"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon.
Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa?
"Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?"
"Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah."
"Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu."
Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta.
"Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak tahu untuk apa.
Mudah-mudahan misi selanjutnya aku bisa mendapat info yang lebih valid tentang mantan istri berikutnya. Mencari kesalahan orang ternyata tidak segampang yang netijen bilang.
"Nanti sore saya jemput, May."
"Loh, kok, main jemput-jemputan segala. Halo Mas! Mas Gun ... halo--" Semprul! Dia memutuskan sambungan telepon.
Pintu private room bergeser, Rasti datang bersama bayi gembulnya. "Mbak May! Gimana?"
Ipar enggak ada akhlak, datang-datang langsung kepo. Dia duduk manis di kursi bekas Mbak Purnama Julita tadi. Menopang dagu cengengesan menunggu hasil pertemuan empat mata dengan salah satu mantan istri Pak Indra.
"Zonk, Ras."
Aku mendesah kecewa, sementara Chesa cekikikan. Tangan kecilnya menggapai-gapai benda di meja. Lihatlah! Bahkan bayi itu pun punya bakat julid kaya ayah bundanya. Menertawakan kengenesan ini.
"Kok, gitu, Mbak? Enggak berhasil ngorek sama sekali?"
Mau mengorek bagaimana? Belum apa-apa sudah diskakmat. Malu kalau diingat-ingat. Seumur-umur, baru kali ini aku kurang kerjaan stalking mantan istri orang.
"Kalau tahu hasilnya zonk begini. Mbak hora sudi, Ras. Repot-repot bikin janji berakhir malu-maluin."
"Lagian Mbak ada-ada aja, tinggal iyain lamaran Pak Indra eh malah ribet ngoprek masa lalu orang."
"Itu penting, Ras. Masa lalu adalah acuan untuk masa depan. Jadi harus clear di awal dulu, biar ke depannya enggak kaget kalau ternyata di kehidupan lampau ada something yang kudu diberesin."
Menurutku itu harus dilakukan. Keterbukaan dalam menjalin hubungan adalah penunjang keharmonisan. Jadi, aku harus tahu asem, manis, pahit, legit kehidupan rumah tangga Pak Indra sebelum menduda ... tiga kali.
"Jadi, Mbak Mayra mau lanjut selidikin mantan istri nomor dua?"
"Ya, dong."
"Minta bantuan Rasti sama Mas Firman lagi?"
"Enggaklah."
"Alhamdulillah."
"Enggak salah maksudnya."
"Mbaaak!"
Salah sendiri mengerjaiku, siapa suruh iseng menyodorkan duda untuk partner kencan buta. Mau tak mau mereka harus tanggung jawab sampai ke akar-akarnya.
***
Sore hari.
Pak Indra benar-benar konsisten dengan ucapannya. Maka dari itu sekarang aku berdiri di sini. Di depan sebuah rumah yang kuperkirakan seluas ribuan meter persegi. Lebih besar dua kali lipat dari rumah Papi.
Pilar-pilar bercat putih menjulang kokoh di beberapa bagian bangunan, termasuk teras. Dari arsitektur-nya jelas sekali mengusung tema Eropa klasik.
"Masuk, May!" Pak Indra menarik tanganku setelah pintu yang juga berwarna putih terbuka oleh asisten rumah tangga.
Seperti kucing lapar yang mengintil kaki sang majikan, aku pun manut saja mengikuti ke mana pun pria itu melangkah dengan mata menjelajah ruang demi ruang yang masih didominasi warna putih.
"Ini rumah Pak Indra?" Sudah jauh sampai di dalam baru bertanya, dasar aku!
"Rumah orang tua saya, May." Lelaki berkemeja putih itu menoleh sekilas lalu meneruskan langkah menaiki anak tangga yang pembatas kanan kirinya dihiasi lampu-lampu.
Di perjalanan tadi Pak Indra sedikit bercerita mengenai keluarganya. Bungsu dari tiga bersaudara itu merupakan anak lelaki satu-satunya di trah Prawira. Kakak pertama menjalani bisnis di luar negeri bersama sang suami. Sementara satu lagi tinggal di Bandung. Namun, sering bolak-balik Jakarta untuk merawat sang ibu.
Padahal aku menunggu Pak Indra membuka rahasia perceraian dengan mantan-mantan istrinya. Kenapa malah membahas silsilah keluarga?
