pulang, ya!"
Aku salah. Pasangan muda itu tidak melarikan diri, tapi melemahkanku dengan menyodorkan Chesa. Bayi gembul berusia 6 bulan. Mulut dan hidung kecil tetimbun pipi itu bergerak lucu. Lalu tersenyum dan mengoceh.
Ah, lucu!
Mauuu!
Tapi harus bekerjasama dengan siapa? Bayangan Pak Indraguna yang mengaku mirip Hamish Daud tiba-tiba melintas. Seketika tubuhku merinding, membayangkan lebatnya kumis dan jenggot yang dia punya.
"Aduuuh, tayang ... tayang. Gumush!" Kuambil bayi perempuan itu dari tangan Rasti, menciumnya gemas. Lantas membawanya berputar-putar.
Chesa terkikik senang, sama seperti ayah bundanya yang sedang beradu tangan sambil berteriak, toss! Strategi meredam amarahku benar-benar sukses.
"Gimana kencannya tadi, Mbak?" Rasti mengejarku yang membawa Chesa menjauh.
Ya. Rasanya ingin kubalas perbuatan mereka dengan membawa bayi montok itu ke luar angkasa. Halah. Intinya aku kesal, marah, kepingin ngamuk tapi emosiku tertahan tingkah lucu Chesa.
"May! Tumben ke sini." Mami meletakkan majalah fashion di coffe table ruang keluarga, melihat kedatangan putri sulungnya.
"May lagi nyari Firman dan Rasti, Mi. Mau bikin perhitungan." Gigiku bergemelutuk menahan aliran panas di dalam sini.
Kulihat Rasti melangkah mundur, takut. Namun ditahan oleh Firman yang menyusul ke ruang santai.
"Sabar, May. Usaha adik kamu patut diapresiasi, lho!" Giliran Papi yang baru turun dari tangga angkat bicara.
Mendapat pembelaan, Firman mengangkat dagu, sombong. Ya, mereka beraninya main keroyokan sekarang. Digiringlah diri ini duduk lesehan depan TV flat 52 inci.
Ruang tengah mendadak jadi tempat persidangan. Semua menghakimi kejombloan akut ini, kecuali Chesa. Bayi polos tak berdosa itu cuma ketawa-ketiwi merangkak di atas karpet busa. Mungkin sama mengejekku yang harusnya telah memberinya kakak sepupu. Kalau perlu tiga.
"Apanya yang patut diapresiasi, Pi? Seenggaknya yang bener, dong, nyariin partner. Lah, ini, udah bewoknya kaya semak belukar. Tiga kali menduda pula." Gerutuan panjangku mengundang gelak tawa.
"Yang penting, kan, single, May!" Mungkin Mami pun sudah putus asa anaknya yang cantik paripurna ini belum juga menemukan radar jodohnya.
"Tetep aja bekas tiga orang. Enggak ori lagi."
"Emang kenapa, sih, Mbak, kalo duda?" Firman ngotot, minta dilempar bakiak memang.
"Oke, fix. Sebenernya, Mbak enggak masalah dengan status duda. Tapi enggak tiga kali juga, Firman. Udah jelas, kan, yang sebenarnya bermasalah itu siapa? Kalo dia laki-laki baik, gak mungkin segampang itu kawin cerai. Paham semuanya!"
Hening.
Semua kompak terbungkam. Entah mencerna atau menyiapkan sanggahan.
"Belum tentu begitu, May. Kebetulan Papi tahu sepak terjang Indraguna di kalangan pengusaha." Papi memulai sanggahan pertama.
"Tapi kehidupan pribadinya Papi enggak tau, kan?" balasku tak kalah sengit.
Tega-teganya aku diumpankan pada lelaki yang mengaku mirip suami Raisa itu demi mengakhiri status single-ku ini.
"Papi benar, Mbak. Lima tahun Rasti jadi sekretaris Pak Indra, dia orangnya enggak neko-neko, kok. Kalo rada dingin dan to the point, sih, iya." Ini adik ipar, mentang-mentang sudah laku duluan pakai acara ngiklanin mantan bosnya.
"Firman sependapat, Mbak. Memang cuma Pak Indra yang cocok jadi pasangan Mbak Mayra. Coba flashback dulu tentang mantan-mantan Mbak. Ada yang lurus dan bener, gak?"
