"Apa sebaiknya kita ke rumah sakit saja, May. Sepertinya kamu demam." Mas Gun meletakkan telapak tangan di kening dan leherku. "Enggak usah, Mas. Nanti juga hilang sendiri." Aku meringkuk di balik selimut, sedikit menggigil. "Bisa tolong matikan AC-nya, Mas!" Lelaki matangku menekan tombol off pada remote itu lantas berbaring lagi menghadapku. Dia mengusap pipi dan bibir yang sesekali mendesis menahan hawa dingin menusuk hingga ke sumsum tulang meski telah bergulung bed cover. Mas Gun menyelipkan lengan di bawah kepalaku, menjadi tumpuan pengganti bantal. Sedangkan lengan satu lagi memeluk tubuhku. Hangat. "Maafkan perbuatan saya, May." "Perbuatan yang mana, Mas? Kaya aku ini istri yang terdzolimi saja." "Harusnya saya lebih berhati-hati membimbing kamu. Saya lupa kamu masih belum berpengalaman." Astaghfirullah, Bambang! Mentang-mentang aku demam habis begadang. Haruskah dikait-kaitkan juga? Serba salah jadi pengantin baru. Habis keramas arahnya ke sana, bangun kesiangan dibel
Ada pemandangan mengharukan saat aku keluar dari ruang kerja. Ruangan yang akan segera ditempati orang lain setelah aku membulatkan tekad untuk resign. Ya, ini hari terakhir menginjakkan kaki di tempat yang menjadi saksi bagaimana diriku ikut bersinergi mengembangkan perusahaan papi. Staff-ku berdiri membentuk deretan, seperti hendak memberikan penghormatan terakhir. Jangan-jangan! Istilah itu lebih cocok untuk pahlawan yang gugur di medan perang. "Bu May! Bilang ke saya kalau ini cuma mimpi." Vivi--sekretarisku sesenggukan, sedikit emosional memeluk mantan bosnya. Barang-barang penting dalam kardus yang kudekap kuulurkan pada security untuk dibawa ke mobil. Aku segera membalas pelukan wanita muda berhijab pink itu. Vivi adalah tangan kananku, wajar begitu kehilangan. "Sabar, ya! Insyaa Allah pengganti saya pasti jauh lebih baik," hiburku. Tangisan Vivi menular pada karyawan lain, ada sekitar lima orang di sana. Meninggalkan kubikal masing-masing demi perpisahan mendadak ini. Me
"Ayo May!" Sepeninggal petugas resort, Mas Gun membuka pintu kayu selebar dua meter penuh ukiran khas Bali. Aku membuntuti pria yang mengangkut doa koper besar berisi perlengkapan honeymoon selama lebih dari seminggu ke depan. Reservasi kamar kami bertipe single bed private villa. Di dalamnya terdapat satu kamar tidur dengan ranjang super besar. Juga ranjang kecil di sudut ruangan bersebelahan dengan sofa dengan lima bantal berjajar rapi. Fasilitas lain yang bikin betah adalah bath tub yang view-nya menghadap langsung ke alam. Juga kolam renang pribadi dengan suguhan pemandangan areal persawahan terasering hijau di kejauhan. Lelah hampir setengah harian menempuh perjalanan Jakarta-Bali. Aku menjulurkan kaki di gazebo sudut kolam renang. Di sana sudah tersedia dua handuk juga menu untuk lunch yang ditata manis dalam wadah rajutan unik. "Suka suasananya, May?" Suamiku telah berganti pakaian dengan atasan kaos berbahan katun dan celana santai. "Aku langsung jatuh cinta, Mas." "Sam
"Saya ke toilet dulu, May!" Mas Gun berpamit ke arah berlawanan, usai menjalani prosedur pemeriksaan penumpang di bandara. Ruang tunggu keberangkatan mulai dipadati penumpang dengan tujuan sama. Melirik jam di tangan, jadwal take off kurang lebih satu jam lagi. Aku melangkah ke deretan kursi besi yang hanya terisi satu orang. "Permisi Mbak!" Mengempaskan pinggul tepat di sebelah wanita yang tengah menunduk memainkan tablet, aku menyapa ramah. "Silakan!" balasnya. Sekian detik kami bersitatap, dan detik berikutnya saling terperanjat. "Mbak Purnama!" "Mbak Mayra!" Oh Tuhan. Sesempit inikah Indonesia? Yang terdiri dari jajaran pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu. Lantas harus bertemu dengan masa lalu Mas Gun di tempat ini, saat bulan madu pula. "M--mau pulang ke Jakarta juga?" Kenapa aku yang gugup? Indraguna Prawira sudah sah jadi milikku. Namun, aku wajib waspada. Mantan bisa jadi ancaman dan cobaan. "Iya. Kebetulan, sudah seminggu lebih mengurus bisnis di Seminyak.
