"Kamu yakin baik-baik saja?"Mia yang sejak memasuki mobil hanya menatap keluar jendela, melirik pemuda di sisinya, menghela napas berat sebelum menyandarkan kepala pada bahu pria itu, tangannya segera tertaut di antara jemari Kaindra."Aku tidak baik pastinya. Bagaimana bisa baik kalau aku tidak bisa membalas perlakuan perempuan itu pada Lova dengan tanganku sendiri? Tapi, kata-kata Kak Arvin benar, aku harus merelakan semua yang terjadi kalau mau memulai hidup baru."Tentu saja Mia marah, dia membenci Sera di setiap hembusan napas. Menyiksa wanita itu hingga mati perlahan tidak akan membuat ia puas atau meredakan amarahnya. Tapi, perkataan Arvin membuat wanita itu memilih melakukan sesuatu di luar kehendaknya.Sera sangat terobsesi membuat Mia menderita. Kemarahan Mia hanya akan menjadikan Sera bahagia dan merasa berhasil menjadikan Mia sebagai mainan yang rusak, karena amarah adalah sumber penderitaan. Demi mematahkan ekspektasi Sera, maka Mia mengatakan omong kosong seperti itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu menjadi matahari, yang jaraknya 146,9 juta km dari bumi. Jangan berpikir aku akan mengizinkanmu melarikan diri sejauh itu setelah semua yang kamu lakukan." Zoya tersenyum simpul atas kata-katanya sendiri. Entah kenapa tiba-tiba Mia menanyakan sesuatu tentang mengejar matahari, padahal mataharinya sendiri belum benar-benar keluar dari tempatnya."Memangnya aku melakukan apa?" Mia bertanya dengan wajah polos, tidak mengerti."Kamu mencuri seluruh perhatianku! Kalau kamu tiba-tiba jadi sejauh itu, aku akan meminta Kai untuk membakar seluruh semesta demi menemukanmu." Zoya mengedipkan sebelah mata saat menjawab, membuat Mia terkekeh geli."Kalau begitu aku akan selalu bersamamu, Lova, demi kesalamatan dunia!" Kata-kata Mia membuat Zoya tertawa. "Duh, pagi-pagi kenapa obrolannya random sekali." Gadis itu menggeleng seraya mengangkat kembali bukunya. Sebenarnya mereka tidak tidur semalaman, hari ini Zoya akan melakukan tes bersama guru privatnya yang akan langs
Zoya kehilangan empat bulan masa-masa emas pertumbuhan putranya. Wanita itu terkejut saat Elvio datang dan menangis menyapanya, bertanya apakah mamanya benar-benar tidak akan tidur lama lagi. Seragam TK-nya sudah berganti menjadi putih-merah.Arvin memilih memasukkan Elvio ke sekolah dasar sesuai jadwal agar anak itu punya kegiatan yang bisa dilakukan selama menunggu ibunya bangun. Zoya tidak pernah berpikir bahwa dia tertidur selama itu. Zoya baru mengetahui bahwa kondisinya sangat kritis ketika sampai di rumah sakit. Setelah operasi, keadaan Zoya sama sekali tidak membaik. Beberapa kali denyut jantungnya melemah. Setelah satu bulan sejak dokter menyatakan Zoya memasuki kondisi tidur panjang seperti dulu, wanita itu dipindahkan dari ruang ICU dan ditempatkan pada kamar VIP. Mereka bergantian menjaga Zoya yang tertidur, lalu Arvin akan membawa Elvio setiap satu minggu sekali untuk mendukung kondisi psikologis Zoya, juga melakukan panggilan video dengan yang bertugas menjaga Zoya dan
Udara dingin menyelimuti seluruh kota, semalaman salju turun dan tumpukannya masih terlihat di mana-mana. Meski petugas langsung membersihkan salju-salju di jalan, tapi banyak yang memilih tetap tinggal di rumah daripada menikmati akhir pekan. Arvin meminum kopinya sedikit demi sedikit, berusaha mengusir dingin yang menggigit. Meski ia sudah mengenakan pakaian tebal, nyatanya udara dingin tetap menusuknya. Pria itu baru menyelesaikan satu-satunya pekerjaannya di Paris, menonton sebuah premier film di mana perusahaannya menjadi salah satu sponsor. "Haah ... aku ingin pulang," gumam pria itu lemah. Dia sudah mendapat kabar jika Zoya akhirnya bangun, tapi tidak bisa langsung kembali ke Indonesia seperti ayah mertuanya karena Narendra melarang keras Arvin bertindak tidak bertanggung jawab. Arvin tetap meminum kopinya dengan santai saat seseorang mendekat dan duduk di sampingnya. Matahari baru saja tenggelam dan menyisakan cahaya jingga di langit, membuat piramid kaca di hadapannya tamp
Zoya mengabaikan raut mual yang ditunjukkan adiknya. Senyumnya mengembang lebar saat Arvin terkekeh di seberang."Aku membawa oleh-oleh untukmu, Love, tapi jika ada hal lain yang kamu inginkan, aku mungkin masih bisa menyuruh seseorang untuk membelinya. Penerbanganku masih dua jam lagi." Zoya menggeleng pelan meski tahu suaminya tidak akan melihat. "Aku hanya ingin kamu di sini," ucapnya sambil tersenyum lembut, sekali lagi mengabaikan kernyitan di kening Kaindra dan Mia."Aku juga ... aku menginginkanmu di sini." Wajah Zoya memerah, jantungnya masih berdegup kencang dengan rasa menggelitik yang tidak akan pernah membuatnya bosan. Wanita itu memeluk buku, mendengarkan cerita-cerita yang Arvin tuturkan, menikmati tawa dan kerinduan yang mereka bagi. Zoya di masa lalu pasti tidak pernah menyangka jika impiannya untuk dicintai oleh Arvin dan mendengar kata-kata manis serta suara lembut pria itu benar-benar menjadi nyata. Lalu tidak hanya Arvin, Zoya juga berkumpul bersama keluarganya
Lelah, satu kata itu membuat Zoya yang sedang membaringkan tubuhnya di ranjang ingin segera memejamkan mata. Tapi, sepertinya pemikiran itu tidak ada pada sosok tampan yang sedang mengendus lehernya. Arvin langsung membawa Zoya ke kamar mereka setelah para tamu berpamitan satu per satu, menyerahkan urusan mandi dan tidur Elvio pada Mia."Tidak kah kamu lelah? Bagaimana kalau istirahat saja malam ini?" Zoya melenguh pelan, suaranya yang memang sudah serak sejak terlalu banyak tertawa dan mengobrol tadi terdengar semakin lirih saat Arvin memberi rangsangan dengan tepat. "Aku sedang beristirahat sekarang, Love, hanya saja caranya berbeda dari cara orang lain beristirahat." Arvin mengangkat wajah setelah memberikan gigitan kecil di leher putih istrinya dan meninggalkan ruam, senyumnya terpatri sempurna melihat karya yang menurutnya menakjubkan."Aku belum mandi," peringat Zoya seraya berusaha menjauhkan diri dari dekapan Arvin, meski tentu saja usahanya sia-sia."Aku juga belum," balas A
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple