"Bapak keberatan dengan panggilan itu?" What's wrong with Mas Gun? Bukankah terdengar lebih akrab.
Lelaki yang langsung mengenakan kacamata hitam itu tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajah.
"Terserah mau panggil apa. Yang jelas saat ini saya sangat membutuhkan bantuan kamu."
"Bantuan apa, Pak?"
"Ikut saya!" Pria 35 tahun itu bangkit lantas mengulurkan tangan.
Mau digandeng ke mana? Bukan mau dansa atau menyeberang jalan, kan?
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa pergi begitu saja tanpa kejelasan."
Tangan yang menggantung itu perlahan turun, seiring helaan napas kecewa karena aku menolak ajakan yang entah ke mana.
"Saya akan jelaskan semuanya setelah sampai tujuan, saya tidak punya banyak waktu." Kupikir dia menyerah dan segera pergi, tapi malah menjulang di depanku.
"Begitu pun dengan saya. Kebetulan jadwal saya pun sangat padat. Jika tidak mendadak seperti ini, pasti akan saya re-scedule supaya tidak bentrok. Sekali lagi maaf!"
"Rapat hari ini biar Papi dan Firman yang handle. Soal laporan kamu tinggal menunggu dari perwakilan sekretaris." Tahu-tahu Papi dan Firman sudah bergabung di sini. Menguping dan menyela.
Tiga lelaki itu berbalas sapaan dan berbasa-basi. Awalnya tak jauh dari topik bisnis. Seolah Papi ingin membanggakan betapa hebatnya calon pilihan untuk putri tercintanya ini.
Secara tidak langsung menunjukkan nilai-nilai plus tentang kemapanan, kedewasaan dan ketampanan guna meyakinkan bahwa dialah satu-satunya pria yang layak bersanding denganku.
Ya, satu-satunya.
Ya Allah. Benarkah tidak ada kandidat lain selain Mas Gun?
Katanya tak punya banyak waktu, tapi lelaki berambut kelimis itu malah meladeni Papi. Perbincangan berlanjut dan merembet membahas masa depan.
Masa depan dua perusahaan raksasa apabila disatukan. Begitulah yang tertangkap di telinga. Tentu saja hanya guyonan. Kamilah yang sebenarnya ingin disatukan dalam pernikahan.
Aku memelototi Firman, kode agar dia menyelamatkanku dari situasi ini. Ayah satu anak itu salah paham dengan menunjukkan jam tangan ke Papi tanda meeting segera dimulai. Semprul!
"Silakan, kalau Nak Indra masih ada perlu dengan anak saya." Papi begitu enteng menyerahkanku pada pengusaha muda itu tanpa rasa takut akan terjadi apa-apa dengan putrinya.
Semudah itukah mempercayai duda tampan itu?
"Mari!" Pak Indra mengayun tangan, menyilakan keluar pintu lobi utama.
Alphard putih menunggu di depan. Driver berpakaian serba hitam mengangguk hormat pada tuannya di belakang kendali setir.
"Ladies first!" Aku duduk di jok belakang sesuai perintah empu mobil. Tak lama dia menyusul masuk.
**
Rumah sakit?
Keningku mengerut memastikan bangunan tinggi menjulang yang menjadi tujuan Pak Indra membawaku.
Siapa yang sakit?
"Untuk apa kita ke sini, Pak?" tanyaku, sembari mengejar langkah panjang pria itu memasuki pintu kaca lantai dasar.
"Untuk check up kesehatan sebagai salah satu persyaratan sebelum menikah."
"Serius?"
Semprul! Dia hanya mengangkat sudut bibir dan mengedikkan bahu. Lantas berjalan cepat menuju lift dan menekan tombol di sisi kanan.
Ini rumah sakit, tak mungkin dia melakukan tindakan macam-macam di sini. Untuk itulah aku percaya dan mengikutinya tanpa banyak bertanya.
Lebih tepatnya lelah bertanya, karena jawabannya tetap sama. Nanti kamu juga tahu.
Keluar lift, kami kembali menyusuri lorong sepi kamar-kamar besar tempat pasien VVIP dirawat. Lalu berhenti di depan pintu salah satu ruangan bernomor 1050.
"Masuk!" titah Pak Indraguna.
