"Jadi, Mbak May habis dikenalin sama ibunya Pak Indra? Ada kemajuan, nih." Rasti bersorak yas yes merasa misinya berhasil.
Sepulang dari rumah sakit, mood-ku terlanjur berantakan. Malas kembali ke kantor, kuputuskan menyambangi rumah Firman dan Rasti.
"Jangan kesenengan dulu kamu, Ras. Aku kasih jeda satu bulan sebelum Mas Gun datang melamar."
"Mas Gun siapa, Mbak? Ada calon lain?"
"Maksud Mbak, ya, Pak Serbaguna eh Indraguna mantan bos kamu itu."
"Aciaaaah, udah punya nama panggilan kesayangan." Rasti noel-noel lenganku, bikin dada ini ser-seran aneh mendengar apa yang dia bilang.
Panggilan kesayangan itu bukannya semacam, sayang, baby, honey. Lha ini Mas Gun? Kesayangan dari Hongkong?
"Udah, deh, gak usah julid kamu, Ras." Malu, sudah tua begini diledekin kaya anak ABG. Ulah manusia enggak ada akhlak.
"Kenapa harus nunggu selama itu, sih, Mbak?" tanya adik iparku.
"Nah, itu dia tujuan Mbak ke sini. Kalau kamu pengen mbakmu ini lepas dari status jomblo ngenes. Kamu harus bantuin mbak untuk menyelidiki mantan-mantan Mas Gun."
Ini ganjalan terbesarku mengenai Pak Indra. Okelah, calon ibu mertua, eh ralat belum jadi calon ibu mertua hanya mengunggulkan kebaikan-kebaikan anak bungsunya itu. Dengan menyelidiki penyebab perceraian, setidaknya aku punya bahan pertimbangan menerima atau menolak.
Bayangkan saja! Tiga kali. Betapa berpengalamannya lelaki itu menaklukkan tiga wanita dalam hubungan sah. Meskipun semua tidak berjalan mulus.
Aku saja belum pernah sekalipun icip-icip dunia pernikahan. Lha ini sekalinya dapat, bekas tiga wanita sekaligus. Mas Gun yang doyan berpetualang atau memang ada yang tidak beres dengan mantan-mantannya itu?
Wajar aku waspada, jangan sampai aku dijadikan testimoni keempat.
"Nyelidikin? Rempong amat, kan tinggal nanya sama Pak Indra kenapa bisa cerai mulu sama bininya."
"Masalahnya, di sini yang ngebet itu si Gugun. Bisa aja, kan, dia memutarbalikkan fakta tentang masa lalunya. Mbak juga butuh penjelasan dari kedua pihak. Biar bisa menilai, pantes enggak dijadikan calon suami. Jangan sampai kita grusa grusu, giliran udah jalanin rumah tangga nyesel kemudian. Paham kamu!"
Rasti mingkem enggak berkutik. Lalu masuk ke dalam sekitar lima menit, mungkin lagi mikir secara logika percakapan barusan. Setelah itu, dia kembali lagi bawa dua gelas minuman jeruk dingin.
"Gitu kek, dari tadi." Aku menenggak minuman berwarna oren itu hingga tersisa setengah. Ngobrolin Mas Gun lumayan menguras tenaga dan menimbulkan dahaga.
"Rasti lihatin Chesa dulu, Mbak. Takut kebangun." Perempuan dalam balutan dress selutut itu masuk lagi. Nengok ponakanku yang lucu kaya aku 30 tahun yang lalu.
Rumah yang dibeli Firman setelah menikah ini tidak terlalu besar, tapi aku suka spot taman minimalis di bagian belakang tempatku bersantai saat ini.
Sekitar kolam renang, sengaja ditumbuhi pohon-pohon hijau. Lalu ada puluhan jenis tanaman dalam pot, juga nama-nama bunga yang sebagian besar kuhafal.
Ya. Kelak aku pun mengidamkan rumah yang seperti ini. Namun, khusus untuk taman aku memilih yang arealnya lumayan luas. Senangnya hati, setelah berperang dengan kerjaan rumah dilanjut dengan mengurus tanaman. Ngeteh bersama pasangan di teras belakang dengan suasana hijau menyegarkan. Ah, indahnya! Tapi dengan siapa?
Tiba-tiba bayangan Mas Gun salto-salto di pikiranku. Jenis pelet apakah yang kamu kirimkan padaku, Mas?