"Silahkan May!" Hamish Daud KW membuka salah satu pintu di lantai dua. Rupanya terhubung dengan balkon.
Area yang cukup luas untuk bersantai itu dilengkapi meja kayu panjang, dikelilingi kursi-kursi dari bahan yang sama. Sepertinya mereka sering mengadakan jamuan barbeque.
Lantai balkon diberi sentuhan rumput sintetis. Sementara di dekat pagar pembatas, berjajar pula tanaman-tanaman yang tertata rapi dalam pot. Di situlah aku melihat wanita berbalut kerudung ungu tengah menyemprotkan air ke salah satu koleksi tanaman.
"Sore, Tante!" sapaku, sepeninggal Pak Indra.
Entah kenapa pria yang dagunya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus lagi itu memilih pergi ketimbang bergabung dengan perbincangan kami.
Apakah ini yang namanya disuruh mengambil hati calon mertua?
"May! Kamu sudah datang?" Tante Kantini memutar kursi roda. Aku sigap menghampiri nya lantas meraih pegangan di belakang punggung wanita keibuan tersebut.
"Iya, Tante."
Kondisi wanita yang telah melahirkan Pak Indra jauh lebih baik. Sangat berbeda dengan pertemuan pertama kami di rumah sakit waktu itu.
Setengah jam kami terlibat dalam perbincangan. Membahas hal yang ringan-ringan saja. Walaupun bisa dipastikan bahwa ujung-ujungnya selalu menyinggung tentang pernikahan. Aku bukan cenayang, tapi feeling seorang jomlo ngenes biasanya tepat.
"Jika Indra sudah yakin dengan pilihannya. Tante selalu menyarankan untuk disegerakan saja," ucap Tante Kantini.
Tuh, kan!
Masalahnya bukan terletak pada Mas Gun, tapi aku yang belum yakin. Sayang, wanita itu tak bisa mendengar isi hatiku. Ingin diutarakan tapi takut menyinggung perasaan.
"Mungkin Pak Indra masih butuh waktu, Tante." Jelas ini pencitraan, padahal aku yang mengulur waktu.
"Untuk apa mengulur waktu? Lelaki itu harus tegas, karena wanita pada dasarnya selalu menunggu." Pak Indra mengarang cerita apa ke ibunya. Kok, kenyataannya terbalik. "Jangan sampai seperti waktu itu, pacaran bertahun-tahun, nikah lima tahun, tapi harus bercerai," lanjut beliau.
Ini dia yang kutunggu-tunggu, sejarah perceraian pertama versi keluarga Prawira.
"Memangnya kenapa, Tante?" Mari kita lempar umpan untuk mendapat pancingan.
"Waktu itu mereka masih sama-sama muda. Wajar sering terjadi percekcokan karena kesibukan masing-masing. Namun, salah Indra juga terlalu memberikan kebebasan untuk Purnama, sampai dia tidak sadar jika akhirnya berbuah simalakama." Sedikit demi sedikit misteri itu mulai terkuak dari bibir Tante Kantini. Sudah pasti dia berkata sebenarnya.
"Maksud Tante?"
"Sudahlah, May! Tante tidak mau membicarakan keburukan di masa lalu. Itu pilihan mereka, dan saya harus menghargai keputusan itu. Namun setahu Tante, Indra tidak akan pernah memberikan kesempatan kedua untuk sebuah pengkhianatan."
Apa? Pengkhianatan? Jadi sebenarnya Mbak Purnama Julita yang berkhianat di sini? Wanita sok bijak dan sok idealis itu ternyata ....
Ini benar-benar plot twist. Awalnya dibuat terkagum-kagum oleh sosok cantik jelita itu. Sekarang ketemu faktanya. Seorang Indraguna yang tampan paripurna pernah diselingkuhi?
Oke! Mumpung masih membahas mantan istri. Aku harus pancing-pancing lagi ke penyelidikan berikutnya. Ini namanya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Jadi tak perlu capek-capek menggunakan jasa intelegensi.
"Maaf, Tante. Lalu tentang mantan istri--"
"Maaf, Buk. Waktunya istirahat dan minum obat." Kalimatku menggantung oleh kehadiran salah satu perawat pribadi.
Semprul! Gagal tanya jawab.
Tante Kantini undur diri dibawa masuk untuk beristirahat. Sementara aku berdiri memandangi view kawasan elite dengan luas bangunan yang rata-rata nyaris sama.
