Bibir Sesil menipis, Saga tertawa kecil dan memberikan perhatian pada wanita pirang yang centil. Kemudian tersenyum lebih lebar dan mengambil botol anggur yang sudah diulurkan si wanita. "Butuh bantuan lainnya, tampan?" Wanita itu membungkuk sehingga wajahnya lebih dekat ke arah Saga, juga belahan dada yang memperlihatkan hampir seluruh bentuk benda itu di depan Saga. "Tidak sekarang," jawab Saga sambil menuangkan anggur ke gelas kosong dan wanita di depan mereka tampak kecewa meski melemparkan kerlingan mata nakalnya pada Saga. Wajah Sesil memerah, berusaha keras menahan diri dan menekan kuat-kuat amarahnya. Marcuss dan kedua wanitanya turun ke dek bawah air setelah mengeraskan suara musik di ruangan ini. Membuat telinga Sesil lelah meski suaranya tak berdentum hingga membuat telinga tuli. Jika mereka tidak berada di dalam kapal, tentu saja Sesil akan segera angkat kaki dari tempat ini. Dan memang Saga sengaja menjebaknya di sini agar tak bisa melarikan diri dari pelajaran yang d
Dengan salah satu lengan untuk mengayun di permukaan air laut sementara lengan lainnya melingkari dada di tubuh Sesil, pria itu akhirnya berhasil mencapai daratan. Membaringkannya di tanah berumput dan merobek bagian depan gaun yang basah tersebut lalu mengecek pernapasan. Keningnya berkerut tipis ketika dua jemari tangannya menempel di leher dan berpindah ke pergelangan tangan. Tubuhnya membungkuk, mendekatkan telinga di mulut Sesil dan segera melakukan CPR. Dua kali tiga kali, Sesil masih tak bernapas juga, pria itu pun memberinya napas buatan. Yang berhasil di usaha pertama. Napas Sesil kembali meski masih belum sadar. Pria itu bergegas mengambils tas hitam yang disandarkan di samping pohon dan tertutup ranting. Mengambil pakaian berwarna hitam dari dalam sana dan bergegas menggunakannya untuk membungkus tubuh Sesil. Lalu membawa wanita itu ke dalam hutan yang rimbun. *** Pagi harinya …. Kepala saga tertunduk dalam dengan kesepuluh jemari yang tak henti-hentinya menggusur deng
Sesil tak kalah tercengangnya dengan wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu. Bahkan tubuh paruh baya tersebut terhuyung ke belakang dengan tangan berpegangan pada kusen pintu sementara tangannya yang lain membekap mulut demi meredam kesiap kagetnya yang begitu keras. Sesil melotot ke arah Gio. "Apa yang kau katakan?" desis Sesil tajam. "Kau sudah gila?" Gio hanya menyeringai, kilat kelicikan melintasi kedua matanya. Tetapi seringai itu hanya bertahan beberapa detik, ketika wanita paruh baya yang tadi berada di ambang pintu, kini memukul pundak pria itu dengan keras. "Istri?!" ulang wanita itu dengan suara syok yang berusaha ditahan. "Apa kau sudah gila?" Gio hanya mendesah pelan. "Ya, inilah alasan aku menyembunyikan pernikahanku. Karena tahu mama akan marah." Wanita paruh baya itu memberikan pelototan selebar mungkin dengan geraman tertahan. "Apakah ini alasanmu tiba-tiba kembali ke negara ini dan menolak semua perjodohan yang mama atur untukmu?" Sekali lagi Gio mendes
Sesil menggelengkan kepalanya dengan cara yang pilu. Bibirnya terasa kelu, tetapi suaraya berhasil keluar dengan keyakinan yang dipaksakan. "Aku tak tahu selera dramamu semurahan ini," degusnya. "Kau tak percaya?" "Tak ada alasan aku percaya padamu." Gio tertawa kecil. Antara gemas dan tertarik dengan sejauh apa keyakinan wanita ini akan bertahan. "Kau ingin bertaruh?" Sesil tak mengatakan apa pun. Perasaannya mulai kacau, tapi ia segera mengendalikan ketenangannya. Itulah yang diinginkan Gio. Gio terkekeh lagi. "Apakah jika aku lebih berengsek dari Saga, kau akan mengulangi kebodohanmu dan jatuh cinta padaku?" "Apakah kau menginginkanku karena Saga?" Pertanyaan itu terdengar hambar di ujung lidahnya. Seolah mengulang takdir yang sudah pernah terjadi. Saga menginginkannya karena Dirga, dan sekarang Gio akan menginginkannya karena Saga. Lingkaran setan ini benar-benar memuakkannya. "Tapi … aku sama sekali tak keberatan." Mata Gio memindai Sesil dari atas ke bawah dengan lekat. S
