Jeritan nyaring memecah keheningan malam yang dingin.
Saga tersentak. Matanya terbuka sempurna dan menerobos keremangan kamar. Menemukan Sesil berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. “Ada apa?”
“Aa ... aaku... aku melihat mayat.” Satu tangan Sesil menunjuk lantai di samping sofa dan satu tangannya menutup matanya yang terpejam.
Saga mengikuti arah yang ditunjuk Sesil. “Tidak ada apa pun di sana, Sesil,” ketus Saga kesal.
“Aku melihat mayat!” Sesil hampir berteriak pada Saga.
“Apa kau masih bermimpi?”
Sesil membuka mata dengan perlahan. Menatap Saga lalu menoleh ke tempat yang ia tunjuk. Tidak ada apa pun di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan indera penglihatannya. Sungguh, ia melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan kepala penuh darah dan mata melotot menatapnya. Pria yang tadi dibunuh oleh Saga.
“Apa kau berjalan sambil tidur?”
Saga merasa marah dengan kepanikan yang tak bisa ia kuasai. Napasnya tak berhenti mendesah dengan keras, seperti orang tolol berjalan mondar-mandir di lorong yang sepi. Hanya bisa menunggu pintu ruang operasi terbuka, dan sialan ia benar-benar bukan orang penyabar. Semua ketololan ini berakar dari seorang wanita murahan, licik, dan bodoh bernama Sesilia Nada.“Tuan.” Jon muncul dengan kantong pakaian berwarna hitam pada Saga. meskipun kemeja Saga berwarna gelap, noda darah yang mengotori bagian perut dan lengan tuannya tampak begitu jelas.“Aku tidak membutuhkannya, Jon.” Saga menepis kantong pakaian itu hingga jatuh ke lantai. Saat itu ia bersumpah akan membunuh Sesil. Ia mengabaikan tampilan sempurna hanya karena terlalu sibuk memikirkan keadaan wanita sialan itu. Namun, sebelum membunuh Sesil, ia akan memastikan mengambil segala manfaat yang bisa ia dapatkan dari tubuh mungil itu. Wanita itu tidak boleh mati sebelum ia merasa cukup dan terpua
“Aku bisa berjalan sendiri,” tolak Sesil saat Saga membungkuk untuk menggendongnya.“Aku tak bertanya atau meminta ijinmu.” Saga menyelipkan tangannya di kaki dan punggung Sesil. Mengangkatnya keluar dari mobil.Sesil terpaksa melingkarkan lengannya di leher Saga. Menundukkan wajah menghindari bertatapan dengan manik tajam pria itu. Apalagi dengan wajah mereka yang begitu dekat. Getaran dan desiran aneh merayapi dadanya. Membuatnya semakin mengkerut jika saja getaran itu sampai terdengar Saga.Saga tersenyum samar dengan kekikukan Sesil. Ia bisa melihat wanita itu berusaha tak bergerak dan tubuhnya kaku. Bahkan ia bisa melihat semburat rona mulai merekah di pipi wanita itu. “Selama ini, aku bertanya-tanya,” gumam Saga agak lirih. Bahkan pria itu sedikit membungkuk dan berbisik di telinga Sesil dengan nada menggoda.Desiran yang muncul karena napas panas Saga di telinganya membuat Sesil memejamkan mata. Lalu, merambat tu
Langkah Sesil terhenti melihat seorang wanita yang menghambur dalam pelukan Saga ketika kedua kakinya sudah menginjak lantai satu. Dan menyadari pasangan yang sepertinya tengah melepas rindu itu, Sesil hendak kembali ke kamar di lantai satu, tapi ancaman Saga yang akan mengurungnya di kamar jika ia terlambat turun, membuatnya berdiri seperti orang bodoh di belakang mereka.Sesil tak tahu siapa wanita itu, tapi tiba-tiba merasa sangat kesal dengan gerakan tak tahu malu ketika wanita itu dengan sengaja menempelkan dada pada lengan Saga. Dan merasa sangat panas karena Saga membiarkan perlakuan murahan itu. Penampilan wanita itu amat sangat memenuhi selera Saga. Dari model rambut, pakaian, bentuk tubuh. Semua berharga sangat mahal. Begitupun dua buah dada yang tampak tumpah di belahan kemeja dan rok pensil dengan belahan yang terlalu tinggi itu. Sesil merasa sangat geram tanpa alasan.“Apa yang kaulihat?!” bentak wanita itu galak ketika Sesil ketahuan mencuri p
Sekali lagi Cassie mematut wajahnya di depan cermin. Memastikan riasannya seperti yang ia inginkan, memastikan anting di telinganya terpasang erat, memastikan tidak ada helaian rambutnya yang mencuat tidak tepat pada tempat seharusnya, dan terakhir lipstik di bibirnya yang tergores. Saga sangat menyukai warna merah dengan kesan mengkilap. Lebih sensual dan menggoda. Ia tak pernah menyerah mendapatkan perhatian pria itu meskipun apa yang akan ia dapatkan tak akan lebih banyak dari sebelum-sebelumnya.Cassie berdiri, membenarkan ujung gaunnya yang selutut, tanpa lengan, dan warna merah yang memamerkan setengah kulit di punggungnya. Kepalanya berputar menatap jendela kamar tamu itu dengan hatinya ceria. Sungguh pagi yang sempurna.Tak sampai dua menit, ia sudah berdiri di ujung tangga lantai dua. Berbelok ke sebelah kiri menuju satu-satunya pintu ganda di sana. Namun, langkahnya terhenti dan wajahnya seketika mengeras ketika pintu itu tertarik membuka dan seor