"Seru ngobrolnya May?" Pria yang sedari tadi menghilang, kembali lagi dengan membawa dua cangkir kopi panas.
"Biasa aja, Mas." Tentu saja seru, andai tidak ada yang mengganggu.
"Insting Mama itu kuat May. Bahkan dia bisa tahu kepribadian seseorang hanya dengan tatapan mata saat dia berinteraksi dengan lawan bicaranya."
"Tante Kantini seorang pakar ekspresi, Mas?" Jangan-jangan, aku salah satu target yang ingin dikupas kepribadiannya.
Pak Indra terkekeh melihat kepanikanku. Menyebalkan tapi tak menurunkan level ketampanannya.
"Dulu, saya sering tidak percaya dengan penilaian Mama tentang wanita-wanita yang pernah dekat dengan saya. Sampai kegagalan demi kegagalan itu menyadarkan saya tentang naluri seorang ibu." Pak Indra berdiri sejajar denganku, menyandarkan setengah tubuhnya di besi pembatas balkon.
"Lalu hubungannya dengan saya apa?"
"Kali ini saya akan mencoba untuk mempercayai Mama, May."
"Caranya?"
"Menikahi kamu secepatnya."
Weleh!
Bersambung
"Nikahin secepatnya? Anda lucu sekali, Pak. Lamaran saja belum tentu terlaksana." Aku terkekeh sombong.Sebagai pengidap jomlo akut, tak memungkiri bahwa aku pun ingin segera mengakhiri status single ini. Namun sah-sah saja kan, jika aku berhak mendapatkan calon pendamping terbaik. Sudah enggak laku-laku, pemilih pula. Well, silahkan beropini apa saja. Namun, jalan hidup mendatang tetap berada dalam genggamanku bukan di tangan netijen. "Konsisten, May. Kalau panggil pak ya pak, mas ya mas. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dengan panggilan Mas Gun. Meski sedikit menurunkan wibawa saya, tapi kalau keluar dari mulut kamu jadi terdengar lebih spesial." Enggak bakalan mempan, Mas. Mau digombalin jenis apa pun aku enggak akan menerima lamaran sebelum misi selesai. Pak Indra membimbingku duduk berhadapan di kursi balkon. Bersekat meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya. Aroma khas minuman berkafein itu merelaksasi pikiran semrawut yang berjeja
Atas dasar ingin tetap menjalin silaturahmi dengan mantan menantu. Tante Kantini meneruskan temu kangen di sebuah resto dalam mal. Duduk bertiga di meja yang sama. Posisi mereka jelas, pernah ada ikatan keluarga. Lalu aku? Pacar Mas Gun? Bukan. Calon istri? Belum di-approve. Jadi untuk sementara aku menjadi pendengar setia dua wanita beda usia yang lebih mendominasi pertemuan mengagetkan ini. Seperti terjebak dalam labirin dan kebingungan mencari jalan keluar, aku menikmati sepelan mungkin makanan yang terkunyah di mulut. Jangan sampai habis sebelum alarm perbincangan itu berbunyi tanda selesai. Ponsel hanya ku-check sesekali, enggak enak memainkan benda itu berlama-lama di depan wanita yang sangat kuhormati. "Bagaimana kabarmu, Denia? Sudah menemukan pendamping baru?" Seakan paham situasi, Tante Kantini sama sekali tak membahas masa lalu mantan istri putranya. "Belum, Ma." Diiringi senyuman tipis, Mbak Denia menjawab pelan. Mengalihkan kecanggungan dengan meminum jus. Mama. Pan
"Maksud Mas Gun apa?" Aku mengedikkan bahu dan bertanya-tanya dalam hati. Mas Gun menolehku lagi. Mati. Kacamata hitam yang bertengger di atas hidung tak menghalangi tatapan intens-nya. Akan terus seperti itu andai Alphard putih ini tak disalip truk yang membunyikan klakson cukup keras. Meng-ambyarkan aktivitas iseng Mas Gun sekaligus menyadarkan dirinya untuk fokus menyetir. "Dulu, Denia itu salah satu karyawan saya di kantor. Gadis yang membuat saya move on dari Purnama." Akhirnya ... cerita itu mengalir tanpa kuminta. "Terus?" "Sudah saya duga, kamu pasti sangat ingin tahu, May." "Tapi aku enggak maksa Mas buat cerita juga, kok. Santuy, Mas." Ada yang mau ngeles tapi bukan bajaj. Padahal kepingin tahu juga dari versi Mas Gun sendiri. "Oh, yasudah." Maaas Guuun! Kepingin pelintir lengannya tapi belum punya hak. Lihat aku kesal, dia terkekeh. Khas sekali, sampai orangnya enggak ada pun masih terngiang di telinga. Tengil-tengil gimana gitu. Enggak tega lihat bibirku tambah