"Minum dulu, Mas!" Sebotol air mineral kusodorkan pada pria yang baru turun dari treadmill. Napas Mas Gun terengah dengan cucuran keringat membasah di baju olahraganya. "Makasih, May." Kepala pria tampanku terangkat, menenggak air dalam botol hingga jakunnya bergerak-gerak. Seksi. Mas Gun menjunjung tinggi pola hidup sehat. Sekali bangun subuh, dia tidak akan tidur lagi. Langsung berolahraga seperti ini. Kecuali saat-saat tertentu, hari libur misalnya, atau sewaktu cuaca mendukung untuk nganu ... bangun siang. Hayo siapa yang ngeres? Aku menyambar handuk kecil yang tersampir di pundak Mas Gun, lalu mengelap keringat di kitaran kening dan lehernya. Sudut bibir tebal itu tersungging, pasti senang kumanjakan. "Jangan ditertawakan, Mas! Sekarang, aku sedang belajar menjadi istri yang baik dan benar." Sudah kularang tertawa, dia malah cekikikan. Apanya yang lucu? Kugelitiki perut six pack yang terbalut kaus ketat itu. "Kamu mood booster saya, May." Mas Gun merangkulku keluar dari r
"Eh, Mas. Itu mau dibawa ke mana?" Aku berlari dan merebut keranjang mirip ember yang dibawa Mas Gun keluar dari kamar. "Kok, nggak boleh, May? Maksud saya biar dicuci sama Mbak-mbak di bawah sana." Mungkin suamiku berpikir kalau aku masih belum bisa menyentuh barang berharga tersebut. Sehingga dia sendiri harus turun tangan. "Biar aku saja, Mas. Sekarang barang-barang ini adalah kekuasaanku. Enggak rela dipegang-pegang orang lain." "Sungguh, May? Saya tidak mewajibkan itu kalau kamu merasa terpaksa." "Enggak, kok, Mas. Swear!"Niatnya mau cepat-cepat ngacungin dua jari bentuk V. Eh, keranjang dalam dekapan malah lolos. Berhamburanlah isi di dalamnya, yaitu pakaian dalam milik Mas Gun. Bagaimana ini? Kemarin aku memakai penjepit gorengan untuk memasukkannya ke keranjang khusus pakaian kotor. Untung benda itu sudah kuamankan di tempat tersembunyi. Lalu sekarang? Bismillahirrahmanirrahim .... Membayangkan benda segitiga itu diotak-atik orang lain, bisa jadi dibuat mainan, atau d
"Untung mama enggak jadi pesan kue ke langganan, May. Selain masak, ternyata kamu pintar juga bikin macam-macam kue seperti ini."Mama mertua ikut menata potongan brownies dan kudapan kekinian lainnya pada piring-piring porselen yang berjajar di meja. "Enggak jago, sih, Ma. Cuma belajar dari mami saja." Belajar dari jaman SMP karena ingin menikah muda. Enggak tahunya, enam belas tahun kemudian baru berguna. Langsung mendapat pujian mertua pula. "Begini juga bisa bikin Indra betah di rumah. Kamu pintar memanjakan dia. Dulu, rumah ini hanya untuk numpang tidur saja. Sekarang jadi lebih hangat. Apalagi nanti kalau kalian sudah memiliki anak. Pasti ramai sekali." Anak? Aku meraba perut dibalik celemek ini. Masih rata hingga pernikahan ini telah berjalan selama setahun. Pertanyaan usil mulai berdatangan dari segala penjuru. 'Sudah jadi belum, May?' 'Mana, nih, hasil bulan madu?' 'Indra bisa gak, sih, nembaknya?' 'Jangan menunda-nunda. Ingat! Kamu sudah memasuki usia rawan.' Siapa