"Hush ... hush ... sana!"
"Lagi ngapain, Mbak? Perasaan Rasti enggak piara ayam." Tahu-tahu wanita kesayangan Firman sudah duduk lagi di sebelahku.
Siapa yang ngusir ayam? Orang aku ngusir bayangan suami Raisa yang datang tanpa mengucap salam. Aku hanya mengangkat pundak menjawab pertanyaan Rasti dan mencari topik lain.
"Jadi gimana, Ras? Kamu tahu informasi tentang mantan istri pertama Mas Gun?"
"Kalau enggak salah, wanita pertama yang dinikahi Pak Indra itu berprofesi sebagai artis, Mbak. Namanya Purnama Julita. Cuman sekarang udah vakum dan lebih fokus jadi entrepreneur," jelas Rasti.
"Oh, ya! Apa mbak yang ketinggalan gosip ya, Ras? Setahu mbak, Indraguna itu suaminya Dian Sastro yang juga anak dari temannya, temannya papi. Baru ngeuh aku tentang Indraguna yang ini."
"Jelas ketinggalan gosip, lah. Orang ngurusin kerjaan mulu sampek jamuran. Kita mulai dari googling dulu, deh. Siapa tahu ada artikel yang bahas perceraian mereka."
Aku mengikuti saran Rasti untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang publik figur yang cukup terkenal di jamannya.
G****e, Twitter, F******k, I*******m, YouTube sudah diubek-ubek ke akar-akarnya. Namun, menurut keterangan dari beberapa sumber berita, perceraian mereka sama sekali tidak terendus media. Tahu-tahu beberapa bulan setelah ketuk palu, barulah gosip itu mencuat, tetapi tidak ada satu pun yang tahu penyebabnya apa.
"Berarti kita harus cari tahu sendiri, Ras." Selalu ada 1001 cara untuk menegakkan kebenaran. Eh, ngomong apa aku ini?
"Caranya gimana, Mbak?"
"Kita harus ketemu langsung sama Purnama Julita."
***
Jangan dikira mengatur jadwal pertemuan dengan mantan artis itu enak. Bahkan lebih mudah membuat janji dengan klien bisnis.
Rasti dan Firman menggunakan jasa kenalan sesama artis untuk mencari tahu kediaman atau kontak pribadi salah satu mantan istri Indraguna Prawira. Itu pun sangat sulit, sampai akhirnya menggunakan nama besar papi.
Seminggu kemudian, aku baru mendapat kabar tentang kesediaan Purnama Julita menemuiku di sebuah restoran, syaratnya pun harus reservasi private room. Takut masih ada pemburu berita yang mengorek kehidupan pribadinya.
Baiklah, demi masa depanku, itu tak masalah.
Cantik.
Itu kesan pertama bertemu dengan wanita sepantaranku itu. Ber-style casual dengan atasan tunik hitam polos dan bawahan celana jins. Rambut coklatnya tergerai melewati bahu. Namun, tidak menghilangkan aura keartisannya. Bisa dibilang seperti masih gadis 20 tahunan.
Kalau dipikir-pikir, bukankah dia sangat sempurna sebagai wanita. Berwajah tirus, hidung lancip, bermata bulat dengan sepasang bulu mata lentik. Tak lupa bibir merah merona yang terlihat sensual.
Kurang apa lagi coba?
"Jadi, ada perlu apa Mbak Mayra mencari saya?" Dia mengawali pembicaraan, setelah pesanan menu makanan khas Jepang tersaji di meja. Menunggu sampai pramusaji berlalu.
"Ini tentang ... Pak Indraguna--mantan suami Mbak Purnama."
Kunyahan salmon sashimi di mulut wanita di seberangku terhenti. Mungkin nama yang kusebut barusan cukup mengagetkan, atau membangkitkan kenangan masa lalu.
"Ada apa dengan Mas Indra?" Meski tersentak, tetapi dia berusaha bersikap biasa saja.
"Begini ... Pak Indra mau melamar saya, Mbak. Tapi saya masih ragu dan ingin tahu alasan apa yang mendasari perpisahan kalian. Maaf, bukannya saya lancang. Jujur, ada ketakutan jika nanti saya salah langkah dengan keputusan yang saya ambil."
Entah harus merangkai kalimat seperti apa. Mudah-mudahan Mbak Purnama angkat bicara tentang inti keretakan rumah tangga mereka.
