Bibir tipis merah muda itu mencoba meraup udara, bernapas dengan cepat saat akhirnya terlepas dari kungkungan bibir pria yang kini berpindah menuju leher. Wanita itu terengah saat tangan besar pria di atasnya menyusup ke balik blouse putih yang dikenakannya."Arvin," panggil Zoya pelan, menahan kepala Arvin yang lidahnya masih betah membasahi leher jenjangnya. "Berhenti!" serunya seraya menarik rambut suaminya, membuat pria itu mendongak dan menatapnya dengan kening berkerut."Kamu tahu kalau aku tidak bisa dihentikan," ucap Arvin seraya meloloskan blouse putih Zoya dengan sangat mudah, membuat tubuh bagian atas wanita itu hanya ditutupi bra hitam berenda. Arvin menjilat bibir, pandangannya berkabut.Tangan besar dengan urat-urat menonjol itu menyentuh perut rata wanita di bawahnya, bergerak dengan lihai menuju bongkahan padat yang sudah cukup lama tidak dijamah. "Aku ke sini untuk membangunkanmu dan membawamu ke ruang makan, Mia dan yang lainnya menunggu." Zoya merasa napasnya terpu
Mia terdiam. Ia memang marah, merasa tidak dianggap dan tumbuh sedikit kebencian pada dirinya sendiri yang tidak layak untuk Kaindra. Tapi, bagaimana Mia bisa melanjutkan marahnya jika Kaindra seperti ini? Pria itu selalu meminta maaf di waktu yang tepat, tapi tidak pernah benar-benar meresmikan jenis hubungan mereka."Sejujurnya itu bukan urusanku, Tuan Muda. Anda bisa pergi ke mana pun dan melakukan apa pun, aku juga tidak berhak tahu urusan Anda. Tapi, bagaimana dengan Freya? Anda tidak meneleponnya sama sekali setelah pergi tanpa berpamitan." Kaindra menghembuskan napas pelan, sepenuhnya memahami maksud perkataan Mia. Hanya saja ... kenapa wanita itu masih saja mengatakan jika ia tidak berhak mengetahui sesuatu tentang Kaindra?"Aku sudah meminta maaf pada Freya dan memberi penjelasan padanya, jadi sekarang aku menemuimu, untuk mengatakan hal yang sama. Aku minta maaf." Kaindra menatap lekat pada Mia, mengunci mata wanita itu agar tidak beralih darinya."Sudah kubilang itu bukan
"Kenapa mereka tiba-tiba menyerang seperti ini? Padahal tidak ada laporan apa pun dari Hannes mengenai pergerakan mereka." Prazta juga segera merogoh saku jas bagian dalamnya, mengeluarkan sebuah senjata yang sama seperti milik Arvin."Entahlah, tapi sepertinya mereka sudah mengetahui tentang Hannes. Nah, sekarang, haruskah kita menyapa penyusup di belakang?" Arvin memantapkan pegangannya pada senjata api jenis raging bull yang tadi diambilnya dari dashboard.Prazta menginjak pedal gas, memberi kecepatan tinggi secara tiba-tiba, meninggalkan mobil asing di belakang.Netra gelap Arvin menajam saat mobil di belakangnya mengejar dengan kesepatan serupa. Arvin terkekeh dengan ide gilanya sendiri, tapi dia tidak bisa mundur lagi."Kau serius ingin melakukan itu?!" Prazta yang mengetahui apa yang ada di kepala Arvin hanya bisa menghela napas saat pria di sampingnya itu malah menyeringai lebar. Prazta memutar kemudi, membuat mobil yang dikendarainya tiba-tiba berputar arah hingga saling berh
"Sudah selesai bicara?" Zoya menyambut kedatangan Mia dan Kaindra dengan tangan bersedekap. "Jadi, bagaimana hasil diskusinya?" Mia merengut, tahu jika Zoya sedang mengolok-olok mereka. "Kami akan segera menikah setelah aku menyelesaikan kontrakku dengan Tuan Arkan." Kaindra menjawab dengan cepat, senyumnya melebar saat melihat ekspresi terkejut di wajah saudara kembarnya."Kamu sungguh mengajak seorang wanita menikah begitu saja? Tanpa persiapan apa pun? Serius?" Zoya mengeleng pelan, sedikit dramatis, sambil menikmati wajah Kaindra yang tiba-tiba menegang."Lova!" Mia berseru kesal, memperingati Zoya untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Lagi pula, apa yang diharapkan dari Kaindra?"Haish! Nanti kupikirkan lagi konsepnya, deh!" Kaindra mengerang jengkel, jelas bisa membaca raut wajah Mia yang mengatakan 'memang apa yang bisa diharapkan'.Zoya terkekeh melihat wajah frustrasi adiknya. "Ya sudah kalau kamu mau memperbaiki lamaranmu, Mia akan menantinya!""Lova, tolong!"Tawa Zoya be