"Maaf, apa betul ini Mbak Sarah?" Wanita berambut panjang kecoklatan itu menengok saat aku telah sampai dan berdiri dekat kursi yang dia tempati. "Betul. Dengan Mbak Mayra?" Dia balik bertanya. "Iya, benar." Aku berjalan memutari meja bulat putih itu, lantas duduk berseberangan dengan seseorang yang ingin kutemui. Menjelang deadline waktu sebulan sebelum Mas Gun resmi melamar. Akhirnya sampai juga pada penyelidikan ketiga. Untung Mbak Sarah ini sangat kooperatif. Gampang diajak ketemuan tanpa ribet asal ada hitung-hitungannya, yang ini benar-benar mantan anti-mainstream. Sepersekian detik aku menilik penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Body padat berisi itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Enggak usah kalian bayangkan lah, ya. Pokoknya idaman semua laki-laki. Mbak Sarah mengaplikasikan riasan cukup tebal di area wajah ovalnya. Bulu mata palsu ulala dan softlens biru menyempurnakan kitaran mata bulatnya. Mas Gun, Mas Gun. Apa
"Karena Mas Gun ini adalah kandidat tunggal alias enggak ada saingan. Boleh, kan, aku tahu cerita lalu dengan mantan-mantan mas Gun. Saling terbuka gitu, biar ke depannya enggak ada pertanyaan-pertanyaan lagi. Kenapa begini, kenapa begitu? Aku pun akan melakukan yang sama." Di bangku besi taman kota, uneg-uneg di perut akhirnya tersampaikan juga. Mas Gun duduk terpekur, mengamati pasangan muda mudi yang melintas di depan kami. Lantas menoleh ke arah lain, seakan merangkai jawaban sebanyak dan semampuku bisa mendengar, kalau perlu sekalian mencernanya. "Namanya Sarah ...." Menurut versi mas Gun enggak berbeda jauh dengan versi mbak Sarah. Menikah karena perjodohan. Almarhum Prawira menjodohkan sang putra dengan anak kawan baiknya semasa sekolah dan belum memiliki apa-apa. Keluarga sang sahabat berjasa besar pernah menolong beliau dalam kesulitan hidup. Hingga merasa harus membalas budi. Kebetulan mbak Sarah belum menemukan jodohnya, lalu Mas Gun telah menyandang status duda. Semu
"Kamu suka warna apa, May?" Suara bariton Mas Gun sedikit tenggelam oleh kebisingan sekitar. Entah di mana dirinya menelepon sekarang. "Merah, Mas." Makin seenaknya dia menghubungiku saat berjibaku dengan kertas-kertas laporan. Hanya untuk menanyakan warna kesukaan. "Melambangkan diri kamu, ya, May?" "Bukan, Mas. Melambangkan kertas merah dengan nominal yang paling disukai wanita."Realistis, Cuy!"Berarti untuk seserahan kamu memilih mentahnya saja, May?" Ooh. Jadi ada hubungannya dengan barang seserahan nanti. Merasa berdosa asal jeplak pilih warna. Padahal aku suka segala sesuatu yang bernuansa peach. "Terserah Mas Gun saja. Mau mentah atau matang, insyaa Allah saya terima dengan sepenuh hati." Sudah terlanjur malu, ya, sudah ceburkan sekalian. Kekehan ala suami Raisa menjadi penutup percakapan. Belum kuletakkan lagi benda di tangan, notifikasi pesan masuk muncul di display layar. 'Maaf, ketinggalan, May.' Yang dimaksud ketinggalan adalah emotikon kepala gundul yang memon