Ada benarnya kata Firman. Entah kenapa aku selalu menjalin hubungan dengan pria bermasalah.
Pernah berpacaran dengan lelaki berwajah tampan, seumuran, tapi ujung-ujungnya cuma jadi parasit. Tanda sayang baginya adalah minta dibayarin ini itu.
Untung aku cepat tanggap, yang model begitu patut untuk dimusnahkan dari muka bumi. Kalau dinikahi bisanya ngandelin istri sementara dia cuma ongkang-ongkang kaki. Tampang oke tapi kere, buruk akhlak pula.
Failed!
Ada lagi pernah dekat dengan lelaki yang lebih dewasa, mapan dan juga menawan. Namun, baru sehari jadian ternyata ketahuan kalau dia suami orang. Nyesek! Tapi cepat-cepat undur diri sebelum dicap sebagai pelakor.
Ngeri kalau sampai dihakimi emak-emak di seluruh pelosok negeri.
Gagal maning.
Pernah juga icip-icip dekat sama berondong. Matre, sih, enggak. Bukan pula suami orang, tetapi labilnya tingkat Asia. Sebentar-sebentar ngambek, sebentar-sebentar laporan ini itu.
Aku kepingin diemong bukannya ngemong.
Gagal untuk kesekian kali.
Jujur, masih banyak lagi cerita serupa tapi tak sama. Jika kutuliskan satu per satu enggak bakalan muat satu lembar kertas ukuran A4. Kalaupun ada yang benar-benar tulus, mereka memilih mundur karena status sosial yang berbeda.
Tak selamanya wanita cantik, mandiri dan sukses dalam karier itu mujur dalam perihal asmara. Kalau apes melulu, sih, iya.
"Oke. Sekarang May mau tanya. Apa Papi Mami malu dengan status perawan tua ini?" Sakit menyebutnya, aku bukan perawan tua, kok. Cuma telat nikah saja alias jodohku masih tertunda.
"Bukannya malu, Sayang. Kami hanya bisa mengupayakan yang terbaik untuk masa depanmu." Mami menepuk bahuku, memberi pengertian. Aku bisa menangkap kekhawatiran di sepasang mata yang mulai menua.
Apalagi kalau sudah menyangkut penyakit tua. Ingin melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa sebelum ajal menjemput. Ah! Makin terpojok dan tak berkutik.
Haruskah aku menyerah sampai di sini?
"Kalian semua yakin dengan pilihan itu?" Semua mengangguk kompak.
"Yakin, kalian semua siap? Ini adalah pertaruhan karier Mayra. Setelah menikah, Mayra akan resign dari perusahaan. Menanggalkan gelar sarjana, melepas karier dan mendedikasikan diri Mayra full sebagai ibu rumah tangga. Papi udah siap kehilangan calon presiden direktur dengan segudang prestasinya?"
Terdengar konyol, tapi itu murni cita-citaku setelah menemukan pendamping hidup. Sekaligus mengetes kerelaan Papi.
Lelaki 60 tahun itu menarik napas, memijit pangkal hidung, memijit pelipis, seakan tengah berada dalam dua pilihan yang sangat sulit. Namun, harus tetap memutuskan salah satu.
"Itu, sih, enggak masalah. Ya, kan, Pi! Kan masih ada Firman." Elah! Rupanya ada yang sedang mencari celah di tengah ketidakberdayaan kakaknya.
"Ooh. Jangan-jangan ini memang rencana kamu biar dipromosikan jadi direktur buat gantiin Mbak. Good!" Firman pucat seketika mendengar tuduhanku.
"E--enggak gitu, Mbak."
Ekspresi ketakutan adikku terlihat lucu. Kalau pun dia yang jadi penggatiku, ya, wajar. Firman 'kan anak Papi juga.
"In Syaa Allah, Papi ikhlas, May. Demi generasi penerus perusahaan. Papi butuh bibit-bibit unggul yang cerdas dan mandiri seperti kamu dan Indraguna." Ucapan Papi seperti hakim yang telah mengetuk palu pertanda sidang telah selesai dengan satu keputusan.
"Jadi--"
"Iya, sebaiknya kamu menikah saja. Lahirkan cucu-cucu yang banyak untuk Papi Mami."
Nikah? Serius ini?
***
Melewati lobi kantor, sapaan juga anggukan penuh hormat selalu menjadi pemandangan sehari-hari. Aku bukan penggila kehormatan. Sebisa mungkin membalas mereka dengan senyuman.
