Sera menatap salah satu orang kepercayaannya dengan pandangan menusuk, seolah hidup lelaki itu berakhir kalau benar-benar membawa berita tidak menyenangkan."Apa yang ingin kau laporkan? Lalu, Zhian di mana?""Zayn--maksud saya Zhian sedang melakukan pengintaian seperti yang Anda perintahkan dan dia ingin aku memperlihatkan ini dan melaporkan beberapa hal," ucap pria bernama Dei, seraya menyerahkan sebuah amplop coklat besar. Diam-diam lelaki itu menekan kuat gigi-giginya demi menghilangkan gemetar di tubuhnya karena salah menyebut nama. Wanita yang menerima amplop tampak berdecih jengkel, namun tetap membukanya. Netra coklat wanita itu terlihat berkilat setelah melihat beberapa foto di dalamnya."Hoo ... mereka memutuskan untuk bersembunyi di sana?" tanyanya seraya terkekeh sambil melihat foto-foto Zoya, Mia dan dua anak-anak yang sedang berjalan sambil bergandengan, memasuki sebuah mobil.Sera terbahak melihat foto-foto di tangannya, "Arvin itu ternyata sudah tumbuh dewasa, ya? Dia
Wanita dengan tatapan arogan itu menunjuk pada sebuah koper besar di hadapannya, membuat lelaki yang baru datang setelah ditelepon itu sedikit mengerutkan kening."Apa isi koper itu, Nyonya? Saya harus melakukan apa?" tanya pria yang memiliki nama samaran Tyer sambil melihat bergantian antara koper abu-abu besar dan wanita bersurai panjang yang kini sedang bersedekap."Buang koper itu di laut, pastikan tidak diketahui siapa pun dan jangan pernah membukanya." Sera memberi perintah.Lelaki yang mengenakan jaket kulit hitam itu segera mengangguk, mengangkat koper besar di lantai dan terkejut saat merasakan beban yang cukup berat. Mainan. Tyer jelas mendengar bahwa Sera ingin membuang mainannya yang sudah rusak dan membosankan, tapi lelaki itu tidak tahu maksud dari kata 'mainan' itu sendiri."Kalau begitu saya permisi," ucap Tyer seraya membungkuk cukup rendah sebelum menarik koper, tidak menyadari sejumput rambut keluar dari sela ritsleting.Sera menatap kepergian Tyer dengan ekspresi b
Bibir tipis merah muda itu mencoba meraup udara, bernapas dengan cepat saat akhirnya terlepas dari kungkungan bibir pria yang kini berpindah menuju leher. Wanita itu terengah saat tangan besar pria di atasnya menyusup ke balik blouse putih yang dikenakannya."Arvin," panggil Zoya pelan, menahan kepala Arvin yang lidahnya masih betah membasahi leher jenjangnya. "Berhenti!" serunya seraya menarik rambut suaminya, membuat pria itu mendongak dan menatapnya dengan kening berkerut."Kamu tahu kalau aku tidak bisa dihentikan," ucap Arvin seraya meloloskan blouse putih Zoya dengan sangat mudah, membuat tubuh bagian atas wanita itu hanya ditutupi bra hitam berenda. Arvin menjilat bibir, pandangannya berkabut.Tangan besar dengan urat-urat menonjol itu menyentuh perut rata wanita di bawahnya, bergerak dengan lihai menuju bongkahan padat yang sudah cukup lama tidak dijamah. "Aku ke sini untuk membangunkanmu dan membawamu ke ruang makan, Mia dan yang lainnya menunggu." Zoya merasa napasnya terpu
Mia terdiam. Ia memang marah, merasa tidak dianggap dan tumbuh sedikit kebencian pada dirinya sendiri yang tidak layak untuk Kaindra. Tapi, bagaimana Mia bisa melanjutkan marahnya jika Kaindra seperti ini? Pria itu selalu meminta maaf di waktu yang tepat, tapi tidak pernah benar-benar meresmikan jenis hubungan mereka."Sejujurnya itu bukan urusanku, Tuan Muda. Anda bisa pergi ke mana pun dan melakukan apa pun, aku juga tidak berhak tahu urusan Anda. Tapi, bagaimana dengan Freya? Anda tidak meneleponnya sama sekali setelah pergi tanpa berpamitan." Kaindra menghembuskan napas pelan, sepenuhnya memahami maksud perkataan Mia. Hanya saja ... kenapa wanita itu masih saja mengatakan jika ia tidak berhak mengetahui sesuatu tentang Kaindra?"Aku sudah meminta maaf pada Freya dan memberi penjelasan padanya, jadi sekarang aku menemuimu, untuk mengatakan hal yang sama. Aku minta maaf." Kaindra menatap lekat pada Mia, mengunci mata wanita itu agar tidak beralih darinya."Sudah kubilang itu bukan