Pagi ini. Aku hanya mengenakan kimono lembut warna biru dengan rambut basah tergulung handuk saat keluar kamar mandi hotel. Kalau ada netijen, mereka pasti bilang cieee ... keramas. Iya, juga. Ini bukan kebiasanku keramas pagi-pagi. Ada apa? Menyapu kanan kiri ruangan luas bertemperatur dingin ini, aku menemukan Mas Gun berdiri dekat ranjang. Membolak-balikan sprei putih itu hingga kelopak-kelopak bunga mawar berhamburan ke lantai. Tempat tidur yang memang sudah berantakan sebelumnya karena gempa bertektonik sekian Skala Richter, semakin berantakan oleh tindakan tak jelas Mas Gun. Oh, iya! Jangan-jangan dia mau mencari bercak darah bukti keorisinilan diri ini. Lah, bukannya dia juga second? Ini namanya diskriminasi kalau seandainya tujuannya demikian. "Mas, ngapain?" tanyaku baik-baik. Belum ada rencana untuk ngegas. Jangan keceplosan, May! Mas Gun enggak jawab, dia meneruskan pencarian bercak yang mungkin tercecer di sudut sprei. Putus asa karena enggak ketemu, suamiku berbal
Aku menggeliat, meraba-raba keberadaan guling. Namun, permukaan guling itu kurasakan berbeda di tangan. Sewaktu lengan ini melingkarinya, ada pergerakan yang sama melingkari pinggangku. Mataku mengerjap, mulanya samar-samar hingga lama kelamaan penglihatanku normal saat mendongak. Senyuman indah terbingkai di sana. "Mas!" Nyaris saja kudorong lelaki itu andai nyawaku belum terkumpul separuhnya sehabis bangun tidur. "Kok, kaget, May?" "M--maaf, Mas." Oh, iya. Dia suamiku. Ini enggak mimpi, kan? Masa jomloku sudah berakhir, kan? Buku nikah! Dimana buku nikah? "May!" Mas Gun mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku. "Sebentar. Ini sungguhan kan, Mas? Tolong cubit aku!" Adegan Mas Gun mengobrak-abrik sprei dalam lamunan parahku kemarin seperti nyata sekali. Apa pagi ini dia akan melakukan itu saat kutinggal mandi nanti? Tapi enggak adil banget, dia sudah menang banyak sebelum-sebelumnya. "Enggak mau, May. Mendingan saya cium daripada dicubit." Tahu-tahu hidung bangir itu suda
"Bagaimana, May? Kamu mau kembali ke perusahaan papi? Sudah waktunya papi beristirahat, menemani Mami liburan, juga mengisi masa tua papi bersama cucu-cucu kesayangan papi." Lelaki berambut putih itu menolehku. Aku tak langsung menjawab atau berkata setuju. Belakangan kondisi kesehatan Papi menurun. Pola hidup sehat yang diterapkan kendur lagi seiring banyaknya pekerjaan yang menuntut segera diselesaikan. Namun tidak diimbangi dengan fisik yang memadai. "Mayra perlu membicarakan ini dengan Mas Indra, Pi." Kurangkul bahu Papi hingga mencapai sebuah bangku taman belakang dekat kolam ikan koi kesayangan pria tua tersebut. "Semoga Indra mengizinkan ya, May. Perusahaan Papi butuh generasi mumpuni seperti kamu. Sayang, kalau pengalaman yang kamu miliki disia-siakan begitu saja. Papi yakin, di tangan kamu perusahaan Papi pasti akan terus-menerus berkembang. Mampu menyerap tenaga kerja domestik, serta disegani kompetitor karena inovasi dan ide brilian kamu sering tidak terduga." "Itu kan
"Mas, ayo bangun!" Samar-samar kudengar seseorang berbisik di telinga. "Hmmm." Enggan rasanya membuka mata di saat masih ingin nyenyak bermain di alam mimpi. "Kok, cuma hmm. Ayo cepetan bangun!" Kali ini bahuku berguncang karena dorongan tangan Mayra. "Saya masih mengantuk, May." Kurebahkan tubuh istriku lalu menggulungnya di balik selimut. "Mas!" Dia meronta minta dilepaskan. "Sepagi ini ngapain bangunin suamimu, ha?" "Kan kemarin aku sudah bilang, minta ditemani jogging." Wanita! Selalu sensitif jika ada satu dua orang yang mengomentari perubahan fisiknya. Padahal di mataku sudah ideal. Namun, itu masalah besar jika orang lain yang berkomentar. Terlebih teman-teman yang dia bilang body goal meski sudah berkali-kali melahirkan. Dua tahun lamanya dia menahan diri untuk diet. Itu pun karena aku tak pernah mengizinkan, bahkan menentangnya habis-habisan meski Mayra memohon-mohon. Sekarang, dia seperti tawanan yang telah bebas. Sudah menyelesaikan tugas menyusui Rendra selama du