Bagiku, senyuman adalah energi positif untuk menumbuhkan semangat mereka dalam beraktivitas. Jika hati senang pekerjaan pun terasa ringan. Menebar senyuman toh, tidak akan menjatuhkan wibawaku sebagai pimpinan.
Justru kearoganan kerap kali membuat orang lain merasa terpaksa menjalani rutinitas. Hanya demi uang.
"Maaf, Bu Mayra. Ada yang sedang menunggu di ruang tunggu lobi." Salah satu security memberitahu saat tangan ini hendak menekan tombol lift.
"Siapa, Pak?" tanyaku, penasaran.
"Namanya Pak Indraguna, Bu Mayra."
What! Pemilik jenggot semak belukar ngapain pagi-pagi ke kantor?
"Baik, Pak. Terima kasih."
Petugas keamanan itu mengangguk dan mengayunkan tangan mempersilakan menuju ruang tunggu.
Lelaki berbalut kemeja hitam lengan panjang tengah duduk menyilangkan kaki di sofa dekat pintu masuk lobi. Memandang lurus ke luar dinding kaca hingga tak menyadari aku telah berdiri di sampingnya.
"Selamat pagi, Pak! Bapak mencari saya?" Sapaanku mengagetkannya. Pun sama denganku yang tiba-tiba memaku tanpa sebab.
Salah, memang ada sebabnya. Ke mana perginya rambut-rambut lebat di kitaran dagu dan bawah hidung itu?
"Bapak--"
"Iya. Saya suami Raisa. Kenapa? Kaget lihat ketampanan saya?"
Sial! Ucapannya benar semua. Jenggot dan kumis itu terpangkas habis, yang tersisa hanya ketampanannya. Ya, hanya itu.
"Maaf. Ada perlu apa Bapak datang ke sini?" Aku duduk di sofa tunggal satu lagi.
Duh, kenapa orang ini jadi kelihatan lebih muda?
"Jangan terlalu formal, panggil saya biasa saja."
"Baik. Mas Gun ada perlu apa mencari saya?"
"Mas Gun?" Dia mengernyit.
Salahku di mana? Katanya tidak boleh terlalu formal. Dipanggil Mas Gun kok, protes. Orang namanya Indraguna. Ada Gun-gunnya.
Bersambung
"Bapak keberatan dengan panggilan itu?" What's wrong with Mas Gun? Bukankah terdengar lebih akrab. Lelaki yang langsung mengenakan kacamata hitam itu tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajah. "Terserah mau panggil apa. Yang jelas saat ini saya sangat membutuhkan bantuan kamu." "Bantuan apa, Pak?" "Ikut saya!" Pria 35 tahun itu bangkit lantas mengulurkan tangan. Mau digandeng ke mana? Bukan mau dansa atau menyeberang jalan, kan? "Maaf, Pak. Saya tidak bisa pergi begitu saja tanpa kejelasan." Tangan yang menggantung itu perlahan turun, seiring helaan napas kecewa karena aku menolak ajakan yang entah ke mana. "Saya akan jelaskan semuanya setelah sampai tujuan, saya tidak punya banyak waktu." Kupikir dia menyerah dan segera pergi, tapi malah menjulang di depanku. "Begitu pun dengan saya. Kebetulan jadwal saya pun sangat padat. Jika tidak mendadak seperti ini, pasti akan saya re-scedule supaya tidak bentrok. Sekali lagi maaf!" "Rapat hari ini biar Papi dan Firman yang han
"Jadi, Mbak May habis dikenalin sama ibunya Pak Indra? Ada kemajuan, nih." Rasti bersorak yas yes merasa misinya berhasil. Sepulang dari rumah sakit, mood-ku terlanjur berantakan. Malas kembali ke kantor, kuputuskan menyambangi rumah Firman dan Rasti. "Jangan kesenengan dulu kamu, Ras. Aku kasih jeda satu bulan sebelum Mas Gun datang melamar." "Mas Gun siapa, Mbak? Ada calon lain?" "Maksud Mbak, ya, Pak Serbaguna eh Indraguna mantan bos kamu itu." "Aciaaaah, udah punya nama panggilan kesayangan." Rasti noel-noel lenganku, bikin dada ini ser-seran aneh mendengar apa yang dia bilang. Panggilan kesayangan itu bukannya semacam, sayang, baby, honey. Lha ini Mas Gun? Kesayangan dari Hongkong? "Udah, deh, gak usah julid kamu, Ras." Malu, sudah tua begini diledekin kaya anak ABG. Ulah manusia enggak ada akhlak. "Kenapa harus nunggu selama itu, sih, Mbak?" tanya adik iparku. "Nah, itu dia tujuan Mbak ke sini. Kalau kamu pengen mbakmu ini lepas dari status jomblo ngenes. Kamu harus ban