"Kenapa mereka tiba-tiba menyerang seperti ini? Padahal tidak ada laporan apa pun dari Hannes mengenai pergerakan mereka." Prazta juga segera merogoh saku jas bagian dalamnya, mengeluarkan sebuah senjata yang sama seperti milik Arvin."Entahlah, tapi sepertinya mereka sudah mengetahui tentang Hannes. Nah, sekarang, haruskah kita menyapa penyusup di belakang?" Arvin memantapkan pegangannya pada senjata api jenis raging bull yang tadi diambilnya dari dashboard.Prazta menginjak pedal gas, memberi kecepatan tinggi secara tiba-tiba, meninggalkan mobil asing di belakang.Netra gelap Arvin menajam saat mobil di belakangnya mengejar dengan kesepatan serupa. Arvin terkekeh dengan ide gilanya sendiri, tapi dia tidak bisa mundur lagi."Kau serius ingin melakukan itu?!" Prazta yang mengetahui apa yang ada di kepala Arvin hanya bisa menghela napas saat pria di sampingnya itu malah menyeringai lebar. Prazta memutar kemudi, membuat mobil yang dikendarainya tiba-tiba berputar arah hingga saling berh
"Sudah selesai bicara?" Zoya menyambut kedatangan Mia dan Kaindra dengan tangan bersedekap. "Jadi, bagaimana hasil diskusinya?" Mia merengut, tahu jika Zoya sedang mengolok-olok mereka. "Kami akan segera menikah setelah aku menyelesaikan kontrakku dengan Tuan Arkan." Kaindra menjawab dengan cepat, senyumnya melebar saat melihat ekspresi terkejut di wajah saudara kembarnya."Kamu sungguh mengajak seorang wanita menikah begitu saja? Tanpa persiapan apa pun? Serius?" Zoya mengeleng pelan, sedikit dramatis, sambil menikmati wajah Kaindra yang tiba-tiba menegang."Lova!" Mia berseru kesal, memperingati Zoya untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Lagi pula, apa yang diharapkan dari Kaindra?"Haish! Nanti kupikirkan lagi konsepnya, deh!" Kaindra mengerang jengkel, jelas bisa membaca raut wajah Mia yang mengatakan 'memang apa yang bisa diharapkan'.Zoya terkekeh melihat wajah frustrasi adiknya. "Ya sudah kalau kamu mau memperbaiki lamaranmu, Mia akan menantinya!""Lova, tolong!"Tawa Zoya be
Zoya menghilang dan Arvin tidak bisa dihubungi. Dua hal yang terjadi dalam waktu berdekatan membuat kediaman itu diliputi ketegangan. Berita itu disampaikan oleh orang yang bertugas menjaga kamera pengawas di rumah itu. Meski mereka bergerak sangat cepat setelah melihat salah satu pengawal ditusuk, tapi tidak ada satu pun pengawal lain di dekat sana yang bisa dihubungi. Ketika mereka berlari menuju halaman, Zoya sudah tidak ada, menaiki sebuah mobil bersama pria asing yang menyusup entah sejak kapan. Para pengawal termasuk penjaga gerbang, semuanya ditemukan dalam keadaan luka parah."Lalu, bagaimana sekarang?" Mia menggigit bibir, tubuhnya gemetar sejak mengetahui Zoya menghilang, ditambah berita jika kemungkinan Arvin juga mengalami hal serupa. "Tenanglah, aku akan memikirkan caranya entah bagaimana. Bisakah Nona menghubungi Tuan Kaindra? Dia mungkin belum terlalu jauh." Saran yang Grace berikan membuat Mia segera sadar. Wanita itu bergegas ke kamarnya karena ponselnya ditinggal
"Kamu benar, aku akan menjadikan ini kesempatan untuk mengakhiri semuanya." Grace membalas genggaman tangan Mia, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa menyelesaikan situasi ini meski sendirian."Baiklah, aku harus pergi, dia bilang sudah mengirim seseorang untuk menjemputku. Kamu harus diam di sini dan pastikan agar anak-anak aman serta tidak khawatir." Grace mengangguk, hatinya terasa berat, tapi ia melepaskan tangan Mia. Menghela napas perlahan, Mia akhirnya berjalan menuju masalahnya. Sejak awal, kalau Mia tidak bertemu Arvin dan mengetahui identitasnya sebagai Kalandra, seandainya Mia tidak kembali ke rumah itu, maka masalah ini tidak akan terjadi. Meski ia tidak tahu kenapa Sera sangat terobsesi dengannya, tapi Mia harus mengakhiri masalah ini, entah dengan menyerahkan nyawanya atau dengan membunuh wanita itu.Mia sampai di depan gerbang, dan seperti kata-kata Sera di telepon, seseorang sudah menunggu dengan sebuah mobil mewah berwarna biru cerah. Mia mendengus saa