'May, dateng, ya, ke acara baby shower Riana.' Pesan WhatsApp itu kubiarkan saja tanpa mengirim balasan. Gamang antara menolak atau menghadiri. Ini adalah kehamilan Riana yang ketiga. Dua tahun lalu, aku masih datang ke acara perayaan tujuh bulanan anak ke-dua. Masih terekam di ingatan saat aku mengelus perut buncit sahabatku. Berharap segera ketularan. "Gerak-gerak, Ri." Aku takjub saat tangan ini merasakan pergerakan di permukaan perut gendut Riana. "Pas USG kemarin, katanya sih, cowok, May! Ini lagi main bola kali di dalam." Bayi ini juga sangat dinantikan, karena dua anak sebelumnya berjenis kelamin perempuan. "Mudah-mudahan, aku cepat ketularan." Usai mengusap perut wanita sepantaranku itu, aku mengusap perut sendiri. Konyol tapi sangat ingin. "Aamiin. Semoga cepat nyusul!" Harapan yang terlontar dari bibir Riana kala itu. Belum sempat mengejar ketertinggalan, aku mendengar kabar baik lagi dari teman terdekat semasa kuliah. Kadang, ada kabar gembira yang disambut suka cita
"Bagaimana, May? Kamu mau kembali ke perusahaan papi? Sudah waktunya papi beristirahat, menemani Mami liburan, juga mengisi masa tua papi bersama cucu-cucu kesayangan papi." Lelaki berambut putih itu menolehku. Aku tak langsung menjawab atau berkata setuju. Belakangan kondisi kesehatan Papi menurun. Pola hidup sehat yang diterapkan kendur lagi seiring banyaknya pekerjaan yang menuntut segera diselesaikan. Namun tidak diimbangi dengan fisik yang memadai. "Mayra perlu membicarakan ini dengan Mas Indra, Pi." Kurangkul bahu Papi hingga mencapai sebuah bangku taman belakang dekat kolam ikan koi kesayangan pria tua tersebut. "Semoga Indra mengizinkan ya, May. Perusahaan Papi butuh generasi mumpuni seperti kamu. Sayang, kalau pengalaman yang kamu miliki disia-siakan begitu saja. Papi yakin, di tangan kamu perusahaan Papi pasti akan terus-menerus berkembang. Mampu menyerap tenaga kerja domestik, serta disegani kompetitor karena inovasi dan ide brilian kamu sering tidak terduga." "Itu kan
"Mas, ayo bangun!" Samar-samar kudengar seseorang berbisik di telinga. "Hmmm." Enggan rasanya membuka mata di saat masih ingin nyenyak bermain di alam mimpi. "Kok, cuma hmm. Ayo cepetan bangun!" Kali ini bahuku berguncang karena dorongan tangan Mayra. "Saya masih mengantuk, May." Kurebahkan tubuh istriku lalu menggulungnya di balik selimut. "Mas!" Dia meronta minta dilepaskan. "Sepagi ini ngapain bangunin suamimu, ha?" "Kan kemarin aku sudah bilang, minta ditemani jogging." Wanita! Selalu sensitif jika ada satu dua orang yang mengomentari perubahan fisiknya. Padahal di mataku sudah ideal. Namun, itu masalah besar jika orang lain yang berkomentar. Terlebih teman-teman yang dia bilang body goal meski sudah berkali-kali melahirkan. Dua tahun lamanya dia menahan diri untuk diet. Itu pun karena aku tak pernah mengizinkan, bahkan menentangnya habis-habisan meski Mayra memohon-mohon. Sekarang, dia seperti tawanan yang telah bebas. Sudah menyelesaikan tugas menyusui Rendra selama du
"Akhirnya, cucu Oma datang juga!" Mama Kantini bungah menyambut sang cucu. Tak sabar ingin meraih bayi yang terlelap dalam lilitan bedongan. Sebulan pasca melahirkan, kami kembali boyongan ke istana Prawira. "Hati-hati, Ma!" Mas Gun meletakkan Rendra dalam pangkuan sang Mama. "Persis seperti kecilanmu dulu, Ndra." Dikecupnya pipi kemerahan itu, gemas. "Iya, dong. Papanya saja ganteng begini, apalagi anaknya." "Aku juga ikut andil kali, Mas." Mas Gun meringis mendapati pinggangnya terkena cubitanku. Narsis sekali, padahal wajah Rendra itu perpaduan antara aku dan papanya. Yah, meski kuakui Mas Gun lebih mendominasi. "Mama kamu marah, Sayang." Bayi tampanku tak terusik meski sang papa mengusili dengan menjawil pipi gembulnya. "Kamar Rendra gimana, Mas? Udah beres semuanya?" "Sudah, dong." Embak-embak asisten sudah menata baju juga pernak pernik milik Rendra di kamar berdinding warna warni tersebut. Pintar sekali suamiku memilihkan desain untuk putra kami. Keempat sisi dinding
