Saga mendekati kerumunan tiga pria yang terkekeh bersamaan, tapi tawa itu lenyap ketika pria bersetelan abu gelap memberi isyarat pada pria di tengah yang langsung memutar tubuh dan bertatapan langsung dengan Saga.
“Aku tak mengira pintu rumah ini masih terbuka untukku,” sapa Saga dengan tatapan dingin si pria melihat kedatangannya.
Sesil menoleh ke arah Saga. Terheran. Apakah mereka tamu tak diundang?
Max menatap sekilas pada Sesil sebelum kembali pada Saga. Selera Saga terhadap wanita memang tak pernah mengecewakan. “Kau benar-benar tak terduga, Saga. Aku tak mengira kau akan datang.”
“Ini acara penting sahabatku, aku tak mungkin melewatkannya.”
Max terdiam sesaat. Senyum Saga terlalu lebar, jenis senyuman yang mengundang curiga jika kau mengenal pria itu dengan sangat baik. Sebagai Tuan rumah yang baik, ia memaksakan senyum pada pasangan Saga. Hubungan buruknya dengan Saga, bukan dengan siapa pun yang sedang bernasib sial menjadi pasangan Saga malam ini.
“Hai, ...” Max berhenti karena tak mengetahui nama pasangan yang dibawa Saga malam ini. Terlalu banyak wanita yang digandeng Saga di setiap pesta membuatnya enggan menghapalkan nama wanita itu. Setiap ia berhasil mengingat nama gadis yang dibawa Saga malam ini, keesokan harinya ia terpaksa harus melupakan nama itu karena muncul wanita baru yang digandeng Saga lagi.
“Sesil,” Saga memperkenalkan keduanya. “Dan Sesil, ini Max. Sahabatku.”
Mata Max melebar. Terkejut lalu matanya mengamati Sesil lekat-lekat dan seolah menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. “Sesil?” Max menatap bergantian Saga dan Sesil dengan ekspresi ketidakpercayaan yang begitu kental.
Saga hanya menjawab dengan senyum tipis.
Sesil tak perlu mengangguk. Reaksi dan ekspresi Max lah yang membuatnya semakin bertanya-tanya. Di balik senyum Max, Sesil tahu tatapan tak bersahabat yang berusaha pria itu sembunyikan. Apakah ia punya masalah dengan pria ini?
“Bagaimana kabarmu?” Max berbasa-basi.
“Baik,” jawab Sesil singkat.
“Kuharap kabar Dirga juga sama baiknya,” gumam Max menatap lekat-lekat Sesil.
Sesil mengernyit. Secara bersamaan, nama itu terdengar begitu asing dan familiar. Dan tatapan Max yang terlalu aneh dan penuh selidik malah membuat Sesil gerah.
“Ya, dia juga baik. Mungkin.” Saga mengambil alih jawaban yang sebenarnya ditujukan pada Sesil.
Sesaat hening, setelah jawaban ringan Saga membuat bibir Max berkedut. Sesil merasa Max ingin mengatakan sesuatu tapi keberadaannya menahan pria itu membuka mulut. Menghindari kecanggungan lebih lama lagi, ia bertanya, “Di mana toilet?”
Max menunjuk dengan tangan kiri ke arah sebelah kiri dan Sesil bergegas meninggalkan mereka.
“Apa yang terjadi, Saga? Dia bahkan tak bereaksi apa pun saat mendengar nama Dirga. Apakah wanita itu benar-benar sudah membuang Dirga demi pria sepertimu?”
“Dia wanita yang cerdas.”
“Mereka berdua saling mencintai.”
“Sepertinya takdir bersikap terlalu keras pada mereka.”
“Atau kau yang sedikit ikut campur pada kisah mereka?”
Saga mengangkat bahu. “Aku hanya menjalani takdir dengan hati terbuka.”
“Aku mendengar desas-desus tentang tunangan Dirga yang menghilang. Meskipun dengan permusuhan kalian yang begitu intens, aku tak pernah memperkirakan bahwa itu adalah perbuatanmu, Saga.”