"Akhirnya, cucu Oma datang juga!" Mama Kantini bungah menyambut sang cucu. Tak sabar ingin meraih bayi yang terlelap dalam lilitan bedongan. Sebulan pasca melahirkan, kami kembali boyongan ke istana Prawira. "Hati-hati, Ma!" Mas Gun meletakkan Rendra dalam pangkuan sang Mama. "Persis seperti kecilanmu dulu, Ndra." Dikecupnya pipi kemerahan itu, gemas. "Iya, dong. Papanya saja ganteng begini, apalagi anaknya." "Aku juga ikut andil kali, Mas." Mas Gun meringis mendapati pinggangnya terkena cubitanku. Narsis sekali, padahal wajah Rendra itu perpaduan antara aku dan papanya. Yah, meski kuakui Mas Gun lebih mendominasi. "Mama kamu marah, Sayang." Bayi tampanku tak terusik meski sang papa mengusili dengan menjawil pipi gembulnya. "Kamar Rendra gimana, Mas? Udah beres semuanya?" "Sudah, dong." Embak-embak asisten sudah menata baju juga pernak pernik milik Rendra di kamar berdinding warna warni tersebut. Pintar sekali suamiku memilihkan desain untuk putra kami. Keempat sisi dinding
"Sudah, Mas. Malu, banyak orang." Mayra mendorong kepalaku. "Itu belum seberapa, May." Semakin mendapat penolakan, semakin gencar aku menggoda. Puluhan kali pipi dan kening itu kujadikan sasaran hidung ini. Tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan bahagia berlebih dalam hati, selain menyalurkannya dengan kecupan juga pelukan. Wajah pucat istriku kembali berbinar, lebih bertenaga setelah dipindahkan ke ruang pemulihan. Bayiku sendiri sedang jadi rebutan kakek neneknya. Sayup-sayup kudengar sedikit keributan di luar sana, ingin bergantian menggendong. "Kubilang cukup, Mas!" Sekarang dia memberengut karena aku membuat insta story tanpa persetujuan. Mayra pasti tidak percaya diri dengan penampilan apa adanya. Wanita! Aku--yang suaminya saja tidak pernah mempermasalahkan. Kenapa dia begitu ribet memikirkan penilaian orang di luar sana. "Biarkan suamimu ini mengekspresikan kebahagiaannya, May." Dia memutar bola mata, malas. Setelah itu pasti akan bilang terserah. Notifikasi tak be
"Kamu cantik sekali, May." Pria di ranjang sana suka sekali memujiku terang-terangan. Entah berapa ratus koleksi foto yang memenuhi galerinya. Terutama pose-pose sang istri semenjak berbadan dua. Mas Gun senang sekali dengan perubahan bentuk tubuhku. Apalagi di bagian perut. Seringkali menjadi objek jepretan kamera ponselnya. Menurutnya, aku sangat seksi saat mengenakan daster dengan perut gendut seperti ini. "Mas juga tampan," balasku. Memang fakta, memasuki usia kepala empat. Lelakiku kian matang dan awet tampan. Aku sengaja membuka jendela lebar-lebar, untuk sirkulasi udara di pagi hari. Tirai coklat muda kutarik ke pinggir, lalu mengikatnya di bagian tengah. Sebentuk tangan melingkari perutku yang bulat. Meraba pergerakan sang bayi di dalam sana. "Wah, sepertinya dia sedang bermain, May." Calon papa mengusap permukaan perut yang sedikit lancip. "Sekarang lebih anteng, Mas. Enggak intens nendang-nendang." "Mungkin karena dia ada feeling kalau sebentar lagi akan melihat dun