"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon. Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa? "Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?" "Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah." "Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu." Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta. "Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak t
"Nikahin secepatnya? Anda lucu sekali, Pak. Lamaran saja belum tentu terlaksana." Aku terkekeh sombong.Sebagai pengidap jomlo akut, tak memungkiri bahwa aku pun ingin segera mengakhiri status single ini. Namun sah-sah saja kan, jika aku berhak mendapatkan calon pendamping terbaik. Sudah enggak laku-laku, pemilih pula. Well, silahkan beropini apa saja. Namun, jalan hidup mendatang tetap berada dalam genggamanku bukan di tangan netijen. "Konsisten, May. Kalau panggil pak ya pak, mas ya mas. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dengan panggilan Mas Gun. Meski sedikit menurunkan wibawa saya, tapi kalau keluar dari mulut kamu jadi terdengar lebih spesial." Enggak bakalan mempan, Mas. Mau digombalin jenis apa pun aku enggak akan menerima lamaran sebelum misi selesai. Pak Indra membimbingku duduk berhadapan di kursi balkon. Bersekat meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya. Aroma khas minuman berkafein itu merelaksasi pikiran semrawut yang berjeja
Atas dasar ingin tetap menjalin silaturahmi dengan mantan menantu. Tante Kantini meneruskan temu kangen di sebuah resto dalam mal. Duduk bertiga di meja yang sama. Posisi mereka jelas, pernah ada ikatan keluarga. Lalu aku? Pacar Mas Gun? Bukan. Calon istri? Belum di-approve. Jadi untuk sementara aku menjadi pendengar setia dua wanita beda usia yang lebih mendominasi pertemuan mengagetkan ini. Seperti terjebak dalam labirin dan kebingungan mencari jalan keluar, aku menikmati sepelan mungkin makanan yang terkunyah di mulut. Jangan sampai habis sebelum alarm perbincangan itu berbunyi tanda selesai. Ponsel hanya ku-check sesekali, enggak enak memainkan benda itu berlama-lama di depan wanita yang sangat kuhormati. "Bagaimana kabarmu, Denia? Sudah menemukan pendamping baru?" Seakan paham situasi, Tante Kantini sama sekali tak membahas masa lalu mantan istri putranya. "Belum, Ma." Diiringi senyuman tipis, Mbak Denia menjawab pelan. Mengalihkan kecanggungan dengan meminum jus. Mama. Pan
"Maksud Mas Gun apa?" Aku mengedikkan bahu dan bertanya-tanya dalam hati. Mas Gun menolehku lagi. Mati. Kacamata hitam yang bertengger di atas hidung tak menghalangi tatapan intens-nya. Akan terus seperti itu andai Alphard putih ini tak disalip truk yang membunyikan klakson cukup keras. Meng-ambyarkan aktivitas iseng Mas Gun sekaligus menyadarkan dirinya untuk fokus menyetir. "Dulu, Denia itu salah satu karyawan saya di kantor. Gadis yang membuat saya move on dari Purnama." Akhirnya ... cerita itu mengalir tanpa kuminta. "Terus?" "Sudah saya duga, kamu pasti sangat ingin tahu, May." "Tapi aku enggak maksa Mas buat cerita juga, kok. Santuy, Mas." Ada yang mau ngeles tapi bukan bajaj. Padahal kepingin tahu juga dari versi Mas Gun sendiri. "Oh, yasudah." Maaas Guuun! Kepingin pelintir lengannya tapi belum punya hak. Lihat aku kesal, dia terkekeh. Khas sekali, sampai orangnya enggak ada pun masih terngiang di telinga. Tengil-tengil gimana gitu. Enggak tega lihat bibirku tambah