“Perkiraanmu masih setajam dulu, Max,” puji Saga tulus, “tapi kali ini sedikit meleset.” Saga menempelkan ibu jari dan telunjuknya di wajah Max.
“Maksudmu?” Mata Max menyipit meminta penjelasan.
“Sesuatu terjadi. Kami bertemu dan sepertinya kami cocok menjadi pasangan.”
“Apakah Dirga tahu mengenai ini?”
“Well, dia akan segera tahu.”
“Aku tak tahu rencana apa yang ada di kepalamu, Saga.”
“Maka kau hanya perlu menyaksikannya.”
“Kau merusak pestaku!”
“Bukan pertama kalinya, ‘kan?” Saga melirik ke arah belakang Max. Tampak Alec dengan enggan mengikuti ke mana arah Sesil pergi.
Max mengikuti arah pandangan Saga. Saga dan Alec bukanlah perpaduan yang bagus di sebuah pesta mana pun. Percayalah. “Sialan kau!! Pestaku baru saja dimulai.”
***
“Sesil?”
Sesil menoleh. Melihat pria asing yang berdiri terpaku di ujung lorong. Sesil berhenti, menoleh ke sekeliling dan tak menemukan siapa pun di sepanjang lorong ini. Mungkin ada orang lain di sekitar yang dipanggil si pria asing, yang ... tiba-tiba Sesil merasa dadanya ditohok ketika menatap lekat-lekat wajah yang masih mematung dalam ketidakpercayaan dengan sorot mata haru. Mata pria itu berkedip beberapa kali mengamati tubuhnya dari atas ke bawah seolah ia memiliki dua kepala. Lalu pria itu melangkah lebar-lebar menghampirinya dan langsung menghambur dalam pelukannya. Memeluknya sangat erat hingga ia tak bisa bernapas.
“Aku sangat merindukanmu. Ke mana saja kau? Aku mencarimu seperti orang gila.” Kalimat tergesa itu meluncur dalam sekali tarikan napas. Lalu pria itu terengah, menariknya menjauh, menggenggam wajahnya, dan memeluknya lagi. “Maafkan aku, Sesil. Terakhir kalinya kita bertengkar itu benar-benar perpisahan yang menyiksa. Aku tak bisa hidup tanpamu.”
Sesil tak sempat berucap atau menolak perlakuan pria itu. Kesedihan dan duka yang terpampang jelas di wajah pria itu mengundang rasa iba dan hatinya yang masih berada dalam kebingungan tak mampu mencerna semua rentetan kalimat pria itu.
Dan ia hanya bisa mengambil kesimpulan, mungkinkah ketidaksadaran pengaruh minuman alkohol membuat pria asing itu melihat dirinya mirip seseorang yang lain dengan nama Sesil seperti yang ia miliki. Sepertinya Sesil yang itu adalah orang sangat berarti yang telah pergi dari hidup pria itu. Mendadak rasa kehilangan pria itu menular dan menyelusup ke dadanya. Namun ... tiba-tiba hentakan kuat menarik tubuhnya menjauh dari rengkuhan pria itu. Seketika wajahnya memucat dengan rahang Saga yang mengeras dan matanya yang menajam teruntuk dirinya.
“Sa ... ga?” Sesil tergagap.
“Apa yang kau lakukan di belakangku?!” geram Saga.
Bibir Sesil mengering ketika berniat menjelaskan situasi yang sesungguhnya pada Saga, tapi tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya ketika wajah Saga berubah lebih lunak melihat pria yang berdiri di samping Sesil. “Well, well, well. Siapa ini?”
“Kau?!” Pria itu hendak mendorong dada Saga, tapi Saga menepis dengan sigap. “Ini bukan urusanmu!”
“Kau memeluk wanitaku, maaf jika aku sedikit posesif pada milikku.” Saga menarik pinggang Sesil dan menempelkan pada tubuhnya.