"Sudah, Mas. Malu, banyak orang." Mayra mendorong kepalaku. "Itu belum seberapa, May." Semakin mendapat penolakan, semakin gencar aku menggoda. Puluhan kali pipi dan kening itu kujadikan sasaran hidung ini. Tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan bahagia berlebih dalam hati, selain menyalurkannya dengan kecupan juga pelukan. Wajah pucat istriku kembali berbinar, lebih bertenaga setelah dipindahkan ke ruang pemulihan. Bayiku sendiri sedang jadi rebutan kakek neneknya. Sayup-sayup kudengar sedikit keributan di luar sana, ingin bergantian menggendong. "Kubilang cukup, Mas!" Sekarang dia memberengut karena aku membuat insta story tanpa persetujuan. Mayra pasti tidak percaya diri dengan penampilan apa adanya. Wanita! Aku--yang suaminya saja tidak pernah mempermasalahkan. Kenapa dia begitu ribet memikirkan penilaian orang di luar sana. "Biarkan suamimu ini mengekspresikan kebahagiaannya, May." Dia memutar bola mata, malas. Setelah itu pasti akan bilang terserah. Notifikasi tak be
"Kamu cantik sekali, May." Pria di ranjang sana suka sekali memujiku terang-terangan. Entah berapa ratus koleksi foto yang memenuhi galerinya. Terutama pose-pose sang istri semenjak berbadan dua. Mas Gun senang sekali dengan perubahan bentuk tubuhku. Apalagi di bagian perut. Seringkali menjadi objek jepretan kamera ponselnya. Menurutnya, aku sangat seksi saat mengenakan daster dengan perut gendut seperti ini. "Mas juga tampan," balasku. Memang fakta, memasuki usia kepala empat. Lelakiku kian matang dan awet tampan. Aku sengaja membuka jendela lebar-lebar, untuk sirkulasi udara di pagi hari. Tirai coklat muda kutarik ke pinggir, lalu mengikatnya di bagian tengah. Sebentuk tangan melingkari perutku yang bulat. Meraba pergerakan sang bayi di dalam sana. "Wah, sepertinya dia sedang bermain, May." Calon papa mengusap permukaan perut yang sedikit lancip. "Sekarang lebih anteng, Mas. Enggak intens nendang-nendang." "Mungkin karena dia ada feeling kalau sebentar lagi akan melihat dun
"Aku enggak mau USG, Mas!" Ada ketakutan di wajah istriku mendengar saran dari beberapa orang terdekat. "Kenapa, May?" Mayra beringsut ke jendela kamar, membuka gorden dan berdiri melipat tangan di sana. Aku menyusul, memeluk perut yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. "Biar jadi surprise saja." Kegelisahan itu berbeda, entah kenapa di balik kebahagiaan ini, dia seperti menyimpan kekhawatiran. "Sayang. USG itu bukan hanya untuk mengetahui jenis kelamin anak kita saja. Tapi juga untuk melihat kondisi Indraguna junior di dalam sini." Aku mengusap perut Mayra dengan gerakan memutar. "Jadi Mas Gun menginginkan anak lelaki?" "Ya, enggak juga, May. Tadi hanya perumpamaan saja. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Saya tetap bersyukur dengan anugerah luar biasa ini." "Jujur, aku sedikit takut, Mas." Mayra berbalik, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Seakan meminta perlindungan dari bahaya yang mengancam. "Takut kenapa, hem?" "Karena aku mengandung di usia yang tak la