"Maaf, apa betul ini Mbak Sarah?" Wanita berambut panjang kecoklatan itu menengok saat aku telah sampai dan berdiri dekat kursi yang dia tempati. "Betul. Dengan Mbak Mayra?" Dia balik bertanya. "Iya, benar." Aku berjalan memutari meja bulat putih itu, lantas duduk berseberangan dengan seseorang yang ingin kutemui. Menjelang deadline waktu sebulan sebelum Mas Gun resmi melamar. Akhirnya sampai juga pada penyelidikan ketiga. Untung Mbak Sarah ini sangat kooperatif. Gampang diajak ketemuan tanpa ribet asal ada hitung-hitungannya, yang ini benar-benar mantan anti-mainstream. Sepersekian detik aku menilik penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Body padat berisi itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Enggak usah kalian bayangkan lah, ya. Pokoknya idaman semua laki-laki. Mbak Sarah mengaplikasikan riasan cukup tebal di area wajah ovalnya. Bulu mata palsu ulala dan softlens biru menyempurnakan kitaran mata bulatnya. Mas Gun, Mas Gun. Apa
"Karena Mas Gun ini adalah kandidat tunggal alias enggak ada saingan. Boleh, kan, aku tahu cerita lalu dengan mantan-mantan mas Gun. Saling terbuka gitu, biar ke depannya enggak ada pertanyaan-pertanyaan lagi. Kenapa begini, kenapa begitu? Aku pun akan melakukan yang sama." Di bangku besi taman kota, uneg-uneg di perut akhirnya tersampaikan juga. Mas Gun duduk terpekur, mengamati pasangan muda mudi yang melintas di depan kami. Lantas menoleh ke arah lain, seakan merangkai jawaban sebanyak dan semampuku bisa mendengar, kalau perlu sekalian mencernanya. "Namanya Sarah ...." Menurut versi mas Gun enggak berbeda jauh dengan versi mbak Sarah. Menikah karena perjodohan. Almarhum Prawira menjodohkan sang putra dengan anak kawan baiknya semasa sekolah dan belum memiliki apa-apa. Keluarga sang sahabat berjasa besar pernah menolong beliau dalam kesulitan hidup. Hingga merasa harus membalas budi. Kebetulan mbak Sarah belum menemukan jodohnya, lalu Mas Gun telah menyandang status duda. Semu
"Bagaimana, May? Kamu mau kembali ke perusahaan papi? Sudah waktunya papi beristirahat, menemani Mami liburan, juga mengisi masa tua papi bersama cucu-cucu kesayangan papi." Lelaki berambut putih itu menolehku. Aku tak langsung menjawab atau berkata setuju. Belakangan kondisi kesehatan Papi menurun. Pola hidup sehat yang diterapkan kendur lagi seiring banyaknya pekerjaan yang menuntut segera diselesaikan. Namun tidak diimbangi dengan fisik yang memadai. "Mayra perlu membicarakan ini dengan Mas Indra, Pi." Kurangkul bahu Papi hingga mencapai sebuah bangku taman belakang dekat kolam ikan koi kesayangan pria tua tersebut. "Semoga Indra mengizinkan ya, May. Perusahaan Papi butuh generasi mumpuni seperti kamu. Sayang, kalau pengalaman yang kamu miliki disia-siakan begitu saja. Papi yakin, di tangan kamu perusahaan Papi pasti akan terus-menerus berkembang. Mampu menyerap tenaga kerja domestik, serta disegani kompetitor karena inovasi dan ide brilian kamu sering tidak terduga." "Itu kan
"Mas, ayo bangun!" Samar-samar kudengar seseorang berbisik di telinga. "Hmmm." Enggan rasanya membuka mata di saat masih ingin nyenyak bermain di alam mimpi. "Kok, cuma hmm. Ayo cepetan bangun!" Kali ini bahuku berguncang karena dorongan tangan Mayra. "Saya masih mengantuk, May." Kurebahkan tubuh istriku lalu menggulungnya di balik selimut. "Mas!" Dia meronta minta dilepaskan. "Sepagi ini ngapain bangunin suamimu, ha?" "Kan kemarin aku sudah bilang, minta ditemani jogging." Wanita! Selalu sensitif jika ada satu dua orang yang mengomentari perubahan fisiknya. Padahal di mataku sudah ideal. Namun, itu masalah besar jika orang lain yang berkomentar. Terlebih teman-teman yang dia bilang body goal meski sudah berkali-kali melahirkan. Dua tahun lamanya dia menahan diri untuk diet. Itu pun karena aku tak pernah mengizinkan, bahkan menentangnya habis-habisan meski Mayra memohon-mohon. Sekarang, dia seperti tawanan yang telah bebas. Sudah menyelesaikan tugas menyusui Rendra selama du