Wajah pria itu seperti terhantam batu es. Memucat untuk kedua kalinya. Seolah napasnya terhenti, matanya menatap nanar pada wajah Sesil dan penuh amarah pada Saga. “Itu tidak mungkin!!!”
“Banyak hal terjadi, Dirga. Salah satunya adalah hubungan kami. Tidakkah kau ingin mengucapkan selamat dan memendam apa pun yang ada di dalam hatimu? Untuk selamanya.”
“Sesil ...”
“Alec!” Saga memanggil sebelum kontak mata di antara Sesil dan Dirga terjadi lebih jauh, dan Alec muncul dari arah belakang Sesil.
“Kau benar-benar brengsek, Saga!” Tubuh Dirga maju hendak meluncurkan tinjunya ke wajah Saga. Namun, kedua tangannya ditahan Alec. “Sesil? Sesil?! Sesilll!!!”
“Kita pergi.”
“Tapi ... Auww ...” Sesil menyentuh kepalanya ketika denyut itu muncul tepat saat Saga membalik badan dan menyeretnya menjauh. Tak memberinya kesempatan untuk menoleh sedikit pun ke belakang. Namun, teriakan penuh derita yang semakin menjauh perlahan menyayat hatinya tanpa sebab.
“Sesiiillll!!!”
****
“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.“Pulang.”“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.“Aku sudah menyapa temanku.”“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisa
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Praanggg ... vas bunga yang semula berada di meja hias pelengkap set sofa kini melayang dan berhamburan di lantai. Salah satu pecahan mengenai kaki Saga yang mengenakan sandal santai dan celana pendek berwarna coklat tua.Saga terkejut, seumur hidupnya yang terbiasa bersikap was was. Ini pertama kalinya ia merasa terancam dengan keberadaan seseorang ketika menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Beruntung si pelempar bukanlah pembunuh bayaran dengan bakat mumpuni yang dibayar sangat mahal atas kepalanya.Darah merembes sepanjang goresan pecahan vas yang merobek kulit kaki kanannya. Dua pengawal yang berjaga di depan pintu sudah bergerak sigap mencekal kedua tangan Sesil. Sambutan selamat datang yang mengejutkan ini tentu ada alasannya, bukan?“Berengsek sialan!” desis Sesil dengan rontaannya yang sia-sia. Bibirnya menipis di antara rahangnya yang mengeras. Mata dan wajahnya merah terbakar amarah yang begitu besar. Sungguh, ia ingin menangis tersedu ol
Sesil masih terisak. Meringkuk di kasur yang berantakan dengan air mata membanjiri bantal serta selimut yang ia gunakan untuk meredam tangisan dan luka hatinya.‘Kekasihmu yang lebih dulu mengusikku. Kau tahu hatiku tak semulia itu, Sesil. Apa yang dilakukan Dirga dan penghinaanmu. Setidaknya aku akan merasa puas dengan bayaran ini.’Masih terngiang kata-kata Saga sebelum pria itu meninggalkanya sendirian dalam kepekatan derita yang ditorehkan ke seluruh tubuhnya.Dirga merusak kartel bisnis Saga hingga pria busuk itu merugi beberapa milliar. Alasan yang baru diketahuinya kenapa Saga tertarik mencari tahu dirinya dan membuat pertengkaran hebat antara dirinya dan Dirga untuk terakhir kalinya. Memang tak seberapa bagi pria dengan kerajaan bisnis gelap yang menguasai pasar negeri ini dan beberapa negara tetangga. Perdagangan senjata, klub-klub malam yang menawarkan kemewahan, bisnis prostisusi, dan entah pekerjaan kriminal apa lagi yang digelut
