“Hey … Akhirnya kau membuka matamu.”Sesil mengerjapkan matanya beberapa kali di antara rasa sakit di kepalanya. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari ada seseorang yang berdiri di samping ranjang. Tangannya bergerak menyentuh kepala, saat itulah ia menyadari infus yang tertempel di tangan kiri. Dinding serba putih dan aroma antiseptik yang menyergap hidungnya, ia tahu benar sedang berbaring di manakah ini. Hanya saja, denyutan di kepala Sesil semakin menjadi ketika ia berusaha mengingat apa yang membuatnya berada di tempat steril ini.“Bagaimana perasaanmu?” Pria itu bersuara lagi. Kali ini Sesil memberikan perhatian sepenuhnya. Pria itu berambut ikal menyentuh leher dan berwarna gelap. Rahangnya terukir keras, hidung mancung, alis tebal, dan mata setajam elang. Tak akan berlebihan jika Sesil memuji ketampanan pria itu. Dan tentu saja, pria itu bukan dokter yang bertugas mengingat kemeja hitam dan bentuk tubuh semacam itu.&
Saga mendorong tubuh Sesil menempel di dinding lorong menuju toilet yang sepi. Mengurung tubuh Sesil dengan lengan menempel di tembok. Ada seorang pengawalnya yang mengawasi di ujung lorong. Memastikan siapa pun tak mengarah ke toilet restoran.“Jadi, Anda nona Sesilia Nada? Tunangan Banyu Dirgantara.”“Lepaskan tangan kotormu dariku!” hardik Sesil. Tatapannya tampak tegas penuh peringatan akan sikap lancang Saga yang berusaha mengintimidasi dirinya. Ia bisa saja mendorong dada Saga menjauh, tapi ia tahu kekuatan wanitanya tak akan melebihi pria itu. Dengan tubuh menjulang tinggi, berotot, dan kekar. Tubuhnya akan remuk jika pria itu berniat bersikap kasar. Tatapan dan sikapnya menunjukkan bahwa pria itu tipe manusia yang tak akan segan-segan menyakiti seorang wanita.“Ternyata kau memiliki warna mata yang indah.” Saga mendekatkan matanya. Lalu tatapan tak senonohnya turun ke bi
Sesil merasa tak bisa bernapas dengan benar. Gaun pengantin berwarna putih dan detail biru pucat di bagian bawah rok pendek itu memiliki lubang besar di bagian punggung. Bagaimana mungkin ia mengenakan pakaian sejenis itu? Ia pasti terlalu sibuk untuk menutupi dada atau paha daripada gugup memikirkan setiap detail kata sumpah pernikahan.Sesil memegang dadanya. Menutup belahan jubah mandi. Punggungnya sudah merinding membayangkan dirinya mengenakan gaun itu. Lalu, dengan jijik ia melemparkan gaun itu kembali ke pinggiran ranjang. Bertepatan pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan setelan jas putih. Rapi, tampan, dan sangat memesona. Sedetik Sesil terpukau dengan penampilan pria itu, tapi ia segera tersadar bahwa pria itu adalah Saga. Sang calon pengantin pria.“Apa kau sudah siap?” Saga hanya sekadar basa-basi meskipun tahu jawabannya. Matanya tiba-tiba penuh binar saat sebuah ide muncul di kepala dengan penampilan Sesil yang sama sekali belum men
Seperti dugaan Sesil, gaun –secuil kain- yang ia kenakan terbang tertiup angin dan hampir menelanjanginya. Ia merasa sangat risih sekaligus lega karena pernikahan dilaksanakan secara pribadi. Sehingga tak cukup membuatnya merasa malu harus bertelanjang di depan umum.Rambutnya yang sengaja diurai dengan mahkota bunga sebagai hiasan di kepala, kaki telanjangnya yang menginjak pasir pantai, dan udara asin yang menerpa wajahnya. Sesil akan mengira ini pernikahan paling indah yang ia inginkan. Santai, tapi tanpa mengurangi kesakralan dan keintiman seperti seharusnya sebuah acara pernikahan terlaksana.Lalu, semua bayangan keindahan itu lenyap ketika ia melihat wajah Saga. Satu-satunya hal yang tidak Sesil harapkan keberadaanya meskipun dengan ketampanan tingkat tinggi wajah Saga. Entah kenapa, hatinya mengingkari keberadaan pria itu di dekatnya. Dengan aura yang selalu mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tatapan gelap dan dingin meski senyum tertoreh di wajah
Matahari pagi menerobos masuk melewati cela gorden dan membangunkan Saga. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran kembali sepenuhnya. Aroma bunga mawar yang berasal dari pengharum ruangan, suara napas di dada sebelah kiri, dan beban di lengan yang tampak nyaman. Saga merasa ingin berlama-lama menikmati momen tersebut. Ini pagi pertama mereka sebagai pasangan pengantin baru, bukan? Tak ada salahnya bermalas-malasan sedikit lebih lama.Sesil menggeliat dan mengerjapkan mata dua kali. Menemukan kulit telanjang dengan bulu halus tepat di depan matanya. Di antara kantuk yang masih tersisa, pikirannya dipaksa bekerja. Ia tersentak dan segera menjauh dari dada Saga. Namun, gerakannya tertahan oleh lengan Saga yang melingkari di leher.“Saga?” Sesil menelan kecanggungannya. Sedikit merasa aman bahwa ia masih mengenakan pakaian di balik selimut meskipun Saga tidak. “Kau sudah bangun?”Saga hanya tersenyum tipis. Menatap lekat-lekat wajah Sesil yang
Saga mendekati kerumunan tiga pria yang terkekeh bersamaan, tapi tawa itu lenyap ketika pria bersetelan abu gelap memberi isyarat pada pria di tengah yang langsung memutar tubuh dan bertatapan langsung dengan Saga.“Aku tak mengira pintu rumah ini masih terbuka untukku,” sapa Saga dengan tatapan dingin si pria melihat kedatangannya.Sesil menoleh ke arah Saga. Terheran. Apakah mereka tamu tak diundang?Max menatap sekilas pada Sesil sebelum kembali pada Saga. Selera Saga terhadap wanita memang tak pernah mengecewakan. “Kau benar-benar tak terduga, Saga. Aku tak mengira kau akan datang.”“Ini acara penting sahabatku, aku tak mungkin melewatkannya.”Max terdiam sesaat. Senyum Saga terlalu lebar, jenis senyuman yang mengundang curiga jika kau mengenal pria itu dengan sangat baik. Sebagai Tuan rumah yang baik, ia memaksakan senyum pada pasangan Saga. Hubungan buruknya dengan Saga, bukan dengan siapa pun yang sedang b
“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.“Pulang.”“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.“Aku sudah menyapa temanku.”“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisa
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?