"Tenanglah, Nyonya Kalandra, aku tidak akan membunuhnya. Mana mungkin dia kubiarkan mati dengan tenang?" Suara dan tawa yang terdengar keji membuat Zoya semakin gemetar. "Sebenarnya kenapa ... kenapa kau melakukan ini pada Mia? Memang dia salah apa?!""Dia membunuh putraku!!!" Zoya memutup telinganya saat teriakan Sera memenuhi ruangan tempatnya berada. Apa maksudnya dengan Mia membunuh putranya? Mau tidak mau Zoya mengingat cerita Hannes tentang putra Sera yang mati ketika Mia dilahirkan. Tapi, bagian mana dari hal itu yang membuat Sera memutuskan Mia bersalah atas meninggalnya putranya?! "Mia tidak pernah--!"Zoya langsung mendongak setelah mendengar bunyi berdebam di ruangan tempat Mia berada. Wanita itu kembali memukul kaca tebal yang memisahkannya dari Mia."Jangan mendekati Mia! Dia tidak melakukan kesalahan apa pun!" jerit Zoya saat wanita di seberang terlihat memegang sebuah cambuk. Mata Zoya melebar saat pintu di seberang ruangan terbuka. Seorang wanita bersurai panjang
"Kau ... maksudmu anak bernama Zayn itu?" Mia berdecih, bibirnya menyeringai. "Bukankah dia masih hidup? Dia bahkan masih bisa melukis--!""JANGAN MENYEBUT NAMANYA!" Sera berteriak sangat keras, tidak peduli pada Mia yang langsung mengernyit karena suaranya. "Jangan menyebutnya ... kau tahu ... psikopat itu akan datang kalau kau memanggilnya. Dia benar-benar akan ke sini ...."Mia mengerutkan kening pada kata-kata yang dibisikkan Sera padanya, jelas wanita itu sedang ketakutan, tapi kenapa? Bukankah dia yang memulai dengan menyebutkan tentang putranya?"Ah ... ya, kau benar, putraku pandai melukis. Zhian sangat suka melukis, tangannya sangat indah dan berbakat, semua lukisannya penuh warna. Apa kau pernah melihat hasil lukisannya? Siapa pun akan merasa bahagia saat melihatnya!" Gumaman demi gumaman yang dilontarkan Sera membuat Mia semakin mengernyit, rasanya seolah wanita yang berdiri di belakangnya itu sedang tidak fokus. "Tapi, kau membuatnya mati! Kau telah membunuh putraku!" "
"Sejujurnya aku bosan mendengarmu teriak-teriak saja dari tadi." Sera berdiri, mendekat ke arah Mia dan berjongkok di sisinya. "Jadi, aku akan bermain di tempat lain untuk sekarang."Kata-kata yang diucap Sera membuat Mia terdiam kaku, apalagi saat wanita bergaun putih itu berjalan meninggalkan sisinya dan membuka pintu."A-apa yang ingin kau lakukan? Tu-tunggu!" Mia bangkit dari duduknya, menyeret kakinya untuk mengejar Sera, tapi wanita itu sudah lebih dulu menutup pintu. Meski Mia lebih cepat pun, rantai yang mengikat kakinya tidak akan sampai ke pintu.Tatapan Mia bergetar saat melihat kembali ke arah kaca, di ruangan tempat Zoya berada, Sera masuk ke sana. Wanita itu tersenyum keji. "Tidak! Sera, kumohon! Jangan sakiti Lova lagi, tolong, kau sudah mendapatkanku!" Mia kembali memukul cermin, tangannya mulai berdarah dan rasa pedihnya kian menjadi. Tapi, ketika mengingat kata-kata Sera sebelumnya bahwa ruangan di sisi lain tidak akan mendengar atau melihat apa yang terjadi di sini
"Tidak. Apa yang terjadi padaku bukan salahmu, Mia. Jangan dengarkan dia ...." Zoya berbisik, berharap Mia di seberang mendengar perkataannya."Itu bukan salahmu, benar ... aku ... aku yang salah, ini semua salahku ...." Mia menatap tubuh Zoya yang sangat tidak baik-baik saja, tangisannya terdengar lirih. "Apa yang sebenarnya sudah kulakukan? Kalau saja Lova tidak keluar, seandainya aku tidak membiarkannya mengantar Kaindra keluar ...." Ada banyak hal yang Mia sesali, termasuk keberadaannya di dunia ini. Andai saja ia mati saat kecil dulu ... seandainya tidak ada yang membebaskannya dari tangan Sera, Mia tidak akan bertemu Zoya di panti asuhan dan Zoya tidak perlu melalui kesengsaraan ini."Kumohon ... aku menyerah. Tolong berhenti," ucap Mia mengiba, suaranya serak karena terlalu banyak menangis. Wanita itu meremat benda kecil yang berada di saku bagian dalam gaunnya. Bandul kalung yang pernah Arvin berikan dan merupakan alat pelacak lokasi yang Mia masukkan ke dalam saku kecil yang