Terdengar helaan napas di seberang sana. Wanita bertubuh ideal itu menyudahi santapan dengan mengelap bibir. Pembahasan ini rupanya membuat dia hilang selera.
"Masa lalu saya dengan Mas Indra, jangan dijadikan penghalang Mbak Mayra untuk melangkah ke depan. Bisa jadi kami pernah gagal menjalani rumah tangga. Tapi siapa yang tahu jika kalian menikah nanti justru menemukan kecocokan satu sama lain, bisa seiring sejalan."
Ya Allah, bijak sekali dia sebagai seorang mantan istri. Tidak berusaha mengumbar keburukan mantan suami, justru menutupi aib yang getol ingin kukorek-korek lebih dalam.
"Masalahnya, mantan istri Pak Indra bukan Mbak Purnama aja. Tapi ada dua lagi. Jujur, saya bingung." Biar sajalah kalau ini termasuk ghibah. Fakta atau curhat setengah ghibah?
"Terhitung sejak ketuk palu perceraian. Mas Indra bukan siapa-siapa lagi, Mbak. Jadi, bukan kapasitas saya untuk mencampuri urusan pribadinya, termasuk mantan-mantan istri seperti yang Mbak Mayra sebutkan tadi. Intinya ... kami memutuskan bercerai karena ketidakcocokan."
Plak!
Aku tertampar, kena skakmat.
Berhari-hari mengumpulkan informasi sana sini. Sampai pusing tujuh keliling, aku hanya mendapatkan satu jawaban yang biasa dilontarkan para artis saat dimintai klarifikasi perihal perceraian mereka.
Ketidakcocokan. Itu.
Penyelidikan pertama, ngilu.
Mbak Purnama undur diri setelah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku masih tertinggal di sini meratapi kengenesan hidup ini. Sambil menunggu Rasti yang ngebet kepingin ke sini, meminta info hasil investigasi.
Aku meraih benda yang bergetar di atas meja. Panggilan telepon dari kembaran Hamish Daud. Panjang umur habis dighibahin.
"Halo, Pak Indra!"
"Sudah saya bilang jangan terlalu formal, May," protes suara di ujung telepon.
"Iya, Mas Gun. Ada apa?"
"Memangnya kalau saya menelepon biasanya karena apa?"
"Ya, karena ada perlu."
"Bukan, May."
"Terus?"
"Saya kangen sama kamu."
O oww! Tolong check warna pipiku. Apakah menghitam?
Bersambung
"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon. Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa? "Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?" "Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah." "Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu." Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta. "Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak t
"Nikahin secepatnya? Anda lucu sekali, Pak. Lamaran saja belum tentu terlaksana." Aku terkekeh sombong.Sebagai pengidap jomlo akut, tak memungkiri bahwa aku pun ingin segera mengakhiri status single ini. Namun sah-sah saja kan, jika aku berhak mendapatkan calon pendamping terbaik. Sudah enggak laku-laku, pemilih pula. Well, silahkan beropini apa saja. Namun, jalan hidup mendatang tetap berada dalam genggamanku bukan di tangan netijen. "Konsisten, May. Kalau panggil pak ya pak, mas ya mas. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dengan panggilan Mas Gun. Meski sedikit menurunkan wibawa saya, tapi kalau keluar dari mulut kamu jadi terdengar lebih spesial." Enggak bakalan mempan, Mas. Mau digombalin jenis apa pun aku enggak akan menerima lamaran sebelum misi selesai. Pak Indra membimbingku duduk berhadapan di kursi balkon. Bersekat meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya. Aroma khas minuman berkafein itu merelaksasi pikiran semrawut yang berjeja