Sesil menggenggam satu tangannya dengan tangan yang lain, berusaha menghentikan getar yang menjalari setiap jemarinya. Matanya terpejam, ketika kalimat ancaman Cassie kembali bergema di kepalanya.‘Aku akan menunggu dan bersabar sebelum kau membuangnya untuk melampiaskan kemarahanku. Kali ini, aku tak akan menahan diriku, Saga. Aku akan memastikannya mendapatkan neraka terburuk yang belum pernah ada dalam mimpi buruknya sekali pun.’Siapa sebenarnya Cassie selain sebagai kekasih Saga? Apakah wanita itu juga sama kejamnya dengan Saga? Mengingat betapa sadisnya wanita itu memperlakukannya ketika menjumpai dirinya keluar dari kamar Saga, tentu wanita itu mampu melakukan lebih dari sekedar jambakan, bukan? Kemurkaan dan kekejiannya begitu jelas di setiap sudut wajahnya. Terutama ketika Saga yang membebaskannya dari cengkeraman wanita itu. Kecemburuan wanita itu terlihat berapi-api. Seolah mampu membakarnya hidup-hidup.Tubuh Sesil bergidik memba
Sesil menatap kalender kertas yang terpajang di meja riasnya dengan gundah meskipun kepanikannya yang naik dengan drastis perlahan menurun saat ia mengatur napas seteratur mungkin. Tuhan tak akan sekejam itu padanya, kan?Sejak Saga menyentuhnya, pria itu memang tak pernah melewatkan untuk menidurinya. Kecuali saat ia di rumah sakit. Pria itu tak pernah menggunakan pengaman dan ia tak memakai alat kontrasepsi apa pun. Kemungkinan dirinya hamil tentu hampir seratus persen. Atau bahkan saat ini ia sedang mengandung anak pria brengsek itu. Sesil menggelengkan kepalanya dengan keras. Menolak semua kemungkinan itu jauh-jauh dari kepalanya, tapi kepalanya kembali dibuat pusing saat memikirkan alasan Saga yang bertekad membuatnya hamil. Seseorang tanpa belas kasihan seperti Saga bukanlah tipe kebapakan. Insting pria itu hanya bekerja saat membunuh musuhnya. Juga saat menelanjangi wanita, tambah Sesil dengan sinis.Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka membuat Sesil tersentak dan
“Masih terlalu dini untuk mengetes kehamilan di perkiraan usia kandungan yang baru mencapai dua minggu. USG dan alat tes kehamilan hasilnya negatif. Jadi ...”“Jadi dia tidak hamil?” Saga menggedor meja dengan tatapan garangnya.Tubuh Sesil tersentak dan menjauh dari Saga sejauh mungkin meski tetap menjaga pantatnya masih tertempel di kursi. Aura panas Saga tak hanya menggoyahkan ketenangan bercampur kelegaan akan hasil tes yang dinyatakan sang dokter. Tetapi juga menciutkan nyali dokter yang duduk di seberang meja hingga bolpoin yang dipegang terlepas dan jatuh ke lantai.“Kami belum bisa memastikannya secara pasti karena perkiraan usia kehamilan yang masih dini dan belum bisa terdeteksi,” jawab dokter itu sambil beberapa kali menelan ludah dan bersikap setenang mungkin di bawah dominasi Saga.“Aku ingi tes lainnya yang lebih akurat. Tes apa pun itu yang menunjukkan hasil yang sebenarnya. Tes yang bisa mendeteksi
Sesil berdiri bersandar di pagar balkon sambil menyesap jus jeruknya. Cuaca sedikit panas mendekati jam sepuluh siang dan ia terlalu bosan menghabiskan waktu di perpustakaan seperti biasanya. Matanya menyipit memperhatikan mobil Cassie yang melaju menuju gerbang. Selama dua hari wanita itu tinggal di rumah ini, dan tanpa sengaja mengamati wanita itu yang keluar masuk rumah Saga tanpa pengawasan yang ketat seperti kendaraan-kendaraan lainnya. Merasa iri karena wanita itu sangat leluasa melewati gerbang penjagaan yang dijaga sangat ketat sedangkan dirinya terkurung dengan sangat menyedihkan di kamar Saga yang membuat hatinya terasa pengap.Esok paginya, ia terbangun sendirian di ranjang. Saga pasti ada urusan mendadak di luar rumah karena pria itu tak muncul hingga ia menyelesaikan makan paginya di meja makan seorang diri.“Suruh seseorang menyiapkan mobilku. Aku akan keluar dalam sepuluh menit.” Suara Cassie dari arah ruang tamu menghentikan niat Sesil mengi
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?