Sepanjang sisa hari, Sesil sama sekali tidak keluar dari kamar. Berbaring di tempat tidur dan hanya bangun untuk memakan makanan yang terasa hambar di lidahnya. Bayangan masa depannya yang tanpa Saga membuat seluruh tenaganya raib entah ke mana. Malamnya, pria itu tidak tidur di kamar. Dan Sesil tak peduli. Menekan rasa membutuhkan yang meronta di dalam hatinya. Memaksa matanya terpejam meski sulit. Ia ingin memeluk Saga. Entah karena ia mencintai pria itu atau memang hormon kehamilan yang membuat keinginan itu sulit ditahan. Lelah memikirkan semua itu, pada akhirnya Sesil tertidur. Keesokan pagi, Sesil terbangun lebih pagi dari biasanya. Rasa kosong dan hatinya yang patah menyambut harinya dengan muram. Memaksa kedua kakinya turun dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menghabiskan waktu di dalam kamar pun ternyata lebih membosankan. Saat ia keluar dari kamar dan hendak ke kamar Kei, ia melihat Saga yang baru keluar dari ruang kerja. Pandangan mereka bertemu sesaat
Selama tiga hari berikutnya, Saga masih tak kembali ke tempat tidur. Membuat Sesil semakin tertekan. Sesil bahkan tak tahu apakah pria itu ada di rumah atau tidak, bermalam di rumah atau tidak. Ia nyaris tak melihat batang hidung pria itu meski Kei mengatakan setiap malam Saga datang untuk melihat sebelum tidur. Dan Sesil yakin kedatangan pria itu hanya untuk meracuni pikiran Kei untuk melemparkan tanggung jawab melindunginya pada bocah mungil yang masih polos itu. Sungguh licik, batin Sesil mendengus. Saga benar-benar membiasakan dirinya untuk tidak membutuhkan pria itu. Mencicipi perasaan terbuang yang akan diberikan pria itu dalam dua hari ke depan. Kemarin dokter datang melakukan pemeriksaan terhadapnya dan kandungannya. Yang Sesil yakin untuk persiapan perjalanan. Mungkin tubuh dan kandungannya baik-baik saja. Tetapi hatinya jelas tidak. Bahkan pagi tadi Saga tak lagi menyembunyikan rencana pria itu. Meletakkan amplop coklat yang pernah ia temukan di meja kerja pria itu di nak
Bibir Sesil menipis, Saga tertawa kecil dan memberikan perhatian pada wanita pirang yang centil. Kemudian tersenyum lebih lebar dan mengambil botol anggur yang sudah diulurkan si wanita. "Butuh bantuan lainnya, tampan?" Wanita itu membungkuk sehingga wajahnya lebih dekat ke arah Saga, juga belahan dada yang memperlihatkan hampir seluruh bentuk benda itu di depan Saga. "Tidak sekarang," jawab Saga sambil menuangkan anggur ke gelas kosong dan wanita di depan mereka tampak kecewa meski melemparkan kerlingan mata nakalnya pada Saga. Wajah Sesil memerah, berusaha keras menahan diri dan menekan kuat-kuat amarahnya. Marcuss dan kedua wanitanya turun ke dek bawah air setelah mengeraskan suara musik di ruangan ini. Membuat telinga Sesil lelah meski suaranya tak berdentum hingga membuat telinga tuli. Jika mereka tidak berada di dalam kapal, tentu saja Sesil akan segera angkat kaki dari tempat ini. Dan memang Saga sengaja menjebaknya di sini agar tak bisa melarikan diri dari pelajaran yang d
Dengan salah satu lengan untuk mengayun di permukaan air laut sementara lengan lainnya melingkari dada di tubuh Sesil, pria itu akhirnya berhasil mencapai daratan. Membaringkannya di tanah berumput dan merobek bagian depan gaun yang basah tersebut lalu mengecek pernapasan. Keningnya berkerut tipis ketika dua jemari tangannya menempel di leher dan berpindah ke pergelangan tangan. Tubuhnya membungkuk, mendekatkan telinga di mulut Sesil dan segera melakukan CPR. Dua kali tiga kali, Sesil masih tak bernapas juga, pria itu pun memberinya napas buatan. Yang berhasil di usaha pertama. Napas Sesil kembali meski masih belum sadar. Pria itu bergegas mengambils tas hitam yang disandarkan di samping pohon dan tertutup ranting. Mengambil pakaian berwarna hitam dari dalam sana dan bergegas menggunakannya untuk membungkus tubuh Sesil. Lalu membawa wanita itu ke dalam hutan yang rimbun. *** Pagi harinya …. Kepala saga tertunduk dalam dengan kesepuluh jemari yang tak henti-hentinya menggusur deng
