Zoya tidak mendengar suara apa pun. Mungkin dua jam sudah berlalu begitu saja sejak Zoya membuka ikatan di tangan dan kakinya. Selama waktu itu, tidak ada yang datang untuk melihat keadaannya, membuat Zoya semakin merasa aneh. Tapi entah kenapa, dia yakin bahwa ada kamera tersembunyi di ruangan ini. Rasanya menjengkelkan saat membayangkan seseorang menikmati kesulitannya saat berusaha melepaskan diri atau berkeliling mengetuk setiap tempat.'Sebenarnya apa tujuan mereka membawaku ke sini?' Zoya membatin sembari mengenyit menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Bagaimana pun, berbaring di lantai dengan keadaan tangan terikat di belakang tubuh dalam waktu lama pasti akan membuat tubuh wanita itu tidak baik-baik saja.Meski begitu, Zoya berusaha keras tetap memperlihatkan ekspresi tenang, seolah tidak ada rasa sakit apa pun yang dia rasakan, tidak mau memberi tontonan menarik bagi siapa pun seseorang yang memperhatikannya dari balik layar.Zoya menghampiri setiap sudut ruangan itu. Dimul
"Tenanglah, Nyonya Kalandra, aku tidak akan membunuhnya. Mana mungkin dia kubiarkan mati dengan tenang?" Suara dan tawa yang terdengar keji membuat Zoya semakin gemetar. "Sebenarnya kenapa ... kenapa kau melakukan ini pada Mia? Memang dia salah apa?!""Dia membunuh putraku!!!" Zoya memutup telinganya saat teriakan Sera memenuhi ruangan tempatnya berada. Apa maksudnya dengan Mia membunuh putranya? Mau tidak mau Zoya mengingat cerita Hannes tentang putra Sera yang mati ketika Mia dilahirkan. Tapi, bagian mana dari hal itu yang membuat Sera memutuskan Mia bersalah atas meninggalnya putranya?! "Mia tidak pernah--!"Zoya langsung mendongak setelah mendengar bunyi berdebam di ruangan tempat Mia berada. Wanita itu kembali memukul kaca tebal yang memisahkannya dari Mia."Jangan mendekati Mia! Dia tidak melakukan kesalahan apa pun!" jerit Zoya saat wanita di seberang terlihat memegang sebuah cambuk. Mata Zoya melebar saat pintu di seberang ruangan terbuka. Seorang wanita bersurai panjang
"Kau ... maksudmu anak bernama Zayn itu?" Mia berdecih, bibirnya menyeringai. "Bukankah dia masih hidup? Dia bahkan masih bisa melukis--!""JANGAN MENYEBUT NAMANYA!" Sera berteriak sangat keras, tidak peduli pada Mia yang langsung mengernyit karena suaranya. "Jangan menyebutnya ... kau tahu ... psikopat itu akan datang kalau kau memanggilnya. Dia benar-benar akan ke sini ...."Mia mengerutkan kening pada kata-kata yang dibisikkan Sera padanya, jelas wanita itu sedang ketakutan, tapi kenapa? Bukankah dia yang memulai dengan menyebutkan tentang putranya?"Ah ... ya, kau benar, putraku pandai melukis. Zhian sangat suka melukis, tangannya sangat indah dan berbakat, semua lukisannya penuh warna. Apa kau pernah melihat hasil lukisannya? Siapa pun akan merasa bahagia saat melihatnya!" Gumaman demi gumaman yang dilontarkan Sera membuat Mia semakin mengernyit, rasanya seolah wanita yang berdiri di belakangnya itu sedang tidak fokus. "Tapi, kau membuatnya mati! Kau telah membunuh putraku!" "
"Sejujurnya aku bosan mendengarmu teriak-teriak saja dari tadi." Sera berdiri, mendekat ke arah Mia dan berjongkok di sisinya. "Jadi, aku akan bermain di tempat lain untuk sekarang."Kata-kata yang diucap Sera membuat Mia terdiam kaku, apalagi saat wanita bergaun putih itu berjalan meninggalkan sisinya dan membuka pintu."A-apa yang ingin kau lakukan? Tu-tunggu!" Mia bangkit dari duduknya, menyeret kakinya untuk mengejar Sera, tapi wanita itu sudah lebih dulu menutup pintu. Meski Mia lebih cepat pun, rantai yang mengikat kakinya tidak akan sampai ke pintu.Tatapan Mia bergetar saat melihat kembali ke arah kaca, di ruangan tempat Zoya berada, Sera masuk ke sana. Wanita itu tersenyum keji. "Tidak! Sera, kumohon! Jangan sakiti Lova lagi, tolong, kau sudah mendapatkanku!" Mia kembali memukul cermin, tangannya mulai berdarah dan rasa pedihnya kian menjadi. Tapi, ketika mengingat kata-kata Sera sebelumnya bahwa ruangan di sisi lain tidak akan mendengar atau melihat apa yang terjadi di sini