Jam di nakas masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, sejak terbangun karena tenggorokanku haus tadi. Sulit mata ini untuk terpejam kembali. Bergonta-ganti posisi tidur pun tetap membuatku merasa tak nyaman. Aku gelisah. Bukan karena memikirkan persoalan berat. Namun, tiba-tiba saja terlintas ingin memakan sesuatu. Makanan yang tidak tersedia di rumah ini, mustahil juga ada yang menjualnya di jam seperti ini. "Mas!" Aku menepuk pundak lelaki yang tengah terbuai mimpi. "Hmmm." Dia hanya menggeliat sebentar, lalu tertidur lagi. "Mas--" Kuguncangkan lagi bahu kekar itu. Kali ini dia terbangun dan langsung terduduk mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Sayang?" Tangan besarnya terulur mengelus pipiku. "Aku--" Ah, bagaimana mengatakannya? Tega sekali aku mengusik suamiku yang tengah beristirahat, setelah seharian penuh bekerja keras. Ditambah mengurus istrinya yang mendadak sensitif dan manja. "Kamu sakit? Muntah-muntah lagi?" Dia menempelkan telapak tangan di kening, lalu beralih
"Mas! Ada apa?" Kening istriku mengerut. Entah bagaimana meluapkan kebahagiaan tiada tara ini. Usai mengakhiri percakapan dengan dokter Hans, aku tak langsung menjawab pertanyaan Mayra. Beranjak dari kursi, kutarik tubuh wanita yang masih keheranan itu ke dalam pelukan. Erat. Menghujani tiap inci wajahnya dengan kecupan. Tak peduli meski ada Firman dan Rasti di sana. "Mas ... siapa yang menelepon?" "Dokter Hans, Sayang." "Gimana hasil tes terakhirku, Mas?" Mayra mulai tak sabaran saat aku menyebutkan nama dokter yang menangani program bayi tabung kami. "Alhamdulillah ... positif, May." Dia menarik wajah dari dadaku, menatap suaminya ini dalam-dalam. Bibir tipisnya menganga seakan tak percaya. Perlahan jariku mengusap kaca-kaca di sepasang mata indah itu. Namun, sekali mengerjap tetesan bening tetap meluncur di kedua pipi. "Kamu serius, Mas?" Aku mengangguk yakin. "Iya, Sayang." "Alhamdulillah, ya Allah." Mayra kembali memeluk. Untuk beberapa saat kami terdiam, hanya isak yan
"Maafkan mama, May." Wanita tua itu menunduk, ada air mata yang tersimpan di sana. Aku membungkuk mensejajarkan tubuh dengan beliau yang terduduk di kursi roda. Menggenggam tangan keriput nan dingin di pangkuannya. "Mayra sudah memaafkan Mama, jauh sebelum Mama meminta maaf." Aku menelungkupkan kepala di pangkuan ibu mertua. Tak lama, kurasakan usapan lembut di bahu. Ada kasih sayang tulus yang tersalur darinya. "Alhamdulillah." Mas Gun yang menyaksikan adegan ini tampak lega. Dirangkulnya dua wanita yang teramat dia cintai. Lantas diciuminya bergantian. Aku kembali. Setelah perenungan panjang tempo hari. Setelah mengumpulkan rekam peristiwa yang kami lalui hingga detik ini. Hatiku cenderung memilih untuk bertahan. Menyambut erat tangan yang juga mati-matian ingin mempertahankanku di sisinya. Menerima segala sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya. Tidak ada alasan lagi untuk pergi, karena dia memiliki seribu satu cara agar aku tetap tinggal. "Papa!" Zio muncul dari ruang dalam