Sesil tak kalah tercengangnya dengan wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu. Bahkan tubuh paruh baya tersebut terhuyung ke belakang dengan tangan berpegangan pada kusen pintu sementara tangannya yang lain membekap mulut demi meredam kesiap kagetnya yang begitu keras. Sesil melotot ke arah Gio. "Apa yang kau katakan?" desis Sesil tajam. "Kau sudah gila?" Gio hanya menyeringai, kilat kelicikan melintasi kedua matanya. Tetapi seringai itu hanya bertahan beberapa detik, ketika wanita paruh baya yang tadi berada di ambang pintu, kini memukul pundak pria itu dengan keras. "Istri?!" ulang wanita itu dengan suara syok yang berusaha ditahan. "Apa kau sudah gila?" Gio hanya mendesah pelan. "Ya, inilah alasan aku menyembunyikan pernikahanku. Karena tahu mama akan marah." Wanita paruh baya itu memberikan pelototan selebar mungkin dengan geraman tertahan. "Apakah ini alasanmu tiba-tiba kembali ke negara ini dan menolak semua perjodohan yang mama atur untukmu?" Sekali lagi Gio mendes
Sesil menggelengkan kepalanya dengan cara yang pilu. Bibirnya terasa kelu, tetapi suaraya berhasil keluar dengan keyakinan yang dipaksakan. "Aku tak tahu selera dramamu semurahan ini," degusnya. "Kau tak percaya?" "Tak ada alasan aku percaya padamu." Gio tertawa kecil. Antara gemas dan tertarik dengan sejauh apa keyakinan wanita ini akan bertahan. "Kau ingin bertaruh?" Sesil tak mengatakan apa pun. Perasaannya mulai kacau, tapi ia segera mengendalikan ketenangannya. Itulah yang diinginkan Gio. Gio terkekeh lagi. "Apakah jika aku lebih berengsek dari Saga, kau akan mengulangi kebodohanmu dan jatuh cinta padaku?" "Apakah kau menginginkanku karena Saga?" Pertanyaan itu terdengar hambar di ujung lidahnya. Seolah mengulang takdir yang sudah pernah terjadi. Saga menginginkannya karena Dirga, dan sekarang Gio akan menginginkannya karena Saga. Lingkaran setan ini benar-benar memuakkannya. "Tapi … aku sama sekali tak keberatan." Mata Gio memindai Sesil dari atas ke bawah dengan lekat. S
“Kita memiliki kepentingan masing-masing, Sesil. Kenapa kau bersikap seolah semua ini hanya menguntungkanku saja.” Gio mencoba memecah keheningan yang sengaja dipertahankan oleh Sesil. Sejak masuk ke dalam ke dalam mobil. "Apakah aku punya kewajiban untuk menyenangkanmu dengan memperlihatkan senyum? Jika tak punya hati, setidaknya kau perlu memiliki toleransi, Gio," jawab Sesil dengan kekesalan yang tak repot-repot ditutupinya. "Apakah menurutmu situasiku memungkinkan untuk membuatmu senang?" Ada senyum geli menghiasi wajah Gio ketika mendengarkan jawaban Sesil. "Ya, situasi memang tak memungkinkan membuatmu tersenyum. Tapi … kau lupa kalau aku yang menguasai panggung? Dan ekspresi di wajahmu membawa polusi yang tidak baik untuk udara di sekitarku. Juga tidak menyenangkan pemandanganku." Sesil menipiskan bibirnya, sebelum kemudian menjawab dengan telak. "Kalau begitu kau hanya perlu menahan napasmu sampai di rumah sakit, kan? Juga memejamkan matamu. Jangan menjadi rewel, anakku yan
Telapak tangan Sesil melayang, mendaratkan satu tamparan yang keras di pipi Saga. Pun tahu kalau itu bukan pukulan yang berarti bagi Saga. Air mata Sesil meleleh. Dengan wajah yang mengeras, wanita itu berkata lantang. “Tidak. Aku tak akan berhenti. Agar kau tahu bagaimana tersiksanya aku karenamu dan kau tak berhenti menyesali keputusanmu. Aku tidak akan berhenti. Aku akan mencintaimu di setiap hembusan napasku. Hanya agar kau tersiksa. Sedikit pun, aku tak akan melupakan setiap luka yang kau berikan padaku. Tak akan menyembuhkan sakit hatiku hanya agar kau mendapatkan hukuman yang berat karena membiarkanku berada dalam situasi yang memuakkan ini. Dan kau tahu bukan hanya aku yang akan merasakan derita ini, Saga. Aku, Kei, dan anak yang ada di dalam perutku. Setiap rasa sakit kami, kau akan menerima semuanya. Kau layak menerima tanggung jawab itu.” Sekilas keterkejutan melintasi kedua mata Saga, pria itu menatap emosi dalam tatapan Sesil yang meluap-luap tak terkendali. Sesil teren
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?