Atas dasar ingin tetap menjalin silaturahmi dengan mantan menantu. Tante Kantini meneruskan temu kangen di sebuah resto dalam mal. Duduk bertiga di meja yang sama. Posisi mereka jelas, pernah ada ikatan keluarga. Lalu aku? Pacar Mas Gun? Bukan. Calon istri? Belum di-approve. Jadi untuk sementara aku menjadi pendengar setia dua wanita beda usia yang lebih mendominasi pertemuan mengagetkan ini. Seperti terjebak dalam labirin dan kebingungan mencari jalan keluar, aku menikmati sepelan mungkin makanan yang terkunyah di mulut. Jangan sampai habis sebelum alarm perbincangan itu berbunyi tanda selesai. Ponsel hanya ku-check sesekali, enggak enak memainkan benda itu berlama-lama di depan wanita yang sangat kuhormati. "Bagaimana kabarmu, Denia? Sudah menemukan pendamping baru?" Seakan paham situasi, Tante Kantini sama sekali tak membahas masa lalu mantan istri putranya. "Belum, Ma." Diiringi senyuman tipis, Mbak Denia menjawab pelan. Mengalihkan kecanggungan dengan meminum jus. Mama. Pan
"Maksud Mas Gun apa?" Aku mengedikkan bahu dan bertanya-tanya dalam hati. Mas Gun menolehku lagi. Mati. Kacamata hitam yang bertengger di atas hidung tak menghalangi tatapan intens-nya. Akan terus seperti itu andai Alphard putih ini tak disalip truk yang membunyikan klakson cukup keras. Meng-ambyarkan aktivitas iseng Mas Gun sekaligus menyadarkan dirinya untuk fokus menyetir. "Dulu, Denia itu salah satu karyawan saya di kantor. Gadis yang membuat saya move on dari Purnama." Akhirnya ... cerita itu mengalir tanpa kuminta. "Terus?" "Sudah saya duga, kamu pasti sangat ingin tahu, May." "Tapi aku enggak maksa Mas buat cerita juga, kok. Santuy, Mas." Ada yang mau ngeles tapi bukan bajaj. Padahal kepingin tahu juga dari versi Mas Gun sendiri. "Oh, yasudah." Maaas Guuun! Kepingin pelintir lengannya tapi belum punya hak. Lihat aku kesal, dia terkekeh. Khas sekali, sampai orangnya enggak ada pun masih terngiang di telinga. Tengil-tengil gimana gitu. Enggak tega lihat bibirku tambah
"Maaf, apa betul ini Mbak Sarah?" Wanita berambut panjang kecoklatan itu menengok saat aku telah sampai dan berdiri dekat kursi yang dia tempati. "Betul. Dengan Mbak Mayra?" Dia balik bertanya. "Iya, benar." Aku berjalan memutari meja bulat putih itu, lantas duduk berseberangan dengan seseorang yang ingin kutemui. Menjelang deadline waktu sebulan sebelum Mas Gun resmi melamar. Akhirnya sampai juga pada penyelidikan ketiga. Untung Mbak Sarah ini sangat kooperatif. Gampang diajak ketemuan tanpa ribet asal ada hitung-hitungannya, yang ini benar-benar mantan anti-mainstream. Sepersekian detik aku menilik penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Body padat berisi itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Enggak usah kalian bayangkan lah, ya. Pokoknya idaman semua laki-laki. Mbak Sarah mengaplikasikan riasan cukup tebal di area wajah ovalnya. Bulu mata palsu ulala dan softlens biru menyempurnakan kitaran mata bulatnya. Mas Gun, Mas Gun. Apa
"Karena Mas Gun ini adalah kandidat tunggal alias enggak ada saingan. Boleh, kan, aku tahu cerita lalu dengan mantan-mantan mas Gun. Saling terbuka gitu, biar ke depannya enggak ada pertanyaan-pertanyaan lagi. Kenapa begini, kenapa begitu? Aku pun akan melakukan yang sama." Di bangku besi taman kota, uneg-uneg di perut akhirnya tersampaikan juga. Mas Gun duduk terpekur, mengamati pasangan muda mudi yang melintas di depan kami. Lantas menoleh ke arah lain, seakan merangkai jawaban sebanyak dan semampuku bisa mendengar, kalau perlu sekalian mencernanya. "Namanya Sarah ...." Menurut versi mas Gun enggak berbeda jauh dengan versi mbak Sarah. Menikah karena perjodohan. Almarhum Prawira menjodohkan sang putra dengan anak kawan baiknya semasa sekolah dan belum memiliki apa-apa. Keluarga sang sahabat berjasa besar pernah menolong beliau dalam kesulitan hidup. Hingga merasa harus membalas budi. Kebetulan mbak Sarah belum menemukan jodohnya, lalu Mas Gun telah menyandang status duda. Semu