Yang tertangkap oleh mata ketika sampai di dalam adalah berbagai fasilitas kenyamanan. Kitchen set, sofa super empuk bagi penunggu, perlengkapan ibadah, juga kamar mandi yang didesain sesuai kebutuhan penderita sakit.
Sementara untuk pasien sendiri menempati satu kamar khusus. Terdapat dua ranjang serba putih di sana. Satu dilengkapi dengan remote dan tombol-tombol dengan fungsi berbeda-beda. Satu diperuntukkan bagi si penunggu.
Di sanalah kulihat wanita paruh baya tengah berbaring miring. Memandangi langit di luar jendela kaca tanpa beralih meski Pak Indraguna menyapanya.
"Ma, Indra mau kenalin seseorang sama Mama," ucap pria itu.
Sang Mama menggerakkan bola mata pada sang putra, lantas sedikit menelengkan kepala. Memastikan siapa yang berdiri di belakang Pak Indra. Namun, bibir pucat itu masih terkatup.
"Selamat pagi, Tante!" Melangkah lebih dekat, aku mencoba memahami situasi ini dengan beramah tamah. Sebagai bentuk formalitas, kuraih tangan kurus yang dipasangi jarum dan selang infus, lantas menempelkannya di kening.
Tanpa diduga seulas senyum dia hadirkan kemudian, sesaat setelah aku mengangkat wajah. Lalu kurasakan usapan lembut di kepala.
"Indra tinggal ke depan ya, Ma." Pria bersepatu pantofel hitam itu undur diri, meninggalkan kami berdua saja, entah apa maksudnya.
"Siapa namamu?" Pemilik rambut yang sebagian telah beruban itu membuka suara.
"Mayra, Tante." Aku duduk di kursi tepat di sebelah ranjang oleh isyarat tangan wanita yang kupanggil dengan sebutan Tante.
"Akhirnya Indra menepati janjinya ...."
Alisku menaut mencerna janji apakah yang ditepati oleh pria itu. Mungkinkah mengenalkan diri ini pada ibunya?
Indraguna Prawira adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga itu. Juga pengganti sang ayah yang telah lama berpulang.
Terlalu menyibukkan diri dengan segudang pekerjaan yang diwariskan, membuat lelaki keturunan Jawa itu nyaris tak memiliki waktu untuk menjalin hubungan baik dengan wanita. Terlebih setelah menduda.
Sang ibu menginginkan sosok pendamping terbaik bagi putra bungsunya. Agar anak lelaki kesayangan ingat kapan waktu pulang. Ada seseorang yang senantiasa menantikan dirinya untuk sekadar bersantap malam.
Juga ada tawa riang dari buah hati yang menyambut di depan pintu, menggelayut manja serta mengadu telah mendapat omelan sang bunda akibat satu kesalahan kecil.
Ya. Harapan indah yang dituturkan wanita yang baru kuketahui bernama Kantini.
Sebelum ini, Pak Indra bertengkar hebat dengan sang ibu karena memutuskan untuk menyendiri saja setelah kegagalan berumah tangga untuk kesekian kali.
Setiap waktu memikirkan nasib tumpuan hidup keluarga, membuat kesehatan Tante Kantini menurun. Puncaknya adalah pada saat beliau terjatuh dari tangga dan mengalami beberapa kerusakan di bagian tulang belakang.
Pak Indra sangat terpukul dan menyesalkan peristiwa itu. Untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, dia harus menghadirkan calon pendamping hidup.
"Tante rasa kamu wanita yang tepat," pungkasnya sebelum aku berpamit ke luar.
Aku berpura-pura izin ke toilet, padahal ingin mendengar konfirmasi langsung dari pria yang duduk di sofa sembari memainkan tablet.
"Jadi, karena perjanjian konyol itu Bapak menekan saya. Memanfaatkan kelemahan sang ibu, agar saya berempati lalu mengikuti permainan Bapak atas nama pernikahan. Itukah yang Pak Indra lakukan selama ini? Pada tiga wanita sebelum saya?" Keluar sudah apa yang sedari tadi terpendam di dalam sini sewaktu menyimak kejujuran Tante Kantini di dalam sana.
"Jangan terlalu cepat menilai, May!" Pak Indra memelankan suara, takut terdengar oleh sang Mama.
