Ibu? Zoya termenung mendengar kata-kata Arvin. Setahunya Nyonya Kalandra sudah meninggal sejak lama, saat Arvin bahkan masih cukup kecil. Tapi, ia memang tidak pernah melihat foto wanita yang telah melahirkan suaminya. Dinding kediaman Kalandra hanya tergantung lukisan dan foto para pemimpin setiap generasi saja, tidak ada foto lainnya.Zoya bahkan tidak pernah melihat foto Arvin saat anak-anak. Zoya hanya melihat beberapa foto saat pria itu belajar di luar negeri, ketika usia Arvin sudah delapan belas tahun."Bagaimana bisa dia mirip dengan Nyonya Kalandra? Aku tidak bisa memberi komentar karena aku sendiri tidak pernah melihat wajah ibumu," ucap Zoya sembari menatap lekat netra hitam suaminya. Melihat tatapan dalam yang entah kenapa terasa sendu membuat Zoya mengerutkan kening. Apa Arvin sangat merindukan ibunya? Yah, tentu saja itu tidak perlu ditanyakan!"Akan kutunjukkan fotonya padamu besok, sekarang sebaiknya kita tidur dulu, sudah terlalu larut, kamu pasti lelah." Arvin menger
Zoya terbangun tepat pukul setengah lima. Bahkan tanpa alarm, wanita itu akan membuka mata tepat waktu. Sepertinya dia tahu dari mana putranya mendapatkan kemampuan seperti ini."Ehm ...." Zoya bangkit, meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah akhirnya bisa melepaskan pelukan Arvin darinya. Zoya tidak tahu apakah Arvin sempat bergeser dari tempatnya dan melepas pelukan karena rasanya tubuh Zoya kaku."Kalau sedang tidur seperti ini, dia terlihat seperti orang baik." Zoya bergumam sembari menatap wajah tidur Arvin yang sialnya meningkat seratus kali lebih tampan. "Kenapa ada orang yang terlihat seperti pangeran saat sedang tidur?" Zoya menekan dahi Arvin, sedikit jengkel dengan ketampanan sempurna seorang Kalandra. Dia sendiri tidak tahu bagaimana wajahnya saat tidur, tapi Zoya yakin yang namanya orang sedang tidur, sudah pasti banyak aib. Mungkin hanya suaminya yang tetap terlihat sempurna tanpa cela meski sedang tidur nyenyak."Sudahlah, melihat wajahnya yang terlalu i
Zoya tersenyum miring, menikmati bagaimana wanita di hadapannya terlihat lebih sedih dengan tatapan goyah. "Ternyata kamu tidak pernah berubah, Zoya, selalu angkuh dan menganggap semua yang kamu inginkan akan kamu dapat." Aileen mengusap air matanya, menghela napas perlahan sebelum menatap Zoya yang masih memasang wajah angkuh. "Itulah kenapa semua orang meninggalkanmu. Entah orang tuamu, kakek-nenekmu, saudara kembarmu, bahkan suamimu. Hati-hati, Zoya, besok mungkin Gavin yang meninggalkanmu."Zoya berdecak malas, matanya melirik pada laci di bawah kompor di mana ponselnya berada. "Kamu mungkin benar, Aileen, tapi satu hal yang pasti adalah Arvin tidak pernah meninggalkanku. Aku yang mengajukan gugatan cerai dan meninggalkannya! Dia juga yang mengemis dan memohon agar kami menikah lagi, bahkan sebelum aku datang menemuinya ke perusahaan waktu itu." Zoya terkekeh pelan, menutup mulutnya dengan satu tangan. "Jangan bilang kamu tidak tahu kalau Arvin sering ke sini dan bermain bersama
Zoya berteriak saat merasakan jemari Arvin sudah menginvasi bagian sensitifnya tanpa aba-aba, tanpa mendengarkannya yang sedang bicara.Arvin tertawa pelan setelah berhasil melepas seluruh kain yang melekat di tubuh Zoya, matanya menatap tajam air-air yang mengalir ke setiap celah tubuh istrinya. Napasnya terasa berat seiring dengan tenggorokannya yang kering. Istrinya terlihat sangat lezat."Berhenti menatapku seperti itu," ucap Zoya pelan sembari menyilangkan kedua tangannya di dada, berniat menutupi ketelanjangannya. Demi apa pun Zoya tidak pernah memiliki pikiran untuk mandi bersama! Tidak peduli meski mereka sudah menikah dan boleh-boleh saja melakukannya, tapi bagi Zoya, kamar mandi dan aktivitas di dalamnya adalah privasi."Kenapa? Aku tidak boleh menikmati keindahan di depanku?" Arvin menarik pelan tangan Zoya, melepaskannya dari menutupi pemandangan. "Kamu boleh menatapku juga sebagai balasannya," ucapnya seraya meletakkan tangan Zoya di dadanya.Zoya yang bisa merasa merasak