"Kamu suka warna apa, May?" Suara bariton Mas Gun sedikit tenggelam oleh kebisingan sekitar. Entah di mana dirinya menelepon sekarang. "Merah, Mas." Makin seenaknya dia menghubungiku saat berjibaku dengan kertas-kertas laporan. Hanya untuk menanyakan warna kesukaan. "Melambangkan diri kamu, ya, May?" "Bukan, Mas. Melambangkan kertas merah dengan nominal yang paling disukai wanita."Realistis, Cuy!"Berarti untuk seserahan kamu memilih mentahnya saja, May?" Ooh. Jadi ada hubungannya dengan barang seserahan nanti. Merasa berdosa asal jeplak pilih warna. Padahal aku suka segala sesuatu yang bernuansa peach. "Terserah Mas Gun saja. Mau mentah atau matang, insyaa Allah saya terima dengan sepenuh hati." Sudah terlanjur malu, ya, sudah ceburkan sekalian. Kekehan ala suami Raisa menjadi penutup percakapan. Belum kuletakkan lagi benda di tangan, notifikasi pesan masuk muncul di display layar. 'Maaf, ketinggalan, May.' Yang dimaksud ketinggalan adalah emotikon kepala gundul yang memon
Pagi ini. Aku hanya mengenakan kimono lembut warna biru dengan rambut basah tergulung handuk saat keluar kamar mandi hotel. Kalau ada netijen, mereka pasti bilang cieee ... keramas. Iya, juga. Ini bukan kebiasanku keramas pagi-pagi. Ada apa? Menyapu kanan kiri ruangan luas bertemperatur dingin ini, aku menemukan Mas Gun berdiri dekat ranjang. Membolak-balikan sprei putih itu hingga kelopak-kelopak bunga mawar berhamburan ke lantai. Tempat tidur yang memang sudah berantakan sebelumnya karena gempa bertektonik sekian Skala Richter, semakin berantakan oleh tindakan tak jelas Mas Gun. Oh, iya! Jangan-jangan dia mau mencari bercak darah bukti keorisinilan diri ini. Lah, bukannya dia juga second? Ini namanya diskriminasi kalau seandainya tujuannya demikian. "Mas, ngapain?" tanyaku baik-baik. Belum ada rencana untuk ngegas. Jangan keceplosan, May! Mas Gun enggak jawab, dia meneruskan pencarian bercak yang mungkin tercecer di sudut sprei. Putus asa karena enggak ketemu, suamiku berbal
"Bagaimana, May? Kamu mau kembali ke perusahaan papi? Sudah waktunya papi beristirahat, menemani Mami liburan, juga mengisi masa tua papi bersama cucu-cucu kesayangan papi." Lelaki berambut putih itu menolehku. Aku tak langsung menjawab atau berkata setuju. Belakangan kondisi kesehatan Papi menurun. Pola hidup sehat yang diterapkan kendur lagi seiring banyaknya pekerjaan yang menuntut segera diselesaikan. Namun tidak diimbangi dengan fisik yang memadai. "Mayra perlu membicarakan ini dengan Mas Indra, Pi." Kurangkul bahu Papi hingga mencapai sebuah bangku taman belakang dekat kolam ikan koi kesayangan pria tua tersebut. "Semoga Indra mengizinkan ya, May. Perusahaan Papi butuh generasi mumpuni seperti kamu. Sayang, kalau pengalaman yang kamu miliki disia-siakan begitu saja. Papi yakin, di tangan kamu perusahaan Papi pasti akan terus-menerus berkembang. Mampu menyerap tenaga kerja domestik, serta disegani kompetitor karena inovasi dan ide brilian kamu sering tidak terduga." "Itu kan
"Mas, ayo bangun!" Samar-samar kudengar seseorang berbisik di telinga. "Hmmm." Enggan rasanya membuka mata di saat masih ingin nyenyak bermain di alam mimpi. "Kok, cuma hmm. Ayo cepetan bangun!" Kali ini bahuku berguncang karena dorongan tangan Mayra. "Saya masih mengantuk, May." Kurebahkan tubuh istriku lalu menggulungnya di balik selimut. "Mas!" Dia meronta minta dilepaskan. "Sepagi ini ngapain bangunin suamimu, ha?" "Kan kemarin aku sudah bilang, minta ditemani jogging." Wanita! Selalu sensitif jika ada satu dua orang yang mengomentari perubahan fisiknya. Padahal di mataku sudah ideal. Namun, itu masalah besar jika orang lain yang berkomentar. Terlebih teman-teman yang dia bilang body goal meski sudah berkali-kali melahirkan. Dua tahun lamanya dia menahan diri untuk diet. Itu pun karena aku tak pernah mengizinkan, bahkan menentangnya habis-habisan meski Mayra memohon-mohon. Sekarang, dia seperti tawanan yang telah bebas. Sudah menyelesaikan tugas menyusui Rendra selama du