"Saya tahu, saya sadar enggak laku-laku. Tapi saya bukan barang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Usia saya tidak memungkinkan untuk bermain-main, Pak. Saya butuh pendamping untuk sekali seumur hidup. Bukan sekadar menanggalkan status perawan tua." Buliran bening meluncur di kedua pipiku. Disusul isak demi isak yang sebisa mungkin kutahan dengan telapak tangan.
"Kalau saya berniat main-main. Saya enggak akan membawa kamu pada orang tua saya."
"Lantas bagaimana saya bisa semudah itu percaya? Sedangkan sebelumnya Bapak pernah tiga kali gagal membina rumah tangga."
"Karena itulah, saya yakin bahwa kamu adalah harapan terakhir saya."
"Tanpa cinta?"
Pak Indra bangkit dan memintaku menatapnya dalam-dalam. Menguak satu kenangan lalu.
Bagaimana dia pernah begitu dalam mencinta, menggebu-gebu pada awalnya. Namun seiring waktu berjalan, yang sebelumnya tergenggam erat perlahan memudar bahkan hilang tanpa sisa.
Lalu sekarang, apa salahnya memulai dari awal? Menanam, lantas memupuknya hingga tumbuh subur. Mengakar kuat dan tak mudah untuk tercabut. Bukan cinta yang sebaliknya, tumbuh subur di awal. Namun pada akhirnya kering dan meranggas, kemudian mati.
"Beri kesempatan untuk saya, May."
Jika ini merupakan jawaban dari doa-doa. Tentu akan mudah bagiku menuju ke sana. Benarkah memang aku yang disiapkan untuk mengusaikan akhir penantian panjang Pak Indra?
"Saya butuh waktu, Pak."
"Berapa lama? Jangan terlalu lama meggantungkan saya dengan harap."
"Satu bulan."
"Oke."
"Saya permisi, Pak!" Aku bersiap keluar dari ruangan bak hotel mewah itu.
"May!" Panggilan Pak Indra menghentikan langkah ini.
"Kan sudah saya bilang satu bulan. Tolong jangan ditawar lagi!" Mendesis geram, mataku menyorot tajam saat memutar tubuh sekali lagi.
"Kalau mau pulang, seenggaknya pamit dulu sama calon mertua kamu."
Ah, Sial si Gugun!
Bersambung
"Jadi, Mbak May habis dikenalin sama ibunya Pak Indra? Ada kemajuan, nih." Rasti bersorak yas yes merasa misinya berhasil. Sepulang dari rumah sakit, mood-ku terlanjur berantakan. Malas kembali ke kantor, kuputuskan menyambangi rumah Firman dan Rasti. "Jangan kesenengan dulu kamu, Ras. Aku kasih jeda satu bulan sebelum Mas Gun datang melamar." "Mas Gun siapa, Mbak? Ada calon lain?" "Maksud Mbak, ya, Pak Serbaguna eh Indraguna mantan bos kamu itu." "Aciaaaah, udah punya nama panggilan kesayangan." Rasti noel-noel lenganku, bikin dada ini ser-seran aneh mendengar apa yang dia bilang. Panggilan kesayangan itu bukannya semacam, sayang, baby, honey. Lha ini Mas Gun? Kesayangan dari Hongkong? "Udah, deh, gak usah julid kamu, Ras." Malu, sudah tua begini diledekin kaya anak ABG. Ulah manusia enggak ada akhlak. "Kenapa harus nunggu selama itu, sih, Mbak?" tanya adik iparku. "Nah, itu dia tujuan Mbak ke sini. Kalau kamu pengen mbakmu ini lepas dari status jomblo ngenes. Kamu harus ban
"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon. Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa? "Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?" "Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah." "Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu." Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta. "Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak t