Zoya menghilang dan Arvin tidak bisa dihubungi. Dua hal yang terjadi dalam waktu berdekatan membuat kediaman itu diliputi ketegangan. Berita itu disampaikan oleh orang yang bertugas menjaga kamera pengawas di rumah itu. Meski mereka bergerak sangat cepat setelah melihat salah satu pengawal ditusuk, tapi tidak ada satu pun pengawal lain di dekat sana yang bisa dihubungi. Ketika mereka berlari menuju halaman, Zoya sudah tidak ada, menaiki sebuah mobil bersama pria asing yang menyusup entah sejak kapan. Para pengawal termasuk penjaga gerbang, semuanya ditemukan dalam keadaan luka parah."Lalu, bagaimana sekarang?" Mia menggigit bibir, tubuhnya gemetar sejak mengetahui Zoya menghilang, ditambah berita jika kemungkinan Arvin juga mengalami hal serupa. "Tenanglah, aku akan memikirkan caranya entah bagaimana. Bisakah Nona menghubungi Tuan Kaindra? Dia mungkin belum terlalu jauh." Saran yang Grace berikan membuat Mia segera sadar. Wanita itu bergegas ke kamarnya karena ponselnya ditinggal
"Kamu benar, aku akan menjadikan ini kesempatan untuk mengakhiri semuanya." Grace membalas genggaman tangan Mia, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa menyelesaikan situasi ini meski sendirian."Baiklah, aku harus pergi, dia bilang sudah mengirim seseorang untuk menjemputku. Kamu harus diam di sini dan pastikan agar anak-anak aman serta tidak khawatir." Grace mengangguk, hatinya terasa berat, tapi ia melepaskan tangan Mia. Menghela napas perlahan, Mia akhirnya berjalan menuju masalahnya. Sejak awal, kalau Mia tidak bertemu Arvin dan mengetahui identitasnya sebagai Kalandra, seandainya Mia tidak kembali ke rumah itu, maka masalah ini tidak akan terjadi. Meski ia tidak tahu kenapa Sera sangat terobsesi dengannya, tapi Mia harus mengakhiri masalah ini, entah dengan menyerahkan nyawanya atau dengan membunuh wanita itu.Mia sampai di depan gerbang, dan seperti kata-kata Sera di telepon, seseorang sudah menunggu dengan sebuah mobil mewah berwarna biru cerah. Mia mendengus saa
Zoya tidak mendengar suara apa pun. Mungkin dua jam sudah berlalu begitu saja sejak Zoya membuka ikatan di tangan dan kakinya. Selama waktu itu, tidak ada yang datang untuk melihat keadaannya, membuat Zoya semakin merasa aneh. Tapi entah kenapa, dia yakin bahwa ada kamera tersembunyi di ruangan ini. Rasanya menjengkelkan saat membayangkan seseorang menikmati kesulitannya saat berusaha melepaskan diri atau berkeliling mengetuk setiap tempat.'Sebenarnya apa tujuan mereka membawaku ke sini?' Zoya membatin sembari mengenyit menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Bagaimana pun, berbaring di lantai dengan keadaan tangan terikat di belakang tubuh dalam waktu lama pasti akan membuat tubuh wanita itu tidak baik-baik saja.Meski begitu, Zoya berusaha keras tetap memperlihatkan ekspresi tenang, seolah tidak ada rasa sakit apa pun yang dia rasakan, tidak mau memberi tontonan menarik bagi siapa pun seseorang yang memperhatikannya dari balik layar.Zoya menghampiri setiap sudut ruangan itu. Dimul
"Tenanglah, Nyonya Kalandra, aku tidak akan membunuhnya. Mana mungkin dia kubiarkan mati dengan tenang?" Suara dan tawa yang terdengar keji membuat Zoya semakin gemetar. "Sebenarnya kenapa ... kenapa kau melakukan ini pada Mia? Memang dia salah apa?!""Dia membunuh putraku!!!" Zoya memutup telinganya saat teriakan Sera memenuhi ruangan tempatnya berada. Apa maksudnya dengan Mia membunuh putranya? Mau tidak mau Zoya mengingat cerita Hannes tentang putra Sera yang mati ketika Mia dilahirkan. Tapi, bagian mana dari hal itu yang membuat Sera memutuskan Mia bersalah atas meninggalnya putranya?! "Mia tidak pernah--!"Zoya langsung mendongak setelah mendengar bunyi berdebam di ruangan tempat Mia berada. Wanita itu kembali memukul kaca tebal yang memisahkannya dari Mia."Jangan mendekati Mia! Dia tidak melakukan kesalahan apa pun!" jerit Zoya saat wanita di seberang terlihat memegang sebuah cambuk. Mata Zoya melebar saat pintu di seberang ruangan terbuka. Seorang wanita bersurai panjang