"Akhirnya, cucu Oma datang juga!" Mama Kantini bungah menyambut sang cucu. Tak sabar ingin meraih bayi yang terlelap dalam lilitan bedongan. Sebulan pasca melahirkan, kami kembali boyongan ke istana Prawira. "Hati-hati, Ma!" Mas Gun meletakkan Rendra dalam pangkuan sang Mama. "Persis seperti kecilanmu dulu, Ndra." Dikecupnya pipi kemerahan itu, gemas. "Iya, dong. Papanya saja ganteng begini, apalagi anaknya." "Aku juga ikut andil kali, Mas." Mas Gun meringis mendapati pinggangnya terkena cubitanku. Narsis sekali, padahal wajah Rendra itu perpaduan antara aku dan papanya. Yah, meski kuakui Mas Gun lebih mendominasi. "Mama kamu marah, Sayang." Bayi tampanku tak terusik meski sang papa mengusili dengan menjawil pipi gembulnya. "Kamar Rendra gimana, Mas? Udah beres semuanya?" "Sudah, dong." Embak-embak asisten sudah menata baju juga pernak pernik milik Rendra di kamar berdinding warna warni tersebut. Pintar sekali suamiku memilihkan desain untuk putra kami. Keempat sisi dinding
"Sudah, Mas. Malu, banyak orang." Mayra mendorong kepalaku. "Itu belum seberapa, May." Semakin mendapat penolakan, semakin gencar aku menggoda. Puluhan kali pipi dan kening itu kujadikan sasaran hidung ini. Tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan bahagia berlebih dalam hati, selain menyalurkannya dengan kecupan juga pelukan. Wajah pucat istriku kembali berbinar, lebih bertenaga setelah dipindahkan ke ruang pemulihan. Bayiku sendiri sedang jadi rebutan kakek neneknya. Sayup-sayup kudengar sedikit keributan di luar sana, ingin bergantian menggendong. "Kubilang cukup, Mas!" Sekarang dia memberengut karena aku membuat insta story tanpa persetujuan. Mayra pasti tidak percaya diri dengan penampilan apa adanya. Wanita! Aku--yang suaminya saja tidak pernah mempermasalahkan. Kenapa dia begitu ribet memikirkan penilaian orang di luar sana. "Biarkan suamimu ini mengekspresikan kebahagiaannya, May." Dia memutar bola mata, malas. Setelah itu pasti akan bilang terserah. Notifikasi tak be
"Kamu cantik sekali, May." Pria di ranjang sana suka sekali memujiku terang-terangan. Entah berapa ratus koleksi foto yang memenuhi galerinya. Terutama pose-pose sang istri semenjak berbadan dua. Mas Gun senang sekali dengan perubahan bentuk tubuhku. Apalagi di bagian perut. Seringkali menjadi objek jepretan kamera ponselnya. Menurutnya, aku sangat seksi saat mengenakan daster dengan perut gendut seperti ini. "Mas juga tampan," balasku. Memang fakta, memasuki usia kepala empat. Lelakiku kian matang dan awet tampan. Aku sengaja membuka jendela lebar-lebar, untuk sirkulasi udara di pagi hari. Tirai coklat muda kutarik ke pinggir, lalu mengikatnya di bagian tengah. Sebentuk tangan melingkari perutku yang bulat. Meraba pergerakan sang bayi di dalam sana. "Wah, sepertinya dia sedang bermain, May." Calon papa mengusap permukaan perut yang sedikit lancip. "Sekarang lebih anteng, Mas. Enggak intens nendang-nendang." "Mungkin karena dia ada feeling kalau sebentar lagi akan melihat dun