"Nikahin secepatnya? Anda lucu sekali, Pak. Lamaran saja belum tentu terlaksana." Aku terkekeh sombong.Sebagai pengidap jomlo akut, tak memungkiri bahwa aku pun ingin segera mengakhiri status single ini. Namun sah-sah saja kan, jika aku berhak mendapatkan calon pendamping terbaik. Sudah enggak laku-laku, pemilih pula. Well, silahkan beropini apa saja. Namun, jalan hidup mendatang tetap berada dalam genggamanku bukan di tangan netijen. "Konsisten, May. Kalau panggil pak ya pak, mas ya mas. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dengan panggilan Mas Gun. Meski sedikit menurunkan wibawa saya, tapi kalau keluar dari mulut kamu jadi terdengar lebih spesial." Enggak bakalan mempan, Mas. Mau digombalin jenis apa pun aku enggak akan menerima lamaran sebelum misi selesai. Pak Indra membimbingku duduk berhadapan di kursi balkon. Bersekat meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya. Aroma khas minuman berkafein itu merelaksasi pikiran semrawut yang berjeja
Atas dasar ingin tetap menjalin silaturahmi dengan mantan menantu. Tante Kantini meneruskan temu kangen di sebuah resto dalam mal. Duduk bertiga di meja yang sama. Posisi mereka jelas, pernah ada ikatan keluarga. Lalu aku? Pacar Mas Gun? Bukan. Calon istri? Belum di-approve. Jadi untuk sementara aku menjadi pendengar setia dua wanita beda usia yang lebih mendominasi pertemuan mengagetkan ini. Seperti terjebak dalam labirin dan kebingungan mencari jalan keluar, aku menikmati sepelan mungkin makanan yang terkunyah di mulut. Jangan sampai habis sebelum alarm perbincangan itu berbunyi tanda selesai. Ponsel hanya ku-check sesekali, enggak enak memainkan benda itu berlama-lama di depan wanita yang sangat kuhormati. "Bagaimana kabarmu, Denia? Sudah menemukan pendamping baru?" Seakan paham situasi, Tante Kantini sama sekali tak membahas masa lalu mantan istri putranya. "Belum, Ma." Diiringi senyuman tipis, Mbak Denia menjawab pelan. Mengalihkan kecanggungan dengan meminum jus. Mama. Pan
"Maksud Mas Gun apa?" Aku mengedikkan bahu dan bertanya-tanya dalam hati. Mas Gun menolehku lagi. Mati. Kacamata hitam yang bertengger di atas hidung tak menghalangi tatapan intens-nya. Akan terus seperti itu andai Alphard putih ini tak disalip truk yang membunyikan klakson cukup keras. Meng-ambyarkan aktivitas iseng Mas Gun sekaligus menyadarkan dirinya untuk fokus menyetir. "Dulu, Denia itu salah satu karyawan saya di kantor. Gadis yang membuat saya move on dari Purnama." Akhirnya ... cerita itu mengalir tanpa kuminta. "Terus?" "Sudah saya duga, kamu pasti sangat ingin tahu, May." "Tapi aku enggak maksa Mas buat cerita juga, kok. Santuy, Mas." Ada yang mau ngeles tapi bukan bajaj. Padahal kepingin tahu juga dari versi Mas Gun sendiri. "Oh, yasudah." Maaas Guuun! Kepingin pelintir lengannya tapi belum punya hak. Lihat aku kesal, dia terkekeh. Khas sekali, sampai orangnya enggak ada pun masih terngiang di telinga. Tengil-tengil gimana gitu. Enggak tega lihat bibirku tambah
"Maaf, apa betul ini Mbak Sarah?" Wanita berambut panjang kecoklatan itu menengok saat aku telah sampai dan berdiri dekat kursi yang dia tempati. "Betul. Dengan Mbak Mayra?" Dia balik bertanya. "Iya, benar." Aku berjalan memutari meja bulat putih itu, lantas duduk berseberangan dengan seseorang yang ingin kutemui. Menjelang deadline waktu sebulan sebelum Mas Gun resmi melamar. Akhirnya sampai juga pada penyelidikan ketiga. Untung Mbak Sarah ini sangat kooperatif. Gampang diajak ketemuan tanpa ribet asal ada hitung-hitungannya, yang ini benar-benar mantan anti-mainstream. Sepersekian detik aku menilik penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Body padat berisi itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Enggak usah kalian bayangkan lah, ya. Pokoknya idaman semua laki-laki. Mbak Sarah mengaplikasikan riasan cukup tebal di area wajah ovalnya. Bulu mata palsu ulala dan softlens biru menyempurnakan kitaran mata bulatnya. Mas Gun, Mas Gun. Apa
