Kelopak mata gadis itu mulai bergerak, perlahan membuka, dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Dia mencoba mengendalikan pikirannya, mengingat penyebab dirinya terjebak dalam ruangan itu. sebuah kamar yang identik dengan desain dan interior modern. Hanya sebuah ruangan berukuran sedang. Sebuah tempat tidur dan sofa di ujung ruangan. Tidak ada apa pun yang bisa membuat dia mengenali tempat itu.“Tempat apa ini? Kenapa aku ada di sini?” gumam Meta mencoba untuk bangun. Dia bebas, sama sekali tidak terikat membuatnya sedikit lega.Gadis itu berjalan memperhatikan sekitar ruangan, meraih tirai dan membukanya. Tampak pemandangan kepadatan kota. Jelas sekali dia masih berada di new york. Vibes kota itu berbeda dari kota kelahirannya.“Siapa dan apa yang mereka inginkan?” gumam Meta.Pintu ruangan terbuka, memunculkan sesosok wanita berambut pirang. Dari penampilan, kemungkinan berusia kisar 30-an. Wanita itu tidak datang sendirian, ada beberapa pengawal dan satu pria yang terasa
Sebelum Xadira masuk dalam ke dalam kehidupan Meta, hidup gadis itu sudah tertata dengan begitu sempurna. Mimpi yang tertata sejak dia masih sangat kecil, potensi besar di masa depan. Namun, seolah buku takdir ditulis ulang mengenai hidupnya. Meta terjebak bersama orang-orang yang memiliki obsesi padanya. Edward memiliki obsesi untuk membalaskan dendam atas kematian saudarinya, dan Meta sama sekali tidak memiliki keberanian untuk sekedar memberi pembelaan. Charlie sendiri memperlakukan dengan sangat baik, tetapi memiliki tujuan lain di baliknya. Charlie ingin menjadikan Meta global ambasor agensi yang dipimpin pria itu. “Duduklah, dan nikmati sarapanmu,” ucap Charlie menarik kursi untuk gadis itu. Meta menuruti perintah pria itu. Duduk berhadapan dengannya. Pria itu tampak senang, menguraikan jenis makanan yang disajikan, seolah Meta adalah gadis kampung yang tidak mengetahui apa pun. “Setelah ini, kita akan keliling kota, sebelum kembali ke indonesia. Ada tempat yang ingin kamu kun
Wanita cantik itu tersenyum, menyambut hangat seorang pria yang baru saja selesai pemotretan hari itu. wajah lesu sang kekasih membuat wanita itu menyadari hasil yang kurang memuaskan. Grace berlari, memeluk erat sang kekasih, tanpa mengatakan apa pun. Pria itu hanya butuh pelukan, menjelaskan bahwa dunia akan tetap baik-baik saja meski dia gaggal. “Sudah lebih baik?” “Jangan dilepas dulu, Grace. Aku masih marah soal kemarin, biarkan begini sampai kemarahanku reda dan kembali tenang,” ucap Charlie. Grace tersenyum kecil. Sang kekasih selalu begitu. Meski tengah marah, Charlie akan tetap membutuhkan pelukan darinya, sebuah ketenangan yang katanya bisa mengangkat seluruh beban pria itu. “Aku tidak akan bisa berjalan dengan baik, jika berdiri terlalu lama,” protes wanita itu. “Heum, aku akan menggendongmu, jangan cemas,” sahut Charlie masih belum beranjak sedikit pun, masih sangat nyaman dalam pelukan kekasihnya. “Jangan bergantung begitu, Charlie. Kamu akan kesulitan jika aku sudah
Tubuh Meta berangsur pulih seiring berjalannya waktu. Dia mulai bisa menggerakkan tubuhnya, efek obat yang disuntikkan Charlie perlahan hilang. Tubuhnya terasa sangat kaku, masih perlu waktu hingga benar-benar bisa bergerak.Meta melangkah, menyiibak tirai. Rasa lega menghampirinya kala menemukan pemandangan yang sama. Dia pikir sudah berada di tempat yang berbeda. Rasa takut tidak bisa kembali, bertemu dengan Adam dan mungkin dengan Regano. Ada janji yang harus dia tepati, meski rasanya semakin sulit.“Kamu sudah bangun?”Charlie selalu hadir bersama wajah tenangnya. Buku asal usul agensi yang diceritakan oleh pria itu membuat Meta merasa sedikit prihatin. Waniita itu di satu sisi cukup beruntung memiliki kekasih yang mengabadikannya menjadi nama sebuah agensi. Mimpi besar yang diperjuangan sejak lama. Wanita itu pasti sangat bangga pria yang dicintanya berhasil mewujudkan mimpi itu.“Kenapa, heum?”Dulu, pernah satu waktu Meta mengharapkan kisah seperti di novel yang pernah Xadira
