Mungkin Zoya keterlaluan, bersikap sedingin itu pada ibu kandungnya, tapi memangnya dia bisa menyambut dengan hangat dan penuh senyum seseorang yang telah meninggalkannya? "Bisakah kita bicara sebentar?" Zoya menarik napas pelan. "Maaf, saya sedang bekerja. Silakan pergi jika tidak ada lagi yang ingin Anda beli," ucapnya tegas.Wanita baya di hadapan Zoya tampak bergetar, tatapannya goyah sejak menerima penolakan tegas dari putrinya. "Kapan kamu selesai bekerja? Mama akan menunggu sampai--!" "Tolong hentikan!" potong Zoya cepat, tangannya berkeringat ketika mendengar lagi kata 'Mama'. "Saya mohon ... jangan mengganggu pekerjaan saya." Tatapan penuh permohonan yang dilayangkan Zoya membuat wanita baya itu tersenyum pahit. "Maaf sudah mengganggu, Mama harap kita bisa bicara suatu saat nanti. Mama akan menunggu kamu. Datanglah ke rumah sakit kapan pun." Zoya tidak menjawab apa pun saat wanita berstatus ibu kandungnya itu membungkuk sebelum meninggalkan mini market. Bahkan setelah ke
Memperbaiki? Zoya tidak tahu harus tertawa dengan cara apa, kata-kata Arvin terlalu lucu. Sudah terlambat untuk memperbaiki sesuatu saat seluruh pelayan di kediaman itu tahu siapa 'Nyonya' sebenarnya di sana. Tapi, Zoya tidak bisa mengatakan jika kehadiran Aileen di antara mereka akan membuat orang-orang mengabaikan keberadaan Zoya dan Elvio. Pagi ini Arvin mungkin mengembalikan seluruh hak untuk mengatur rumah pada Zoya karena kesalahan yang Aileen yang buat. Tapi, satu hal itu saja tidak cukup, karena sejak awal posisi Aileen dan Zoya sudah sangat berbeda. Dilihat dari kamar saja sudah sangat berbeda. Bukan Zoya yang tinggal di kamar utama, melainkan Aileen, dan seluruh pelayan di sana sudah pasti tahu."Tidak ada yang perlu diperbaiki, aku bisa mengatasinya dengan caraku." Jawaban Zoya membuat Arvin mengumpat dalam hati. Dia berharap istrinya mengatakan tentang kesalahpahaman yang ada di kepalanya seperti Elvio, tapi melihat bagaimana Zoya sangat teguh tidak mengatakan apa-apa me
Arvin terhenyak melihat amarah yang tercetak di mata istrinya. Tampilan yang sama persis seperti Zoya beberapa tahun lalu. Zoya yang selalu marah dan tidak puas pada Arvin. Pria itu bangkit dari duduknya dan langsung menarik pinggang Zoya mendekat, tangannya menahan belakang kepala wanita itu sebelum menyatukan bibir mereka. Zoya yang tidak sempat menghindar berusaha untuk mendorong Arvin, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan pemuda itu. "Hmph!" Mata Zoya mulai berair ketika lidah Arvin masuk dan menjelajah mulutnya, membuat napasnya tercekat seiring dengan rasa panas yang mulai menyebar hingga pusat tubuhnya. Arvin melangkah mundur dan kembali duduk di ranjang putranya tanpa melepaskan tautan bibirnya dan Zoya, membawa wanita itu ke atas pangkuan. Suara basah yang tercipta dari pagutan keduanya membuat Zoya melingkarkan kedua tangannya ke bahu Arvin."Ehm!" Zoya melebarkan mata saat mendengar gumaman Elvio, tangannya memukul Arvin beberapa kali, memohon agar pemuda itu menghent
Aileen lagi. Arvin tidak tahu bagaimana harus menanggapi saat ia belum tahu di mana letak kesalahan Aileen hingga menimbulkan kesalahpahaman seperti ini."Dia tidak punya hak untuk merasa cemburu hanya karena aku bersama istriku." Arvin menjauhkan laptop yang telah ditutupnya, memilih untuk menghentikan keinginannya bekerja sejak Zoya membuka pembicaraan lain.Zoya terdiam, kepalanya menunduk saat menenangkan pikirannya. Tidak ada yang salah dari kata-kata Arvin. Aileen memang tidak punya hak untuk merasa cemburu karena secara hukum, Zoya adalah istri sah Arvin. "Kamu benar," ucap Zoya pada akhirnya, tidak mau lagi membahas sesuatu yang hanya akan menyakitinya. Seperti inilah Zoya sekarang, seluruh pikiran negatif dan ketakutan yang terkadang tidak jelas asalnya membuat wanita itu lebih baik menutup diri dan menjauh. Dulu dia akan dengan lantang bertanya pada Arvin dan membuat pria itu menghela napas jengkel, tapi sekarang ketika usianya semakin dewasa dan banyak kesulitan sudah ia l