"Karena Mas Gun ini adalah kandidat tunggal alias enggak ada saingan. Boleh, kan, aku tahu cerita lalu dengan mantan-mantan mas Gun. Saling terbuka gitu, biar ke depannya enggak ada pertanyaan-pertanyaan lagi. Kenapa begini, kenapa begitu? Aku pun akan melakukan yang sama." Di bangku besi taman kota, uneg-uneg di perut akhirnya tersampaikan juga. Mas Gun duduk terpekur, mengamati pasangan muda mudi yang melintas di depan kami. Lantas menoleh ke arah lain, seakan merangkai jawaban sebanyak dan semampuku bisa mendengar, kalau perlu sekalian mencernanya. "Namanya Sarah ...." Menurut versi mas Gun enggak berbeda jauh dengan versi mbak Sarah. Menikah karena perjodohan. Almarhum Prawira menjodohkan sang putra dengan anak kawan baiknya semasa sekolah dan belum memiliki apa-apa. Keluarga sang sahabat berjasa besar pernah menolong beliau dalam kesulitan hidup. Hingga merasa harus membalas budi. Kebetulan mbak Sarah belum menemukan jodohnya, lalu Mas Gun telah menyandang status duda. Semu
"Kamu suka warna apa, May?" Suara bariton Mas Gun sedikit tenggelam oleh kebisingan sekitar. Entah di mana dirinya menelepon sekarang. "Merah, Mas." Makin seenaknya dia menghubungiku saat berjibaku dengan kertas-kertas laporan. Hanya untuk menanyakan warna kesukaan. "Melambangkan diri kamu, ya, May?" "Bukan, Mas. Melambangkan kertas merah dengan nominal yang paling disukai wanita."Realistis, Cuy!"Berarti untuk seserahan kamu memilih mentahnya saja, May?" Ooh. Jadi ada hubungannya dengan barang seserahan nanti. Merasa berdosa asal jeplak pilih warna. Padahal aku suka segala sesuatu yang bernuansa peach. "Terserah Mas Gun saja. Mau mentah atau matang, insyaa Allah saya terima dengan sepenuh hati." Sudah terlanjur malu, ya, sudah ceburkan sekalian. Kekehan ala suami Raisa menjadi penutup percakapan. Belum kuletakkan lagi benda di tangan, notifikasi pesan masuk muncul di display layar. 'Maaf, ketinggalan, May.' Yang dimaksud ketinggalan adalah emotikon kepala gundul yang memon
"Bagaimana, May? Kamu mau kembali ke perusahaan papi? Sudah waktunya papi beristirahat, menemani Mami liburan, juga mengisi masa tua papi bersama cucu-cucu kesayangan papi." Lelaki berambut putih itu menolehku. Aku tak langsung menjawab atau berkata setuju. Belakangan kondisi kesehatan Papi menurun. Pola hidup sehat yang diterapkan kendur lagi seiring banyaknya pekerjaan yang menuntut segera diselesaikan. Namun tidak diimbangi dengan fisik yang memadai. "Mayra perlu membicarakan ini dengan Mas Indra, Pi." Kurangkul bahu Papi hingga mencapai sebuah bangku taman belakang dekat kolam ikan koi kesayangan pria tua tersebut. "Semoga Indra mengizinkan ya, May. Perusahaan Papi butuh generasi mumpuni seperti kamu. Sayang, kalau pengalaman yang kamu miliki disia-siakan begitu saja. Papi yakin, di tangan kamu perusahaan Papi pasti akan terus-menerus berkembang. Mampu menyerap tenaga kerja domestik, serta disegani kompetitor karena inovasi dan ide brilian kamu sering tidak terduga." "Itu kan
"Mas, ayo bangun!" Samar-samar kudengar seseorang berbisik di telinga. "Hmmm." Enggan rasanya membuka mata di saat masih ingin nyenyak bermain di alam mimpi. "Kok, cuma hmm. Ayo cepetan bangun!" Kali ini bahuku berguncang karena dorongan tangan Mayra. "Saya masih mengantuk, May." Kurebahkan tubuh istriku lalu menggulungnya di balik selimut. "Mas!" Dia meronta minta dilepaskan. "Sepagi ini ngapain bangunin suamimu, ha?" "Kan kemarin aku sudah bilang, minta ditemani jogging." Wanita! Selalu sensitif jika ada satu dua orang yang mengomentari perubahan fisiknya. Padahal di mataku sudah ideal. Namun, itu masalah besar jika orang lain yang berkomentar. Terlebih teman-teman yang dia bilang body goal meski sudah berkali-kali melahirkan. Dua tahun lamanya dia menahan diri untuk diet. Itu pun karena aku tak pernah mengizinkan, bahkan menentangnya habis-habisan meski Mayra memohon-mohon. Sekarang, dia seperti tawanan yang telah bebas. Sudah menyelesaikan tugas menyusui Rendra selama du