Charlie begitu mudah menemukan keberadaannya. Seolah, dia memang tidak memungkinkan untuk pergi jauh. Pria itu datang dan menjemputnya. Sama sekali tidak terlihat marah, meraih tangan Meta dengan lembut dan membawanya pulang. Gadis itu hanya diam, memikirkan berbagai hal. Edward benar-benar mengingkari janjinya. Pria itu sendiri yang berjanji akan datang dan menyelamatkannya. Apa Edward benar-benar ingin melepasnya begitu saja. “Bagaimana dengan Papa? Kamu bilang akan membawaku bertemu dengannya sebelum pergi jauh,” ucap Meta membuka pembicaraan. Ada dua permintaan yang belum Edward penuhi, dan seharusnya Meta bisa meminta Edward membebaskannya dari kukungan Charlie, meski harus membayar mahal. Namun, kekecewaan terbesar terhadap Edward yang pergi tanpanya, membuat Meta mengurunkan niat. Mungkin untuk sementara waktu dia akan mengikuti keinginan Charlie. Dia juga bisa bertemu dengan Adam sesuai janji pria itu. “Tentu saja, kita akan pulang hari ini dan bertemu Adam saat tiba di In
Meta mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal pada interaksi Adam dan Charlie. Adam terlihat marah, sementara Charlie berusaha menenangkan pria paruh baya itu. Dia tidak bisa mendengar begitu jelas pembicaraan kedua orang itu, hanya raut wajah mereka yang bisa Meta lihat.Charlie datang terburu-buru, bersamaan dengan beberapa pengawal yang mulai mengepung Adam. Pria paruh baya itu tampak meneriakkan sesuatu. Meta gelisah, berusaha untuk keluar. Namun, terlambat pintu mobil sudah terkunci rapat.“Apa yang kamu lakukan pada Papa?”“Mereka tidak akan menyakiti Adam. Mereka hanya bertugas untuk menghalangi dia sampai kita pergi,” sahut Charli, mengambil ponsel. Pria itu mulai sibuk menghubungi asistennya, menyuruh wanita itu untuk bersiap menyambut kedatangan mereka.Meta tidak tahu ke mana Charlie akan membawanya. Rasa khawatir pada Adam membuatnya tidak tenang. Sesuatu pasti tengah terjadi hingga Adam tampak tidak berpihak pada Charlie.“Apa! Apa mereka gila? Bagaimana bisa menjual se
Charlie menyeret Meta dengan paksa, hingga gadis itu beberapa kali hampir terjungkal. Kakinya terasa sakit dipaksa berjalan. Semua itu menjadi tidak penting, saat Meta mulai menyadari ke mana Charlie membawanya. Pria itu sudah mulai gila sepertinya. Sebuah rumah yang cukup jauh dari perkotaan. Meta mulai cemas, tidak akan ada yang menemukannya di tempat itu bahkan jika dia benar-benar mati bersama Charlie. “Kamu benar-benar sudah gila!” “Aku tau itu. memangnya apa lagi yang bisa membuatku tetap waras?” Meta menghela napas, mencoba tenang. Dia harus berpikir jernih untuk menemukan jalan keluar. Kali ini harus berhasil. Dia hanya asal bicara tentang kematian. Masih ada janji yang harus dia tepati artinya dia harus tetap hidup sampai janjinya terpenuhi. “Mau tau tempat apa ini?” tanya Charli mengunci pintu, dan menyimpan kunci ke dalam sakunya. Meta tidak terlalu penasaran, tetapi melihat foto seorang wanita di atas nakas, membuatnya mulai penasaran. Wanita itu adalah Grace. “Iyap,
Charlie berhasil membuat kemarahan Edward mencapai puncak kemarahannya. Dada pria itu bergemuruh hebat saat menemukan Charlie yang hampir menyentuh tawanannya. Hanya dia yang boleh melakukannya! hanya dia yang boleh menyentuh tawanannya, memperlakukan gadis itu sesuka hatinya. Charlie hanya orang luar yang mencoba merebut tawanannya. “Sialan!” umpat Edward. Rupanya Charlie menyiapkan orang-orangnya untuk menyambut Edward. Satu lawan puluhan orang, cukup menguras energi. Regano bersama para pengawalnya harus membantu Adam. Benar-benar menyusahkan. “Jangan menyentuhnya sialan!” teriak Edward. Fokus pria itu terbagi, memperhatikan Charlie yang terus saja melancarkan aksinya, sementara musuhnya terus saja menyerang. “Ck, jangan berisik. Ini menyenangkan, lagipula Meta terlihat menyukainya. Benar kan, Sayang,” Meta menggeleng kuat, air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya kini hampir tanpa busana. Terlambat sedikit saja, Charlie benar-benar bisa melihat tubuh mulusnya. “Bodoh! Haru