Ingatan terakhirnya hanyalah mobil yang melaju tak terkendali, bunyi klakson yang memekakakkan telinga, kepalanya yang terdorong ke jendela mobil karena ia tak mengenakan sabuk pengaman, dan mobil yang berguling-guling menuruni jurang. Sungguh keajaiban ia bisa selamat dari kecelakaan menggenaskan itu.Lalu, seakan ingatan di kepalanya direset dan diganti ingatan baru yang dijejalkan Saga di kepalanya. Bukan hanya itu, Saga sengaja membuatnya terombang-ambing dengan kegelisahan akan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak berselingkuh dengan Dirga, melainkan Sagalah yang membuat Dirga berpikiran bahwa ia berselingkuh dengan Saga.Suara pintu yang diketuk, sesaat menghentikan tangisan Sesil. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan pengurus rumah tangga, karena tak mungkin Saga mengetuk pintu untuk masuk ke kamar pria itu sendiri. Segera Sesil bangkit terduduk, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut ketika pintu terbuka. Seorang pelayan masuk dengan
“Sial!!!” umpatan Saga sejenak membuyarkan konsentrasi sopir dari jalanan yang lengang. Saga membanting ponselnya ke jok dan memberi perintah, “Kembali ke rumah.”Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan rumah, Sesil sudah membuat masalah. Berani-beraninya wanita itu melarikan diri dari rumahnya. Tentu tak akan pernah semudah itu. Wanita itu hanya bisa pergi dari rumahnya dengan ijinnya atau dengan tanpa nyawa. Dan ia benci jika rencananya tak berjalan sesuai dengan keinginannya. Urusannya masih belum selesai dengan Sesil.Sesampai di halaman rumah, ia melihat raut pucat dua penjaga yang berjaga di depan pintu kamar. Jon, pemimpin pengawal-pengawalnya berjalan mendekat ketika ia keluar dari mobil. “Maafkan kami, Tuan.”“Aku tak membutuhkan kata maaf, Jon. Bagaimana dia bisa kabur dengan menuruni balkon setinggi itu?” Saga tak membutuhkan jawaban Jon ketika melihat sprei kasurnya yang berkibar tertiup angin. Lalu ter
Saat matanya bergerak, rasa pusing yang menyerang kepala membuat Sesil mengernyit dalam-dalam dan mengerang pelan. Gorden kamar yang menutupi jendela dan lampu yang menyala terang meyakinkan Sesil bahwa hari sudah gelap. Kemudian, seketika ingatan terakhirnya sebelum ia pingsan kembali menerjang otaknya. Tangisannya kembali pecah menyadari di mana ia tengah berbaring saat ini. Ruangan yang sama tempat Saga membunuh.“Kau sudah sadar?”Sesil tak memedulikan keberadaan Saga, tangisannya tak terhenti.“Aku benci wanita yang cengeng, Sesil. Hentikan tangisanmu!” gertak Saga untuk kedua kalinya. Kali ini pria itu berdiri di pinggir ranjang dan menyentak bahu Sesil hingga wanita itu berbaring telentang dan wajahnya bisa menatap keberadaan dirinya.Sesil menepis tangan Saga. Namun, pria kejam itu memang tak pernah segan-segan bersikap kasar pada wanita. Dan malah menarik tubuh Sesil bangkit terduduk.“Pembunuh!” raung S
Jeritan nyaring memecah keheningan malam yang dingin.Saga tersentak. Matanya terbuka sempurna dan menerobos keremangan kamar. Menemukan Sesil berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. “Ada apa?”“Aa ... aaku... aku melihat mayat.” Satu tangan Sesil menunjuk lantai di samping sofa dan satu tangannya menutup matanya yang terpejam.Saga mengikuti arah yang ditunjuk Sesil. “Tidak ada apa pun di sana, Sesil,” ketus Saga kesal.“Aku melihat mayat!” Sesil hampir berteriak pada Saga.“Apa kau masih bermimpi?”Sesil membuka mata dengan perlahan. Menatap Saga lalu menoleh ke tempat yang ia tunjuk. Tidak ada apa pun di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan indera penglihatannya. Sungguh, ia melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan kepala penuh darah dan mata melotot menatapnya. Pria yang tadi dibunuh oleh Saga.“Apa kau berjalan sambil tidur?”
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?