Ruangan itu cukup gelap, hanya ada sedikit cahaya dari jendela kecil di dinding. Suasana remang dengan tetesan air di beberapa tempat membuat ruangan itu terasa mencekam.Mata yang selalu menampilkan binar dingin dan kejam itu terbuka perlahan, mengerjap membiasakan diri dengan suasana. Sera menatap keheningan di sekitar, mengernyit ketika tidak merasakan kehadiran siapa pun.Tubuhnya masih bisa bergerak normal yang artinya belum ada yang melakukan sesuatu padanya. Wanita itu terduduk, mendengkus saat menyadari bahwa tangannya diborgol dengan rantai membelenggu kedua kakinya."Benar-benar tidak kreatif," ucapnya mengejek. Sera kembali memperhatikan ruangan tempatnya berada. Ruangan itu tampak asing, tidak ada apa pun selain dirinya sendiri. Wanita itu berdiri dan mulai berjalan, langkahnya terhenti sebelum mencapai bagian tengah ruangan.Wanita itu menoleh ke belakang dan tersenyum. "Rantainya pendek dan tidak sampai ke tengah ruangan. Apa mereka akan membawa kursi dan melihat bagaim
"Kamu yakin baik-baik saja?"Mia yang sejak memasuki mobil hanya menatap keluar jendela, melirik pemuda di sisinya, menghela napas berat sebelum menyandarkan kepala pada bahu pria itu, tangannya segera tertaut di antara jemari Kaindra."Aku tidak baik pastinya. Bagaimana bisa baik kalau aku tidak bisa membalas perlakuan perempuan itu pada Lova dengan tanganku sendiri? Tapi, kata-kata Kak Arvin benar, aku harus merelakan semua yang terjadi kalau mau memulai hidup baru."Tentu saja Mia marah, dia membenci Sera di setiap hembusan napas. Menyiksa wanita itu hingga mati perlahan tidak akan membuat ia puas atau meredakan amarahnya. Tapi, perkataan Arvin membuat wanita itu memilih melakukan sesuatu di luar kehendaknya.Sera sangat terobsesi membuat Mia menderita. Kemarahan Mia hanya akan menjadikan Sera bahagia dan merasa berhasil menjadikan Mia sebagai mainan yang rusak, karena amarah adalah sumber penderitaan. Demi mematahkan ekspektasi Sera, maka Mia mengatakan omong kosong seperti itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu menjadi matahari, yang jaraknya 146,9 juta km dari bumi. Jangan berpikir aku akan mengizinkanmu melarikan diri sejauh itu setelah semua yang kamu lakukan." Zoya tersenyum simpul atas kata-katanya sendiri. Entah kenapa tiba-tiba Mia menanyakan sesuatu tentang mengejar matahari, padahal mataharinya sendiri belum benar-benar keluar dari tempatnya."Memangnya aku melakukan apa?" Mia bertanya dengan wajah polos, tidak mengerti."Kamu mencuri seluruh perhatianku! Kalau kamu tiba-tiba jadi sejauh itu, aku akan meminta Kai untuk membakar seluruh semesta demi menemukanmu." Zoya mengedipkan sebelah mata saat menjawab, membuat Mia terkekeh geli."Kalau begitu aku akan selalu bersamamu, Lova, demi kesalamatan dunia!" Kata-kata Mia membuat Zoya tertawa. "Duh, pagi-pagi kenapa obrolannya random sekali." Gadis itu menggeleng seraya mengangkat kembali bukunya. Sebenarnya mereka tidak tidur semalaman, hari ini Zoya akan melakukan tes bersama guru privatnya yang akan langs
Zoya kehilangan empat bulan masa-masa emas pertumbuhan putranya. Wanita itu terkejut saat Elvio datang dan menangis menyapanya, bertanya apakah mamanya benar-benar tidak akan tidur lama lagi. Seragam TK-nya sudah berganti menjadi putih-merah.Arvin memilih memasukkan Elvio ke sekolah dasar sesuai jadwal agar anak itu punya kegiatan yang bisa dilakukan selama menunggu ibunya bangun. Zoya tidak pernah berpikir bahwa dia tertidur selama itu. Zoya baru mengetahui bahwa kondisinya sangat kritis ketika sampai di rumah sakit. Setelah operasi, keadaan Zoya sama sekali tidak membaik. Beberapa kali denyut jantungnya melemah. Setelah satu bulan sejak dokter menyatakan Zoya memasuki kondisi tidur panjang seperti dulu, wanita itu dipindahkan dari ruang ICU dan ditempatkan pada kamar VIP. Mereka bergantian menjaga Zoya yang tertidur, lalu Arvin akan membawa Elvio setiap satu minggu sekali untuk mendukung kondisi psikologis Zoya, juga melakukan panggilan video dengan yang bertugas menjaga Zoya dan