"Aku enggak mau USG, Mas!" Ada ketakutan di wajah istriku mendengar saran dari beberapa orang terdekat. "Kenapa, May?" Mayra beringsut ke jendela kamar, membuka gorden dan berdiri melipat tangan di sana. Aku menyusul, memeluk perut yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. "Biar jadi surprise saja." Kegelisahan itu berbeda, entah kenapa di balik kebahagiaan ini, dia seperti menyimpan kekhawatiran. "Sayang. USG itu bukan hanya untuk mengetahui jenis kelamin anak kita saja. Tapi juga untuk melihat kondisi Indraguna junior di dalam sini." Aku mengusap perut Mayra dengan gerakan memutar. "Jadi Mas Gun menginginkan anak lelaki?" "Ya, enggak juga, May. Tadi hanya perumpamaan saja. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Saya tetap bersyukur dengan anugerah luar biasa ini." "Jujur, aku sedikit takut, Mas." Mayra berbalik, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Seakan meminta perlindungan dari bahaya yang mengancam. "Takut kenapa, hem?" "Karena aku mengandung di usia yang tak la
Jam di nakas masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, sejak terbangun karena tenggorokanku haus tadi. Sulit mata ini untuk terpejam kembali. Bergonta-ganti posisi tidur pun tetap membuatku merasa tak nyaman. Aku gelisah. Bukan karena memikirkan persoalan berat. Namun, tiba-tiba saja terlintas ingin memakan sesuatu. Makanan yang tidak tersedia di rumah ini, mustahil juga ada yang menjualnya di jam seperti ini. "Mas!" Aku menepuk pundak lelaki yang tengah terbuai mimpi. "Hmmm." Dia hanya menggeliat sebentar, lalu tertidur lagi. "Mas--" Kuguncangkan lagi bahu kekar itu. Kali ini dia terbangun dan langsung terduduk mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Sayang?" Tangan besarnya terulur mengelus pipiku. "Aku--" Ah, bagaimana mengatakannya? Tega sekali aku mengusik suamiku yang tengah beristirahat, setelah seharian penuh bekerja keras. Ditambah mengurus istrinya yang mendadak sensitif dan manja. "Kamu sakit? Muntah-muntah lagi?" Dia menempelkan telapak tangan di kening, lalu beralih
"Mas! Ada apa?" Kening istriku mengerut. Entah bagaimana meluapkan kebahagiaan tiada tara ini. Usai mengakhiri percakapan dengan dokter Hans, aku tak langsung menjawab pertanyaan Mayra. Beranjak dari kursi, kutarik tubuh wanita yang masih keheranan itu ke dalam pelukan. Erat. Menghujani tiap inci wajahnya dengan kecupan. Tak peduli meski ada Firman dan Rasti di sana. "Mas ... siapa yang menelepon?" "Dokter Hans, Sayang." "Gimana hasil tes terakhirku, Mas?" Mayra mulai tak sabaran saat aku menyebutkan nama dokter yang menangani program bayi tabung kami. "Alhamdulillah ... positif, May." Dia menarik wajah dari dadaku, menatap suaminya ini dalam-dalam. Bibir tipisnya menganga seakan tak percaya. Perlahan jariku mengusap kaca-kaca di sepasang mata indah itu. Namun, sekali mengerjap tetesan bening tetap meluncur di kedua pipi. "Kamu serius, Mas?" Aku mengangguk yakin. "Iya, Sayang." "Alhamdulillah, ya Allah." Mayra kembali memeluk. Untuk beberapa saat kami terdiam, hanya isak yan
"Maafkan mama, May." Wanita tua itu menunduk, ada air mata yang tersimpan di sana. Aku membungkuk mensejajarkan tubuh dengan beliau yang terduduk di kursi roda. Menggenggam tangan keriput nan dingin di pangkuannya. "Mayra sudah memaafkan Mama, jauh sebelum Mama meminta maaf." Aku menelungkupkan kepala di pangkuan ibu mertua. Tak lama, kurasakan usapan lembut di bahu. Ada kasih sayang tulus yang tersalur darinya. "Alhamdulillah." Mas Gun yang menyaksikan adegan ini tampak lega. Dirangkulnya dua wanita yang teramat dia cintai. Lantas diciuminya bergantian. Aku kembali. Setelah perenungan panjang tempo hari. Setelah mengumpulkan rekam peristiwa yang kami lalui hingga detik ini. Hatiku cenderung memilih untuk bertahan. Menyambut erat tangan yang juga mati-matian ingin mempertahankanku di sisinya. Menerima segala sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya. Tidak ada alasan lagi untuk pergi, karena dia memiliki seribu satu cara agar aku tetap tinggal. "Papa!" Zio muncul dari ruang dalam