“Kita memiliki kepentingan masing-masing, Sesil. Kenapa kau bersikap seolah semua ini hanya menguntungkanku saja.” Gio mencoba memecah keheningan yang sengaja dipertahankan oleh Sesil. Sejak masuk ke dalam ke dalam mobil. "Apakah aku punya kewajiban untuk menyenangkanmu dengan memperlihatkan senyum? Jika tak punya hati, setidaknya kau perlu memiliki toleransi, Gio," jawab Sesil dengan kekesalan yang tak repot-repot ditutupinya. "Apakah menurutmu situasiku memungkinkan untuk membuatmu senang?" Ada senyum geli menghiasi wajah Gio ketika mendengarkan jawaban Sesil. "Ya, situasi memang tak memungkinkan membuatmu tersenyum. Tapi … kau lupa kalau aku yang menguasai panggung? Dan ekspresi di wajahmu membawa polusi yang tidak baik untuk udara di sekitarku. Juga tidak menyenangkan pemandanganku." Sesil menipiskan bibirnya, sebelum kemudian menjawab dengan telak. "Kalau begitu kau hanya perlu menahan napasmu sampai di rumah sakit, kan? Juga memejamkan matamu. Jangan menjadi rewel, anakku yan
Telapak tangan Sesil melayang, mendaratkan satu tamparan yang keras di pipi Saga. Pun tahu kalau itu bukan pukulan yang berarti bagi Saga. Air mata Sesil meleleh. Dengan wajah yang mengeras, wanita itu berkata lantang. “Tidak. Aku tak akan berhenti. Agar kau tahu bagaimana tersiksanya aku karenamu dan kau tak berhenti menyesali keputusanmu. Aku tidak akan berhenti. Aku akan mencintaimu di setiap hembusan napasku. Hanya agar kau tersiksa. Sedikit pun, aku tak akan melupakan setiap luka yang kau berikan padaku. Tak akan menyembuhkan sakit hatiku hanya agar kau mendapatkan hukuman yang berat karena membiarkanku berada dalam situasi yang memuakkan ini. Dan kau tahu bukan hanya aku yang akan merasakan derita ini, Saga. Aku, Kei, dan anak yang ada di dalam perutku. Setiap rasa sakit kami, kau akan menerima semuanya. Kau layak menerima tanggung jawab itu.” Sekilas keterkejutan melintasi kedua mata Saga, pria itu menatap emosi dalam tatapan Sesil yang meluap-luap tak terkendali. Sesil teren
“Kalian sudah pulang?” Kinan menyambut kedatangan Gio dan Sesil. Kedua tangannya terbuka lebar dan menghampiri Sesil. “Mama dengar kalian baru saja dari rumah sakit.” “Kenapa mama kembali ke sini? Bukankah tadi …” “Mama sudah menyiapkan makan siang untuk kalian berdua.” “Makan siang sudah lewat, Ma,” desah Gio dengan jengah. Padahal tadi pagi ia sudah memasukkan mamanya ke dalam dan menyuruh sopir membawa pulang ke rumah. Kinan tak menggubris, menghampiri Sesil dan merangkul pundak wanita itu lalu membawanya ke ruang makan. Sesil memaksa seulas senyum melihat menu makanan yang memenuhi meja makan. Bahkan hanya dengan melihatnya saja sudah membuat perutnya kenyang. “Duduklah. Kau ingin makan apa?” Kinan menarik kursi untuk Sesil. Tampak begitu bersemangat. “Mama juga sudah menyiapkan susu ibu hamil. Kau suka rasa apa? Ada vanilla, coklat, dan strawberry. Mama sudah membelikan semuanya. Hmm?” Sesil menatap Gio yang duduk di kepala meja. Tampak menikmati ketidak berdayaannya mengh
Tubuh Sesil terdorong ke belakang dengan telapak tangan membekap mulut. Menatap kedua pria yang saling berhadap-hadapan dengan penuh ketegangan tersebut dengan napas yang tertahan. Tangan Ario menunjuk wajah Gio, yang baru saja terangkat sambil menyentuh ujung bibir. Sesil bisa melihat ujung bibir pria itu yang berdarah. Tetapi tatapa tajam Gio pada sang papa tak berkurang sedikit pun. Bahkan emosi di wajah pria itu semakin pekat. "Papa sudah memperingatkanmu, jangan pernah mengungkit hal itu lagi. Apalagi jika harus mengobrak-abriknya. Kau ingin menghancurkan apa yang sudah mamamu perjuangkan?" “Bukan berarti harus dilupakan, kan?” Wajah Ario semakin keras dan lebih gelap. Tetapi kemudian menyadari keberadaan Sesil di ruangan ini. “Keluar,” perintahnya dingin. Sesil menatap Gio, yang tak menahannya. Jadi ia pun bergegas membalikkan tubuh dan keluar. Napasnya terengah, masih syok dengan adegan menegangkan tersebut. Sesil masih bisa mendengar suara pasangan ayah dan anak yang m