"Tidak. Apa yang terjadi padaku bukan salahmu, Mia. Jangan dengarkan dia ...." Zoya berbisik, berharap Mia di seberang mendengar perkataannya."Itu bukan salahmu, benar ... aku ... aku yang salah, ini semua salahku ...." Mia menatap tubuh Zoya yang sangat tidak baik-baik saja, tangisannya terdengar lirih. "Apa yang sebenarnya sudah kulakukan? Kalau saja Lova tidak keluar, seandainya aku tidak membiarkannya mengantar Kaindra keluar ...." Ada banyak hal yang Mia sesali, termasuk keberadaannya di dunia ini. Andai saja ia mati saat kecil dulu ... seandainya tidak ada yang membebaskannya dari tangan Sera, Mia tidak akan bertemu Zoya di panti asuhan dan Zoya tidak perlu melalui kesengsaraan ini."Kumohon ... aku menyerah. Tolong berhenti," ucap Mia mengiba, suaranya serak karena terlalu banyak menangis. Wanita itu meremat benda kecil yang berada di saku bagian dalam gaunnya. Bandul kalung yang pernah Arvin berikan dan merupakan alat pelacak lokasi yang Mia masukkan ke dalam saku kecil yang
Ruangan itu cukup gelap, hanya ada sedikit cahaya dari jendela kecil di dinding. Suasana remang dengan tetesan air di beberapa tempat membuat ruangan itu terasa mencekam.Mata yang selalu menampilkan binar dingin dan kejam itu terbuka perlahan, mengerjap membiasakan diri dengan suasana. Sera menatap keheningan di sekitar, mengernyit ketika tidak merasakan kehadiran siapa pun.Tubuhnya masih bisa bergerak normal yang artinya belum ada yang melakukan sesuatu padanya. Wanita itu terduduk, mendengkus saat menyadari bahwa tangannya diborgol dengan rantai membelenggu kedua kakinya."Benar-benar tidak kreatif," ucapnya mengejek. Sera kembali memperhatikan ruangan tempatnya berada. Ruangan itu tampak asing, tidak ada apa pun selain dirinya sendiri. Wanita itu berdiri dan mulai berjalan, langkahnya terhenti sebelum mencapai bagian tengah ruangan.Wanita itu menoleh ke belakang dan tersenyum. "Rantainya pendek dan tidak sampai ke tengah ruangan. Apa mereka akan membawa kursi dan melihat bagaim
"Kamu yakin baik-baik saja?"Mia yang sejak memasuki mobil hanya menatap keluar jendela, melirik pemuda di sisinya, menghela napas berat sebelum menyandarkan kepala pada bahu pria itu, tangannya segera tertaut di antara jemari Kaindra."Aku tidak baik pastinya. Bagaimana bisa baik kalau aku tidak bisa membalas perlakuan perempuan itu pada Lova dengan tanganku sendiri? Tapi, kata-kata Kak Arvin benar, aku harus merelakan semua yang terjadi kalau mau memulai hidup baru."Tentu saja Mia marah, dia membenci Sera di setiap hembusan napas. Menyiksa wanita itu hingga mati perlahan tidak akan membuat ia puas atau meredakan amarahnya. Tapi, perkataan Arvin membuat wanita itu memilih melakukan sesuatu di luar kehendaknya.Sera sangat terobsesi membuat Mia menderita. Kemarahan Mia hanya akan menjadikan Sera bahagia dan merasa berhasil menjadikan Mia sebagai mainan yang rusak, karena amarah adalah sumber penderitaan. Demi mematahkan ekspektasi Sera, maka Mia mengatakan omong kosong seperti itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu menjadi matahari, yang jaraknya 146,9 juta km dari bumi. Jangan berpikir aku akan mengizinkanmu melarikan diri sejauh itu setelah semua yang kamu lakukan." Zoya tersenyum simpul atas kata-katanya sendiri. Entah kenapa tiba-tiba Mia menanyakan sesuatu tentang mengejar matahari, padahal mataharinya sendiri belum benar-benar keluar dari tempatnya."Memangnya aku melakukan apa?" Mia bertanya dengan wajah polos, tidak mengerti."Kamu mencuri seluruh perhatianku! Kalau kamu tiba-tiba jadi sejauh itu, aku akan meminta Kai untuk membakar seluruh semesta demi menemukanmu." Zoya mengedipkan sebelah mata saat menjawab, membuat Mia terkekeh geli."Kalau begitu aku akan selalu bersamamu, Lova, demi kesalamatan dunia!" Kata-kata Mia membuat Zoya tertawa. "Duh, pagi-pagi kenapa obrolannya random sekali." Gadis itu menggeleng seraya mengangkat kembali bukunya. Sebenarnya mereka tidak tidur semalaman, hari ini Zoya akan melakukan tes bersama guru privatnya yang akan langs
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,