Satu alis Zoya terangkat. Dia tidak tahu ke mana Aileen dan apa lagi yang direncanakannya, tapi mungkin saja wanita itu hanya mencari udara segar setelah mendengarkan fakta-fakta yang dilontarkan Zoya."Justru karena sekarang akhir pekan, harusnya orang-orang pergi berlibur, kan? Bukan cuma kamu lho, El, yang butuh liburan." Zoya terkekeh pelan saat putranya menoleh dan menampilkan cengiran polosnya. "Nah, selesai! Kamu ke Papa duluan, Mama harus mandi dan ganti baju dulu." Elvio segera mengangguk setelah Zoya selesai menyisir rambutnya hingga rapi. Anak itu bergegas keluar kamar, meninggalkan Zoya yang menghela napas setelahnya. Meski dia bilang jika Aileen membutuhkan liburan dan udara segar, perasaannya tetap tidak enak. Tapi, semoga saja tingkah Aileen hanya bertahan di level berbohong saja. Ia tidak bisa membayangkan jika harus ada kejahatan juga. Sudah cukup Kaindra yang membuatnya khawatir dan tidak memberi kabar hingga kini.Zoya bangkit dari duduknya, berjalan menuju ruang
Di ruang tengah, Arvin yang sedang berbicara dengan manajer hotel di telepon, mengerutkan kening saat mendengar jawaban yang tidak sesuai yang yang dia ketahui.Tidak ada masalah apa pun pada audit bangunan yang dilakukan beberapa hari kemarin, surat keterangan dan jaminan atas keamanan akan segera dikeluarkan dan hotel siap untuk diresmikan sesuai rencana. Arvin yang menerima berita baik itu menghela napas lega akhirnya. "Baiklah, terima kasih atas laporannya, maaf telah mengganggu di waktu libur." Arvin segera memutus panggilan teleponnya setelah itu, tubuhnya bersandar pada sofa bertepatan dengan pesan baru yang dikirimkan Aileen.[Kamu kenapa tidak ada kabar lagi, Arvin? Kamu tidak pergi menyusulku, kan?! Sudah kubilang aku bisa melakukannya sendiri!]Kening Arvin mengernyit membaca pesan yang tertera. Aileen masih bersikap seolah benar-benar sedang ada masalah dan tidak mengharapkan kehadiran Arvin, padahal dia pasti tahu Arvin akan langsung datang jika itu urusan perusahaan, t
Elvio menengadah saat ayah dan ibunya berdiri di sisi kiri dan kanan, menggandeng tangannya memasuki area taman bermain. Baru melewai gerbang, Elvio harus menuruti keinginan ibunya untuk mengambil fotonya bersama badut yang memang berjaga di dekat gerbang.Setelah mendapatkan berbagai foto, mereka akhirnya menuju loket pembelian karcis untuk biaya masuk dan menaiki wahana. Arvin memutuskan untuk membeli tiga kartu khusus yang bisa dipakai untuk menaiki semua wahana."Biasanya kami hanya naik bianglala dan komedi putar," ucap Zoya seraya menatap pada kartu di tangan. Ia tidak terbiasa lagi membeli sesuatu yang tidak tahu akan digunakan atau tidak. Arvin tidak menanggapi, memilih untuk mengayunkan genggamannya pada Elvio dan menjawab kata demi kata kekaguman yang tidak henti dilontarkan putranya. "Aku mau naik itu dari dulu, Pa!" ujar Elvio sembari menunjuk pada berbagai wahana yang sangat ramai dengan teriakan. "Bukankah itu terlalu berbahaya? Kita akan naik wahana yang cocok untuk
Oh! Zoya membulatkan bibir, baru tahu jika seseorang yang sejak dulu sering mendengarnya marah-marah dan menjadi salah satu yang dijadikan samsak kekesalannya, ternyata orang baru di Kalandra.Tapi, mengingat sifat Zoya dulu yang seenak jidat, angkuh dan suka marah-marah, bukankah harusnya orang itu tidak lagi ingin melayani Zoya? Tidak hanya sopir, mungkin para pelayan di kediaman utama Kalandra juga membenci Zoya yang suka melempar barang dan menambah banyak pekerjaan mereka."Apa dia punya dendam padaku, makanya ingin menjadi sopirku lagi sekarang?" Zoya bergumam, sedikit cemas saat menatap Elvio yang berjalan riang di depannya. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang punya dendam terhadap Zoya akan menjadikan Elvio sebagai target."Dendam? Kenapa juga dia harus punya dendam terhadap majikannya?" Arvin mengernyit, jelas tidak bisa memikirkan alasan lugas seseorang bisa membenci dan menaruh dendam pada istrinya. "Jangan pura-pura tidak tahu sifatku, Arvin! Kamu mungkin bosan men