"Akhirnya, cucu Oma datang juga!" Mama Kantini bungah menyambut sang cucu. Tak sabar ingin meraih bayi yang terlelap dalam lilitan bedongan. Sebulan pasca melahirkan, kami kembali boyongan ke istana Prawira. "Hati-hati, Ma!" Mas Gun meletakkan Rendra dalam pangkuan sang Mama. "Persis seperti kecilanmu dulu, Ndra." Dikecupnya pipi kemerahan itu, gemas. "Iya, dong. Papanya saja ganteng begini, apalagi anaknya." "Aku juga ikut andil kali, Mas." Mas Gun meringis mendapati pinggangnya terkena cubitanku. Narsis sekali, padahal wajah Rendra itu perpaduan antara aku dan papanya. Yah, meski kuakui Mas Gun lebih mendominasi. "Mama kamu marah, Sayang." Bayi tampanku tak terusik meski sang papa mengusili dengan menjawil pipi gembulnya. "Kamar Rendra gimana, Mas? Udah beres semuanya?" "Sudah, dong." Embak-embak asisten sudah menata baju juga pernak pernik milik Rendra di kamar berdinding warna warni tersebut. Pintar sekali suamiku memilihkan desain untuk putra kami. Keempat sisi dinding
"Sudah, Mas. Malu, banyak orang." Mayra mendorong kepalaku. "Itu belum seberapa, May." Semakin mendapat penolakan, semakin gencar aku menggoda. Puluhan kali pipi dan kening itu kujadikan sasaran hidung ini. Tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan bahagia berlebih dalam hati, selain menyalurkannya dengan kecupan juga pelukan. Wajah pucat istriku kembali berbinar, lebih bertenaga setelah dipindahkan ke ruang pemulihan. Bayiku sendiri sedang jadi rebutan kakek neneknya. Sayup-sayup kudengar sedikit keributan di luar sana, ingin bergantian menggendong. "Kubilang cukup, Mas!" Sekarang dia memberengut karena aku membuat insta story tanpa persetujuan. Mayra pasti tidak percaya diri dengan penampilan apa adanya. Wanita! Aku--yang suaminya saja tidak pernah mempermasalahkan. Kenapa dia begitu ribet memikirkan penilaian orang di luar sana. "Biarkan suamimu ini mengekspresikan kebahagiaannya, May." Dia memutar bola mata, malas. Setelah itu pasti akan bilang terserah. Notifikasi tak be
"Kamu cantik sekali, May." Pria di ranjang sana suka sekali memujiku terang-terangan. Entah berapa ratus koleksi foto yang memenuhi galerinya. Terutama pose-pose sang istri semenjak berbadan dua. Mas Gun senang sekali dengan perubahan bentuk tubuhku. Apalagi di bagian perut. Seringkali menjadi objek jepretan kamera ponselnya. Menurutnya, aku sangat seksi saat mengenakan daster dengan perut gendut seperti ini. "Mas juga tampan," balasku. Memang fakta, memasuki usia kepala empat. Lelakiku kian matang dan awet tampan. Aku sengaja membuka jendela lebar-lebar, untuk sirkulasi udara di pagi hari. Tirai coklat muda kutarik ke pinggir, lalu mengikatnya di bagian tengah. Sebentuk tangan melingkari perutku yang bulat. Meraba pergerakan sang bayi di dalam sana. "Wah, sepertinya dia sedang bermain, May." Calon papa mengusap permukaan perut yang sedikit lancip. "Sekarang lebih anteng, Mas. Enggak intens nendang-nendang." "Mungkin karena dia ada feeling kalau sebentar lagi akan melihat dun