"Aku enggak mau USG, Mas!" Ada ketakutan di wajah istriku mendengar saran dari beberapa orang terdekat. "Kenapa, May?" Mayra beringsut ke jendela kamar, membuka gorden dan berdiri melipat tangan di sana. Aku menyusul, memeluk perut yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. "Biar jadi surprise saja." Kegelisahan itu berbeda, entah kenapa di balik kebahagiaan ini, dia seperti menyimpan kekhawatiran. "Sayang. USG itu bukan hanya untuk mengetahui jenis kelamin anak kita saja. Tapi juga untuk melihat kondisi Indraguna junior di dalam sini." Aku mengusap perut Mayra dengan gerakan memutar. "Jadi Mas Gun menginginkan anak lelaki?" "Ya, enggak juga, May. Tadi hanya perumpamaan saja. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Saya tetap bersyukur dengan anugerah luar biasa ini." "Jujur, aku sedikit takut, Mas." Mayra berbalik, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Seakan meminta perlindungan dari bahaya yang mengancam. "Takut kenapa, hem?" "Karena aku mengandung di usia yang tak la
Jam di nakas masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, sejak terbangun karena tenggorokanku haus tadi. Sulit mata ini untuk terpejam kembali. Bergonta-ganti posisi tidur pun tetap membuatku merasa tak nyaman. Aku gelisah. Bukan karena memikirkan persoalan berat. Namun, tiba-tiba saja terlintas ingin memakan sesuatu. Makanan yang tidak tersedia di rumah ini, mustahil juga ada yang menjualnya di jam seperti ini. "Mas!" Aku menepuk pundak lelaki yang tengah terbuai mimpi. "Hmmm." Dia hanya menggeliat sebentar, lalu tertidur lagi. "Mas--" Kuguncangkan lagi bahu kekar itu. Kali ini dia terbangun dan langsung terduduk mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Sayang?" Tangan besarnya terulur mengelus pipiku. "Aku--" Ah, bagaimana mengatakannya? Tega sekali aku mengusik suamiku yang tengah beristirahat, setelah seharian penuh bekerja keras. Ditambah mengurus istrinya yang mendadak sensitif dan manja. "Kamu sakit? Muntah-muntah lagi?" Dia menempelkan telapak tangan di kening, lalu beralih
"Mas! Ada apa?" Kening istriku mengerut. Entah bagaimana meluapkan kebahagiaan tiada tara ini. Usai mengakhiri percakapan dengan dokter Hans, aku tak langsung menjawab pertanyaan Mayra. Beranjak dari kursi, kutarik tubuh wanita yang masih keheranan itu ke dalam pelukan. Erat. Menghujani tiap inci wajahnya dengan kecupan. Tak peduli meski ada Firman dan Rasti di sana. "Mas ... siapa yang menelepon?" "Dokter Hans, Sayang." "Gimana hasil tes terakhirku, Mas?" Mayra mulai tak sabaran saat aku menyebutkan nama dokter yang menangani program bayi tabung kami. "Alhamdulillah ... positif, May." Dia menarik wajah dari dadaku, menatap suaminya ini dalam-dalam. Bibir tipisnya menganga seakan tak percaya. Perlahan jariku mengusap kaca-kaca di sepasang mata indah itu. Namun, sekali mengerjap tetesan bening tetap meluncur di kedua pipi. "Kamu serius, Mas?" Aku mengangguk yakin. "Iya, Sayang." "Alhamdulillah, ya Allah." Mayra kembali memeluk. Untuk beberapa saat kami terdiam, hanya isak yan
"Maafkan mama, May." Wanita tua itu menunduk, ada air mata yang tersimpan di sana. Aku membungkuk mensejajarkan tubuh dengan beliau yang terduduk di kursi roda. Menggenggam tangan keriput nan dingin di pangkuannya. "Mayra sudah memaafkan Mama, jauh sebelum Mama meminta maaf." Aku menelungkupkan kepala di pangkuan ibu mertua. Tak lama, kurasakan usapan lembut di bahu. Ada kasih sayang tulus yang tersalur darinya. "Alhamdulillah." Mas Gun yang menyaksikan adegan ini tampak lega. Dirangkulnya dua wanita yang teramat dia cintai. Lantas diciuminya bergantian. Aku kembali. Setelah perenungan panjang tempo hari. Setelah mengumpulkan rekam peristiwa yang kami lalui hingga detik ini. Hatiku cenderung memilih untuk bertahan. Menyambut erat tangan yang juga mati-matian ingin mempertahankanku di sisinya. Menerima segala sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya. Tidak ada alasan lagi untuk pergi, karena dia memiliki seribu satu cara agar aku tetap tinggal. "Papa!" Zio muncul dari ruang dalam