"Akhirnya, cucu Oma datang juga!" Mama Kantini bungah menyambut sang cucu. Tak sabar ingin meraih bayi yang terlelap dalam lilitan bedongan. Sebulan pasca melahirkan, kami kembali boyongan ke istana Prawira. "Hati-hati, Ma!" Mas Gun meletakkan Rendra dalam pangkuan sang Mama. "Persis seperti kecilanmu dulu, Ndra." Dikecupnya pipi kemerahan itu, gemas. "Iya, dong. Papanya saja ganteng begini, apalagi anaknya." "Aku juga ikut andil kali, Mas." Mas Gun meringis mendapati pinggangnya terkena cubitanku. Narsis sekali, padahal wajah Rendra itu perpaduan antara aku dan papanya. Yah, meski kuakui Mas Gun lebih mendominasi. "Mama kamu marah, Sayang." Bayi tampanku tak terusik meski sang papa mengusili dengan menjawil pipi gembulnya. "Kamar Rendra gimana, Mas? Udah beres semuanya?" "Sudah, dong." Embak-embak asisten sudah menata baju juga pernak pernik milik Rendra di kamar berdinding warna warni tersebut. Pintar sekali suamiku memilihkan desain untuk putra kami. Keempat sisi dinding
"Sudah, Mas. Malu, banyak orang." Mayra mendorong kepalaku. "Itu belum seberapa, May." Semakin mendapat penolakan, semakin gencar aku menggoda. Puluhan kali pipi dan kening itu kujadikan sasaran hidung ini. Tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan bahagia berlebih dalam hati, selain menyalurkannya dengan kecupan juga pelukan. Wajah pucat istriku kembali berbinar, lebih bertenaga setelah dipindahkan ke ruang pemulihan. Bayiku sendiri sedang jadi rebutan kakek neneknya. Sayup-sayup kudengar sedikit keributan di luar sana, ingin bergantian menggendong. "Kubilang cukup, Mas!" Sekarang dia memberengut karena aku membuat insta story tanpa persetujuan. Mayra pasti tidak percaya diri dengan penampilan apa adanya. Wanita! Aku--yang suaminya saja tidak pernah mempermasalahkan. Kenapa dia begitu ribet memikirkan penilaian orang di luar sana. "Biarkan suamimu ini mengekspresikan kebahagiaannya, May." Dia memutar bola mata, malas. Setelah itu pasti akan bilang terserah. Notifikasi tak be
"Kamu cantik sekali, May." Pria di ranjang sana suka sekali memujiku terang-terangan. Entah berapa ratus koleksi foto yang memenuhi galerinya. Terutama pose-pose sang istri semenjak berbadan dua. Mas Gun senang sekali dengan perubahan bentuk tubuhku. Apalagi di bagian perut. Seringkali menjadi objek jepretan kamera ponselnya. Menurutnya, aku sangat seksi saat mengenakan daster dengan perut gendut seperti ini. "Mas juga tampan," balasku. Memang fakta, memasuki usia kepala empat. Lelakiku kian matang dan awet tampan. Aku sengaja membuka jendela lebar-lebar, untuk sirkulasi udara di pagi hari. Tirai coklat muda kutarik ke pinggir, lalu mengikatnya di bagian tengah. Sebentuk tangan melingkari perutku yang bulat. Meraba pergerakan sang bayi di dalam sana. "Wah, sepertinya dia sedang bermain, May." Calon papa mengusap permukaan perut yang sedikit lancip. "Sekarang lebih anteng, Mas. Enggak intens nendang-nendang." "Mungkin karena dia ada feeling kalau sebentar lagi akan melihat dun