"Aku enggak mau USG, Mas!" Ada ketakutan di wajah istriku mendengar saran dari beberapa orang terdekat. "Kenapa, May?" Mayra beringsut ke jendela kamar, membuka gorden dan berdiri melipat tangan di sana. Aku menyusul, memeluk perut yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. "Biar jadi surprise saja." Kegelisahan itu berbeda, entah kenapa di balik kebahagiaan ini, dia seperti menyimpan kekhawatiran. "Sayang. USG itu bukan hanya untuk mengetahui jenis kelamin anak kita saja. Tapi juga untuk melihat kondisi Indraguna junior di dalam sini." Aku mengusap perut Mayra dengan gerakan memutar. "Jadi Mas Gun menginginkan anak lelaki?" "Ya, enggak juga, May. Tadi hanya perumpamaan saja. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Saya tetap bersyukur dengan anugerah luar biasa ini." "Jujur, aku sedikit takut, Mas." Mayra berbalik, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Seakan meminta perlindungan dari bahaya yang mengancam. "Takut kenapa, hem?" "Karena aku mengandung di usia yang tak la
Jam di nakas masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, sejak terbangun karena tenggorokanku haus tadi. Sulit mata ini untuk terpejam kembali. Bergonta-ganti posisi tidur pun tetap membuatku merasa tak nyaman. Aku gelisah. Bukan karena memikirkan persoalan berat. Namun, tiba-tiba saja terlintas ingin memakan sesuatu. Makanan yang tidak tersedia di rumah ini, mustahil juga ada yang menjualnya di jam seperti ini. "Mas!" Aku menepuk pundak lelaki yang tengah terbuai mimpi. "Hmmm." Dia hanya menggeliat sebentar, lalu tertidur lagi. "Mas--" Kuguncangkan lagi bahu kekar itu. Kali ini dia terbangun dan langsung terduduk mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Sayang?" Tangan besarnya terulur mengelus pipiku. "Aku--" Ah, bagaimana mengatakannya? Tega sekali aku mengusik suamiku yang tengah beristirahat, setelah seharian penuh bekerja keras. Ditambah mengurus istrinya yang mendadak sensitif dan manja. "Kamu sakit? Muntah-muntah lagi?" Dia menempelkan telapak tangan di kening, lalu beralih
"Mas! Ada apa?" Kening istriku mengerut. Entah bagaimana meluapkan kebahagiaan tiada tara ini. Usai mengakhiri percakapan dengan dokter Hans, aku tak langsung menjawab pertanyaan Mayra. Beranjak dari kursi, kutarik tubuh wanita yang masih keheranan itu ke dalam pelukan. Erat. Menghujani tiap inci wajahnya dengan kecupan. Tak peduli meski ada Firman dan Rasti di sana. "Mas ... siapa yang menelepon?" "Dokter Hans, Sayang." "Gimana hasil tes terakhirku, Mas?" Mayra mulai tak sabaran saat aku menyebutkan nama dokter yang menangani program bayi tabung kami. "Alhamdulillah ... positif, May." Dia menarik wajah dari dadaku, menatap suaminya ini dalam-dalam. Bibir tipisnya menganga seakan tak percaya. Perlahan jariku mengusap kaca-kaca di sepasang mata indah itu. Namun, sekali mengerjap tetesan bening tetap meluncur di kedua pipi. "Kamu serius, Mas?" Aku mengangguk yakin. "Iya, Sayang." "Alhamdulillah, ya Allah." Mayra kembali memeluk. Untuk beberapa saat kami terdiam, hanya isak yan
"Maafkan mama, May." Wanita tua itu menunduk, ada air mata yang tersimpan di sana. Aku membungkuk mensejajarkan tubuh dengan beliau yang terduduk di kursi roda. Menggenggam tangan keriput nan dingin di pangkuannya. "Mayra sudah memaafkan Mama, jauh sebelum Mama meminta maaf." Aku menelungkupkan kepala di pangkuan ibu mertua. Tak lama, kurasakan usapan lembut di bahu. Ada kasih sayang tulus yang tersalur darinya. "Alhamdulillah." Mas Gun yang menyaksikan adegan ini tampak lega. Dirangkulnya dua wanita yang teramat dia cintai. Lantas diciuminya bergantian. Aku kembali. Setelah perenungan panjang tempo hari. Setelah mengumpulkan rekam peristiwa yang kami lalui hingga detik ini. Hatiku cenderung memilih untuk bertahan. Menyambut erat tangan yang juga mati-matian ingin mempertahankanku di sisinya. Menerima segala sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya. Tidak ada alasan lagi untuk pergi, karena dia memiliki seribu satu cara agar aku tetap tinggal. "Papa!" Zio muncul dari ruang dalam