Lagi, seolah segalanya hanyalah kebetulan, pagi ini Zoya kembali bertemu Aileen di dapur. Sama seperti kemarin, wanita itu pun memasuki dapur sambil menguap dan raut wajahnya menunjukkan keterkejutan yang kentara. "Sepertinya sejak kemarin kamu bangun subuh, Aileen, padahal sebelumnya tidak pernah. Ada apa?" Zoya langsung bertanya saat Aileen berdiri tidak jauh darinya.Aileen berdeham pelan, suaranya terdengar serak saat menjawab. "Aku haus, tidak ada minum di kamarku," ucapnya seraya berjalan pelan menuju lemari pendingin.Zoya menarik napas panjang, berusaha melanjutkan pekerjaannya tanpa harus melirik pada gaun tidur Aileen yang sangat terbuka. Kali ini Zoya tidak tahu bagaimana cara Aileen mendapatkan bercak-bercak baru di sekitar lehernya.Kemarin malam mungkin Zoya bisa berpikir jika Arvin memang melakukan 'itu' dengan Aileen sebelum menemuinya di dapur, tapi bagaimana dengan sekarang? Jelas Arvin selalu bersamanya sepanjang malam, jadi Zoya tidak tahu siapa yang memberikan ta
Pembicaraan Zoya dan Aileen terhenti saat para pelayan mulai memasuki dapur dan terkejut melihat Aileen yang tengah menangis.Pikiran Zoya masih penuh oleh kebohongan yang baru saja Aileen katakan meski beberapa waktu telah berlalu. Untungnya para pelayan yang melihat Aileen menangis dengan Zoya yang tengah menyedekapkan tangan, tidak menanyakan apa pun. Zoya tidak peduli meski akan timbul gosip tentangnya yang mungkin terlihat sedang menganiaya Aileen.Kepala Zoya hanya diisi oleh kata-kata terakhir yang Aileen ucapkan, tentang ia dan Arvin yang semalam 'bersama'. Padahal jelas Arvin sedang bersama Zoya sepanjang malam, bahkan pria itu masih tertidur pulas saat Zoya bangun. Bagaimana bisa Aileen berbohong seenteng itu?"Mama, kenapa lagi?" Pertanyaan yang dilayangkan Elvio membuat Zoya tersadar dari lamunannya. Ia sedang membantu menyisir rambut Elvio sekarang, setelah gagal memasak gara-gara kehadiran Aileen dan suasana hatinya yang memburuk sejak mendengar kebohongan wanita itu."
"Kamu kenapa, sih? Dari tadi kuperhatikan sibuk melamun sendiri dan mengabaikanku. Apa permainanku semalam kurang memuaskan?""Arvin ...." Zoya memanggil pelan, memberi isyarat pada suaminya untuk diam. Mereka baru saja mengantarkan Elvio ke sekolah dan sedang dalam perjalanan menuju tempat Zoya bekerja.Selama sarapan tadi, baik Zoya mau pun Aileen, tidak ada yang berbicara. Zoya membiarkan meja makan hanya riuh oleh obrolan Arvin dan Elvio, meski sesekali melirik pada Aileen yang sering melihat ke arah Arvin dan Elvio dengan tatapan sendu. Zoya tidak tahu bagaimana harus mengatakan pada Arvin tentang cerita yang Aileen lontarkan, selama dia tidak punya bukti pasti jika wanita itu benar-benar mengatakannya. "Lalu, kamu kenapa? Masih sakit soal semalam? Padahal kita sudah melakukannya kemarin, kupikir akan lebih mudah melakukannya lagi. Aku minta maaf jika sudah memaksamu, Love, tapi jangan memasang wajah merengut begitu. Lain kali akan kusiapkan dengan lebih baik!""Arvin," panggil
Jawaban suaminya tak ayal membuat Zoya diliputi rasa haru, dadanya berdebar menyakitkan saat Arvin memperlakukannya seolah ia adalah wanita yang paling dicintai pria itu, tapi tentu saja Zoya tahu jika Arvin hanya asal bicara.Zoya tidak tahu alasan Arvin mengatakan omong kosong seperti itu. Mana mungkin pria yang menandatangani surat perceraian dengan ekspresi dingin merasa marah karena tidak tahu tentang keberadaan Zoya. Bahkan Arvin sendiri yang mengatakan harapannya agar mereka tidak perlu bertemu lagi dan meminta Zoya untuk berurusan dengan pengacaranya saja.Lucu sekali bagaimana pria itu sekarang berkata seolah dia merindukan Zoya dan menyesali ketidaktahuannya tentang keberadaan wanita itu."Kalau kamu bertanya bagaimana keadaanku selama tujuh tahun terakhir, aku baik-baik saja. Kehidupanku dan Elvio sangat menyenangkan sampai kita bertemu lagi waktu itu," ucap Zoya menanggapi, menghela napas ketika melihat raut terkejut di wajah suaminya. "Kamu tidak berpikir jika pernikahan