"Aku enggak mau USG, Mas!" Ada ketakutan di wajah istriku mendengar saran dari beberapa orang terdekat. "Kenapa, May?" Mayra beringsut ke jendela kamar, membuka gorden dan berdiri melipat tangan di sana. Aku menyusul, memeluk perut yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. "Biar jadi surprise saja." Kegelisahan itu berbeda, entah kenapa di balik kebahagiaan ini, dia seperti menyimpan kekhawatiran. "Sayang. USG itu bukan hanya untuk mengetahui jenis kelamin anak kita saja. Tapi juga untuk melihat kondisi Indraguna junior di dalam sini." Aku mengusap perut Mayra dengan gerakan memutar. "Jadi Mas Gun menginginkan anak lelaki?" "Ya, enggak juga, May. Tadi hanya perumpamaan saja. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Saya tetap bersyukur dengan anugerah luar biasa ini." "Jujur, aku sedikit takut, Mas." Mayra berbalik, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Seakan meminta perlindungan dari bahaya yang mengancam. "Takut kenapa, hem?" "Karena aku mengandung di usia yang tak la
Jam di nakas masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, sejak terbangun karena tenggorokanku haus tadi. Sulit mata ini untuk terpejam kembali. Bergonta-ganti posisi tidur pun tetap membuatku merasa tak nyaman. Aku gelisah. Bukan karena memikirkan persoalan berat. Namun, tiba-tiba saja terlintas ingin memakan sesuatu. Makanan yang tidak tersedia di rumah ini, mustahil juga ada yang menjualnya di jam seperti ini. "Mas!" Aku menepuk pundak lelaki yang tengah terbuai mimpi. "Hmmm." Dia hanya menggeliat sebentar, lalu tertidur lagi. "Mas--" Kuguncangkan lagi bahu kekar itu. Kali ini dia terbangun dan langsung terduduk mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Sayang?" Tangan besarnya terulur mengelus pipiku. "Aku--" Ah, bagaimana mengatakannya? Tega sekali aku mengusik suamiku yang tengah beristirahat, setelah seharian penuh bekerja keras. Ditambah mengurus istrinya yang mendadak sensitif dan manja. "Kamu sakit? Muntah-muntah lagi?" Dia menempelkan telapak tangan di kening, lalu beralih
"Mas! Ada apa?" Kening istriku mengerut. Entah bagaimana meluapkan kebahagiaan tiada tara ini. Usai mengakhiri percakapan dengan dokter Hans, aku tak langsung menjawab pertanyaan Mayra. Beranjak dari kursi, kutarik tubuh wanita yang masih keheranan itu ke dalam pelukan. Erat. Menghujani tiap inci wajahnya dengan kecupan. Tak peduli meski ada Firman dan Rasti di sana. "Mas ... siapa yang menelepon?" "Dokter Hans, Sayang." "Gimana hasil tes terakhirku, Mas?" Mayra mulai tak sabaran saat aku menyebutkan nama dokter yang menangani program bayi tabung kami. "Alhamdulillah ... positif, May." Dia menarik wajah dari dadaku, menatap suaminya ini dalam-dalam. Bibir tipisnya menganga seakan tak percaya. Perlahan jariku mengusap kaca-kaca di sepasang mata indah itu. Namun, sekali mengerjap tetesan bening tetap meluncur di kedua pipi. "Kamu serius, Mas?" Aku mengangguk yakin. "Iya, Sayang." "Alhamdulillah, ya Allah." Mayra kembali memeluk. Untuk beberapa saat kami terdiam, hanya isak yan
"Maafkan mama, May." Wanita tua itu menunduk, ada air mata yang tersimpan di sana. Aku membungkuk mensejajarkan tubuh dengan beliau yang terduduk di kursi roda. Menggenggam tangan keriput nan dingin di pangkuannya. "Mayra sudah memaafkan Mama, jauh sebelum Mama meminta maaf." Aku menelungkupkan kepala di pangkuan ibu mertua. Tak lama, kurasakan usapan lembut di bahu. Ada kasih sayang tulus yang tersalur darinya. "Alhamdulillah." Mas Gun yang menyaksikan adegan ini tampak lega. Dirangkulnya dua wanita yang teramat dia cintai. Lantas diciuminya bergantian. Aku kembali. Setelah perenungan panjang tempo hari. Setelah mengumpulkan rekam peristiwa yang kami lalui hingga detik ini. Hatiku cenderung memilih untuk bertahan. Menyambut erat tangan yang juga mati-matian ingin mempertahankanku di sisinya. Menerima segala sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya. Tidak ada alasan lagi untuk pergi, karena dia memiliki seribu satu cara agar aku tetap tinggal. "Papa!" Zio muncul dari ruang dalam